Jeong Guk terbangun dini hari di pagi itu. Baru kali ini dia mengalami mimpi aneh. Mimpi tentang dirinya yang jatuh ke air laut dan tenggelam, tak bisa menyelamatkan diri.
Mungkin seharusnya dia tak tidur dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan saja, tapi Jung Jiang memaksa untuk istirahat dan baru melanjutkan perjalanan esok pagi.
Matahari masih belum menampakkan wujudnya. Jeong Guk pergi keluar penginapan. Dia melompat ke atap bangunan, lalu melompat lagi ke pepohonan. Jeong Guk duduk di salah satu cabang pohon yang ada di perbukitan. Matanya menatap ke arah matahari yang masih terlelap di alam mimpi.
Pria itu menyentuh dadanya. Ada rindu yang melesak membuatnya begitu muram. Meski telah hidup cukup lama, Jeong Guk baru pertama kali ini jatuh cinta. Hwang Se Hwa benar-benar telah menyita seluruh rasa cintanya. Berita tentang Se Hwa yang mengkhianatinya membuat dia berada dalam kebimbangan, antara percaya dan tidak.
Ayam hutan menyentak lamunan Jeong Guk membuatnya kembali sadar. Di ufuk timur mulai terlihat kemerahan. Sebentar lagi matahari akan terjaga. Dia harus segera kembali ke penginapan guna membangunkan Jung Jiang. Bagaimanapun dia tak ingin menunda perjalanan ini lebih lama lagi.
"Ada apa?" Jung Jiang mengucek matanya ketika Jeong Guk memaksanya untuk bangun.
"Kita harus segera berangkat. Aku tak mau menunda waktu lebih lama lagi. Bagaimanapun, aku harus selalu dekat dengan mutiaraku."
"Ya, aku mengerti. Seperti aku yang tak bisa jauh dari mustika ular, aku tau seberapa penting mutiars itu untukmu. Benda-benda seperti itu ibarat jiwa bagi siluman seperti kita."
Jeong Guk hanya mengangguk sekilas mengiyakan perkataan Jung Jiang. Setelah itu, dia meninggalkan Jung Jiang yang masih bermalas-malasan.
Mengetahui Jeong Guk sudah pergi meninggalkannya, Jung Jiang pun gegas meninggalkan penginapan dan menyusul pria itu.
"Apa kau punya rencana yang bagus untuk bisa menyusup ke istana?" tanya Jung Jiang.
Jeong Guk menggeleng. Dia memang belum berpikir sampai sejauh itu. Bayangan Se Hwa dan pengkhianantannya memenuhi pikirannya.
"Lalu, apa kau akan masuk begitu saja? Bagaimana kalau mereka menangkapmu? Bukankah waktu itu, istana sempat mengirim orang-orangnya untuk membunuhmu."
"Jika mereka mengulanginya, maka aku akan membunuh mereka semua."
Jung Jiang tertawa lebar. "Jadi kau akan membasmi manusia-manusia bodoh itu? Tapi tak mengapa. Itu bagus. Jiwa-jiwa mereka bisa kita serap untuk hidup abadi."
"Aku tak ingin hidup abadi. Kau sudah tahu itu."
"Kau mungkin tidak, tapi aku menginginkannya," kata Jung Jiang. "Itu kenapa aku akan mendapat banyak makanan lezat jika ikut denganmu membasmi para manusia."
"Kenapa kau ingin sekali memakan jiwa mereka?" Jeong Guk bertanya sebab dia begitu menyayangi manusia.
"Kau tau sendiri alasannya." Jung Jiang menarik napas dalam-dalam. "Jika bukan karena mereka, aku tidak akan kehilangan orang tuaku."
"Tapi, tak semuanya. Ada manusia yang baik ada yang jahat. Dan, yang baik jauh lebih banyak ketimbang mereka yang jahat."
"Terserah kau saja!" Jung Jiang berkata marah. "Kita memang selalu memiliki pandangan berbeda soal manusia. Bagiku, manusia itu selalu jahat. Bagaimanapun bentuknya. Mau itu bangsawan atau bukan, mereka sana saja."
Jeong Guk terkekeh-kekeh pelan. "Cobalah jatuh cinta kepada mereka, kau akan tau bagaimana rasanya dicintai begitu banyak oleh manusia."
"Lalu dikhianati sepertimu?"
"Aku belum sepenuhnya percaya soal itu."
"Ah, sudahlah. Terserah! Kau akan menyesal karena masih mempercayai wanita itu."
Jeong Guk kembali tertawa pelan. Dia memang tengah bimbang, tapi hatinya cenderung menolak semua tuduhan itu. Sebelum dia membuktikannya sendiri, dia tak akan mempercayai siapa pun.
***
Menjelang malam, setelah perjalanan panjang, keduanya pun sampai di gerbang ibu kota. Jeong Guk dan Jung Jiang diizinkan memasuki ibu kota setelah menunjukkan tanda pengenal.
Mereka pun berbaur dengan ramainya suasana ibu kota. Desa tempat tinggal mereka jelas tak sebanding dengan tempat ini. Ada begitu banyak orang di sini. Banyak juga bangsawan yang lalu lalang dengan tandu mereka.
"Apa kau tau di mana kediaman Bangsawan Hwang?"
Jung Jiang menggeleng. "Kupikir kau mengetahuinya. Tapi, tak masalah. Aku bisa mencari tahu dengan caraku."
"Pria itu melompat ke salah satu rumah warga. Dia ingin merasakan di mana mutiaranya berada, juga kekasihnya.
Mengingat apa yang dilakukan Jeong Guk bisa menggagalkan rencanya, Jung Jiang pun ikut melompat ke tempat Jeong Guk.
"Aku sudah tau di mana mutiaramu berada." Jung Jiang memegang tangan Jeong Guk, lalu mengajaknya melompat turun. "Keluarga Hwang sangat terkenal sehingga hampir semua penduduk di kota ini tau di mana tempat tinggal mereka. Ayo, sekarang ikuti saja aku."
"Tapi, mereka ada di mana? Kita bisa melakukan teleportasi ke sana."
"Itu tidak perlu."
Mendengar perkataan Jung Jiang, Jeong Guk pun hanya bisa pasrah. Mereka pun memacu langkah menuju sisi timur istana, di mana keluarga Hwang dan seluruh pelayannya tinggal.
Tak ingin ada masalah ketika melewati penjaga gerbang istana, Jung Jiang mengajak Jeong Guk melakukan teleportasi. Mereka lenyap begitu saja dan muncul di halaman kediaman keluarga Hwang.
Malam telah turun kala itu. Lampu-lampu sumbu telah dinyalakan. Suasana temaram menyambut kehadiran Jeong Guk.
"Ini memang benar kediaman keluarga Hwang, tapi aku tak merasakan kehadiran Se Hwa di tempat ini. Dia ada di mana?"
Jung Jiang memperhatikan sekitar. Dia tahu kalau pangeran telah menyiapkan segalanya dengan sangat baik. Sebentar lagi, Jeong Guk akan mati. Namun, sebelum itu, dia harus sedikit berakting.
"Kau tunggulah di sini, aku akan mengerahkan teman-temanku untuk memaksa penghuni rumah keluar.
Setelah berkata seperti itu, Jung Jiang merapal mantra dengan berbisik, lalu entah darimana datangnya, puluhan ular besar dan kecil mulai melata di halaman, bergerak menuju setiap kamar.
Satu jeritan manusia terdengar dari dalam sana, lalu terdengar lagi jeritan dari kamar yang lain, dan jadi saling susul-menyusul. Aroma kematian menebar di seluruh kediaman keluaga Hwang. Jeong Guk sangat terkejut.
"Apa yang kau lakukan, kau menyuruh ular-ular itu membunuh seluruh penghuni rumah?"
"Tidak masalah kita melakukan itu, itu hanya pengorbanan kecil mereka untuk majikan mereka."
"Jangan bertindak di luar perintahku, Jung Jiang!"
Tawa Jung Jiang meledak saat mendengar teriakan teriakan Jeong Guk. "Kau pikir kau majikanku hingga aku hanya harus mendengar perkataanmu?" Jung Jiang berkata remeh.
"Apa maksudmu?" Jeong Guk terdiam sejenak. Bodohnya kenapa dia baru bisa membaca situasi sekarang. "Kau mengkhianatiku?!"
"Bunuh dia!" teriak Jung Jiang sambil tertawa. Puluhan ular dan ribuan anak panah menghujani Jeong Guk, yang berdiri di titik sasaran sesuai dengan rencana pangeran dan Tuan Hwang. Dibantu oleh Jung Jiang, siluman rubah itu benar-benar masuk jebakan.