Alarm pada ponsel Airin bersuara nyaring. Gadis itu meraba-raba sisi tempat tidurnya hingga menemukan benda yang terus berbunyi. Airin membuka penutup mata, mengucek matanya sebentar, baru melihat jam yang tertera di ponsel. Sepertinya dia men-seting alarmnya terlalu pagi.
Airin menguap lebar sambil menutup mulut dengan tangan. Tubuhnya bergerak pelan meninggalkan ranjang yang masih memanggilnya untuk kembali tidur. Airin mematur diri di depan cermin.
Gaun tidur tipis yang dia kenakan menampilkan lekuk tubuhnya secara transparan. Airin merapikan rambut yang sedikit berantakan, lalu meraba lehernya. "Lihatlah tak terjadi apa-apa padaku," pikirnya. "Ibu terlalu berlebihan."
Sesaat kemudian, Airin menuju kamar mandi. Dia menyalakan keran, mengisi bak mandi dengan air hangat. Cuaca masih terlalu dingin, jadi pagi ini dia ingin berendam dengan air hangat.
Tak lama tubuh polos Airin sudah tenggelam di antara busa sabun di dalam bathtub. Kepala gadis itu menyembul bersandar pada pinggiran bathtub. Matanya terpejam. Entah sejak kapan dia kembali tertidur, hingga sebuah mimpi menyambanginya.
Airin berlari di antara pepohonan, menerjang belukar dan rumput liar, juga sulur-sulur tanaman yang mencoba menahan kakinya. Gerakannya begitu lincah meski kelelahan. Napasnya memburu.
Sejenak Airin berhenti di pinggir tebing. Matanya menatap awas ke sekitar, lalu menoleh ke bawah sana di mana air mengalir deras. Airin kebingungan.
"Ibu!" Dia berteriak, tapi tak ada sahutan. Selain desau angin dan gesekan dedaunan tak ada lagi yang menyambut suaranya. Airin kembali melempar pandangan ke segala arah. Hatinya menyuruh dia untuk sembunyi. Namun, bersembunyi dari siapa? Dia sendiri tak mengerti. Yang pasti dia merasa harus lari.
Namun, belum lagi Airin melanjutkan langkah, tiba-tiba sosok bayangan menerjang ke arahnya. Airin menghindar dan mencoba melakukan perlawanan.
Dia menangkis serangan lawan denga tangan kosong. Meski dalam hati Airin masih sangat kebingungan dengan apa yang tengah terjadi, dia tetap berupaya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi, dia yang hanya bertahan dengan tangan kosong jelas berada di posisi yang kalah.
Airin terdesak. Dia berdiri di ujung tebing. Sementara, manusia bercadar yang menyerangnya mengajukan ujung pedang siap menebas leher Airin.
Gadis itu tak menemukan kesempatan lain selain melompat ke sungai. Dia tahu itu tak menjamin keselamatannya, tapi dia harus mencoba. Ketika musuh mengayun pedang, Airin segera terjun. Tubuhnya bergerak cepat ke bawah sana hingga tercebur di air menimbulkan riak yang begitu besar.
Selanjutnya, Airin tak membiarkan dirinya terperangkap terlalu lama. Dia bahkan tak berpikir jika kemungkinan ada buaya di air itu. Yang dia tahu, kini dia harus keluar dari air atau dia akan mati tenggelam.
Namun, ketika dia hendak menggapai permukaan, kakinya keram. Dia bergerak panik. Pasokan udara mulai menipis di paru-parunya.
"Tidak, aku tak mau mati sekarang!" Airin meronta-ronta. Tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang dingin. Sebuah permukaan benda yang keras. Airin pikir itu bebatuan, dia berusaha menggapai, kemudian tersadar dari mimpi. Dirinya tenggelam di bathtub.
"Sialan! Apa yang terjadi?" Airin mengumpat sambil merapikan rambutnya yang basah. Tangannya gemetar. Dia hampir saja kehilangan nyawa.
Airin memperbaiki posisi duduk. Tubuh polosnya masih berendam di air. Dia mengatur napas mencoba menenangkan diri. Setelah cukup tenang, gadis itu memutuskan untuk berhenti.
Kakinya keluar dari air, tetapi sesuatu tersangkut di sana. Sedikit ragu, Airin menyentuh benda putih basah yang menempel di kakinya.
"Bulu?" Airin bergumam dengan dahi berkerut. "Dari mana bulu-bulu ini berasal?" Dia memutuskan untuk segera keluar dari air. Bulu-bulu putih tampak menempel di beberapa bagian tubuhnya.
Segera Airin membasuh diri di shower sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. "Aku harus komplain kepada pemilik apartement ini. Bagaimana bisa kamar mandinya dipenuhi bulu-bulu yang menjijikkan." Gadis itu mengomel.
Airin masih mematut diri di depan cermin. Rambutnya yang basah menjatuhkan titik-titik air kelatai. Tubuhnya terbungkus handuk tebal. Gadis itu terdiam memikirkan mimpinya.
"Mimpi yang aneh. Sepertinya aku harus berhenti menonton film-film action jika tak ingin terus menerus bermimpi aneh." Dia menggerutu sambil memasangkan kabel hairdryer agar mendapa aliran listrik.
Suara desingan hairdryer mulai memenuhi ruangan. Airin sibuk menyisir rambut, pun mengeringkannya dengan hati-hati. Pikirannya lepas memikirkan setumpuk kerjaan yang akan dia garap hari ini. Dia tak punya waktu untuk berlama-lama memikirkan mimpi bodoh yang tak berarti.
Rambutnya dibiarkan setengah kering, lalu secepatnya Airin mendandai diri. Setelah semuanya selesai, Airin pun meninggalkan apartementnya. Sekali lagi, waktu masih terlalu pagi untuknya berangkat bekerja, tapi dia tetap melakukannya.
Airin menatap langit yang kembali mendung mengalahkan metari yang baru saja terjaga dari mimpinya.
"Apa akan badai lagi?" Airin bertanya dalam hati. "Kenapa tak ada pemberitahuan apa pun. Apa yang terjadi dengan Korea. Bagaimana mungkin mereka tak bisa lagi memprediksi cuaca. Ini sangat menyebalkan."
Airin memilih berlari. Tentu saja dia tak ingin hujan mengguyur tubuhnya. Hampir mati di dalam bathtub sudah cukup buruk baginya. Kehujanan adalah hal buruk kedua yang ingin dia hindari.
Jarak kantor dan apartement yang disediakan perusahaan memang cukup dekat. Karena itulah dia memilih untuk berjalan kaki ketimbang naik taksi atau bus.
Airin berhenti di depan minimarket. Dia melirik jam tangan, lalu memprediksi waktu yang sudah jelas masih tersisa cukup banyak jika hanya ingin sarapan. Airin pun memutuskan untuk masuk ke minimarket itu.
"Oh, hai, Airin. Kau di sini."
Seseorang menyapa Airin dengan ramah. Airin ingat gadis itu adalah rekan kerjanya di kantor. Namanya Hyemi. Gadis cantik dengan rambut pirangnya. Katanya Hyemi keturunan Korea-Kananda. Matanya biru, senyumnya begitu manis. Jika Airin seorang pria mungkin Airin sudah jatuh cinta. Hyemi seperti kembang di kantor pusat. Semua pria memujanya. Bahkan, wanita pun mengaguminya.
Namun, sayang sekali dia hampir seperti wanita penghibur karena dia sudah pernah tidur dengan hampir semua pria yang ada di kantor pusat. Dia sangat terkenal sebagai perempuan yang gampang luluh dan takluk pada materi.
"Hai, Hyemi. Kau sedang apa?" Airin mencoba berbasa-basi dengan perempuan cantik itu.
"Isi kulkasku kosong. Jadi aku harus memenuhinya lagi. Kau sendiri? Bukankah ini masih terlalu pagi untuk pergi bekerja."
Airin yang sedang mengambil tiga cup salad buah menoleh sesaat, lalu tersenyum. "Akan sangat menyenangkan ada di kantor lebih awal daripada terlambat untuk datang."
Hyemi merasa tersindir. Perempuan itu membuang muka samar. Dia mendengkus. "Oh, ya, sudah. Kalau begitu aku pergi dulu. Belanjaku sudah selesai," kata Hyemi dan pergi dari sana.
Airin tersenyum tipis. Senang baginya menyindir perempuan bodoh yang hanya menjual tampang dan body itu untuk tetap ada di perusahaan. Itu sangat menjijikkan dalam pandangan Airin.
Setelah memilih tiga cup sarapannya, juga jus botolan untuk minum, Airin membayar dan duduk di salah satu tempat yang disediakan minimarket. Airin menyantap makanannya sambil menatap langit yang kembali terang.
Rasanya sekarang bukan musim hujan, tapi sejak kemarin awan terus berlomba datang untuk menjatuhkan hujan. Apa efek global warming benar-benar sudah menciptakan perubahan iklim yang begitu besar? Namun, itu bukan tugas Airin untuk memikirkannya. Yang harus dia pikirkan saat ini hanya bagaimana mengembangkan sayap melalui team marketing agar perusahaan keluarga Kim semakin berkembang. Di samping itu, dia juga harus berpikir tentang bagaimana cara menghindar dari Kim Jinseok agar tak melecehkannya lagi.
Airin menghabiskan semangkuk salad buahnya sambil melamun. Sepasang sejoli duduk di meja sebelah, tapi dia tak peduli. Airin masih membiarkan dirinya memikirkan hal-hal yang menjebaknya ke dalam pusaran hingga terlupa sekitar.
"Maaf. Nona, bolehkah saya duduk di sini?"
Airin yang melamun tak mendengar suara seseorang yang menyapanya.
"Nona."
"Ah, i-iya."
Setelah beberapakali dipanggil barulah dia terperanjat dan menoleh. Airin berdiri dengan cepat saat melihat seorang pendeta berdiri di depannya.
"Apa ada yang bisa bantu, Pendeta?"
Pendeta berjubah lusuh itu memandang Airin dengan lamat-lamat. Airin sedikit kebingungan karenanya.
"Kegelapan," kata pria itu. "Kegelapan akan mendekatimu. Kegelapan akan menelan jiwamu."
Airin tergugu. Ucapan pendeta itu seperti omong kosong yang diucapkan orang-orang depresi dan gila. "Maaf. Bukan aku tidak hormat, Pendeta. Tapi bisakah kau pergi dari sini jika hanya ingin bicara omong kosong."
Pendeta itu terbahak. Dia mengeluarkan sebuah benda dari lipatan bajunya. "Pakai ini, maka jiwamu akan selamat."
Airin mendesis, kemudian membuang muka saat melihat jimat serupa yang dia buang kemarin. Dia sudah sangat hapal dengan benda seperti itu. Airin mengambil benda itu, lalu membuangnya di tong sampah tepat di hadapan sang pendeta.
"Sudah beres, kan?"
Pendeta itu tersenyum remeh. "Semoga Yang Kuasa mengampuni dosamu. Menjauhkanmu dari kegelapan yang akan memasung jiwamu."
"Sudahlah, Pendeta. Jangan bicara omong kosong." Airin segera merapikan barangnya dan bersiap pergi dari sana.
"Harusnya kau tak mengabaikan ibumu, Nona." Sang Pendeta menatap Airin yang hendak meninggalkannya. Dia tersenyum saat Airin menghentikan kegiatannya. "Karma akan tetap berlaku. Meski ribuan tahun telah berlalu, karma tetap harus dinikmati."
Pendeta itu meninggalkan Airin. "Malam ketika purnama tertelan iblis, pintu neraka terbuka, dan aurora menyentuh bumi. Bersama badai petir, dia akan datang untuk menuntut balas."
Suara pendeta terdengar menggema menjauhi Airin yang terdiam bagai patung. Apa maksud pendeta itu, dia tak mengerti sama sekali. Anehnya, dia bahkan merasa begitu terpengaruh dengan kata-katanya. Ada sesuatu yang seakan menggetarkan jiwanya hingga dia terbius. Apa yang terjadi? Airin kebingungan. Baru ketika pendeta itu hilang dari pandangan, Airin tersadar. Tubuhnya melunglai jatuh terduduk di kursi.
"Apa maksud pendeta itu?" Airin bergumam pelan dalam desah napas yang frustasi. Jiwanya bertarung antara percaya dan tidak. Antara acuh dan tak acuh. Dirinya terjebak dalam kebimbangan yang tidak dia mengerti sama sekali. Siapa yang akan membalas dendam dan atas alasan apa? Dia mungkin harus mencari tahu tentang masalalunya. Mungkinkah kedua orang tuanya menyimpan sebuah rahasia besar akan dirinya. Atau haruskah dia menganggap tutur pendeta itu hanya omong kosong orang iseng yang ingin mengganggunya?