STORY 16 - Tangled String
***
Flashback – Drake, 6 tahun
Rasanya belum mencapai hitungan tahun ayah dan sang ibu bercerai. Lima bulan setelah kertas berhasil mereka tanda-tangani, saat sosok ibu yang selalu menunggu Drake di rumah kini tidak ada lagi.
Ivondes justru membawa seorang wanita yang cukup muda ke dalam rumah mereka. Memeluk wanita tersebut dan memberikan info bahwa keduanya akan segera menikah. Tidak perlu waktu lama bagi Lanser Polly menyandang nama Clayton.
Saat perusahaan sang ayah belum mencapai puncak kesuksesan, laki-laki itu masih tergolong berada. Menikahi seorang wanita glamour yang hanya tahu caranya bersenang-senang, tanpa mau mengenal Drake lebih jauh.
Sang Anderman masih mengingat jelas perubahan sikap ayahnya yang begitu drastis. Sosok itu entah kenapa justru memperketat hidup Drake, tidak ada yang namanya bermain di luar bersama teman-teman.
Hidup Drake dipenuhi dengan jadwal belajar setiap hari. Bahkan ayahnya tidak tanggung-tanggung mendirikan area belajar khusus untuk Drake tanpa jendela lebar yang bisa saja menjadi jalan bagi pemuda kecil itu kabur.
Sejak kapan laki-laki paruh baya itu berubah? Drake tidak tahu, yang dia ingat hanya satu. Saat sang ayah yang biasanya sibuk melakukan pekerjaan, tanpa sempat mengecek pendidikan Drake.
Tiba-tiba saja datang dan melihat semua perkembangan sang Anderman. Mengecek setiap buku pelajaran, gambar-gambar, hitungan, ujian, bahkan catatan lengkap yang dibuat oleh anak usia enam tahun meski tulisan Drake belum begitu bagus.
Drake mengingat jelas seperti apa wajah ayahnya. Sebuah seringai begitu lebar tercetak jelas. Manik berkilat licik memandang Drake penuh harapan. Untuk pertama kali, Drake merasakan seperti apa rasanya dicengkram begitu kuat oleh sang ayah sendiri.
‘Pemuda kecil yang jenius’ julukan itu mulai muncul dari bibir ayahnya. Sejak julukan Drake tersebar kemana-mana, saat itulah semua pelajaran ketat sang pemuda kecil dimulai.
“Kau putraku yang jenius! Sumber kehidupanku, jangan pernah sekalipun kau membuat kesalahan, Drake!! Paham?!”
Jika satu saja Drake membuat kesalahan. Akan ada hukuman besar menantinya. Hukuman yang mengganggu mental pemuda kecil itu perlahan, tanpa kasih sayang lagi.
Hukuman dan pujian datang silih berganti, hal itu tak ayal membuat mental Drake bingung. Apa dia harus merasa senang, dengan semua perlakuan sang ayah? Saat seseorang berani menghina Drake, maka ayahnya tidak akan segan-segan menghancurkan orang itu.
“Tidak ada yang boleh menghina Putraku!! Kalian semua hanya akan menjadi sampah di depan matanya!! Ingat itu!!”
Haruskah merasa senang? Tumbuh dalam bayang protective sang ayah, namun juga selalu dibayangi ketakutan. Apa itu wajar?
Flashback Off
***
Pukul – 06.00 am
Kedua manik abu itu langsung terbuka, dalam keadaan detak jantung tak beraturan, mengira bahwa ruangannya masih dalam keadaan gelap gulita.
Menatap plafond yang kini nampak jelas, lampu berwarna putih menerangi ruang. Listrik sudah kembali hidup. Napas laki-laki itu perlahan kembali tenang.
Drake benar-benar tidak ingat apa yang Ia lakukan kemarin malam. Saat lilin mati sebelum dia terlelap, ketakutan Drake semakin besar.
Tubuhnya menggigil ketakutan, gema suara sang ayah terngiang, pukulan dan rasa sakit bahkan membuat sindrom yang selama ini Ia jaga agar tidak muncul perlahan kembali ke permukaan.
Sindrom aneh yang Ia miliki sejak usia laki-laki itu menginjam dua belas tahun. Hanya kedua orangtuanya yang boleh tahu, kelemahan terbesar Drake sampai saat ini.
‘Hh, kepalaku masih sakit,’ batin Drake singkat, mengernyitkan manik karena disambut cahaya terang di atas sana. Salah satu tangannya terangkat, berniat memijat kedua pelipis yang masih berdenyut sakit.
“Apa ini?” Ia justru menemukan sesuatu menempel di keningnya. Mengambil benda itu, “Handuk?” gumam laki-laki itu bingung. Kenapa ada handuk di keningnya?
Mencoba mengingat kembali, tubuhnya terasa panas kemarin. Karena udara di luar sana tidak cukup, ditambah lagi dengan ketakutan yang semakin meningkat drastis. Daya tahan tubuh Drake melemah.
Mencoba mengalihkan pandangan ke arah lain, manik abu itu mengerjap polos. “Nona Nora?” bisiknya kembali. Kaget tentu saja, melihat Nora sekarang malah terduduk di samping tempat tidurnya.
Terlelap dengan wajah menopang pada kedua tangan, kedua manik tertutup sempurna dan deru napas terhembus dengan teratur.
Drake mendesah panjang, berusaha memperbaiki posisi tubuhnya. Meski sedikit limbung, Ia berusaha duduk menyender pada dinding. Masih menatap lekat Nora.
Pandangan laki-laki itu menatap keluar jendela, mendengar suara kokok ayam yang lumayan keras. “Sudah pagi, dan dia tidur di sini semalaman?” tanya Drake pada dirinya sendiri.
Menelusuri seluruh ruang, Ia melihat sebuah baskom berisikan air, dan kipas angin yang sengaja diarahkan pada dinding, namun tetap memberikan udara segar di dalam ruang.
‘Apa dia merawatku?’ batin laki-laki itu penasaran, melihat handuk di tangannya, ‘Masih basah,’ Itu berarti Nora bahkan sempat bangun lagi untuk memeras handuk agar dingin kembali.
Drake mengecek kening yang semalam terasa sangat panas namun berusaha Ia tutupi dari Nora. Sekarang suhu tubuhnya sudah semakin normal, hanya sedikit pusing, tapi tidak separah kemarin malam.
Wanita yang sangat aneh, semua pandangan tentang Nora tercetak jelas di dalam pikirannya. Seperti apa sifat Noravayne Adela yang Ia ketahui selama beberapa hari tinggal di sini.
Sosok nekat, keras kepala, entah dia bodoh, polos atau baik hati, tapi jika melihat siapapun melakukan satu hal nekat maka Nora tidak akan segan-segan untuk terjun bersama dan menariknya keluar dari semua masalah itu.
Sangat aneh, perasaan hangat yang begitu asing dan jarang Drake rasakan kembali datang. Tanpa Ia sadari, laki-laki tampan itu tersenyum tipis.
Bergerak perlahan menyentuh beberapa helai rambut Nora. “Kau sudah bangun?” Tapi langsung terhenti begitu mendengar suara wanita itu.
Tubuh Drake menegang, menarik kembali tangannya dan menghapus semua senyum tadi. Ia bahkan meneguk ludah tanpa sadar. Tidak menjawab pertanyaan Nora.
Sang Adela menegapkan tubuhnya, dengan kedua manik yang mengerjap dan menguap beberapa kali. Nora menatap Drake. Nyawa wanita itu belum pulih sepenuhnya.
Bangun dalam keadaan setengah mengantuk karena tidak cukup waktu tidur, “Ngh,” Ia mengerang, “Biar kucek suhu badanmu dulu,” Reflek bergerak, Nora dengan polos bangkit dan langsung duduk di samping tempat tidur.
Drake kaget, matanya setengah melebar, “Kau mau apa?!” Laki-laki itu bahkan tidak sadar berteriak.
Nora berdecak kesal, “Ck, diamlah!” Dalam keadaan pakaian yang berantakan, setengah kancing baju tidurnya terbuka, merangkak mendekati Drake.
Salah satu tangan Nora bergerak perlahan menempelkan punggung telapak pada kening Drake, sesekali manik wanita itu terpejam. Tidak melihat seperti apa ekspresi laki-laki di depannya.
“Hm, sudah tidak panas lagi,” Mengangguk polos, Nora kembali menguap. “Kalau kau sudah membaik, aku akan kembali ke kamar lagi,” Wanita itu berniat untuk tidur kembali. Karena sejak kemarin Ia fokus menjaga Drake.
“Hoahm, aku tidak mau tertular demammu, tapi –hoahm kata Moran, orang kuat sepertiku tidak akan mudah sakit, jadi tak masalah,” Melontarkan kalimat dengan ngawur.
Nora menjauhkan salah satu tangannya, beberapa saat Ia duduk di depan Drake.
***
Wanita itu benar-benar tidak sadar dengan penampilannya sendiri sekarang, rambut pendek yang tergerai nampak acak-acakan, beberapa kancing atas pakaian tidurnya bahkan terlepas,
Drake reflek mengalihkan pandangan, menolak pemandangan yang biasa disukai semua laki-laki. Menahan diri agar tetap tenang, walaupun dia terkenal menjadi sosok workhaholic yang digemari seluruh wanita.
Tapi Drake tetap saja seorang laki-laki yang tidak memiliki pengalaman mencintai atau berhadapan dengan wanita tanpa menggunakan topengnya sama sekali.
Topeng senyuman bisnis dan sikap penuh wibawa itu seolah hancur jika berada di depan Nora. Dia tiba-tiba menjadi laki-laki puber.
Mengalihkan pandangan terus menerus, Nora justru menangkap sikap laki-laki itu menyebalkan. Kerutan alis di kening sang Adela nampak.
Nora kesal, “Hei! Kenapa kau tidak merespon perkataanku?!” Bagaikan wanita mabuk, Nora seolah membuang semua sifat dinginnya di depan Drake.
“Aku sudah merawatmu sejak tadi malam, berterimakasihlah!” ujar Nora berani, menguap sekali lagi. Wanita bahkan hampir tertidur lagi, “Mataku berat sekali,” Mengusap kedua matanya berulang kali.
Drake mendesah panjang, berusaha mengendalikan diri, “Kembalilah tidur, aku akan membuatkan sarapan untukmu.” ucap laki-laki itu pelan. Menurunkan semua sifat keras kepala dan egonya sesaat.
Nora mengangguk polos, “Hm, benarkah?” Menatap Drake sekali lagi. Laki-laki di depannya meneguk ludah tanpa sadar.
Oh, ayolah Drake pasti sudah gila! Pertama kalinya dia mendefinisikan kata ‘cantik’ untuk wanita yang baru saja bangun dengan rambut berantakan.
“Ya, ya, sudah sana cepat kembali ke kamarmu. Aku akan membawakan kipasnya juga,” Merasakan seluruh tubuhnya bisa bergerak lagi.
Drake sengaja mendorong pelan tubuh Nora agar segera bangkit dan pergi dari ruangan ini. “Hoahm- baiklah,” Nora mengangguk kecil.
Perlahan bangkit dan berdiri, dengan tubuh terhuyung, dan nyawa masih setengah melayang Ia berjalan keluar.
Tepat saat wanita itu hendak menutup pintu kamar Drake, “Nona Nora,” Suara sang Anderman memanggilnya.
Tubuh Nora menegang sesaat, dengan terhuyung berbalik, “Hm?”
Laki-laki itu masih duduk di tempat tidur, dengan sebuah senyuman membingkai wajahnya, “Terimakasih.” Satu kalimat yang mungkin akan Nora lupakan terucap penuh bisikan.
Manik Nora mengerjap beberapa kali, lucukah jika dia menganggap ucapan terimakasih itu keluar dari bibir seorang Drake Anderman Clayton. Laki-laki super keras kepala.
Tertawa tanpa Ia sadar, Nora benar-benar tidak bisa menahan diri, menghapus air mata kecil di sudut maniknya. Sebuah tawa yang nampak jelas terarah pada Drake.
“Tentu saja, tuan keras kepala.”
Sebuah senyuman yang begitu cantik dan tulus terpampang jelas. Bagaikan sihir, tubuh Drake membeku. Dalam rentang waktu yang begitu singkat, rasa hangat dan detak jantung laki-laki itu kembali terdengar.
Mengalihkan pandangan, saat pintu kamar benar-benar tertutup. Salah satu tangan Drake terangkat, menutup bibirnya sesaat.
Rasa panas perlahan menjalari kepala bahkan kedua pipi. “Hh, sepertinya demamku belum hilang sepenuhnya.” Satu gumaman tipis terdengar menggema.
***
Di tempat lain
Houven kembali menerima amarah berupa cercaaan Ivondes. Laki-laki paruh baya itu melempar berita yang baru saja dia terima ke lantai.
“Berita sialan!! Beraninya dia mengendus masalah ini dan membeberkan ke masyarakat!!” Wajah Ivon nampak memerah, menahan amarah, kedua tangannya pun penuh dengan beberapa plester karena berdarah memukul dinding sejak tadi malam.
Manik itu menatap tajam Houven sekali lagi. “Kau sudah menghubungi orang yang cocok untuk mencari anak sialan itu ‘kan?!” tukasnya ketus.
Berada di dalam ruangan Drake, karena sang Anderman tidak bisa mengurus semua pekerjaan. Ivondes harus ikut turun tangan, melakukan hal yang sangat merepotkan. Setelah bertahun-tahun pension dan membiarkan Drake mengambil alih semuanya.
Houven menatap koran yang kini tergeletak di lantai, hanya ada mereka berdua di ruangan. Mengambil benda itu dan merapikannya.
Maniknya mencoba menatap Ivondes tenang, “Tapi Tuan apa yang sebenarnya anda bicarakan kemarin malam? Apa anda menyembunyikan sesuatu dari tuan Drake?” tanya sang asisten tanpa maksud tertentu.
Houven berusaha menahan kesabaran, bahkan Ia memberanikan diri memancing Ivondes agar mengatakan semua hal busuk yang disembunyikan laki-laki itu selama ini.
Tubuh Ivon menegang sesaat, kedua tangan itu masih terkepal kuat, menahan geraham gigi yang kini mengatup kuat.
Manik sang Maity mendelik tajam, “Apa maksudmu bertanya seperti itu, Houven? Kau tidak berpikir bahwa aku akan menusuk putraku sendiri dari belakang ‘kan?” Bertanya balik dengan nada menekan.
Satu fakta berhasil Houven sadari, Ivondes masih berusaha menyembunyikan fakta kematian istri pertamanya. Dia tidak ada niat sama sekali membongkar hal itu.
Tidak punya cara lain lagi, Houven mendesah panjang. Tak ada gunanya menekan Ivondes lebih jauh.
“Saya sudah menemukan orang yang tepat untuk mencari tuan Drake, posisi orang itu sudah cukup mengatur agar masalah ini tidak terbongkar lebih jauh ke media massa.” Mengalihkan pembicaraan.
Houven menatap balik Ivon tanpa takut, “Apa anda mau memanggilnya sekarang juga?” tanya laki-laki itu sekali lagi.
Ivondes perlahan mengatur emosinya, berjalan dan akhirnya duduk tepat di depan sang asisten. Masih dengan amarah membuncah.
“Apa dia benar-benar bisa menutupi masalah ini? Aku tidak mau kau menyewa orang tidak berguna dan menyia-nyiakan uang serta waktuku!” Menggebrak meja cukup keras.
Houven tidak takut sama sekali, Ia sudah terbiasa meladeni sikap sang direktur. “Tentu saja, Tuan. Diantara anggota kepolisian di seluruh Indonesia mungkin dia yang paling tepat.” jelasnya lagi, perlahan membuka berkas yang Ia bawa sejak tadi.
Sebuah berkas coklat dengan informasi lengkap tentang penyidik itu. “Ini biodata, foto dan pengalamannya, Tuan.”
Beberapa lampiran kertas langsung tersebar di atas meja. Ivondes mengambil cepat, meneliti semua informasi sang penyidik.
Sosok bertubuh tegap, tatapan tegas, dengan posisi cukup tinggi dalam anggota kepolisian. Cukup tinggi untuk menutupi semua masalah ini.
“Hm, komandan pasukan khusus,” gumam laki-laki itu, mendengus senang. Membaca tiap baris kata yang tertera di sana.
Sosok familiar yang tegas dan datar terpampang nyata dalam satu buah foto terlampir.
“Komandan Moran Khiel Dimitri,”