Part 56

1075 Words
Se Hwa menggeliat dari tidurnya. Matarahi membangunkannya dengan hati-hati. Dia menguap, lalu mencari keberadaan Jeong Guk. Tak ada siapa pun di sana. "Apa yang terjadi? Apa semalam aku bermimpi?" Se Hwa meraba bibirnya. Masih bisa dia rasakan bagaimana Jeong Guk menyesap bibirnya semalam. "Aku mungkin sudah gila." Wanita itu kembali bergumam. Namun, ketika dia menyadari sesuatu pada area kewanitaannya, kembali dia mematung. "Apa aku benar-benar mimpi basah?" Daerah sensitifnya terasa lengket. Itu membuatnya sedikit tidak nyaman. Namun, segera dia berdiri dan memperhatikan sekitar. "Rasanya kemarin aku tak tertidur di tempat ini. Apa Jeong Guk benar-benar menolongku?" Se Hwa terus bergumam, lalu dia memutuskan untuk keluar dari gubuk itu. "Owh, kau sudah bangun?" Seorang ibu menyapanya ketika dia membuka pintu. Senyum hangat tersemat di wajah cantiknya. "Maaf, apa ini rumahmu?" Se Hwa bertanya ragu. "Iya, kemarin suamiku menemukanmu tergeletak di dekat jurang, jadi dia membawamu kemari. Apa kau sedang sakit? Kau punya masalah?" Se Hwa menggeleng. "Aku hanya ingin sendiri." Wanita itu mengajak Se Hwa duduk di sebuah dipan bambu di halaman rumah itu. "Semua orang pasti punya masalah dalam hidup. Tak apa-apa jika kau sejenak ingin menyendiri, tapi jangan pernah lari. Selesaikan semuanya dengan berani." Se Hwa mendengarkan petuah wanita itu. "Iya, Nyonya," jawabnya. "Jika kau belum siap menghadapi masalahmu, kau boleh diam di sini berapa lama pun kau mau. Tapi, setelah kau cukup tenang, kau harus pulang." Se Hwa mengangguk. Saat itulah ringkik kuda terdengar di kejauhan. Se Hwa dan wanita itu berdiri. Mereka pikir ada pasukan kerajaan yang datang ke sana. Tebakan mereka benar. Ketika dilihatnya orang-orang berpakaian prajurit datang, mereka pun berjalan mendekat. "Se Hwa ...." San turun dari kudanya. Dia datang didampingi oleh Min Ju dan beberapa prajurit pilihan. Pangeran pun memeluk Se Hwa. "Maafkan aku, aku sangar mengkhawatirkanmu. Kami sudah mencarimu dari kemarin." Se Hwa tak membalas pelukan itu. Dia hanya diam saja. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. "Kau baik-baik saja, kan?" San mengusap pipi istrinya, tapi Se Hwa menatapnya dingin. Pria itu masih mempertahankan senyumnya meski dia tahu Se Hwa membencinya. "Se Hwa, kita pulang sekarang, ya." Se Hwa masih terdiam. Dia melirik Min Ju. Pria itu pun mengangguk. Barulah setelah itu Se Hwa mau mengikuti keinginan San. Sebelum kembali ke istana, Se Hwa berpamitan kepada tuan rumah. Dia memberikan hadiah berupa gelang yang dia pakai sebagai ucapan terima kasih, tapi wanita pemilik gubuk itu tak mau menerimanya. Rombongan raja pun kembali ke istana. Wanita pemilik rumah itu menatap kepergian mereka. "Karena Jeong Guk telah melanggar janjinya, kau pun harus menerima ibasnya. Kau akan menerima hukuman yang sama seperti yang diterima Jeong Guk. Buktikan bahwa cinta kalian mampu menggetarkan langit, maka hukuman itu akan dicabut dan kalian akan direstui langit," ucapnya sebelum berubah menjadi kucing putih. Dia pun melompat ke dalam hutan dan menghilang. Gubuk itu kembali berubah menjadi gubuk reot dan terbengkalai. Se Hwa berada dalam kuda yang sama dengan San. Dia hanya diam saja, begitupun juga pangeran. Mereka menempuh perjalanan hampir setengah hari lamanya. "Kau lapar?" Pangeran bertanya lembut. Se Hwa hanya menggeleng. Pria itu pun kembali diam. Sampai di istana, Se Hwa langsung menuju kediamannya. Sementara pangeran mematung menatapnya pergi. Min Ju menyaksikan kejadian itu dengan tatapn kelu. Entah apa yang harus dia lakukan. "Min Ju, tolong kau jaga Se Hwa. Untuk sementara waktu aku tak akan menemuinya." Min Ju mengangguk, lalu pergi ke kediaman selih Hwang Se Hwa. Di sana dia berjaga sepanjang hari. Se Hwa menyandarkan punggungnya di pinggiran tempat permandian. Matanya terpejam. Sesaat yang lalu dia menanggalkan seluruh pakaiannya dan cukup terkejut mendapati kismark di beberapa bagian tubuhnya. "Apa yang terjadi?" Untuk kesekian kalinya dia bergumam. "Jika yang aku alami hanya mimpi, bagaimana mungkin tanda ini memenuhi tubuhku? Apa Jeong Guk ...." Se Hwa menangis. "Aku hanya berharap kau kembali, Jeong Guk. Bawa aku pergi dari istana ini." Se Hwa menangis dalam diam. Yang dia rasa hanya sesak yang terus menerus mengoyak hatinya. Setelah hampir dua jam dia berendam, dia pun keluar dari kolam pribadinya. Dia menemukan Min Ju berjaga di depan kamarnya. "Kau di sini?" Min Ju mengangguk. "Yang Mulia ingin aku jadi pengawal pribadimu." Kali ini Se Hwa yang mengangguk. "Malam nanti, tolong bawa aku ketempat di mana aku mengalami kecelakaan." "Tapi ...." Se Hwa segera meminta dayangnya menutup pintu setelah dia masuk ke kamar. Dibantu para dayangnya, Se Hwa mengganti pakaian, lalu duduk di belakang meja dengan kertas-kertas di depannya. "Kelak, jika aku kembali ke duniaku dan kau dibebaskan dari lukisan itu, aku ingin menitipkan ini untukmu, Jeong Guk." Wanita itu pun mulai menulis kata demi kata. Dia ingin membuat sebuah diary seperti kebiasaannya di Seoul. Mungkin suatu saat diary itu akan berguna dsn mampu mengungkap kebenaran yanh tengah dia selidiki juga. Semua kejadian sejak dia masuk ke istana di tulis kata demi kata. Setelah lelah, barulah Se Hwa memutuskan untuk tidur sejenak sebab malam nanti dia punya janji penting. Gelap telah menyelimuti Joseon kembali. Se Hwa dan Min Ju menyusuri jalan setapak menuju kediaman Hwang. Demi kecepatan langkahnya, Se Hwa memilih mengenakan pakaian pria. "Jadi, aku celaka di rumahku sendiri?" Min Ju menggeleng. "Tepatnya di belakang rumahmu. Kenapa kau tiba-tiba ingin ke situ?" "Ada yang aku pikirkan terkait kasus itu. Entah kenapa aku mulai berpikir, hilangnya Park Yuk Min sama dengan rencana untuk melenyapkanku karena akulah saksi satu-satunya yang tersisa." Min Ju diam. Dia mencoba keterkaitan itu hingga mencapai kesimpulan yang sama dengan Se Hwa. Setidaknya, sedikit analisa wanita itu bisa dia pikirkan dan telaah lagi. "Kita sudah sampai." Min Ju menghentikan langkah. "Kau yakin bisa mengingat kejadian waktu itu jika tetap berdiri di sini?" "Aku tak tau, tapi aku harus mencobanya." Se Hwa terdiam. Tak jauh dari halaman belakang rumahnya, Se Hwa menemukan sebuah bangunan kosong. Ada undak-undakan di sana. Se Hwa menyentuh undakan itu sambil berharap bisa mengingat apa yang telah terjadi sebenarnya. Namun, beberapa lama pun dia memeriksa, dia tak menemukan petunjuk apa pun. Se Hwa hampir menjadi frustasi. "Min Ju, apa kau menemukan sesuatu?" tanyanya, tapi tak ada suara yang menjawabnya. "Min Ju, Min Ju ...." Se Hwa memanggil, tapi keadaan masih terlalu hening. Dia pun mencoba mencari pria itu. "Min Ju ...," panggilnya, lalu menoleh ketika dia merasakan ada seseorang di belakangnya. Dia terkejut, tapi terlmbat untuk melakukan perlawan. Gagang pedang yang terbuat dari kayu menghantam tengkuk lehernya, lalu dia tumbang seketika. "Harusnya, kau hidup tenang di istana dan jangan berusaha menjadi pahlawan. Lagipula kau bukan lagi seorang jendral," kata orang itu, lalu menggendong tubuh wanita itu dan pergi dari sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD