Part 35

1024 Words
Jeong Guk menatap langit-langit kamarnya. Sebuah tatapan kosong seakan-akan tanpa nyawa. Tubuh pria itu terluka parah. Namun, lebih daripada itu, rasa sakit hatinya kepada Se Hwa jauh lebih menyakitkan. Sudah beberapa hari dia tak bisa bangkit dari tempat tidur karena luka di sekujur tubuhnya itu. Tanpa mutiara rubah, butuh waktu berhari-hari baginya untuk menyembuhkan diri. Jika saja gurunya tidak datang, pasti dia sudah mati. Tatapan Se Hwa ketika memanahnya tanpa belas kasihan membuat hati Jeong Guk hancur. Jung Jiang benar, hati manusia bisa berubah begitu cepat. Harusnya dia bersikap hati-hati dan tak mudah mempercayai apa pun. Terutama percaya kepada manusia. Sepertinya, satu-satunya manusia yang bisa dia percaya hanyalah gurunya, Pendeta Tao Tze Tan. "Bagaimana kondisimu saat ini?" Pendeta Tao itu datang lagi mengunjunginya. Di belakangnya Nona Song mengikuti sambil membawa semangkuk bubur. Jeong Guk berusaha untuk bangun meski sakit masih mendera tubuhnya. "Tanpa mutiaraku, rasanya aku benar-benar akan mati." "Sudahlah. Jangan pikirkan itu lagi. Sembuhkan dulu dirimu, barulah kau bisa mengusun rencana untuk bisa mendapatkan barang itu lagi. "Tapi, saat itu tiba, aku takut semuanya telah terlambat, Guru," kata Song Nam. "Aku takut wanita itu tak bisa menjaga mutiara rubah dan memberikannya kepada siluman lain." "Itu tidak mungkin!" bantah Jeong Guk. Hatinya masih saja menolak untuk mengakui kalau Se Hwa telah mengkhianatinya. "Kenapa kau begitu percaya kepada jalang itu!" Song Nam marah, lalu meninggalkan tempat itu. "Sudah kukatakan untuk tak pernah jatuh cinta dengan manusia, tapi kau melanggarnya. Sekarang lihatlah apa yang terjadi." "Aku ...." "Kurasa kau sudah membaik. Aku harus pergi ke daerah selatan untuk menyebarkan ajaran Tao, jadi kemungkinan aku tak akan kembali. Kau jagalah dirimu dengan baik." "Guru .... ijinkan aku ikut denganmu," pinta Jeong Guk, tapi Guru Tao hanya tersenyum. "Takdirmu dengan perempuan itu harus kau selesaikan." "Maksudmu, Guru?" "Cepatlah sembuh, ya. Aku akan turun gunung untuk beberapa hari. Jadi, berusahalah untuk mengurus keperluanmu sendiri. Kau sudah bisa bergerak, kan?" Jeong Guk terpaksa mengangguk. Bagaimanapun dia tak ingin jadi penghambat untuk cita-cita mulia sang guru. Setelah bercakap sebentar dengan Jeong Guk, Pendeta Tao itu pun pergi meninggalkan tempat itu. Sesaat dia berdiri sambil menatap hamparan luas Joseon dari puncak bukit. Aura gelap menyelubungi sekitaran lembah sungai Tuman. Guru itu menghela napas. "Sejarah tak akan bisa dirubah, meski wanita itu mencobanya. Aku hanya bisa berharap, kalian bisa mengungkap kebenaran sehingga dendam di antara kalian tidak perlu kalian bawa sampai ke masa depan," ucap Pendeta Tao itu, lalu meninggalkan gunung rubah. *** Jeong Guk masih memaku diri duduk di atas batu di tepian sungai. Bayangan betapa mesranya dia dan Se Hwa kala itu terus memutar di kepalanya. Senyum sang pujaan hati mendadak seperti sembilu yang mengiris-iris dan menyayat-nyayat hatinya. Desahan kenikmatan Se Hwa pun terus terngiang-ngiang di telinganya. Tutur lembut wanita itu, juga sikap manjanya. Mengingat semua itu hampir membuat Jeong Guk menjadi gila. Setelah hampir dua minggu berlalu, akhirnya Jeong Guk sudah bisa berjalan lagi. Luka di perutnya masih sangat mengganggu. Beruntung ketika itu, Se Hwa tidak memanah jantungnya. Jika Se Hwa melakukan itu, dia pasti mati. Se Hwa benar-benar merencanakan semuanya dengan sangat baik, bahkan dia rela menjadikan ayahnya umpan untuk memimpin pasukan dan menyerang di garda depan. Wanita itu sungguh licik. Itulah yang dipikirkan Jeong Guk saat ini. Semak-semak di seberang sungai bergerak-gerak. Ada sesuatu yang mencoba keluar dari sana. Tiba-tiba seekor anjing kecil menyembulkan kepalanya. "Anjing kecil, apa yang kau lakukan di sana?" "Guk!" jawab anjing itu. Jeong Guk pun tersenyum. Dia mendekat dan mengambil anak anjing itu. "Hei, kau terluka? Apa manusia-manusia jahat itu melukaimu?" "Guk!" kata si anjing. Jeong Guk pun membawa anjing itu ke puncak gunung untuk diobati. Dia tengah meramu bahan obat untuk menutup luka di tubuh si anjing ketika matanya menangkap asap tebal yang membubung tinggi dari arah desa. Dia terkesiap. Asap itu bukan asap tanda bahaya, melainkan asap kebakaran. Kebakaran yang sangat besar. Jeong Guk segera menempelkan ramuan obatnya ke tubuh si anjing. "Kau diamlah di sini, ya. Kau pasti akan sembuh. Jangan nakal-nakal." "Guk! Guk!" jawab anjing itu. Jeong Guk mengusap kepala si anjing, lalu melesat turun menuju lembah sungai Tuman. Dia melompat dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Sesekali Jeong Guk mengerang menahan sakit di bagian perutnya. Makin dekat dengan desa, aroma benda-benda yang terbakar dan teriakan histeris orang-orang kian terdengar. "Sial!" Jeong Guk merutuki dirinya. Sampai di sana, alangkah terkejutnya pria itu ketika mendapati prajurit istana tengah memorak-porandakan desa. Mayat-mayat penduduk bergelimpangan. Rumah-rumah terbakar menjadi abu. Jeong Guk menjerit hiteris. Dia langsung melompat dari atas pohon dan melawan prajurit itu di tengah serangan panah api yang terus datang seperti hujan. Perlawanan Jeong Guk dan penduduk terasa sia-sia. Pasukan istana yang datang sangat banyak. Meski dia bisa membunuh beberapa, tapi seakan-akan pasukan itu tiada habisnya. Mereka datang dan datang lagi. Jeong Guk kelelahan. Napasnya tersengal. Lukanya yang baru saja mengering kembali berdarah. Selain darahnya, darah prajurit yang dia bunuh pun melumuri badannya. "Jeong Guk ...." Seseorang memanggilnya dengan suara napas yang berat. Dia menoleh, lalu mendapati Song Nam yang mengerang dengan anak panah menancap di dadanya. "Song Nam!" Jeong Guk berlari ke arah gadis itu. "Jeong Guk ...." Gadis itu tersenyum. "Pergi ... pergilah ... kau tak akan selamat jika tet ... tap di sini." Napas gadis itu makin terputus. Jeong Guk hanya bisa diam. Dia tau gadis itu tak bisa tertolong. "Aku tak akan pergi. Aku akan mati bersama kalian," kata rubah itu. Song Nam tersenyum. Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Jeong Guk. "Jeong ... Guk ... aku men-cinta-i-mu," kata gadis itu sebelum tangannya terkulai karena nyawanya keluar dari raga. "Song Nam!" Jeong Guk histeris. Dia makin marah. Matanya menatap merah, kuku-kuku tangannya memanjang. Dia meletakkan jasad Song Nam ke tanah, lalu melesat melawan para prajurit dengan membabi buta. Teriakan prajurit yang merrgang nyawa berbaur dengan jeritan-jeritan penduduk yang terluka. Semuanya seakan-akan mati sia-sia. Penduduk desa hanya tersisa beberapa orang. Mayat wanita, anak-anak, dan orang tua bergelimpangan. Bahkan ada beberapa yang mulai terlalap api yang menghanguskan setiap rumah. Dia tak bisa menyelamatkan siapa pun. Kenyataan itu membuat Jeong Guk makin marah, terutama kepada dirinya sendiri. Ketika dia tengah kalap, seseorang memanggil namanya membuat Jeong Guk menoleh. "Jeong Guk, lama tak bertemu, bagaimana kabarmu tanpa mutiara rubah itu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD