Episode 1 : Prolog
“Hari ini aku akan menikah. Kenapa mendadak sekali?” Marchel Jagat Wirjaya dibuat kesal atas tugas yang baru saja didapatkan dari sambungan telepon yang masih berlangsung.
“Kamu hanya cukup membunuh seorang wanita. Hari ini juga, wanita itu akan menikah. Datanglah ke hotel … dia ada di sana.” Suara berat sekaligus tertata seorang pria, terdengar dari seberang.
“Ho-hotel, … apa?” Marchel merasa ragu dengan apa yang baru saja ia dengar. Mengenai nama berikut alamat hotel keberadaan sasarannya, dan sesegera mungkin harus ia datangi.
Sebagai anggota mafia yang memang sudah terbiasa terlibat dalam ‘dunia hitam’ tanpa terkecuali pembunuhan keji layaknya apa yang akan dilakukan, Marchel selalu memastikan semuanya, agar ia tidak sampai salah sasaran apalagi gagal.
“Hotel …? Kenapa kebetulan sekali? Aku bahkan sudah di sini karena pernikahanku juga akan dilangsungkan di sini, sekitar lima jam lagi,” pikir Marchel. “Ya sudah. Aku mengerti. Sekarang juga, aku akan melakukannya.” Marchel segera mengakhiri sambungan teleponnya.
Marchel yang mengenakan kaos lengan pendek polos warna putih dan mengekspos keindahan tubuh bidangnya, segera meraih jaket hitam yang tergeletak di nakas sebelahnya.
Marchel mengenakan jaket tersebut, kemudian mengantongi ponselnya di saku sisi celana levis hitam panjang yang dikenakan. Dengan cekatan, tangannya menarik laci nakas paling atas yang tengah ia hadapi.
Sebuah pistol berwarna hitam Marchel ambil dari sana, kemudian Marchel simpan di balik pinggang kanan. Terakhir, topi hitam yang keberadaanya juga ada di laci dan awalnya bersebelahan dengan pistol, langsung Marchel raih kemudian gunakan untuk menutupi kepala berikut sebagian wajahnya.
Marchel keluar dari kamar hotel tempatnya menginap, penuh keterjagaan. Pria bertubuh tinggi itu melangkah tergesa menelusuri lorong hotel yang sepi. Ia melakukannya dengan cukup membungkuk, sambil sesekali memperhatikan sekitar.
Dering ponsel tanda telepon masuk yang terdengar dari saku sisi celana sebelah kanannya, langsung mengusik Marchel. Marchel segera memastikannya. Tampak kontak bernama : Angel, menari-nari di layar ponselnya.
“Angel? Mungkin dia akan mengajakku sarapan sebelum menjalani rias,” pikir Marchel yang justru sengaja mengabaikan telepon Angel dan tak lain calon istrinya.
Marchel sengaja mematikan ponselnya agar ia bisa lebih fokus menjalankan misinya, hingga ia juga bisa fokus menjalani pernikahannya bersama Angel.
****
Di sebuah kamar hotel, di depan cermin rias yang tengah dihadapi, seorang wanita cantik yang mengenakan gaun pengantin tak berlengan model
dada terbuka, baru saja menurunkan ponselnya dari salah satu telinga.
“Kebiasaan ih si Marchel … sabar, Njel, sabar. Mungkin Marchel memang belum bangun. Marchel pasti kecapean.” Wanita cantik tersebut menatap kecewa layar ponselnya yang dihiasi fotonya dan tengah dipeluk dari samping oleh seorang pria. Marchel, itulah pria yang ada di foto tersebut dan baru saja mengabaikan telepon darinya. Pria yang juga akan menjadi suaminya. Karena sekitar lima jam lagi, mereka akan melangsungkan pernikahan.
Wanita cantik tersebut dan tidak lain Angel, segera menulis pesan singkat dan ditujukan kepada kontak “Marchel”.
[Sayang, aku sudah ada di hotel, lho. Dari semalam, sengaja biar enggak ribet. Aku ada di kamar nomor 66. Kamu ke sini, ya? Kita sarapan bareng sekalian temenin aku rias. Sesekali, aku pengin dimanja sama kamu, lho. Kamu sibuk terus, sampai-sampai, mengurus persiapan pernikahan saja cuma aku sama orang tua kita yang urus.]
***
Sementara itu, Marchel masih melangkah tergesa di lorong hotel yang berbeda dan terbilang masih sepi layaknya lorong sebelumnya. Marchel menatap saksama setiap pintu kamar di sana. Dan kamar nomor : 66 langsung menjadi fokus tujuannya.
“Dia ada di sana!” pikir Marchel yang kian menatap serius kamar tersebut.
Marchel segera menggunakan kunci serep andalan. Ia melakukannya dengan hati-hati dan perlahan menyelusup sekaligus kembali menutup pintunya.
Perlahan, Marchel menarik pistolnya dan memegangnya menggunakan kedua tangan penuh keterjagaan.
“Aroma parfum ini …?” batin Marchel yang menjadi kebingungan. Parfum yang menguasai suasana di sana teramat familier di indra penciumannya. Ia sampai refleks berhenti melangkah bersama keraguan yang juga membuatnya merasa serba salah.
Sebelumnya, Marchel belum pernah merasa ragu kala akan menjalankan misinya. Namun, aroma parfum di sana sukses membuat Marchel berkeringat bahkan takut. “Sial! Aroma parfum ini mirip parfum kesukaan Angel,” pikirnya lagi sesaat sebelum memilih fokus agar misinya segera selesai.
Suasana kamar di sana terbilang kelewat sunyi, tapi ketika Marchel menatap lebih teliti sembari terus masuk ke dalam, ada yang duduk di depan cermin rias. Sosok tersebut merupakan seorang wanita yang mengenakan gaun pengantin warna putih. Rambut wanita tersebut dicepol asal dan terbilang berantakan.
“Mirip Angel, ya?” pikir Marchel semakin ragu. Kedua tangannya yang sudah siaga dan siap melepas pelatuknya ke arah punggung si wanita dan memang Angel, sampai gemetaran.
“Enggak, Chel. Mana mungkin itu Angel. Angel masih di rumah!” batin Marchel yang lagi-lagi berusaha menepis keyakinannya.
Sementara itu, Angel yang duduk menunduk masih fokus dengan layar ponselnya. Ia baru saja mulai menonton acara masak di internet melalui ponselnya, tanpa menyadari ada yang tengah mengincarnya, membidikkan moncong pistolnya dan perlahan melepas pelatuknya kendati ragu sempat menawan sosok itu yang tak lain Marchel, calon suaminya.
Dor ….
Satu tembakan bersarang di punggung kanan Angel, seiring darah segar yang mengucur dari sana menodai gaun pengantin warna putihnya. Angel yang awalnya masih menatap ponsel yang ia tahan menggunakan kedua tangan di meja rias, refleks terkesiap, terdiam seiring tatapannya yang menjadi bergetar.
Dor ….
Tembakan ke dua bersarang di punggung kiri Angel dan sukses membuat tubuh Angel perlahan terjatuh tertahan meja rias. Napas Angel mulai terengah-engah, dan butiran bening mengalir dari kedua matanya.
Tak beda dengan Angel, Marchel yang melakukan tembakan dari jarak sekitar empat meter, juga berderai air mata. Hati Marchel terasa sangat perih sekaligus sakit. Seolah ada yang sibuk mengiris di sana. Entahlah, kenapa ia merasakan semua itu, seolah ia memiliki ikatan batin dengan korbannya.
“Kamu ini apa-apaan, sih, Chel? Sudah … lanjut!” batin Marchel yang memarahi dirinya sendiri.
Marchel kembali mengangkat kedua tangannya yang masih menahan pistol. Ia kembali mengarahkan pistolnya ke punggung sasarannya. Masih seperti sebelumnya dan biasanya tidak pernah terjadi, kedua tangan Marchel gemetaran hebat, sedangkan jantungnya berdetak cepat sekaligus berisik.
Krek … Dor!
Sebuah peluru baru saja melesat. Bisa Marchel pastikan, peluru ke tiganya akan membuat nyawa sasarannya berakhir lebih cepat bahkan mengenaskan.
Namun, di luar dugaan. Sebab Marchel justru langsung syok tatkala wajah sasarannya menoleh sekaligus menatapnya. Marchel yang sampai lupa bernapas, refleks menjatuhkan pelurunya begitu saja. “Bagaimana mungkin …? Bagaimana mungkin!” batin Marchel menggeliat, menolak kenyataan yang tengah dihadapi.
Angel! Sosok yang sempat Marchel sangka calon istrinya di awal Marchel akan melakukan misi, benar-benar Angel selaku calon istri sekaligus wanita yang sangat ia cintai.
Zreb …! Peluru ke tiga Marchel menembus kening Angel. Angel yang berlinang air mata terempas, terjatuh tak berdaya dan berakhir di meja rias.
“Angel!” Jerit suara Marchel menggema bersama air matanya yang mengalir deras. Ia berlari, menghampiri sasarannya dan justru calon istrinya sendiri.
*****