Suara dentang pedang yang beradu memekakan telinga orang-orang yang ada di camp pelatihan. Sang pangeran begitu ahli dalam permainan pedangnya. Geraknya terlihat ringan dan licah membelah udara dengan ujung pedang yang menyerang titik-titik vital lawan tarungnya. Sementara Airin dalam kegugupannya hanya mencoba untuk menghindari serangan sebisa mungkin. Bagaimanapun dia tak ingin mati konyol.
"Ada apa denganmu?! Lawan aku!" Pangeran berteriak.
Airin dengan serta merta melemparkan pedangnya, lalu besimpuh di hadapan pangeran. Dia mencakupkan tangan di depan d**a sembari menunduk memohon ampun.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba pantas mati, hamba pantas mati," kata gadis itu berulangkali.
Min Ju bergerak ingin mendekati gadis itu, tetapi pangeran merentangkan tangannya sehingga pedangnya menghalangi gerakan Min Ju.
"Jendral Hwang, meski kau hilang ingatan, itu tak akan mempengaruhi kemampuan tarungmu. Tubuhmu akan memberi respons yang sama seperti sebelum kau kehilangan ingatan. Angkat pedangmu atau aku akan membunuhmu!" Pangeran menggertak geram. Dia memang sudah sangat kesal melihat bagaimana Airin bertarung. Ketimbang disebut bertarung, Airin dari tadi hanya terlihat seperti sedang bermain-main.
"Ta-tapi ...."
"Angkat pedangmu!" Dengan tanpa menunggu jawaban balasan dari Airin, pangeran langsung menyerang gadis itu.
Airin terkesiap. Dia berguling ke arah di mana pedangnya tergeletak, mengambil pedang itu lalu menahan serangan sang pangeran. Pangeran tersenyum tipis. Dia kembali melancarkan semua serangan-serangannya seperti tadi. Namun, kali ini Airin bergerak lebih gesit. Tak hanya bertahan, dia mulai melakukan serangan balasan. Seolah-olah dia telah menjadi ahli pedang, Airin mengimbangi permainan pangeran dengan sangat luar biasa. Mungkin itu respons tubuhnya yang memang sudah memiliki keahlian itu sejak kecil.
Hampir dua jam mereka berlatih, peluh keduanya membanjir membasahi tubuh. Sesekali pangeran tampak kewalahan, tapi kemudian dia berhasil membalik keadaan dan membuat Airin terdesak. Gadis itu tak mau kalah. Dia kembali menyerang lawan hingga pangeran tersungkur dan pedang ujung pedang berakhir beberapa milimeter dari tenggorokannya. Airin memenangkan latihan pedang itu.
"Luar biasa sekali, Jendral." Airin memasukkan pedang kembali ke sarungnya, lalu mengulurkan tangan membantu pangeran untuk berdiri. Min Ju mendekati mereka, begitu juga beberapa pengawal pangeran. Setelahnya mereka memutuskan untuk duduk di ranjang dekat satu-satunya bangunan tradisional yang ada di sana. Airin melepas jubahnya. Jubah besi itu cukup membuatnya gerah.
"Bagaimana kondisimu?" Pangeran bertanya, sambil menyeka keringat dari wajahnya. Sekilas dia melirik gadis di sebelahnya.
"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja," kata Airin sedikit santai yang membuat beberapa orang di sana mengerutkan dahi. Pasalnya mereka hampir tak pernah melihat Hwang Se Hwa berbicara sesantai itu kepada pangeran.
Pangeran pun sejenak terdiam, tapi kemudian dia tersenyum. Entah kenapa dia merasa senang saat Se Hwa berbicara santai dengannya. "Malam ini aku ingin mengajakmu minum. Sudah lama kita tidak melakukannya."
Airin menatap sang pangeran. Dia tidak pernah kuat dengan minuman keras. Sedikit saja meminumnya dia akan langsung mabuk. "Apa mungkin tubuh gadis bernama Hwang Se Hwa ini lebih berdamai dengan minuman keras," pikirnya.
"I-itu ...."
"Hanya kita berdua," potong pangeran.
Airin menoleh ke arah Min Ju. Pria itu hanya mengangguk. Dengan terpaksa Airin pun ikut mengangguk menyanggupi ajakan pangeran. Akan tetapi, pikirannya mengingat salah satu film yang menyoroti peredaran minuman keras di salah satu masa di Joseon. Apakah tahun di mana dia berada saat ini, larangan minum itu sudah ditiadakan?
"Apa yang kau pikirkan?"
Pertanyaan pangeran mengagetkan Airin. Gadis itu menggeleng kecil. "Aku hanya memikirkan tentang perintah larangan yang dikeluarkan oleh raja. Apa di tahun ini larangan itu belum diterapkan?"
"Perintah larangan minum-minuman keras?" Kali ini pangeran dan yang lainnya yang mengerutkan dahi bingung. "Aku belum pernah mendengar larangan seperti itu. Apa itu perintah khusus?"
"Ah, bu-bukan." Airin tergugup. "Hanya saja tercatat dalam sejarah kalau pada era Joseon pernah terjadi pelarangan minum-minuman keras selama beberapa dekade."
Orang-orang yang ada di sana makin kebingungan. Mereka tak mengerti apa yang dikatakan Airin. Setelah menyadari kesalahannya berbicara, Airin pun tersenyum canggung.
"Sudah, abaikan saja. Anggap saja aku hanya sedang bermimpi dan mengigau tentang hal itu." Gadis itu bangkit dari tempat duduknya, lalu bersiap untuk pergi dari sana.
"Kau mau ke mana?" Pangeran turut berdiri.
"Aku merasa gerah dan ingin mandi, jadi aku harus pulang."
"Sejak kapan kau berpikir untuk mandi di rumah. Ayo, kita pergi ke tempat yang biasa."
"Ap-apa, tem-tempat biasa?" Airin kebingungan. Apa gadis bernama Hwang Se Hwa itu memang sudah sering mandi bersama para pria itu? Bagaimana jika penyamarannya sebagai lelaki ketahuan? Atau jangan-jangan mereka memang sudah tahu kalau Se Hwa sejatinya memang perempuan.
"Ayo, kenapa diam?" Pangeran mengagetkan Airin. Pria itu sudah ada di atas kuda bersiap memacu binatang kesayangannya itu. Airin tak bisa mengelak, dia pun berangkat bersama pangeran, diikuti oleh MinJu dan semua ajudan pangeran itu.
Rombongan itu bergerak menuju pegunungan di belakang camp. Di sana tempat permandian khusus milik kerajaan berada. Beberapa pelayan menyambut kedatangan mereka. Seperti biasa dengan gesit mereka menyiapkan segala keperluan mandi untuk pangeran dan para pengikutnya.
Airin hanya mematung di depan beberapa ruangan. Rupanya tempat permandian itu terpisah-pisah. Sekarang dia merasa aman karena akan mandi di ruangannya sendiri. Namun, tiba-tiba pangeran menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk ke satu ruangan.
"Aaa ... pangeran ...."
"Kenapa? Ada yang ingin aku bicarakan di dalam sana." Pangeran itu tak peduli saat melihat wajah Airin yang memucat.
Pangeran menutup pintu permandian itu. Air hangat alami tersedia di sana, mengalir dari mata air yang mengandung belerang di dekat sana. Permandian itu memiliki pemandangan yang terbuka. Bebatuan dari pegunungan membuatnya tersembunyi. Dari celah-celah bebatuan itulah air belerang mengalir.
Dengan tanpa ragu-ragu pangeran menanggalkan pakaiannya. Airin memalingkan wajah. Sedikit kebingungan, gadis itu hanya bisa menatapi pohon sakura yang sengaja di tanam di tepian kolam. Pohon itu dipenuhi daun berwarna hijau karena belum saatnya sakura mekar. Masih butuh waktu beberapa bulan lagi untuk melihat bunga itu menampakkan kecantikannya.
Sang pangeran sudah mencelupkan dirinya dan berendam di air hangat, Airin masih memaku diri enggan untuk bergerak. Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia bisa mandi dengan pria yang bahkan tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. Bagaimana jika pangeran menyuruhnya membuka semua pakaiannya dan hanya mengenakan celana seperti yang dilakukan pangeran. Airin bergidik membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia membalik badan bersiap untuk pergi, tetapi pangeran menoleh kepadanya dan mengehentikannya.
"Kau tak perlu menghindariku. Hanya aku yang bisa melindungi penyamaranmu. Memangnya kau mau mandi satu ruangan dengan para pria itu?"
Mendengar ucapan pangeran, Airin terdiam di tempat. Jadi, selama ini pangeran sudah tahu kalau dia perempuan. Gadis itu membalik badan pelan-pelan. Pangeran masih berendam sambil bersandar di dinding batu. Matanya terpejam. Airin menatap pria itu. Rambutnya yang basah menjatuhkan tetes-tetes air menyentuh wajahnya. Dia sungguh mempesona membuat jantung Airin berdegup lebih kencang.
Pangeran membuka mata sehingga tatapan keduanya bertemu. Airin tergugu. Pangeran tersenyum manis. "Jangan menatapku dengan penuh nafsu begitu. Kau bukan tipeku," kata pangeran, lalu membalik badan mengabaikan Airin.
"Eh, maksudmu apa? Aku tidak menarik? Aku tidak cantik?"
"Mana ada gadis cantik tepos begitu," kata pangeran sebelum menyelam ke air.
Airin menggeram. Dia masuk ke air dengan emosi. Dia meraih tubuh pangeran dan makin menyusupkannya ke air. Pangeran itu memberontak, lalu melakukan serangan balik. Tubuh keduanya bergulat di air saling menjatuhkan. Setelah beberapa menit berlalu keduanya pun kelelahan.
Mereka saling tatap dan tertawa bersama. Airin lupa kalau tubuhnya telah basah kuyup dan mereka berdua ada dalam satu tempat permandian.
"Apa ini yang selalu kalian lakukan, Pangeran?" Gadis itu bertanya sambil mengatur napas.
"Maksudmu?"
"Iya, yang kau lakukan dengan Se Hwa, apa selalu seperti ini?"
Pangeran semakin tak mengerti dengan pembicaraan Airin sebab yang bicara dengannya saat ini jelas-jelas Hwang Se Hwa.
"Ah, maafkan aku. Aku lupa ingatan. Kau ingat kata Min Ju, kan?" Airin berusaha mengalihkan kebingungan sang pangeran.
"Oh, iya. Aku melupakannya." Pangeran pun mengacak-acak rambutnya yang basah. "Apa kau tau hal apa lagi yang biasa kita berdua lakukan?"
"Apa?"
Pangeran memandang Airin tepat di manik matanya. Apa yang dilakukan pangeran sontak membuat Airin sedikit gelagapan. Belum lagi pangeran tiba-tiba mendekatinya. Airin yang gugup memundurkan langkah.
"Ap-apa yang, apa yang akan-akan kau lakukan, Pangeran?" Gadis itu kian gugup saat mata indah pangeran mengunci matanya. Dia menelan ludah kaku. Tubuhnya terus mundur hingga terbentur di dinding batu. Pangeran menyeringai makin merapatkan tubuhnya.
"Pa-pangeran, ja-jangan lakukan ini." Airin menunduk gugup, matanya memejam dengan rona merah di pipinya.
Pangeran menatap gemas gadis di depannya. Dia mendekatkan wajahnya sehingga hembusan napasnya dapat dirasakan oleh Airin. Gadis itu tak berkutik. Dengan senyuman jahil, pangeran mengangkat tangannya, lalu menjitak kening gadis itu. Airin tersentak kesakitan. Dia mengurut kepalanya.
"Bodoh! Kau pikir aku akan menciunmu? Dasar m***m!" Pangeran berteriak sambil berenang menjauh.
Airin mendengkus kesal. Padahal dia sudah menyiapkan hati untuk menerima ciuman pertamanya, tapi pangeran hanya menipunya. Sesaat dia merasa kesal, tapi kemudian tersenyum malu. Wajahnya kian memanas menahan rasa malu atas kelakuannya barusan. Pikirannya memang sempat berfantasi tentang apa yang akan terjadi selanjutnya antara dia dan pangeran. Airin pun hanya bisa tertawa sebelum menyusupkan dirinya ke dalam air.
Sementara itu, pangeran menatap Airin dengan gemas. Sudah lama dia menyukai gadis itu. Dia tahu kalau jendralnya seorang wanita saat mereka berdua memimpin penumpasan perampok yang bersembunyi di hutan sisi utara Hanyang, ibu kota kerajaan. Saat itu Airin terluka. Panah menancap di dadanya. Mereka yang saat itu belum terlalu berpengalaman di medan perang hampir saja kehilangan nyawa.
Ketika keduanya terdesak pangeran dan Se Hwa bersembunyi di dalam goa. Gadis itu tak sadarkan diri dan kehilangan banyak darah. Saat itulah pangeran mengetahui rahasia Hwang Se Hwa. Pangeran membuka baju Se Hwa dan menyadari kalau Se Hwa seorang gadis. Sejak saat itu pula pangeran berjanji dalam hatinya akan menjaga rahasia itu atau Hwang Se Hwa akan mendapatkan hukuman atas penyamarannya itu.