Jeong Guk terus menyesap bibir Se Hwa dengan lembut dan dalam. Setitik air mata jatuh membasahi wajah Se Hwa dan dia membiarkannya begitu saja. Sama seperti Se Hwa, dia pun sangat merindukan wanita itu. Terkurung dalam lukisan serta mendengar jeritan hati wanitanya hanpir membuatnya gila.
Petir menggelegar ketika Jeong Guk mulai menangis. Hujan pun turun dengan deras. Orang bilang, hujan akan turun ketika rubah sedang menangis dan seperti menjadi kenyataan, hujan benar-benar turun.
Se Hwa merasakan ada seseorang yang mencumbunya, perlahan dia membuka mata, lalu tatapannya terkunci pada wajah tampan yang menikmati bibirnya dengan begitu indah. Rasa lembut, manis, menguar bersama kerinduan yang begitu dalam tercipta dari setiap sentuhan Jeong Guk. Wangi buah peach memenuhi ruangan itu.
Perlahan Se Hwa pun menutup mata kembali, lalu mulai mengimbangi permainan pria itu. Jeong Guk terkejut. Dia membuka mata, lalu menarik ciumannya. Kini keduanya saling tatap dengan perasaan tak menentu berkecambuk dalam diri mereka.
"Kau bangun? Maafkan aku, karenaku kau terjaga."
Se Hwa membalas ucapan Jeong Guk dengan senyuman. Dia meraba wajah Jeong Guk yang begitu dia rindukan. "Kau di sini? Ke mana saja kau selama ini? Apa kau begitu marah sampai kau biarkan aku sendirian?" Se Hwa menangis.
Jeong Guk menatap kelu. Hatinya tersayat-sayat. "Se Hwa ...."
"Maafkan aku ... lebih baik kau bunuh saja aku daripada kau menghilang. Aku tak tau harus mencarimu ke mana. Setiap hari aku hanya bicara pada ruang kosong. Aku takut, aku sendirian, aku bingung." Luapan emosi dalam dirinya membuat Se Hwa suara Se Hwa bergetar. Bibirnya bahkan tampak gemetar ketika dia mengungkap kata demi kata.
"Jeong Guk, aku ... aku hamil. Apa kau tau itu?"
Jeong Guk mengangguk. "Nenek Samin memberitahukan segalanya," jawab pria itu lembut, sembari mencium kening kekasihnya. "Terima kasih sudah menjaga bayi kita."
Tangisan Se Hwa makin menjadi. Dia sesenggukan di dalam pelukan pria itu. "Jangan pergi ... aku takut," lirihnya.
Jeong Guk tak bisa menjawab. Dia mengusap punggung kekasihnya mencoba memberinya ketenangan. Sesaat setelah tangisan wanita itu mereda, mereka saling memandang dengan letupan kerinduan yang dalam menari di mata mereka.
Se Hwa mendekatkan wajahnya, lalu mencium bibir wanita itu. Keduanya pun terlibat dalam lumatan-lumatan intesn yang memabukkan. Se Hwa mengerang membiarkan sensasi nikmat yang dia rindukan menguasai dirinya.
"Jeong Guk ...," desahnya bersama erangan yang keluar dari bibirnya yang masih berada dalam kuasa Jeong Guk.
Sesaat Jeong Guk melepaskan ciumannya. Dia tersenyum, lalu mencium kekasihnya kembali. Namun, kali ini diikuti serangan-serangan lain yang membangkitkan gairah mereka berdua.
Tak berapa lama pakaian mereka sudah berserakan di sekitar mereka. Jeong Guk menikmati setiap jengkal tubuh wanita yang mengerang di bawahnya.
"Dadamu makin padat dan berisi," bisik pria itu membuat Se Hwa merona malu.
"Itu karena kau menitipkan janin di rahimku, jadi aku harus memproduksi makanan untuk mereka. Bukan untukmu, Jeong Guk."
Jeong Guk tertawa pelan. Tangannya terus bermain menikmati betapa kenyal dan menggodanya dua benda itu. Lalu, dia mulai bermain dengan bibirnya membuat Se Hwa menggila dengan sensasi rasa yang Jeong Guk berikan. Suara desahan menggila dan liar menyatu dengan senandung hujan yang mengguyur Joseon.
Semua orang enggan keluar karena hujan yang deras dan dingin. Sementara di dalam gubuk reot itu, Se Hwa dan Jeong Guk memilih menghangatkan badan dengan caranya.
Se Hwa mengerang frustasi saat Jeonv Guk melemparnya ke kenikmatan dunia. Seperti gelombang air laut, rasa itu terkadang menghentak dalam dan kuat, lalu berubah tempo setenang danau, sebelum gelombang pasang kembali menerjang. Se Hwa hampir menjadi gila. Jeong Guk tak pernah gagal membiatnya frustasi dan menjerit gila menginginkan kenikmatan yang lebih dan lebih lagi.
Napas keduanya memburu, keringat membanjiri meski hawa sejatinya cukup dingin dan menusuk. Sementara Se Hwa masih tenggelam dalam bulir-bulir kenikmatan yang membawanya terbang mencapai puncak rasa yang tak dapat dia ungkapkan.
Entah berapa lama mereka bergumul untuk saling melepas rindu. Keduanya pun mengakhiri permainan panas itu dengan ciuman hangat yang menunjukkan kalau keduanya sama-sama mencapai tingkat kepuasan yang sama. Lalu, Se Hwa memejamkan mata dalam dekapan hangat Jeong Guk.
"Jeong, apa sekarang kita ada di gunung rubah? Tadi aku hanya berjalan tanpa tau arah," ucap wanita itu.
"Tidak," Jeong Guk menjawab sedikit bergumam. "Aku tak bisa membawamu dan meninggalkanmu di sana sendirian."
"Lalu, kau memilih membiarkanku terjebak dengan San?"
Jeong Guk terdiam. Anggap saja sekarang dia bisa bebas karena merasakan energi mutiara rubah dalam diri Se Hwa, tapi dia tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Kupu-kupu itu, Nenek Samin, Nenek penjaga kahyangan dan pemberi kehidupan, akan murka dan menghukumnya karena melanggar janji.
Sebelum nenek membawanya mengunjungi Se Hwa, nenek sudah memintanya berjanji bahwa dia tak akan menyentuh wanita itu. Dia hanya boleh menemani dan menjaganya selama Se Hwa terjebak dalam duka dan menjadi begitu lemah. Dia hanya bisa menjaga agar Se Hwa tak mengakhiri hidupnya karena itu akan berakibat fatal baginya. Tugas wanit itu di Joseon belum selesai.
Namun, melihat betapa rapuhnya Se Hwa membuat Jeong Guk tak bisa menahan diri untuk menyentuhnya, lalu dia terjebak dalam letupan gairah asmara yang membuatnya tak bisa berhenti untuk menghentak tubuh wanita itu dengan kenikmatan yang menggila.
"Jeong, kenapa kau diam saja?" Se Hwa mendongak.
Jeong Guk tersenyum, lalu mencium kening wanitanya. "Ada Seo Yeon yang menemanimu. Bukankah ada hal penting yang harus kau urus di istana. Kau ingat?"
Sesaat Se Hwa terdiam. "Tapi, aku ingin bersamamu, Jeong Guk."
"Itulah kenapa kau harus kembali ke istana. Kau harus menyelesikan tugasmu dan kembali ke duniamu untuk membebaskanku dari lukisan, sebab di situlah aku akan menunggumu."
"Tapi ... bukankah kau sudah bebas?"
Jeong Guk menggeleng. "Sudah, ayo, kita tidur. Jangan berpikir hal yang tidak-tidak. Beristirahatalah karena kau sangat kelelahan."
Se Hwa pun menyerah untuk bertanya, dia memejamkan mata dan terlelap. Sementara Jeong Guk masih mengusap rambut wanita itu dengan sangat lembut dan menenangkan.
"Aku harap kau tak akan pernah melupakanku, Se Hwa. Jangan meski Nenek Samin mencabut semua ingatan itu darimu," bisik Jeong Guk ketika Se Hwa sudah terlelap dalam tidurnya yang dalam.
Detik demi detik berlalu, malam telah mengemas dirinya bersiap untuk pergi. Sepanjang waktu berlalu, Jeong Guk tak bisa menutup matanya. Yang dia lakukan saat ini hanya menatap Se Hwa yang terlelap. Perlahan tangan yang mengelus rambut kekasihnya itu memudar, dia kembali menjadi wujud asap. Itulah tanda baginya untuk kembali ke tempatnya sekarang.
Jeong Guk tak ingin pergi. Dia kembali mendekatkan dirinya ke bibir Se Hwa untuk menarik energi mutiara rubah, tapi justru terjadi hal lain yang mengerikan.
Se Hwa mengerang kesakitan. Serasa ada sesuatu yang menarik seluruh organ dalam tubuhnya. Wanita itu sesak napas. Tidurnya begitu gelisah, lalu cairan kental berwarna merah keluar dari bibirnya.
Jeong Guk terkesiap. Dia menjauhkan diri dari tubuh wanitanya. Se Hwa lunglai tak sadarkan diri.
"Se Hwa ... Se Hwa, buka matamu, Se Hwa ...," panggilnya sambil mencoba menyentuh wanita itu, tapi semuanya sia-sia. Dia telah menjadi bayangan seutuhnya. Jeong Guk sangat kebingungan.
Di saat itulah kupu-kupu kuning itu datang. Cahaya menyelubungi tubuh Se Hwa yang masih telanjang, lalu wanita itu telah kembali berpakaian lengkap, hal yang sama juga terjadi pada Jeong Guk.
Kupu-kupu itu pun mengambil wujud yang biasanya. Dia berdiri dengan wujud nenek-nenek membawa tongkat.
"Kau telah melanggar janjimu, Jeong Guk."
Jeong Guk berlutut dan meminta maaf, tapi semuanya sudah terlambat.
"Mulai sekarang, kau akan terkurung dalam lukisan itu dengan seluruh kebencian yang tertanam untuk wanita itu. Kau akan membencinya sepanjang hayatmu."
"Tidak, Nek, tidak ... jangan buat aku membencinya, tidak Nenek."
"Apa yang kalian lakukan malam ini akan hilang dari ingatan kalian, dan yang bisa kau ingat hanya dendammu atas kematian warga desa di sungai Tuman."
Jeong Guk pun pasrah. Dia tak bisa membantah lagi. Nenek Samin telah mengambil seluruh ingatan tentang cintanya terhadap Se Hwa. Lalu, mereka berdua berubah menjadi cahaya dan terbang meninggalkan gubuk itu.
"Kutukan hanya akan dibebaskan dengan perngorbanan dan cinta. Temukanlah cara untuk membebaskan kutukan kekasihmu, Hwang Se Hwa," ucap Nenek Samin kepada Se Hwa yang masih terlelap. Dia sudah sadar dari pingsannya, tapi Nenek Samin tetap membiarkannya tidur sampai pagi menjelang dan dia bersama Jeong Guk menghilang dari sana.