- 15 - [ Past ]

2132 Words
STORY 15 - Past *** Flashback – Drake “Maafkan Ibu, maafkan Ibumu yang tidak becus ini,” Malam itu, tepatnya pertengahan bulan Desember, hujan membasahi kota Jakarta selama satu hari penuh. Tiada henti memberi warna abu kelam di atas langit. Dihiasi dengan kilat petir tengah malam. Usia pemuda kecil itu baru menginjak enam tahun tepat sebelum semua sindrom yang menghantuinya hingga dewasa muncul. Sapuan rambut terasa lembut, wanita paruh baya di sampingnya pasti mengira bahwa Drake sudah tertidur lelap. Tapi dia salah, Drake masih terjaga. Ia bahkan bisa mendengar ucapan maaf sang Ibu meski hujan deras jatuh membasahi bumi. Kilat petir menambah kelam suasana ruang yang kini diterangi oleh lampu temaram saja. Lembut dan halus, Drake reflek berbalik, masih berbaring dan tidak membuka mata. Memeluk tubuh wanita yang kini sudah duduk di samping tempat tidur. Ia tersenyum senang, sosok polos itu mencium aroma Rose menyegarkan dari tubuh sang ibu. Mengira bahwa wanita itu tidak akan tahu akal kecil Drake. “Hm, ternyata superhero Ibu masih belum tidur,” ucap sosok itu lembut, menjawil hidung Drake pelan, dan terkekeh. Drake langsung mengerjap shock, “Ibu tahu aku masih belum tidur?” tanya pemuda kecil itu kaget. Wanita di dekatnya hanya tersenyum tipis. “Tentu saja. Ibu tahu semua gerak-gerik, kesukaan atau kebiasaan putra tampanku,” Mengalunkan banyak pujian. Senyuman lebar langsung tercetak di wajah Drake, Ia kembali berbaring dan kini memeluk erat perut sang ibu. “Ibu, tadi aku dengar sendiri dari ayah kalau di perut Ibu akan ada adik baru untukku ya?” tanya pemuda kecil itu polos, menengadahkan wajah, Drake mungkin mengira kalau pertanyaannya akan membuat sang ibu semakin tersenyum. Tapi dia salah, tubuh Drake membeku sesaat, “I-ibu,” Dia justru melihat jelas, ekspresi ketakutan di wajah wanita itu. “Ibu, kenapa?” tanya Drake lagi. Kali ini dia beranjak bangun. Reflek menepuk pipi sang ibu dengan tangan mungilnya, “Ibu!” Satu teriakan kecil itu sanggup membuat wanita di depannya kembali sadar. Manik yang biasa nampak teduh berubah menjadi ketakutan. Menatap Drake kembali, Candela berusaha tersenyum. Senyuman yang begitu rapuh, pelan tangan wanita itu menjangkau pipi Drake. “Maaf, Drake. Tidurlah kembali,” Seolah menghindari pertanyaan Drake. Sosok Candela beranjak dari tempat tidur, berniat meninggalkan sang putra kecil. Namun Drake merasa aneh, “Ibu, tunggu,” Drake justru beranjak dari tempat tidurnya, Ia berlari memeluk salah satu lengan wanita itu. “Ibu, kenapa tadi melamun? Apa aku ada salah bertanya ya? Ibu, jangan marah,” rengek Drake, menahan tangisannya. Sosok mungil itu begitu cengeng jika berada di dekat sang ibu. Wanita yang awalnya ingin menepis tangan Drake, tapi langsung Ia urungkan. Sosok Candela justru mensejajarkan tubuh dengan Drake. Memeluk tubuh mungil putranya, sangat erat. “Kau harus mengingat kalimat Ibu, Drake. Apapun yang terjadi, seperti apapun Ibu membentak, memarahi bahkan mendorongmu jatuh,” Isakan Candela semakin terdengar. “I-ibu, kenapa, huee jangan menangis,” Untuk yang pertama kalinya Ia mendengar suara tangisan sang ibu. Memeluk balik tubuh rapuh itu sekuat tenaga. “Ibu, akan selalu menyayangimu. Tolong ingat itu, Drake. Maafkan, Ibu, maaf,” Kalimat terakhir Candela terngiang jelas, dibarengi dengan kilat menyambar, tangisan dan isak terhapuskan oleh hujan deras. “Maafkan, Ibu.” Drake benar-benar tidak tahu bahwa malam itu akan menjadi hari terakhirnya melihat sosok sang ibu. Sosok lembut, dan begitu baik hati merawatnya. Siapa yang menyangka bahwa dalam hitungan hari, sikap Candela akan berubah seratus delapan puluh derajat. Entah karena apa. Tapi Drake mengingat jelas. Semua kalimat yang dikatakan oleh sang ibu. Membentak, memarahi, menatap penuh benci, bahkan mendorongnya jatuh. Semua perkataan wanita itu benar-benar terjadi. Di usianya yang keenam tahun. Seberapa besar kira-kira semua sikap ayah dan ibunya bagi Drake. Semua kebohongan itu tidak bisa Ia lihat. Bahkan saat sosok Candela mendorongnya hingga terluka. Tatapan penuh benci yang diberikan pada Drake. Hingga tangisan pemuda kecil itu menggema, memanggil nama sang ibu yang perlahan pergi meninggalkan rumah. Pelukan erat ayahnya menghalangi Drake untuk sekedar mengejar langkah wanita itu. Pelukan disertai ucapan penuh kebencian pada sang ibu. Pengkhianatan terbesar Candela pada Drake. “IBU!!! JANGAN TINGGALKAN AKU!! IBU!!” Flashback Off – Drake *** Manik Nora awalnya hanya sekedar menjelajahi kamar Drake saja, menggunakan penerangan seadanya. Mencari sosok tegap itu di tempat tidur. Tapi dia malah tidak menemukan Drake di sana. Napas sang Adela justru tercekat, menatap sudut ruangan. Hampir menjatuhkan lilin di tangannya. “Astaga!” Wanita itu bergegas masuk ke dalam kamar. Menghampiri sosok Drake yang kini malah meringkuk di sudut ruangan. Menekuk kedua lutut dan menyembunyikan wajahnya. Suara teriakan Nora seolah bagai angin lalu. Nora langsung saja menaruh lilin di meja kecil, menghampiri Drake. “Tuan Anderman, kenapa malah diam di sini?!” ujarnya sembari mengguncang tubuh Drake berulang kali. Satu guncangan keras tidak cukup membuat laki-laki itu bangun, “Ck, kau ini aneh sekali,” decak Nora lagi. Kali ini menggunakan salah satu tangannya, berusaha mengangkat wajah Drake. Panas menjalari telapak tangan Nora, tepat saat jemarinya menyentuh kening Drake, mengangkat wajah laki-laki itu pelan, “Merah sekali,” Bahkan dalam gelap pun Nora bisa melihat seperti apa merah dan panas wajah Drake sekarang. “Kau sakit, Tuan? Astaga, kenapa tiba-tiba seperti ini?!” ucap Nora panik, untung saja dia mengikuti instingnya tadi. Kalau tidak, bisa-bisa wanita itu tak tahu orang di sebelah kamarnya ini sakit. Drake sama sekali tidak menjawab, Ia sesekali mengerang. Tepat saat tangan Nora mengecek suhu kening dan menepuk kedua pipi Drake. Alis sang Adela kembali tertekuk heran, “Basah? Pipimu basah, Tuan?” Jemarinya kembali merasakan basah di sekitar pipi Drake. Bukan basah karena hujan melainkan air mata? Ha? “Kau menangis, Tuan Anderman?” tanya wanita itu shock. Tidak percaya tentu saja, sosok bertubuh tegap, dingin, dan sok kuat tadi tiba-tiba saja menangis. Tidak ada jawaban lagi, Nora berdecak kecil. “Ugh, aku harus membawamu ke tempat tidur dulu,” Ia berusaha untuk mengabaikan fakta Drake menangis terlebih dahulu. Suhu laki-laki ini sangat panas, astaga. Dia bahkan sudah tidak peduli lagi dengan s**u hangat yang perlahan dingin di luar kamar. “Ayo, bangunlah,” Menggunakan seluruh tenaganya, Nora sengaja bangkit dan hendak menyeret tubuh Drake dari belakang. Dia tidak menyangka kalau laki-laki itu akan bergerak, dan kali ini mengerang bak anak kecil. “Aku tidak mau,” Suara tipis itu bersuara dengan sedikit rengekan. “Ha?” Manik Nora kembali mengerjap bingung, ‘Apa aku salah dengar tadi?’ batin wanita itu polos. Mengabaikan suara Drake tadi, Ia kembali menguatkan kedua lengan Drake dan berusaha menyeret sang Anderman. “Astaga, kau berat sekali!” Tentu saja dengan berat Drake yang dua kali lipat lebih besar dari Nora akan menjadi masalah. Meski tenaga Nora bisa dikatakan bak gorilla, tapi tetap saja dia tidak akan bisa menggendong tubuh Drake bak putri cinderalla. “Setidaknya kau bisa bangun sendiri ‘kan-” Sebelum wanita itu selesai dengan kalimatnya. Nora benar-benar tidak mengira bahwa tindakan Drake selanjutnya justru membuatnya makin shock. “Aku bilang tidak mau! Pergi!” Drake mendorong cepat tubuh Nora menjauh darinya. Dalam posisi duduk, menggeleng berulang kali. “Pergilah!” Bagaikan anak kecil yang merengek dan keras kepala. Setrum di otak Nora mendadak konslet. Anak kecil? Hahaha, dia pasti salah mengira. ‘Khaha, mana mungkin, laki-laki dewasa seperti tadi berubah menjadi anak kecil,’ Tertawa dalam hati. Nora masih menolak percaya. Dalam posisi duduk menyender pada tempat tidur, Ia berusaha menilik sikap Drake lebih jauh. “Kau harus bangun, Tuan. Setidaknya berbaringlah, tubuhmu panas sekali.” ucap Nora pelan. Drake menggeleng, menekuk lutut dan semakin menyembunyikan wajahnya, “Tidak mau, kamar ini gelap sekali, aku tidak mau,” Jawaban terakhir Drake sukses menohok Nora lebih dalam. Wanita itu membeku. Dia tidak salah dengar. Perubahan suara Drake yang awalnya berat kini nampak terdengar ringan dan sedikit manja. Benar-benar seperti anak kecil. Napas Nora tercekat, manik itu mengerjap beberapa kali. Mencoba percaya, “Tuan Anderman,” “Aku tidak mau! Pergi, pergi!” Tantrum yang Drake tunjukan tepat di depan Nora, sukses membungkam sang Adela dengan cepat. Dia tidak salah lihat. Sosok Drake kini berubah drastis. Tidak ada sosok dingin, pendiam, dan tegas lagi seperti tadi. Laki-laki yang menolong bahkan bersikap jahil padanya seolah menghilang tanpa jejak. Apa yang harus Nora lakukan? Wanita itu hanya bisa diam. Memperhatikan semua gerak-gerik Drake di sudut ruang. Tanpa suara, Haruskah dia bertanya hal ini lagi? “Kau benar-benar Tuan Anderman yang kukenal ‘kan?” Ikut menekuk lutut dan bertanya, dalam kondisi seperti ini tidak ada yang tahu hal apapun mungkin bisa terjadi. Nora tetap menjaga kewaspadaannya. Napas Drake terdengar berat, menahan panas di seluruh tubuh, tanpa menjawab pertanyaan Nora. Tubuh itu perlahan limbung, Hampir saja Ia terjatuh, sebelum Nora bergerak lebih cepat, menopang tubuh Drake. “Sikapmu berubah atau ini hanya perasaanku saja?” tanya Nora kembali. Kali ini dia tidak segan-segan lagi memaksa Drake untuk bangkit. Menggunakan seluruh tenaganya, “Ayo bangun!” tukas wanita itu lagi. Drake kembali memberontak, “Lepas! Pergi dari sini!! Pergi!! Tante Tua!!” Sekarang diiiringi tangisan tipis. Nora berusaha mempertahankan diri agar tidak kaget lagi, shock saat diejek tante tua oleh laki-laki yang lebih dewasa dibandingkan dirinya, haha astaga hampir saja kemarahan wanita itu memuncak. “Ya, ya, ya aku akan pergi setelah kau kembali ke tempat tidur, ayo bangun!” Memaksa laki-laki itu untuk bangun, Drake bangkit dengan enggan. Tubuhnya yang limbung hanya bergantung pada Nora, membiarkan wanita itu membawanya ke tempat tidur. “Gelap, aku tidak suka!” Menggeleng beberapa kali dan menyuarakan ketidaksukaannya, “Aku sudah menaruh lilin di sana kau tidak perlu takut.” jawab Nora singkat. Pelan-pelan membaringkan tubuh Drake, “Istirahatlah sekarang, aku akan mengambilkan sesuatu,” Berniat menjauh dari pergi sebentar dari ruangan itu, tangan Drake sudah lebih dulu menjangkau, pergelangan Nora. Menggenggam dengan erat, “Mau kemana?” Bayangkan saja, wajah tampan tanpa celah itu kini memandang Nora takut dan sedikit nada merengek, begitu polos berbeda jauh dibanding laki-laki dingin super ketus yang Ia lihat tadi. Manis. Sang Adela mengerjap shock. “Aku sudah meninggalkan lilin di sini, jangan takut lagi. Berbaring saja, oke?” ujarnya cepat, melepas tangan Drake dan berjalan keluar dari ruangan. *** Satu baskom berisikan air dingin dan handuk kecil sudah Nora sediakan. Berjalan hendak kembali ke kamar Drake, kadang Ia berpikir. ‘Aku justru bersikap baik pada orang asing, dan menjebloskan ayah sendiri ke penjara,’ batin wanita itu bingung. ‘Hh, wanita yang sangat jahat,’ dengusnya lagi. Masuk ke dalam ruangan yang masih temaram. Manik Nora menatap gerak-gerik Drake, berpikir bahwa laki-laki itu akan meringkuk lagi di sudut ruang, “Hh, syukurlah dia tidak pingsan lagi di sana,” desah Nora lega. Menaruh baskom berisi air dingin dan handuk tepat di samping meja tempat tidur Drake. Karena tidak ada kursi, Nora langsung saja bersimpuh di lantai. Menatap Drake yang kini berbaring disertai erangan sakit beberapa kali, mengigau ketakutan, bahkan menangis lagi. Laki-laki itu mungkin tertidur, tapi dia malah bermimpi buruk, Menggeleng tipis, bergerak mengambil handuk, dan memeras benda tersebut, “Kenapa kau bisa demam seperti ini,” gumam Nora bingung. Pasalnya, prilaku Drake sejak tadi masih baik-baik saja. Semua tingkah dan sikap sang Anderman juga tiba-tiba berubah. Baru kali ini Nora menyaksikan keanehan di depan matanya. “Hh, untung saja aku tidak bisa tidur,” tukasnya lagi, dengan hati-hati menaruh handuk dingin itu di kening Drake. Menekan pelan, beberapa kali Ia mengusap keringat yang menetes dari pelipis sang Anderman. Ruangan ini memang tidak punya kipas, toh Nora mengira bahwa dia akan menggunakan satu kamar tidur lagi hanya untuk gudang saja, siapa yang tahu kalau dia malah membawa orang asing untuk tinggal bersama. Berpikir sesaat, “Hh, tidak ada pilihan lain,” Mendesah tipis, Nora berdiri lagi. Bergegas mengambil kipas angin di kamarnya, mengarahkan benda itu menuju dinding. “Aku tinggal menunggu sampai lampunya hidup,” Berdiri menatap Drake dengan fokus, tidak sampai beberapa menit, lampu tiba-tiba hidup kembali. Nora menengadah, “Astaga, akhirnya kau hidup juga!” tukas wanita itu lega. Kipas angin langsung berbunyi, memberikan udara segar pada Nora. Mendesah panjang, tanpa Nora sadari, tubuhnya luruh jatuh ke lantai, Menguap beberapa kali, tanpa bantuan minuman hangat yang sempat Ia buat. “Aku harus istirahat juga,” gumam wanita itu lagi, berniat bangkit dan pergi. “Ugh, panas,” Tubuh Nora terhenti saat mendengar igauan Drake kembali menggema. Tubuh laki-laki itu bergerak tak nyaman lagi. Manik keemasan itu menatap cemas, menyeret tubuhnya sendiri, mendekati Drake, “Aish, baiklah. Kali ini saja aku akan merawatmu, Tuan Anderman.” ucap Nora gemas. Memeras handuk basah di kening Drake sekali lagi, sambil menahan kantuk. Menyenderkan tubuh pada tempat tidur, bahkan menumpukkan kedua tangan tepat di atas kasur. Rasa lelah itu benar-benar datang, “Hh, merepotkan,” desah Nora singkat, tidak bisa menahan kantuk, kedua maniknya perlahan buram. Salah satu tangan sang Adela pelan menghapus keringat di leher Drake sekali lagi, memijat pelipis laki-laki itu sampai akhirnya Ia benar-benar tidak sadar. Dalam hitungan detik, Nora langsung terlelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD