- 17 - [ Human ]

2211 Words
STORY 17 - Human *** Moran Khiel Dimitri, membaca semua pengalaman yang pernah laki-laki itu lakukan. Ivondes bahkan tidak perlu berpikir dua kali untuk mencari pengganti lain. Postur tubuh yang tegap dan pandangan tegas, menjabat sebagai title Komandan di usia muda. Laki-laki seperti ini pasti bisa mendukung sang Clayton. “Pastikan bahwa bibirnya terkunci rapat mengenai masalah Drake.” tegas Ivon sekali lagi. Houven mengangguk paham, “Baiklah. Apa ada ingin bertemu dengannya dulu sebelum memberi tugas?” tanya Houven cepat. Helaan napas panjang terdengar, Ivondes menyender pada punggung sofa. Mengangkat salah satu tangan dan menutup kedua maniknya. “Anak sialan itu benar-benar memikirkan apa yang terjadi jika dia berani membuang pekerjaannya,” gerutu Ivon untuk kesekian kali. “Sudah hampir tiga hari dia pergi dan tidak memberikan kabar apapun,” Tanpa menjawab pertanyaan Houven, Ivon menatap sang asisten tajam. “Kau sungguh tidak tahu kemana anak itu pergi, Houven?” tanya Ivon lagi. Wajah yang begitu tenang dan senyuman tipis terukir di wajah Houven. “Tuan Drake, sama sekali tidak memberikan saya informasi kemana dia pergi. Ruangan sudah kosong saat saya mengecek sekali lagi pagi hari.” jelasnya singkat. Ivondes mendengus sinis, “Bagaimana bisa aku percaya denganmu? Jika selama ini kau malah selalu berpihak pada sisi anak sialan itu,” Kalimatnya menohok, menatap eskpresi Houven. Berharap laki-laki di depan Ivon sedikit terganggu. Namun sayang, itu tidak berhasil. Houven menunduk sekilas, “Maafkan saya sudah lalai, Tuan.” ucap sang assisten sigap. Dengan mudah meminta maaf, tanpa keraguan. Tidak ada gunanya melampiaskan amarah pada Houven, karena laki-laki itu begitu pintar, bahkan mampu memanipulasi sikap dan mengancam balik Ivondes jika dia berani bertindak di luar batas. Seperti kemarin malam. “Ck, baiklah! Aku ingin bertemu dengannya dulu, undang dia ke ruangan siang ini,” Melempar berkas di tangan tadi kembali ke atas meja. Ivondes beranjak sigap. “Bayar berapapun dia minta, asal laki-laki itu berhasil menemukan Drake dengan cepat. Semua permintaannya akan kukabulkan!” Mengucap kalimat terakhirnya. Menunjuk tepat ke arah Houven, tubuh besar Ivondes berjalan keluar dari ruangan. Meninggalkan sang asisten sendiri di dalam sana. Raut wajah yang awalnya nampak datar dan tenang, dalam beberapa menit semua menghilang. Alis Houven tertekuk, kedua maniknya menatap khawatir, “Tuan Drake,” Bergerak perlahan mengambil handphone di saku celana, mengecek pesan yang dikirim Drake tepat saat kepergian laki-laki itu tiga hari lalu. Pesan dengan maksud tertentu, semua keputusasaan dan sikap aneh Drake masih Houven ingat jelas. Lelaki paruh baya itu menahan detak jantungnya yang berdebar kencang. Sesak sekali, “Saya harap anda tidak melakukan hal berbahaya, Tuan.” bisik Houven tipis. Raut di wajah menandakan usianya tidak lagi muda. Bertahun-tahun menjadi pendamping Drake, di saat sang tuan jatuh hingga menjadi sukses seperti ini. Tanpa sadar menundukkan tubuh, menumpukan tubuhnya pada kedua tangan. Houven memijat pelipisnya yang berdenyut sakit. “Saya mohon, Tuan Drake.” Houven benar-benar tidak tahu apa rencana Ivondes kali ini. Setelah menemukan Drake nanti, apa laki-laki itu akan menyakiti tuannya lagi. Bukan menyakiti sebatas fisik namun mental Drake juga. *** Pukul 10.00 am Satu hal yang patut Nora syukuri karena sudah menggagalkan niat Drake untuk bunuh diri saat itu baru Ia rasakan. Mencium aroma semerbak dari arah dapur. Nora yang awalnya tertidur lelap setelah menjaga Drake semalaman langsung mengerjap penasaran. Kedua maniknya terbuka dalam beberapa detik, hidung Nora mengembang tanpa sadar. Mengikuti ke arah mana aroma itu mengajaknya. Berbeda dengan masakan yang beberapa hari ini Ia buat sendiri, tidak ada aroma gosong, melainkan lezat tercium, memenuhi seluruh isi rumah. Bacon, telur goreng, roti bakar, jus jeruk yang asam manis membuat kedua matanya melebar seketika. Ah, membayangkan itu saja sudah membuat Nora langsung melotot. “Makan!” teriaknya kecil. Sedikit terhuyung bangun dari tempat tidur, dalam keadaan baju dan rambut setengah berantakan. Ia keluar dari ruangan, menuju dapur dengan manik setengah terbuka. Nyawa masih melayang di atas sana. Tapi perut Nora tetap berbunyi, menandakan kalau otak dan perutnya tidak bisa diajak kompromi. Dia lapar. Suara berisik dari arah dapur sedikit mengagetkan Nora. Menguap sesekali, sampai di ruang masak. Nora mengusap kedua mata, “Tuan Anderman?” bisik wanita itu tak percaya. Melihat sosok Drake kini berdiri diantara meja makan dan area masak, lengkap menggunakan apron milik Nora. Sinar matahari pagi tepat menyinari laki-laki itu, Nora tanpa sadar menganga, bayangan sosok Drake yang bertingkah bak anak kecil kemarin langsung hancur. ‘Aku pasti bermimpi kemarin,’ batin wanita itu cepat. Drake mengalihkan pandangannya, “Kau sudah bangun?” Laki-laki itu mendengus tipis, seperti ibu rumah tangga, Ia berkacak pinggang dan menggeleng kecil saat menatap penampilan Nora. “Rapikan dulu penampilanmu, cuci wajah, sisir rambut yang rapi,” Menunjuk ke arah kancing baju Nora yang masih terbuka setengah, “Kancingkan bajumu, kau ingat kalau aku ini masih laki-laki?” ujar Drake santai, dengan manik datarnya. Nora mengerjap beberapa kali, mengembalikan listrik otak yang tadi sempat terputus, ‘Kancing baju?’ Pandangan tertuju turun ke arah baju tidurnya. Sang Adela langsung sadar sepenuhnya, “Ah!” Tanpa sadar berteriak kaget, Ia langsung mengancingkan seluruh kancing baju. Dengan napas terengah, “Kenapa pandangan matamu malah ke bajuku?!” tanya wanita itu cepat. Sebelum Drake menjawab, laki-laki di depannya sudah lebih dulu menunjuk ke arah sudut bibir Nora. “Air liurmu masih menempel, Nona penculik.” ujarnya ringan, setengah menaikkan alis. Menatap Nora dengan pandangan mengejek. “Ck, siapa yang sebenarnya penculik dan korban di sini? Aku sendiri bingung,” ucap Drake lagi. Melihat jelas saat wajah Nora semakin merah, tubuh wanita itu membeku sesaat. Menahan malu, dengan kedua tangan terkepal. Tanpa bersuara lagi, Ia berbalik, menyentuh sudut bibir yang kini berisikan air liur. ‘Sial, sial,sial!! Kenapa dia harus melihat wajah tidurku?!’ Satu rahasia tabu lagi yang Nora jaga. Di depan siapapun, bahkan bawahannya sendiri. Menjadi sosok komandan sempurna yang tegas dan dingin, menyembunyikan fakta bahwa saat wanita itu bangun dari tidurnya. Dia akan berubah menjadi sosok gorilla kacau dengan alis tertekuk, rambut pendek bak bulu gorilla kembang, dan air liur di sudut bibir karena terlalu lelap tidur setelah bekerja seharian penuh. *** “Apa rencanamu hari ini?” Setelah beberapa menit mengambil tindakan cepat. Nora langsung mencuci wajahnya dan mengganti pakaian. Karena dia sudah cukup lapar, jadi masalah mandi sengaja Nora tunda setelah menghabiskan semua makanan di depannya ini. Menyantap semua sarapan yang dibuat oleh Drake. Di luar dugaan, harus Nora akui kalau semua masakan buatan Drake jauh lebih enak dibandingkan bacon telur ceplok setengah gosong miliknya kemarin. Wanita itu bahkan tidak malu menambah lagi, mengendikkan bahu dan menyantap satu slice bacon. “Kau sendiri apa sudah berpikir lagi?” tanya Nora balik. Menatap Drake yang kini duduk di sampingnya. “Ada banyak hal yang sebenarnya ingin aku tanyakan, tapi cukup satu saja untuk kali ini.” Mengangkat salah satu tangan, menunjukkan angka satu. “Sebenarnya darimana keinginan bunuh dirimu itu datang?” Kedua manik Nora kini menatap serius. Tepat setelah menyelesaikan acara sarapan paginya, sifat wanita itu kembali keluar. “Aku tidak bermain-main sekarang, tuan Anderman.” ucapnya lagi. “Mungkin kau berpikir kalau aku ini suka sekali ikut campur permasalahan orang lain, tapi jika hal tersebut menyangkut masalah nyawa, aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya,” Menatap seperti apa ekspresi Drake kali ini. Tubuh laki-laki itu menegang sesaat, rahang tegasnya terkatup rapat. Menghentikan semua gerak, tanpa menatap balik Nora. Drake masih diam. Tidak ada yang bicara selama beberapa menit, sebelum akhirnya Drake bergegas bangkit. Mengambil piring Nora, “Aku akan memberitahukanmu nanti,” jawabnya kembali. “Kita bahkan baru berkenalan selama beberapa hari,” Berdiri tegap, menatap jendela dapur, “Apakah pertanyaanmu tadi tidak terlalu cepat menyentuh privasiku, Nona Nora?” Berusaha membalik pertanyaan Nora. Sang Adela sama sekali tidak takut ataupun merasa bersalah. “Jadi kau menganggap remeh kepedulianku tentang nyawa seseorang?” Manik keemasan itu menatap datar. Drake mengendikkan bahu sekilas, mendengus tipis, “Bukan meremehkan, hanya saja kau terlalu mencoba ikut campur dalam masalahku. Seperti ucapanmu tadi,” jawab Drake lagi. Dia sama sekali tidak mengira Nora akan memperlihatkan reaksi yang berbeda. Dalam hitungan detik, suara tawa wanita itu pecah. “Khahaha!” Nora tertawa lepas, baru kali ini dia mendengar jawaban itu. Wanita yang biasa ikut campur dalam semua permasalahan penjahat-penjahat yang Ia tangkap, Nora bahkan tidak ragu untuk terjun langsung dan mendengarkan masa lalu mereka. Sekarang, Drake sengaja mendorongnya dengan kasar. “Sepertinya kau benar-benar melupakan statusmu di sini, Tuan Anderman,” tukas wanita itu, beranjak perlahan dari kursi. Berjalan mendekati Drake, “Kau ini hanya sandera untukku, apa kau sadar kalau ucapanmu tadi sedikit keterlaluan?” Tersenyum tenang, kedua manik keemasan Nora menatap tajam. Salah satu tangannya bergerak cepat, menarik kerah baju Drake, tubuh yang tadi berdiri tegap kini menunduk sejajar dengan pandangan Nora. Tatapan mereka bertemu, Drake melihat jelas wajah cantik yang kemarin nampak begitu ketakutan, kini berubah menjadi seringai mengerikan. “Kalau begitu kau bisa mengikatku di kamar, dan tidak membiarkan sandera sepertiku memasak dengan santai di sini, Nona penculik,” Tapi sayang, untuk masalah tekanan. Drake sudah terbiasa mendapatkan hal seperti ini, membalas ucapan dan memasang kembali topeng miliknya. Manik Nora menyipit kesal, Ia mendesah panjang. “Hh, sudahlah.” Menjauhi tubuh Drake, dan kembali duduk, enggan menatap laki-laki itu lagi. Tanpa menyadari kedua manik Drake terus melihat gerak-gerik Nora. Wanita aneh yang berpura-pura harus menjadi seorang penculik hanya untuk menyelamatkannya. Mengalihkan pandangan, “Apa kau benar-benar menemaniku semalaman, kemarin?” tanya Drake tiba-tiba. Ada satu hal yang masih mengganggunya. Nora nampak bermain dengan segelas es jeruk di depannya, “Hm, kau merengek dan menangis seperti anak kecil,” jawab wanita itu singkat. Suara benda terjatuh ke dalam wastafel, menimbulkan suara cukup keras. Namun Nora berusaha untuk tidak teralih. Dia tetap bermain dengan gelasnya. “Apa sikapmu itu juga harus dirahasiakan?” tanya sang Adela lagi. Sikap yang berbeda jauh dengan pribadi Drake sekarang. Nora mengingat jelas, kalau semalam dia melihat wajah Drake yang basah karena air mata, rengekan manja, bahkan tingkah bagaikan anak kecil. Saat ekor maniknya melirik ke arah Drake, laki-laki itu masih membeku di tempat. Wajah sosok tampan yang tadi menjawab pertanyaannya dengan dingin dan datar kini berubah pucat. Dalam situasi seperti ini, Nora rasa dia sudah cukup mengerti. “Aku tidak akan menanyakan apapun lagi tentang hal itu, kau tak perlu takut.” ujarnya dengan tenang. Tidak ada jawaban dari Drake, “Jika memang kelemahan itu tak seharusnya kulihat, anggap saja apa yang kukatakan tadi-” Nora benar-benar tak menyadari bahwa Drake bergerak cepat menghampirinya. Menarik paksa pundak wanita itu agar melihatnya, “Lupakan apa yang kau lihat kemarin,” Manik abu Drake nampak bergetar, menahan ketakutan. Tubuh besar nan tegap nampak rapuh di depan Nora. Pandangan mereka kembali bertemu. “Jika kau melihat kejadian itu lagi, apapun yang terjadi, tinggalkan saja aku, paham?! Jangan pedulikan aku,” Tanpa sadar menaikkan suaranya. Berharap Nora mengerti bahkan termakan oleh tekanan yang Ia buat. Wajah cantik yang nampak terkejut, tanpa suara, “Kenapa kau tidak menjawab?!” Sukses menaikkan rasa panik Drake, *** “Apa kau bodoh?” Ha? Kedua mata Drake mengerjap polos, harapannya tadi tiba-tiba berubah drastis begitu mendengar suara Nora. “A-apa?” Wajah cantik itu tidak gentar ataupun takut melawan tekanan Drake. Salah satu tangan Nora malah bergerak menggenggam erat pergelangan Drake yang masih mencengkram pundaknya, “Aku tanya sekali lagi, apa kau bodoh?!” Nora justru berbalik teriak. Sang Adela langsung berdiri tegap, dengan alis tertekuk kesal. “Aku sudah menahan diri sejak tadi, dan tidak mengusik rahasiamu lagi. Sekarang kau malah mengancamku?” Membalikkan semua sikap Drake dalam sekejap. “A-aku tidak,” Cengkramannya semakin kuat, “Apa salahnya jika aku melihat sikapmu kemarin? Apa salahnya jika aku menolongmu yang takut dengan kegelapan?!” teriak Nora kecil. Berjalan mendekat, pandangan mereka menatap lekat. Drake reflek berjalan mundur, “Tangisanmu, rengekanmu kemarin malam, itu tidak menggangguku sama sekali! Jadi untuk apa aku harus berpura-pura tidak tahu?” Menggigit bibir bawahnya reflek, cengkraman pada pundak Nora semakin melemas. Saat kedua manik emas itu menatapnya tajam. Tanpa keraguan. “Jika kau takut dan menangis, apa salahnya jika sekali saja mengandalkan seseorang? Aku sudah mengajarkanmu kemarin ‘kan? Kau juga sudah melihat kelemahanku,” tukas Nora santai. Kali ini wajah cantik itu tidak lagi menatapnya tajam, namun dengan sebuah dengusan tipis. “Jangan perlihatkan wajah seperti itu, Tuan Anderman.” Walaupun mereka baru bertemu beberapa hari lalu. Nora sudah terbiasa bertemu dengan banyak orang baru, tingkahnya yang tegas dan mampu menekan balik semua orang. Membuat wanita itu mudah beradaptasi. “Kau sudah melihat seperti apa kamarku kemarin, kau melihat kelemahanku, jadi apa salahnya kalau kita saling tahu kelemahan masing-masing, lagipula-” Bergerak melepaskan cengkraman tangan Drake. Kali ini Nora justru melakukan hal yang membuat sang Anderman kaget. Menepuk dadaa Drake dengan pelan, tepat menyentuh bagian hatinya. Nora mendengus tipis, “Kelemahan itu ada untuk menopangmu, Tuan. Ketakutan karena gelap, binatang melata, atau merengek dan menangis,” Menaikkan alisnya tipis, Nora menatap Drake berani, “Kau juga manusia biasa bukan robot, Tuan Anderman.” Satu kalimat terakhir Nora bahkan sanggup membungkam semua ucapan Drake. Manusia biasa? Dirinya? Sosok yang selama ini hanya ditugaskan sebagai mesin pencetak uang bagi orangtuanya. Ancaman datang silih berganti. Sebesar apapun kekuatan dan tubuhnya, Drake akan selalu kalah di depan sang ayah, saat semua kelemahannya dipegang oleh laki-laki paruh baya itu. Saat wanita paruh baya yang begitu Ia sayangi pergi untuk selamanya. Apa hidup Drake akan sepenuhnya berubah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD