Airin tengah menyelesaikan semua laporannya ketika dirinya tiba-tiba saja mengantuk, beberapa kali menguap, bahkan air matanya menetes, Airin pun memutuskan untuk merebahkan kepalanya di meja. Dia sudah tak tahan lagi dengan kantuk yang menderanya. Tak butuh waktu lama, Airin benar-benar terlelap. Dia melupakan kalau dirinya sekarang sedang ada di kantor.
Seakan mengulang mimpi tadi pagi saat di kamar mandi, Airin kembali terjebak di tengah hutan. Dia berlari dengan jubah besi ala pejuang yang berlumuran darah. Dia tak memiliki waktu untuk memikirkan apa yang terjadi karena sekumpulan orang seakan tengah mencari keberadaannya.
Airin terus berlari membabat hutan yang lebat. Kakinya tertatih dengan luka sabet pedang yang lumayan dalam. Darah menetes dari sana. Sementara, cuaca buruk melanda tempat itu. Angin mengoyak pohon-pohon hingga menimbulkan suara gesekan dedaunan yang sangat menyeramkan. Patahan-patahan ranting terdengar di mana-mana. Airin mengabaikan semuanya seakan-akan tak ada ketakutan sama sekali dalam dirinya.
Setelah cukup jauh berlari, dia tak mendengar suara-suara yang mencarinya dan ingin membunuhnya. Airin kelelahan. Dia menyandarkan tubuhnya di pohon besar. Sesaat kemudian dia melepaskan jubah besinya. Dia memeriksa luka-luka di tubuh yang terasa sangat perih. Pinggang gadis itu juga terluka parah.
"Apa yang terjadi? Aku ada di mana?" Dia bergumam sembari menengadah menatap langit. Tangannya menekan pinggang agar darah berhenti keluar atau dia akan mati kehabisan darah. Airin memejamkan mata. Erangan tertahan lepas dari bibirnya.
Setelah napasnya sedikit tenang, dia bangkit dan perlahan kembali menyusuri hutan. Angin masih berniat memporak-porandakan tempat itu. Kemudian, hujan lebat mengguyur disertai gelegar guntur dan sambaran petir. Suasana yang mencekam juga tubuh yang kelelahan dan basah membuat Airin melunglai, frustasi.
"Sepertinya aku akan mati." Napas gadis itu tersengal. Dia gagal menemukan tempat berlindung.
Airin kembali merebahkan diri di permukaan tanah. Sesekali dia menyeka air hujan yang mengganggu wajahnya.
"Aku sudah tak tahan lagi," kata Airin dibarengi tetes air mata yang tersamarkan oleh air hujan. Dia pasrah menjemput kematian. Bayangan kehidupannya di Ilsyan menyeruak menghadirkan rindu kepada kedua orang tuanya.
Ada sesal yang menyusupi relung hatinya. Airin ingat telah tumbuh dengan perangai yang kasar. Dia suka membantah ibunya. Juga berlaku kasar kepada orang-orang yang tak sepaham dan tak mau mengikuti kemauannya. Keinginan meminta maaf pun terbit di hatinya. Namun, semua sudah terlambat.
Perlahan kesadaran Airin memudar. Tenaganya telah habis. Tangan gadis itu menjuntai lemah. Saat itulah sesosok bayangan berkelebat dari pohon ke pohon. Jubahnya yang basah terkena hujan sedikit terkibas karena angin kencang dan gerakannya yang lincah. Dari atas pohon matanya menatap tajam ke arah Airin yang tergeletak tanpa daya. Sesaat, dia terjun, kemudian berjongkok di dekat Airin.
Mata yang berkilat merah itu terus memperhatikan Airin. Tangannya terulur menyentuh pipi sang gadis. Airin mengerang pelan. Orang itu tersenyum, lalu mendekatkan bibirnya ke bibir sang gadis.
Ketika merasakan sentuhan lain atas bibirnya Airin membuka mata. Meski tak punya tenaga, dia refleks mendorong sosok berjubah itu.
"Akh." Tubuh Airin terjengkang karena gerak refleks yang dia lakukan. Airin tersadar dari tidurnya saat merasakan ada yang mencium bibirnya. Gadis itu berusaha mendorong si pelaku hingga tubuhnya sendiri tersungkur dari kursi dan jatuh ke lantai.
Pria yang baru saja mencuri ciumannya tertawa. Dia mengulurkan tangan ke arah sang gadis.
"Bagiamana bisa kau tidur di kantor di hari keduamu? Apa semalam kau begadang?" Jinseok menatap gadis itu yang menampik uluran tangannya.
"Anda kurang ajar sekali. Siapa yang mengizinkan Anda untuk me--"
"Sst ...." Jinseok menekan bibir Airin dengan telunjuknya. "Apa kau ingin semua tau kalau kita sudah beberapa kali berciuman? Kau ingin menunjukkan kepada yang lain kalau kita teman kencan?"
Airin bergerak menjauh. "Jangan ganggu aku, Pak." Gadis itu merapikan berkas di meja. "Aku banyak pekerjaan."
Jinseok terbahak. "Banyak pekerjaan tapi tidur dari tadi pagi. Apa kau pikir aku tak memperhatikanmu."
"I-itu." Airin berdiri gugup.
"Sebagai hukuman, sekarang temani aku makan siang."
"Tapi ...."
Jinseok tak ingin menunggu lagi. Dia langsung menyeret tangan Airin untuk mengikutinya. Hampir semua mata kini menatap ke arah mereka. Airin sangat gugup, tapi Jinseok tak peduli.
"Pak, laporan yang Bapak minta sudah saya siapkan." Hyemi datang mencegat mereka.
"Taruh saja di mejaku." Jinseok memerintahkan dengan tegas. Hyemi pun bergerak patuh tanpa bicara lagi.
"Sebenarnya kau siapa?" Airin memberenggut sambir menjauh dan berdiri di pojokan lift. Jinseok menoleh dan tersenyum.
"Bagaimana bisa kau tak mengenali bos-mu sendiri. Kau masih belum sadar kalau aku presdir perusahaan?"
Airin mendengkus. "Presdir atau bukan, kau tak layak bertindak tak senonoh padaku."
"Aku menyukaimu. Apa yang aku sukai harus jadi milikku. Aku tau kau tak akan menolaknya. Jadi tak usah jual mahal padaku."
"Cih. Menjijikkan sekali pendapat Anda tentangku."
Jinseok terbahak. "Memangnya wanita mana yang tak tergiur dengan harta. Lihat saja apa yang bisa kau dapatkan jika bersamaku." Jinseok mendekati Airin. "Atau kau lebih memilih Hansol yang tak jelas asal-usulnya dan suka mengkhayal tentang dunia arwah itu."
Airin mengerutkan dahi. Sesaat dia ingat apa kata Hansol kemarin. Pun kata pendeta yang mendekatinya tadi pagi.
"Kau belum tau, ya, kalau Hansol bisa menjebakmu ke dunia mistis yang menurutnya hidup berdampingan dengan kita. Manusia tak berguna itu rasanya lebih baik dimusnahkan saja."
Airin makin kebingungan. Namun, baru saja dia akan bertanya, lift berhenti, pintunya terbuka, kemudian Jinseok keluar mendahuluinya. Gadis itu mengikuti langkah Jinseok. Ngantuknya hilang dan dia merasa sangat bersemangat.
"Kita akan makan di mana, Pak?" tanyanya.
"Di restaurant Itali di dekat Seoul hotel."
"Seoul Hotel bukankah cukup jauh dari sini?"
"Kita naik mobil, bukan jalan kaki."
"Ya, tapi ...."
"Sudah jangan terlalu banyak bicara," ucap Jinseok. Dia masuk ke mobil disusul oleh Airin yang duduk di sebelahnya. Kali ini Jinseok memutuskan untuk menyetir mobilnya sendiri.
"Kenapa tidak pergi dengan sekertarismu saja, sih." Airin masih memberenggut kesal dengan perlakuan bos-nya.
Jinseok terkekeh. "Aku memilihmu karena jika kubiarkan kau di kantor maka kau akan tidur lagi."
"Itu menurutmu. Lihatlah sekarang aku sangat bersemangat."
"Pemalas," ucap Jinseok membuat Airin makin mencebik. "Aku heran bagaimana cabang Ilsyan bisa merekomendasikanmu untuk pindah ke pusat. Juga mengatakan kau ini karyawan terbaik dan belum ada yang bisa mengalahkan prestasimu."
Jinseok memainkan setir kemudi sambil sesekali melilirk Airin yang masih memberenggut. "Kalau terbaik di bidang merajuk bisa jadi iya." Jinseok menambahkan kata-katanya. Airin pun makin mendelik. Sementara, Jinseok terus tertawa.
"Menyebalkan." Airin menggerutu. Dia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Gedung-gedung pencakar langit menyapa matanya. Mobil terus melaju pada kecepatan normal. Tak ada lagi percakapan dan perdebatan di antara mereka. Hanya saja, Airin mulai merasa aneh. Bagaimana mungkin saat tak bekerja seperti ini dia malah kehilangan kantuknya. Harusnya dia memanfaatkan situasi itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Akan tetapi, dia sudah tak bisa berkilah dan menjauh dari bos-nya.
"Apa yang kau pikirkan?" Jinseok mengagetkan Airin, menyadarkannya dari lamunan.
"Ah, itu. Harusnya aku tetap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku. Setelah cukup tidur aku merasa sangat bugar."
"Ya, sudah, selesaikan saja nanti setelah kita makan siang."
Suasana kembali hening. Selain deru mobil yang melaju tak ada siapa pun yang memecah kesunyian itu. Sampai mobil berhenti di depan sebuah resaturant.
Airin turun keluar dari mobil, begitu juga dengan Jinseok. Mereka masuk ke restaurant bersama-sama. Seorang resptionist cantik langsung menyambut kedatangan mereka.
"Aku sudah melakukan pesanan dari kemarin," kata Jinseok kepada petugas itu. Pria itu menyebutkan atas nama siapa resevasinya dan petugas langsung mengenali. Mereka berdua diantarkan ke sebuah ruang privat di lantai tiga.
Mereka berdua duduk dalam diam. Sesekali Jinseok melirik jam tangannya. "Kenapa mereka belum datang." Pria itu bergumam pelan.
"Apa kau menunggu klien yang kau bilang tadi?"
"Iya," kata Jinseok. "Mereka klien dari Kanada. Aku ingin kau bekenalan dengan mereka."
"Aku, kenapa?"
"Kenapa kau bertanya seperti orang bodoh. Tentu saja karena kau akan berpatner dengan mereka untuk mengembangkan Kim Group. Kita akan melebarkan sayap hinggak ke Kanada dan aku ingin merekomendasikanmu untuk menangani proyek itu. Kau akan menjadi pimpinan cabang yang baru. Jadi baik-baiklah dengan mereka."
Airin tergugu mendengar perkataan Jinseok. Selama ini di Ilsyan dia hanya sebatas ada di supervisor marketing, meski presatasinya sebagai karyawan terbaik tak perlu diragukan lagi. Kegigihannya sebagai tim marketing dan inovasi-inovasi yang dia rancang telah membawa perusahaan cabang Ilsyan keluar dari kebangkrutan, tapi sejauh ini tak pernah ada yang memikirkan kenaikan jabatan untukknya. Kecuali hari ini. Karena itulah Airin merasa cukup terkejut dengan apa yang dikatakan bos besarnya.
"Kau serius?" Airin mencoba meyakinkan pendengarannya.
"Sangat serius. Lebih serius lagi jika kau mau jadi teman kencanku."
"B*rengsek!"
Jinseok tertawa mendengar umpatan gadis di sebelahnya. Sesaat kemudian dia berdiri saat pintu ruangan itu terbuka. Airin turut serta. Dua orang pria masuk bersama reseptionist restaurant.
"Tinggalkan kami!" kata pria itu kepada sang reseptionist. Perempuan cantik itu pun berpamitan.
Dua pria berkebangsaan Kanada itu mendekat. Jinseok dan Airin menyambutnya dengan baik. Sesaat setelah bersalaman dengan salah satu dari mereka, Airin seakan terjebak dalam perasaan yang sulit dia jelaskan. Ada ketakutan yang menyusup ke relung hatinya tanpa dia ketahui penyebabnya.
"Oh, jadi dia Nona Han Airin yang akan mewakili perusahaanmu?" Simon Benedict menatap Airin membuat gadis itu merasa terintimidasi. Ada sinya berbahaya yang dia tangkap dari Simon dan Jefery Hawks rekannya. Hanya saja, dia tak pernah tahu kenapa dia merasa seperti itu.
Airin menjabat tangan Simon dengan hati yang berdebar-debar penuh keraguan. Tiba-tiba mimpinya tadi pagi menyapa ingatannya. Entah kenapa dia jadi menghubungkan kejadian-demi kejadian yang dialaminya. Akankah mimpi itu menandakan kalau aku ada dalam bahaya? Apa orang-orang ini berbahaya untukku? Airin terus memikirkan semuanya sambil mencoba menguasai diri agar tak terlihat gugup di depan mereka.