Upacara pemakaman jenazah dipenuhi isak tangis dari hampir sebagian besar pelayat. Teman-teman dayang di kediaman keluarga Hwang menangisi teman mereka.
Tiga puluh pelayan di keluarga itu mati mengenaskan. Semuanya digigit ular beracun. Selain dayang, ada juga para penjaga, juru masak, dan tukang kebun. Mereka yang selamat hanya yang kebetulan ikut perjalanan menuju paviliun tratai. Jumlahnya tak lebih dari tujuh orang.
Selain orang-orang dari kediaman Hwang, para prajurit pun banyak yang meninggal. Itu mungkin bencana paling buruk yang pernah terjadi di lingkungan istana. Yang lebih mengerikan dari semua itu, serangan itu justru terjadi di kediaman pimpinan militer tertinggi di istana itu.
Hwang Se Hwa hanya diam saja menatap bagaimana proses pemakaman ayahnya berlangsung. Air matanya sudah habis untuk menangis sejak semalam.
Pakaian putih membalut tubuhnya. Min Ju menemaninya dengan setia. Sementara ibunya ditemani oleh Naya. Beruntung pada saat terjadi serangan mereka ikut dalam rombongan menuju paviliun tratai.
Pangeran berdiri tak jauh dari Se Hwa. Dia terdiam sambil merutuki seluruh rencananya yang gagal karena semalam ada yang membawa Jeong Guk lari dari sana. Padahal sedikit lagi dia bisa membunuh siluman itu. Dia hanya butuh menusuknya sekali lagi. Namun, mengingat luka-luka di tubuh siluman itu, pangeran merasa yakin kalau Jeong Guk pasti akan mati.
Setelah Jeong Guk menghilang, pangeran sempat mencari-cari keberadaan Jung Jiang, tapi dia tak menemukannya. Pangeran tak tau bagaimana kondisi pria itu setelah Jeong Guk menancapkan kuku-kukunya di perut Jung Jiang. Pangeran berharap pria itu masih baik-baik saja.
Ketika tengah melamun, pangeran mendengar Se Hwa terbatuk. Pria itu menoleh, lalu mendapati wanita itu ada dalam pelukan Min Ju. Segera pangeran mendekatinya.
"Dia kenapa?"
"Badannya tiba-tiba panas, Yang Mulia. Sepertinya dia demam."
"Cepat bawa Putri Se Hwa kembali ke istana!" Pangeran memberi perintah.
Pelayan pun datang membawa tandu untuk Se Hwa. Akhirnya baik Se Hwa maupun ibunya dibawa kembali ke istana.
Se Hwa sedang diperiksa oleh tabib di dalam kamarnya. Sementara pangeran dan Min Ju bediri di luar ruangan.
"Aku takut ini akibat mutiara itu. Bagaimana kalau mutiara rubah itu terus menyerap energinya?" Pangeran bergumam pelan.
"Mutiara rubah?" Min Ju yang belum tahu tentang mutiara itu pun bertanya dengan dahi berkerut.
Pangeran pun menjelaskan tentang keberadaan mutiara rubah di tubuh Se Hwa. Min Ju mendengarkan dengan saksama. Sebelumnya dia memang pernah tahu desas desus tentang mutiara rubah. Hanya dia tak mempercayainya seratus persen. Mutiara itu masih simpang-siur dan hampir seperti dongeng karangan musafir semata.
"Kalau apa yang Anda katakan benar, berarti Se Hwa dalam bahaya. Pertama karena mutiara itu akan terus-menerus menyerap energinya. Kedua karena siluman itu bisa datang kapan saja untuk mengambil kembali miliknya."
"Kau benar." Pangeran terdiam. "Aku harus memperkuat penjagaan di sekitar Se Hwa.
"Tapi, aku ragu jika hanya prajurit yang melindunginya. Karena seperti yang kita lihat sendiri, bahkan Paman Hwang pun berhasil dikalahkannya."
Pangeran terdiam. Pikirannya mencoba mencari solusi akan masalah itu.
"Haruskah kita memanggil Pendeta Tao Tze Tan untuk mengurung iblis itu. Mengingat mutiara rubah tak ada di tubuhnya, makan akan mudah bagi pendeta untuk mengurungnya dengan jimat-jimat yang diberkati."
"Kau benar," kata pangeran. Kenapa aku tak memikirkan ini sebelumnya. Ketika iblis itu datang, aku memanggil Pendeta Tao, tapi aku malah memanggil para prajurit. Kali ini aku tak akan melakukan kesalahan lagi. Siapkan pasukan untuk menjemput Pendeta Tao untuk datang ke istana."
Ketika mereka berdua tengah asyik bicara, pintu kamar Se Hwa terbuka. Wanita itu keluar hanya berbalut hanbok untuk tidur. Wajahnya pucat dengan tatap matanya yang memandang sayu.
"Aku ... aku sendiri yang akan membunuh rubah itu. Kalian jangan pernah ikut camput," ucapnya. Meski dia sedang sakit, api dendamnya sangat jelas terasa, membuat sekitarnya mendadak hening.
"Se Hwa." Min Ju pun memegangi lengan wanita itu. "Sebaiknya kau istrirahat dulu. Urusan ini akan kita bicarakan lagi nanti." Min Ju memaksa Se Hwa untuk kembali ke kamarnya dan berbaring.
Tabib baru saja selesai meracik obat. Dia menyodorkannya kepada Hwang Se Hwa. Karena wanita itu tak mau menerimanya, terpaksa Min Ju yang menanggapinya, lalu menyuapkannya ke mulut Se Hwa.
"Bagaimana keadaannya?" Pangeran bertanya kepada tabib istana.
Tabib itu berdiri dengan membungkuk hormat. "Nona Se Hwa hanya demam. Tenaganya sedikit melemah, tapi obat-obatan yang saya berikan akan membantunya untuk pulih dengan cepat."
"Baguslah. Sekarang kalian boleh pergi."
"Baik, Yang Mulia." Tabib itu dan beberapa rekannya pun berpamitan.
Pangeran mendekati Se Hwa dan duduk di sisi tempat tidur. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" Pria itu menatap Se Hwa penuh kasih.
"Aku baik-baik saja, Yang Mulia. Besok kita sudah bisa latihan dan mulai merencanakan serangan kepada siluman itu. Bukankah sekarang siluman itu sedang terluka parah. Jadi, inilah kesempatan kita untuk membunuhnya."
"Tapi, kau sendiri sedang sakit," bantah pangeran.
"Sakitku tak seberapa. Jika basok aku tidak sembuh, aku tak akan membahas ini lagi. Tapi, jika besok aku sembuh, maka izinkan aku untuk memimpin pasukan menyerang desa tempat siluman itu berada dan membumihanguskan mereka semua."
Pangera dan Min Ju terdiam. Belum pernah mereka melihat Se Hwa semarah itu. Bahkan, ketika melawan pemberontak waktu itu pun, dia tak semarah itu. Sekarang semuanya berbeda. Dua pria itu merasakan aliran energi yang begitu besar keluar dari arah Se Hwa. Aliran energi yang sangat mematikan, energi dendam. Namun, jika Se Hwa gagal mengendalikan energi itu, dendam justru akan membawanya pada kehancuran.
Untuk membuat hati Se Hwa tenang kembali, pangeran terpaksa mengiakan apa pun itu permintaan Se Hwa. Setelah dia melihat wanita itu sedikit terkendali barulah mereka berdua meninggalkan tempat itu. Pangeran meminta penjaga terus mengawasi tempat itu. Tidak boleh ada yang masuk kecuali itu ibunya Hwang Se Hwa.
Setelah memastikan Se Hwa aman di kamar tidurnya dan telah terlelap di kasurnya, pangeran dan Min Ju memutuskam untuk mengunjungi Nyonya Hwang sebelum berpamitan.
Wanita paruh baya itu tengah menyulam bersama tiga dayang perempuan yang tersisa. Salah satunya adalah, Naya. Gadis remaja yang beruntung karena dia ikut ke paviliun tratai guna menemani sang putri.
Ketika melihat kedatangan pangeran dan Min Ju, wanita paruh baya itu bangkit dan memberi hormat.
"Bibi tidak ingin menemui Se Hwa?" Pangeran menatap wanita itu menggeleng.
"Jika aku menemuinya sekarang, dia tak akan dapat istirahat. Dia hanya akan menangis."
Pangeran mengangguk. Begitulah cara keluarga Hwang melatih mental anaknya. Betapa keras cara mereka mendidik terlihat dari betapa tangguhnya Se Hwa. Namun, Se Hwa tetap saja seorang anak yang butuh orang tuanya untuk bersandar dan mengadu. Terutama di kondisi-kondisi sulit seperti sekarang.
Namun, pangeran tak ingin ikut campur urusan mereka. Begitu juga dengan Min Ju. Jadi, mereka berdua datang hanya untuk memastikan bagaimana kondisi wanita paruh baya itu. Mereka tak ingin melihat Nyonya Hwang juga sakit seperti putrinya.
Setelah memastikan wanita itu baik-baik saja, Min Ju maupun pangeran memutuskan untuk pamit undur diri. Mereka harus menyusun rencana baru untuk menangkap Jeong Guk.