Part 50

1116 Words
"Aku akan mencari informasi soal prajurit itu." Min Ju menghela napas. Pria semalam rupanya tak tahu apa-apa. Meski dia sudah berupaya keras mengorek semua keterangan, tapi info yang di dapat hanya berakhir pada kata Park Yuk Min. Pria itu bilang, kantor penerimaan memberikan semua hadiah itu kepada Park Yuk Min. Sialnya, yang diterima Park Yuk Min bukan hanya barang-barang untuk sekertaris Kim, tapi juga untuk keluarga kerajaan dan bangsawan yang lain, jadi tak ada yang tahu racun itu dikirim ke bangsawan yang mana. Selain itu, racun itu di sana jelas tak terdaftar sebagai racun. Menurut catatan yang diterima Park Yuk Min hanya gelas keramik, cream kecantikan yang sepertinya digunakan untuk ratu, kain sutra, rempah-rempah, tusuk konde mutiara, dan benda-benda lain yang tak mencurigakan sama sekali. Pencarian keduanya seakan-akan hanya pekerjaan sia-sia belaka. Pelaku sangat marih memutus semua jalur penyelidikan. Se Hwa dan Min Ju sama-sama diam terjebak dalam pikiran masing-masing. Sesaat kemudian, Min Ju bangkit dari duduknya. "Sebaiknya aku pergi sekarang," ucap pria itu. Se Hwa pun mengangguk. Dia pun ingin melanjutkan pencariannya. Setelah menjadi selir pangeran, Se Hwa sudah tak menjabat sebagai jendral lagi. Kedudukannya bisa dibilang mengalami peningkatan, tapi itu juga mempengaruhi geraknya. Ke manapun dia selalu diiringi oleh dayang dan penjaga. Rasanya geraknya begitu terbatas. Dia tak bisa terus menerus mengandalkan Seo Yeon karena kemampuan mengubah wujud wanita itu pun tak bertahan lama. Selain itu, wanita itu akan membutuhkan air dalam jangka waktu tertentu. Jadi, menggunakannya terus-menerus sama saja dengan membahayakan nyawanya. Hari ini Se Hwa bahkan belum melihatnya. Mungkin semalam dia bercinta sampai kelelahan, pikir Se Hwa. Karena Min Ju sudah pergi menyelidiki prajurit itu, Se Hwa memutuskan untuk pergi ke biro perjalanan. Dia harus mencari tahu ke mana Yuk Min pergi. Se Hwa mengayun langkah menuju biro perjalanan, tapi di tengah perjalanan dia bertemu dengan pangeran yang akan ke tempatnya. Se Hwa memberi hormat. "Kau mau ke mana?" tanya pangeran. Dahinya berkerut bingung. "Aku, aku hanya ingin jalan-jalan, Yang Mulia." "Bagaimana bisa kau jalan-jalan saat semalam kau mengeluh sakit. Kau harus kembali ke kamarmu, tabib akan memeriksamu lagi." "Sakit?" batin Se Hwa. "Jadi Seo Yeon sakit?" "Se Hwa, kenapa diam, ayo, kita kembali ke kamar." Pangeran menggandeng tangan istrinya, tapi Se Hwa enggan untuk melangkahkan kakinya. Wanita itu tersenyum manis. "Lihatlah, aku sudah sembuh. Aku sudah berdandan secantik ini dan kau bilang aku sakit?" Se Hwa mendekatkan wajahnya. "Aku hanya sedikit kelelahan karena melayanimu," bisiknya manja. Pangeran terbatuk-batuk. Dia menatap Se Hwa tajam. "Perempuan nakal," balasnya, lalu mereka tertawa. "Katakan, kau mau jalan-jalan ke mana? Biar kutemani." Se Hwa tak bisa menjawab. Menolak pangeran bukan hal yang pantas. Dia pun memikirkan apa yang akan diucapkannya. "Aku ... aku ingin bertemu Park Yuk Min. Ada barang yang ingin aku minta darinya." Pangeran mengerutkan dahi. "Barang? Apa kau belum tahu kalau Park Yuk Min sudah tidak tinggal di istana? Jika kau butuh sesuatu, kau bisa meminta kepada Huang Su, petugas yang baru." "Oh, ya? Benarkah?" Se Hwa berpura-pura murung. "Mungkin karena kecelakaan itu, aku jadi melupakan banyak hal." "Iya, kau pun dulu melupakanku. Jadi wajar jika kau lupa telah mengantar Park Yuk Min ke mana." "Maksudmu? Aku yang mengantarnya?" Pangeran mengangguk. "Waktu itu kau menerima misi khusus untuk mengantar Park Yuk Min." "Misi khusus?" Se Hwa makin bingung. Airin di dalam diri perempuan itu mulai berpikir hal lain. Dia mempertanyakan bagaimana sejatinya Se Hwa di masa lalu, jangan-jangan perempuan itu terlibat dalam konspirasi besar itu. "Se Hwa, Se Hwa ...." "Ah, i-iya ...." Wanita itu gugup. "Aku-aku sedikit pusing." Dia berkilah. Pangeran tersenyum. "Ayo, sebaiknya kita kembali ke kamar dan beristirahat." Kali ini Se Hwa tak dapat mengelak lagi. Dia terpaksa mengikuti pria itu. Dalam hati Se Hwa terus berpikir bagaimana cara menyembunyikan kehamilannya jika tabib memeriksanya. Namun, sesaat dia ingat kalau sang ibu telah menyiapkan tabib untuknya. Ya, tabib yang akan selalu menjaga rahasianya dan mengungkap kehamilannya di waktu yang tepat. "Yang Mulia," panggil wanita itu. San menoleh. "Ada apa?" "Itu ... aku ingin ke tempat lain. Maukah kau membawaku ke sana?" Pangeran mengerutkan dahi. "Katakan kau mau ke mana?" "Aku ingin ke ...." "Ke mana?" Pangeran sedikit bingung. Lalu, pengawalnya kepercayaannya mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya. Barulah pangeran tertawa. "Siapkan kudaku sekarang," perintahnya kepada pengawalnya itu. Tak berapa lama, Se Hwa dan San telah ada di atas pelana kuda. Dia memerintahkan kepada pengawalnya untuk tak usah mengikuti mereka. Kuda melaju membawa pasangan itu menyusuri perbukitan di luar gerbang barat istana itu. Kuda itu melaju sedang. Sampai di taman sakura kuda itu berhenti. Pangeran pun mengajak Se Hwa untuk naik ke bangunan mewah di tempat itu. Sebuah tempat berteduh yang sangat sejuk. Itu tempat kesukaan San karena sejak dulu ibunya selalu mengajak dia ke sana. Tempatnya tinggi membuat tempat itu begitu indah, terutama ketika senja tiba. Hamparan pohon sakura di bawah sana memberi ketenangan bagi siapa pun yang memandangnya. Ketika bunga-bunga sakura mekar dan berguguran, tempat itu menjadi tempat yang paling romantis. Se Hwa berdiri di pinggir banggunan, menatap rona yang muncul di langit. Sepertinya sebentar lagi senja akan tiba. Dia terkenang bagaimana dirinya menghabiskan senja di puncak gunung rubah. Bagaimana situasi gunung itu sekarang? Pikiran Se Hwa berkelana. Sejenak dia lupa kalau sekarang dirinya tengah bersama sang pangeran. Kesadarannya kembali setelah San memeluknya dari belakang. "Kau suka?" bisik pria itu. Se Hwa mengangguk dan mengulas senyum, sementara dalam hati dia menangis perih. Lelaki yang bersamanya kini bukan lelaki yang dia harapkan. "Aku belum bertanya hal penting kepadamu." Se Hwa menoleh dan menatap pangeran. "Apa?" "Terima kasih telah menjadi istriku," kata pangeran San. "Aku terlambat memberimu hadiah. Katakan kepadaku hadiah apa yang kau inginkan?" "Kau akan memberikan apa pun yang aku minta?" tanya Se Hwa. Mungkin inilah kesempatannya. Namun, dia kembali mengurungkan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Dia masih belum berani melakukannya karena tak ingin pangeran curiga. "Katakan, apa pun itu akan aku kabulkan." "Kau bukan dewa yang bisa mengabulkan segalanya." Se Hwa bergumam, lalu kembali menghadap ke hamparan sakura. "Tapi aku penguasa yang bisa melakukan apa pun untukmu." "Baiklah, jika kau memaksa. Aku tak akan memintamu melakukan hal yang sulit. Aku hanya ingin kau menjawab satu pertanyaanku." Pangeran mengerutkan dahi. Sedikit bimbang dan merasa terjebak dengan perkataannya sendiri, pangeran pun mengangguk dengan pelan. "Kau tak usah memasang wajah jelek seperti itu." Se Hwa berusaha melunturkan suasana tegang yang tiba-tiba saja tercipta. "Jangan menggodaku. Aku tau aku sangat tampan." "Baiklah, Tuan Tampan. Aku hanya ingin bertanya tentang ayahku. Katakan kepadaku, apa benar Jeong Guk yang membunuh ayahku? Kau-lah satu-satunya saksi yang masih hidup dari peristiwa malam itu. Jadi, aku hanya bisa bertanya kepadamu tentang ini. Apa benar Jeong Guk yang membunuh ayahku?" Pangeran terdiam. Untuk beberapa saat tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Setelah itu barulah dia membuka suara. "Aku ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD