Part 33

1068 Words
Baru setengah perjalanan, Se Hwa tiba-tiba menghentikan langkahnya. Naya mendekatinya dan bertanya, "Ada apa?" Perempuan itu menggeleng. Ada perasaan aneh yang sedari tadi mengetuk-ketuk hatinya secara terus menerus. Itu membuatnya bingung dan tidak bisa menikmati perjalanannya ke paviliun teratai. Sang ibu pun meminta orang-orang menghentikan tandu sejenak. Dia membuka jendela dan melihat keluar. Se Hwa ada di atas kudanya yang melangkah dengan sangat pelan. "Se Hwa, Se Hwa ...," panggil ibunya. Se Hwa yang seolah-olah kehilangan fokusnya, tak segera menjawab. Ketika Naya menepuk pundaknya, barulah Se Hwa menoleh ke belakang ke arah tandu ibunya. Dia pun mengarahkan kudanya untuk mendekat. "Ada apa, Ibu?" Se Hwa bertanya setelah turun dari kudanya. "Kau ada masalah?" Bukannya menjawab, wanita paruh baya itu malah balik bertanya. "Tidak apa-apa, Ibu. Ayo, kita kembali lanjutkan perjalanan." Wanita yang dipanggil ibu itu memilih keluar dari tandu. Dia mendekati putrinya dan memintanya turun dari kuda. Mereka berdua pun jalan-jalan di sekitar tempat itu. Paviliun teratai memang dibuat khusus untuk mengistirahatkan lelah. Bahkan, mereka sudah bisa merasakan keindahannya dari sejak perjalanan itu di mulai. Pohon sakura yang mekar di sepanjang jalan mengingatkan siapa Se Hwa sebenarnya. Ya, dia Han Airin yang kini tengah teringat kembali tentang ibunya. Airin hanya bisa mengikuti ibunya yang sekarang dalam diam. Dia mendengarkan tutur ibunya tentang masa lalu Se Hwa. Tentang bagaimana Se Hwa kecil yang sangat menyukai pedang padahal usianya baru dua tahun. "Kau memang sudah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin kemiliteran seperti leluhur kita, Se Hwa. Karena itu, nalurimu tak pernah salah. Itu adalah naluri ksatria yang selalu mampu mencium bahaya." "Ibu ...." "Sekarang, katakan apa yang kau pikirkan?" Se Hwa menunduk. "Rasanya tak pantas bagiku jika merusak kesenangan ibu. Aku tahu ibu bisa sembuh jika berendan di telaga biru, tapi ... ada sesuatu yang terus mengusik hatiku, Bu." Akhirnya Se Hwa menceritakan kegalauan hatinya. "Aku merasa, aku harus kembali ke istana," kata perempuan itu lagi. "Kalau begitu, kembalilah." "Lalu, bagaimana denganmu dan perjalanan ini?" "Aku bisa kembali bersamamu, dan kita bisa bersenang-senang di lain waktu." Se Hwa terdiam. Dia menatap rombongannya yang masih diam, sabar menunggu mereka selesai bicara. Sesaat Se Hwa tersenyum. "Tidak. Ibu dan yang lainnya bisa melanjutkan perjalanan. Aku akan kembali hanya untuk memastikan apa semua baik-baik saja." "Se Hwa, bagaimana bisa Ibu berangkat tanpamu?" "Mengertilah, Ibu." Se Hwa menggenggam tangan ibunya. "Aku akan bergerak lebih cepat jika sendiri. Setelah semua selesai, aku bisa menyusul kalian dengan cepat. Tunggulah aku di sana." Sang ibu pun terdiam. Tak lama kemudian, dia menyetujui permintaan putrinya. Dia pun kembali masuk ke tandu dan melanjutkan perjalanan bersama rombongannya. Se Hwa melambaikan tangannya mengiringi kepergian mereka dengan senyuman. Padahal mereka sudah menempuh setengah perjalanan, tapi Se Hwa tetap memutuskan untuk pulang. Nalurinya berkata kalau ayahnya ada dalam bahaya. Se Hwa menaiki kudanya dan melesat dari sana dengan begitu cepat. Kuda itu meringkik, lalu berlari tanpa kenal lelah. Seakan-akan tahu apa yang terjadi, kuda itu melesat secepat yang dia bisa. Perjalanan panjang itu pun bisa ditempuh dengan lebih cepat. Se Hwa yang harusnya sampai di kediamannya ketika tengah malam, kini bisa menjejak kaki di sana bahkan sebelum jam sepuluh malam. Suasana gerbang ibu kota tampak tenang seperti biasa. Memasuki wilayah ibu kota pun sama saja. Di jam-jam seperti itu, masyarakat memang sudah pada mengunci pintu rumahnya. Hanya segelintir orang yang punya kesibukan lain di malam hari yang memaksa mereka untuk tetap terjaga. Se Hwa terus memacu kudanya. Kali ini dengan kecepatan yang biasa karena dia tak ingin melukai penduduk. Mendekati istana, Se Hwa merasa perasaannya makin aneh. Ada ketakutan, gugup, dan perasaan-perasaan lain yang tak biasa menyerang dirinya. Dadanya sesak seperti dihantam batu berkali-kali. Dia meremat tali kekang kudanya di depan pintu gerbang istana. Sejenak Se Hwa menarik napas panjang guna mempersiapkan diri. Hatinya harus tetap tenang. Pintu gerbang pun terbuka. Se Hwa memacu kudanya menuju bagian timur istana. Kediaman keluarganya ada di sana. Mendekati rumahnya dia mulai merasakan sesak dan rasa sakit yang makin dalam. Dia tak tahan lagi, lalu menghentak kudanya, dan masuk ke kediamannya. Ditambatkannya kuda jantan itu di tempat biasa. Lalu, dia berlari menuju rumah utama. Alangkah terkejutnya Se Hwa ketika mendapati apa yang terjadi di sana. "Ayaah!" Se Hwa berteriak lantang. Matanya nanar menatap tubuh pria paruh baya itu, yang telah terkapar berlumuran darah di tengah begitu banyaknya mayat-mayat bergelimpangan. Se Hwa mengalihkan pandangan ke arah Jeong Guk yang tengah mencekik putra mahkota. Tangan pria dan pakaian pria itu dipenuhi darah. Bahkan, masih nampak tetesan darah dari kukunya yang memanjang. Mata Jeong Guk menyala merah. Se Hwa mengambil busur dan anak panah yang tergeletak di dekatnya dia menarik busur itu, lalu memanggil siluman rubah. "Jeong Guk!" Siluman rubah itu pun menoleh. Melihat Se Hwa berdiri beberapa meter di depannya dengan anak panah yang siap dilepaskan membuat hatinya terluka. "Lepaskan dia, Iblis Sialan!" Se Hwa menatap nanar penuh kebencian. "Lepaskan dia!" Perempuan itu berteriak, lalu melepaskan anak panahnya. Anak panah itu melesat cepat dan menancap di bahu kanan Jeong Guk. Cekikan Jeong Guk terhadap pangeran terlepas. Dia masih menatap Se Hwa dengan kecewa. Se Hwa kembali mengambil anak panah dan membidiknya. "Kenapa kau membunuh ayahku, Jeong Guk?! Kenapa!" Kembali anak panah dilesatkan dan mengenai sasaran. Jeong Guk tak melawan. Tubuhnya tergeser mundur. "Se Hwa ...." Dia bergumam lemah. Wanita yang sangat dia cintai telah menghancurkan seluruh harapannya tentang membangun keluarga bersama. Menikah, lalu memiliki banyak anak-anak yang akan bermain-main di gunung rubah. Dia tak akan kesepian lagi di sana seperti hari-hari yang dia lalui selama ratusan tahun. Bersama Se Hwa, hidupnya akan jadi lebih berwarna. "b******n kau, Jeong Guk!" Se Hwa kembali membidiknya. "Kau harus membayar atas semua yang kau lakukan ini. Kau harus membayar kematian mereka semua!" Anak panah kembali melesat cepat, lalu menembus perutnya. Jeong Guk memuntahkan darah. Lalu, tanpa diduganya pangeran mengambil pedang dan menusuknya dari belakang. "Akh!" Siluman rubah itu mengerang. Matanya masih menatap Se Hwa yang bergeming di tempatnya. Perlahan, pandangannya mengabur, napasnya tersengal. Saat dia akan tumbang sesosok bayangan berkelebat, menyambar tubuhnya, lalu menghilang dari sana. Pangeran terkesiap, tapi Se Hwa tak peduli. Air matanya menetes jatuh. Dadanya sakit, sangat sakit. Entah yang mana yang membuat dadanya terasa lebih sakit. Kematian sang ayah atau pengkhianatan Jeong Guk yang telah dengan tega menghabisi orang-orang di kediaman Hwang. Se Hwa melangkah gontai mendekati ayahnya. Dia pun jatuh terduduk di dekat sang ayah, lalu menangis sejadi-jadinya. "Aku pasti akan membalaskan dendammu, Ayah. Akan kubunuh siluman itu dengan tanganku sendiri!" Se Hwa bersumpah sambil memeluk jasad ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD