Yiara Anatasya Atmaja, atau yang lebih akrab dipanggil Yiara, masih menatap lurus pintu kamar hotel nomor 162, di hadapannya. Wanita berusia dua puluh lima tahun dan merupakan tunangan Marchel tersebut nyaris tak berkedip dalam melakukannya, sedangkan kedua tangannya sibuk memilin selempang tas di depan dadaanya.
Antara percaya dan tidak percaya, Yiara terus menguatkan dirinya. “Aku mencintaimu. Aku bahkan mengabdikan hidupku untuk mencintaimu. Tak peduli seberapa dingin kamu menyikapiku, tapi aku tulus melakukan semua itu. Namun, jika takdirku hanya mencintaimu tanpa mendapatkan balas darimu, sedangkan kebahagiaanmu ada bersama wanita lain, aku rela pergi dan mencintaimu dari kejauhan lagi, seperti apa yang selama ini aku lakukan,” batin Yiara.
“Yi! Barusan aku lihat Marchel!” ucap Lily, salah satu teman Yiara, beberapa saat lalu dan menghubungi Yiara melalui sambungan telepon.
Yiara menanggapi ucapan Lily dengan santai. “Kalau kamu lihat Marchel memangnya kenapa? Marchel itu manusia, lumrahlah kamu masih bisa melihatnya. Kecuali, kalau Marchel hantu atau malah arwah penasaran. Baru aku syok bahkan takut.”
“M-masalahnya, … masalahnya aku lihat Marchel enggak sendiri. Marchel sama cewek, Yi!” balas Lily yang seketika membuat hati Yiara nyeri. Seolah ada benda tak kasar mata yang sibuk menyayat di sana.
“Sudah biasa, kan? Sudah bukan hal aneh kalau Marchel bareng cewek lain. Risiko punya pasangan play boy, Ly. Biarin sajalah. Asal aku enggak lihat langsung.” Yiara masih berusaha sesantai mungkin.
“Yang benar saja dibiarin, Yi? Buka matamu! Jangan sebucin itulah sama Marchel! Kalian akan menikah. Enggak kurang dari satu bulan lagi, kalian akan menikah, tapi Marchel check in sama cewek lain!“
“Mereka kelewat mesra, Yi! Kalau kamu enggak percaya, aku kirim videonya. Kebetulan, aku ada di sini. Tapi kalau kamu tetap diam tanpa ketegasan, aku bakalan maju buat bunuh mereka berdua!”
Kini, Yiara membuktikannya. Dengan kepala dan matanya sendiri, ia melihatnya. Dunia Yiara seolah runtuh, hancur tak berupa lantaran tak lama setelah pintu hotel yang ia pandangi terbuka, seorang Marchel Jagat Wirjaya selaku tunangannya, dalam keadaan telanjang dadaa. Marchel buru-buru mengenakan kemeja lengan panjang warna hitam, sebelum akhirnya sibuk mengaitkan setiap kancing kemejanya, sedangkan seorang wanita dengan sigap memeluk Marchel dari belakang.
Wanita cantik yang hanya mengenakan tang top hitam dan celana levis sepaha itu tak hanya bergelendotan manja, sebab si wanita juga tak segan mencumbu leher berikut wajah Marchel.
Yiara benar-benar tak tahan melihat kenyataan tersebut, terlebih jarak mereka terbilang dekat. Jarak Yiara dengan pintu hotel Marchel berada, tak kurang dari tiga meter. Yiara menunduk, menyembunyikan kesedihan berikut air matanya yang telanjur berlinang.
“Ehm ….” Yiara sengaja berdeham, mengumpulkan tenaga berikut keberanian yang masih tersisa dalam dirinya.
Apa yang Yiara lakukan sukses mengalihkan fokus perhatian Marchel yang awalnya hanya menunduk, sibuk mengamati setiap kancing kemejanya yang akan dikaitkan. Sebab, Marchel bahkan membiarkan si wanita sibuk mencumbuunya tanpa meresponsnya.
Yiara segera menyeka air matanya yang telanjur berlinang. Ia mengulas senyum, menatap Marchel penuh binar sayang layaknya biasa.
“Yiara … apa maksudnya? Kenapa dia tetap tersenyum? Benarkah tak ada sedikit pun cinta, hanya karena kami ada karena perjodohan? Bertahun-tahun bersama, Yiara benar-benar tidak pernah mencintaiku?” batin Marchel.
“Kalau kamu ada waktu, aku ingin bicara,” ucap Yiara yang kali ini menatap Marchel dengan memohon. Yiara masih mempertahankan senyumnya.
“Aku sibuk!” balas Marchel dingin memalingkan wajah, menepis tatapan Yiara.
Yiara refleks terdiam, merasa semakin terluka bersama rasa perih yang kian menyiksanya. Bagaimana mungkin Marchel masih bersikap dingin bahkan sama sekali tidak merasa bersalah kepadanya?
Marchel berlalu begitu saja sembari menggandeng pergelangan tangan kiri si wanita yang tidak Yiara ketahui asal usulnya. Sedangkan ketika Yiara memberanikan diri untuk menatap suasana kamar yang ditinggalkan keduanya, sungguh tak ada kemungkinan lain mengenai apa yang telah terjadi jika tempat tidur di sana seberantakan itu.
Tubuh Yiara kebas, merunduk dan terduduk di lantai. “Baiklah … aku menyerah. Aku mundur,” batin Yiara di tengah air matanya yang tak hentinya berlinang.
***
[Chel, maaf jika pesan ini juga membuatmu terganggu, hanya karena pesan ini dari aku. Namun, aku enggak memiliki cara lain untuk menghubungimu bahkan meski satu bulan lagi, seharusnya kita menikah.]
[Setelah semua yang terjadi, aku sadar, lebih baik aku pergi karena pada kenyataannya, kamu enggak pernah mengharapkanku. Kamu enggak pernah mengharapkan hubungan kita.]
[Akulah yang terlalu berharap kepadamu. Akulah yang terlalu naif dan begitu yakin, cepat atau lambat, kamu juga akan mencintaiku. Kamu akan membalas cintaku seperti harapan-harapan yang selalu aku titipkan kepada Tuhan.]
[Maaf, ya. Semoga kamu selalu bahagia dengan pilihanmu. Sedangkan mengenai rencana perjodohan kita, aku sudah membahasnya dengan orang tua kita.]
[Aku mundur, dan aku akan berusaha untuk enggak ganggu kamu lagi. Semoga kali ini aku bisa.]
[Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf, yah, Chel.]
Membaca pesan-pesan tersebut, Marchel menjadi kalang kabut. Tak hanya jantung Marchel yang menjadi berdetak sangat kencang hingga Marchel merasakan gejolak batin berikut rasa sakit yang sebelumnya belum pernah Marchel rasakan. Sebab kedua mata Marchel yang perlahan terasa basah bahkan memanas, juga sampai menghasilkan air mata yang seketika berlinang.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Keyra tak hentinya bertanya kepada Marchel yang justru mematung menatap layar ponsel. Akan tetapi, tak seperti biasa, selain sampai menangis, Marchel juga terlihat sangat terpukul.
“Chel …?”
“Semuanya baik-baik saja, Kak. Serius, semuanya baik-baik saja. Yiara hanya salah paham.” Marchel berusaha meyakinkan Keyra.
Tanpa menunggu reaksi apalagi balasan Keyra, Marchel bergegas dan berlalu dari ruang keluarga kebersamaan mereka. Ruang keluarga di kediaman Arden.
“Yiara memilih Tofan! Yiara akan melanjutkan pernikahan bersama Tofan!” seru Keyra tepat ketika Marchel akan memasuki ruang tamu dan bisa Keyra pastikan, adiknya itu akan meninggalkan rumah.
Apa yang Keyra sampaikan tak hanya mematahkan langkah Marchel. Sebab Marchel juga sampai sempoyongan. Perlahan tapi pasti, Marchel menoleh dan balik badan, membuatnya kembali menatap sekaligus menghadap Keyra.
“Kalian bercanda, kan? Kalian sengaja menjebakku apalagi sebentar lagi, aku ulang tahun?” Marchel tersenyum kecut dan menolak untuk percaya.
Keyra yang sampai menitikkan air mata, mengakhiri tatapannya terhadap Marchel sambil menggeleng. “Kakak yakin, kamu sudah bikin kesalahan fatal, sampai-sampai, gadis sebaik Yiara memilih menyerah. Apalagi sejauh ini, kamu sudah sangat keterlaluan. Kamu selalu menyikapinya dengan sangat dingin. Sepandai-pandainya wanita menyimpan luka, semuanya juga ada masanya, Chel. Masa di mana wanita itu memilih menyerah hanya untuk melihat orang yang dicintai bahagia bersama kebahagiaan lain.”
Tak mau menyia-nyiakan waktu, Marchel yang masih belum bisa dan memang tidak bisa menerima kenyataan, bergegas lari meninggalkan Keyra.
“Enggak mungkin. Yiara enggak mungkin berubah. Yiara enggak mungkin membatalkan pernikahan yang satu bulan lagi akan kami langsungkan!” batin Marchel yang masih tidak bisa menerima.
Marchel langsung mengemudikan motornya dan keberadaannya tidak begitu jauh dari gerbang rumah megah kediaman Arden. Setelah sampai mengenakan helm, Marchel langsung tancap gas dan mengemudikan motornya dengan kecepatan penuh. Satpam yang awalnya mengawal langsung ketar-ketir lantaran syok bahkan ketakutan dengan cara Marchel mengendarai motor, tak ubahnya pembalap yang sudah sangat andal.
***
Cara Marchel mengemudikan motornya, memang membuatnya sampai di kediaman orang tua Yiara tanpa harus memakan banyak waktu.
Keberadaan pajero sport warna hitam yang terparkir tak jauh dari gerbang rumah orang tua Yiara, menjadi pemandangan tak sedap bagi Marchel yang refleks menelan salivanya sendiri. Benar saja, di depan sana, di teras depan pintu masuk utama kediaman orang tua Yiara, Yiara ada bersama Tofan. Melihat dari keadaan keduanya, Yiara sengaja mengantar Tofan hingga ambang teras.
Marchel bergegas turun, melepas helm kemudian melangkah masuk melewati gerbang rumah orang tua Yiara yang langsung dibukakan oleh satpam yang berjaga. Marchel melakukannya dengan setengah berlari.
“Yi!” seru Marchel.
Sebelum Marchel berseru, baik Tofan maupun Yiara sudah langsung menjadikan kedatangan Marchel sebagai fokus perhatian.
“Lebih baik kamu masuk,” ucap Taufan sarat kesabaran.
Yiara yang sampai berkaca-kaca menatap kedatangan Marchel, mengangguk paham. Yiara berlalu sambil menunduk, sedangkan kedua jemari tangannya sibuk menyeka air matanya yang seketika sibuk berlinang.
“Yi!” seru Marchel berusaha menerobos Tofan yang menghalang-halangi langkahnya.
Marchel menatap tajam kedua manik mata Tofan yang sudah menatapnya tajam.
“Minggir!” tegas Marchel. Ia kembali berusaha menerobos Tofan, tapi seperti sebelumnya, Tofan kembali menghalanginya.
“Enggak, Chel. Aku enggak akan biarin kamu nyakitin Yiara lagi, apalagi mulai hari ini, Yiara sudah menjadi bagian dari hidupku. Yiara sudah menjadi tanggung jawabku. Jadi, apa pun yang terjadi ke depannya, semua yang berurusan dengan Yiara juga akan menjadi urusanku.” Tofan berucap tegas.
Penuh emosi di tengah tatapannya yang semakin menajam, Marchel mendorong dadda Tofan yang cukup bidang, menggunakan dua tangan.
Tofan tak hanya mental, sebab pria itu juga langsung sempoyongan dikarenakan tenaga Marchel sangat kuat.
“Kamu itu sepupuku! Jadi jangan bermain api, apalagi merusak hubunganku dan Yiara!” tegas Marchel dengan suara lirih. Matanya memelotot, menatap Tofan penuh peringatan dengan jarak yang terbilang sangat dekat. Wajah mereka berjarak tak kurang dari setengah jengkal.
Tofan tak gentar dan tetap menatap Marchel dengan tatapan tajam. Kemudian, tangan kanannya merogoh saku dalam bagian jasnya. Sebuah undangan ia sodorkan kepada Marchel.
Undangan yang Tofan sodorkan kepada Marchel tak lain undangan pernikahan Tofan dengan Yiara.
“Bagaimana mungkin? Kenapa secepat ini?” batin Marchel ketar-ketir.
Marchel bergegas lari melewati Tofan begitu saja. Marchel berniat menyusul Yiara, tapi ketika Marchel akan memasuki pintu masuk utama kediaman orang tua Yiara, kenyataan orang tua Yiara dan Tofan yang langsung berjejer di pintu, membuat usaha Marchel pupus.
Kedua pasang paruh baya di hadapan Marchel, menatap Marchel dengan tatapan sekaligus gelagat murka. Dan bisa Marchel pastikan, sesuatu yang tidak ia harapkan memang sudah terjadi. Mengenai hubungan Marchel dan Yiara, juga hubungan Yiara dengan Tofan.
***
Marchel masih berduka dengan kenyataan Yiara yang sungguh sudah memilih Tofan, ketika telepon masuk dari sang Big Bos, membuyarkan lamunan Marchel. Marchel yang duduk di sofa motornya dan masih di depan kediaman Yiara, segera berlalu dari sana. Marchel kembali mengemudi dengan kecepatan penuh seiring benaknya yang dihiasi penegasan orang tua Yiara.
“Maaf Nak Marchel, Yiara sudah bahagia. Yiara jauh lebih bahagia bersama Tofan.”
Akan tetapi, getar ponsel di saku sisi kanan celana levis panjang warna hitam yang Marchel kenakan, membuat Marchel segera merogoh saku dan mengambil ponsel tersebut. Masih dari penelepon yang sama; Big Bos.
“Bunuh orang tua itu secepatnya, malam ini juga. Tapi kamu harus hati-hati karena orang tua itu memiliki banyak pengawal pribadi!” ucap sang Big Bos dan seketika membuat Marchel termenung.
Yang membuat Marchel terkejut, tak lain karena dari kedua sisinya, ada motor gede tak ubahnya motor yang Marchel tunggangi. Masing-masing dari penunggang motor tersebut berusaha menyudutkan Marchel. Keduanya tak hentinya menabrak motor Marchel dengan sengaja.
“Siapa mereka?” batin Marchel berusaha menghindar. Kaki kanannya menendang pengemudi di sebelah kanannya, sedangkan kaki kiri menggepak pengemudi motor di sebelah kiri. Tak lama setelah itu, Marchel sengaja mempercepat laju motornya. Diluar dugaan, persis di perempatan jalanan yang terbilang ramai yang akan Marchel lalui, di tengah waktu yang semakin gelap, sebuah truk justru sengaja menghadang dan seketika menabrak Marchel.
“Celaka ... aku dijebak!” pekik Marchel dalam hatinya.
Tubuh Marchel mental dari motornya dan melayang di udara. Bersamaan dengan itu, di tempat yang berbeda, di sebuah kamar yang terbilang megah, Krystal yang duduk di kursi riasnya menghadap cermin rias dan sedang mengecat kukunya, mendadak kesakitan di bagian dadanya. Krystal menyeringai kesakitan dan sampai jatuh dari duduknya, sedangkan tangan kanannya refleks meremas daddanya.
Bersambung ....