5. Bawa Aku Terbang

3558 Words
Sinta POV. Aku melirik kaca spion tengah mobilku dan menemukan mobil Rengga mengekorku. Aku tersenyum, dan aku biarkan dia berlalu setelah, pintu gerbang rumahku di buka penjaga dan aku bawa mobikku masuk rumah. Serba salah menghadapi lelaki yang selalu buat aku baper. Aku hindari, aku merasa aneh juga, karena dia ikutan  diam. Memang tanya sih, kenapa aku diam saja, dan justru dia pikir, dia berbuat salah padaku. Itu mana mungkin, Rengga tuh manis dan baik sekali. Satu kesalahan dia tuh, selalu buat aku baper. Tapi ya bukan salah dia juga, maksud dia gak begitu. Lucu deh pokoknya. Aku sebenarnya ngapain juga ya baper?, aku bukan pacarnya. Dia bersikap manis karena dia bukan lelaki b******k, tapi karena dia memang lelaki baik. Walaupun pendiam sekali, jadi aku susah menebak apa yang ada di isi kepalanya. Aku bersikap jutek, dia takut, dan memilih diam dan cenderung menghindariku. Padahal sorot matanya jelas terlihat dia keberatan dengan sikapku. Menerima aja, aku galakin. Satu hal yang keren, sebegitu aku abaikan, saat aku kena masalah karena menabrak kucing yang tertidur di kolong mobilku sampai mati, lagi lagi dia bersikap lembut dan perhatian lagi, seakan tidak perduli, kalo aku sudah bertingkah menyebalkan beberapa hari ini. Bukan apa?, malas aja, udah baper baper, ternyata cuma PHP, dan memainkan perasaanku aja. Hampir aku luluh dengan perhatiannya yang membantuku mengurus kucing yang aku tabrak dengan menguburnya di halaman belakang sekolah, masih perlu juga kawal aku pulang karena aku mencopot kemeja seragamku karena mamiku bilang, kalo menabrak kucing sampai mati, harus di bungkus dan di kubur memakai baju yang kita pakai, supaya tidak kena sial. Percaya gak percaya sih, aku memilih melakukannya, semata mata kasihan pada kucing itu, juga permintaan maaf dan rasa menyesalku. Soal mitos yang mamiku bilang, ada Tuhan yang aku percaya bisa menjagaku, asal aku berdoa tiap kali aku melakukan sesuatu. Esok hari setelah kejadian aku menabrak kucing. Dia diam lagi, walaupun aku sudah berusaha tersenyum saat dia mengucapkan selamat, karena aku lolos audisi ekskul cheers sekolah. Dia tetap dengan diamnya, dan hanya senyum menanggapi aku yang bercanda lagi dengan Roland dan Marina. Waktu pulang aku baper lagi, waktu dia bilang, puisi puisi di status WAnya memang untukku dan bukan sang Dewi lain, karean dia hanya mengenalku sebagai sang Dewi yang dia maksud. Baperkan ya?. Aku ancam supaya dia ngerti kalo aku tidak suka di PHP, malah buat aku meleleh lagi. “Apa perlu gue ganti nama belakang elo, jadi Sinta Sari Natalegawa?” tanyanya. Astaga mami…anakmu baper. Rasanya aku mau sekali teriak itu padanya, tapi untuk menutupi perasaanku yang happy, aku jadi ngomel. Aku ngomel, ternyata dia mengekorku ke parkiran lalu mengawal aku pulang lagi. Pening kepalaku. Pokoknya, awas aja kalo dia cuma PHP aku lalu berakhir aku yang baper. Sementara setelah buat aku baper, dia malah tebar tebar pesona dengan cewek cewek lain. Pasti aku kokang senjataku, dan aku arahkan ke arah kepalanya. Bodo amat dia mati, gak boleh ada yang mainin aku. Lalu karena aku lolos audisi, aku jadi harus kumpul di ruang kesenian OSIS sekolah, yang bersebelahan dengan ruang sekertariat OSIS, Rengga juga ikutan karena dia ikut ekskul teater. Aku sampai gagal focus dengan penjelasan ketua Cheers soal jadwal latihan, acara LDKS, juga hal lain. Aku trus melirik kea rah Rengga yang juga mengobrol dengan genk anak teater sekolah. “Sin!!, elo lihatin siapa sih?” tegur Karin. Aku cengar cengir karena ketahuan intip bujang. “Anak teater ya?, itu siapa deh Sin?, yang bawa gitar trus, sama cowok di sebelahnya?” tanya Queen. “Andi ya?, pacar ketua Kesenian merangkap ketua PADESU?” jawab Karin. Aku hanya mengangguk dengan Queen karena tidak kenal juga. “Keren ya laki mah bebas, bisa macarin senior” komen Queen. “Elo juga bisa bule, siap siap aja elo di bully” ledek Karin. Queen cemberut. “Gak minat” cetusnya galak. Karin tertawa. “MInatnya, sama laki tengil yang niat banget jadi hamba sahaya kompeni” ledek Karin lagi. Aku tidak mengerti, jadi aku diam. Aku lalu deg deg an waktu si Andi dan Rengga mendekat. “Yang, udah belum briefingnya?” tanya si Andi pada pacarnya yang bernama Putri, si senior yang Karin maksud. “Udah…Clar, gue sih udah, elo?” tanyanya pada Clara si ketua Cheers sekolah. “Udah sih, nanti kita ketemu lagi hari sabtu ya, buat latihan dasar” kata Clara membubarkan kami. Sisa anggota yang lain bubar, aku tetap bertahan gabung dengan Karin dan Queen yang tertarik kenalan dengan Andi, karena gitarnya itu. “Gue tetangga Rengga” jelasnya setelah kami kenalan. Jadilah kami beriringan jalan ke parkiran. Queen mengobrol dengan kak Putri dan Andi, Karin dengan kak Clara, entah soal apa, karena mereka tertawa terus. Otomatis aku ngobrol dengan Rengga. “Gimana ekskul teater?” tanyaku. Rengga menghela nafas. “Akan lebih konsen ke puisi Sin, kalo drama kan jarang ada lomba. Kalo lomba baca puisi sering banget di adakan, baik perorangan atau kelompok. Paling akan instens latihan ke situ” jawab Rengga. Aku mengangguk mengerti. Memang benar Rengga, kalo lomba drama jarang, paling tampil di pentas seni sekolah. Kalo lomba puisi sering di adakan. “Gue mau coba ajarin yang lain untuk latihan alat music. Baca puisi doang, buat boring. Harus di iringi alat music atau malah di rubah jadi lirik lagu” lanjut Rengga. “Caranya?” tanyaku. “Hm…gue mau pinjem alat alat di sanggar, buat contoh kita bikin, jadi kalo mau pentas gak usah pinjem lagi” jawabnya. Aku langsung antusias. “Elo mau ke sanggar elo Reng?, ikut….” rengekku sampai tidak sadar menarik kemeja sekolahnya. Dia tertawa. “Okey…” desisnya sambil menatap genggaman tanganku di baju kemeja bagian bawahnya. Aku meringis lalu buru buru melepaskan diri. “So…kapan perginya dan kita ketemu di mana?” tanyaku setelah Rengga santai lagi. Bodohnya…ngapa aku jadi kecentilan. “Nanti sore deh, elo mau bareng Karin sama bule pulang dulu kan?” tanyanya sekaligus jawab pertanyaanku. “Iya sih…mereka mau nebeng..Eh tapi elo tetap kawal gue aja, biar kalo gue udah drop mereka bisa langsung jalan” saranku. Rengga menggeleng. “Kok gitu?” tanyaku. “Istirahat dulu Sin…bisa sorean ke sanggar sih, gue juga belum janjian sama teman gue di sanggar, buat pinjam alat” jawabnya. Aku mengangguk, benar juga. “Trus gimana?” tanyaku. “Nanti gue kabarin ya. Trus pak Jendral ada di rumah gak?” tanyanya malah aneh. “Elo mau lamar gue?” tuh jadi keceplosan akunya. Rengga ngakak lalu aku jadi cengar cengir walaupun wajahku memanas. “Mau izin bawa perawannya pergi, lamar mah kejauhan. Izin sama jendral aja, gue mesti baju anti peluru kayanya” jawabnya. Aku jadi ngakak. “Makanya ketemu di mana gitu, dari pada elo jadi repot ketemu jendral” saranku walaupun papiku tidak ada di rumah kalo hari weekday. Dia menggeleng. “Elo gak semurah itu Sin, yang mesti gue antar dan jemput di jalan. Elo mesti gue jemput di rumah, baru benar. Di kisah dongeng aja Dewi Sinta selalu di perlakukan terhormat, masa di dunia nyata, di obral murah. Jadi biar elo gue jemput ya!!, atau gak usah ikut gue kalo kita ketemu di jalan sih” jawabnya. “Melted….” desisku tidak sadar. Rengga ngakak lagi. Aku sampai mendorong bahunya karena kesal bikin aku baper trus. “BERHENTI GAK!!, GUE TEMBAK NIH!!” ancamku kesal. Kontan dia diam. “Galaknya…gue berusaha bersikap benar, gimana gue brengsekin elo” keluhnya. Gantian aku ngakak. “Ya elah, ambekan jadi laki, aku tunggu di rumah ya pujangga!!” rayuku. Baru dia cenger cengir. “Kalo elo yang bikin gue baper, gue mesti terima. Neneng gak sadar apa jantung babang deg deg an” keluhnya lagi dan aku ngakak lagi. Sampai parkiran kami berpisah. Aku masuk mobil dengan Karin dan Queen yang berdebat soal siapa jemput siapa sabtu nanti untuk latihan dance di sekolah. Aku diam tak menanggpi dan focus menyetir. “Gue tau nih, siapa laki yang elo keker” jeda Karin sambil senyam senyum meledekku. Aku tertawa. “Kepo Ibu!!” cetusku. Karin tertawa. “Eh, manis ya Kar Rengga tuh!!, beda sama Obi sama Nino” kata Queen dari bangku belakang. Aku tertawa. “Jangan saling tikung, udah elo mah sama hamba sahaya kompeni aja. Kapan lagi siksa tuh bujang sok keceh” ledek Karin pada Queen. “Dih emang Nino keceh…” belanya. Karin ngakak. “Cie bule…nepsong sama bujang…” ledek Karin. Queen langsung menjerit protes lalu ikutan terbahak denganku. “Elo gak gue drop di rumah elo aja Kar?” tanyaku begitu sampai rumah Queen. Karin menggeleng. “Gue gak mau ganggu yang lagi PDKT” jawabnya karena mobilku berhenti dan mobil Rengga ikutan berhenti di belakang mobilku. “Cie cie Sinta…” ledek Queen lalu keluar mobil setelah Karin membuka pintu mobilku juga. Aku hanya tertawa, lalu beranjak, walaupun Karin dan Queen menegur Rengga dulu sebelum mereka masuk rumah Queen. Aku lanjut ke arah rumahku, dan Rengga tetap mengekor. Sampai rumahku, baru dia beranjak pulang. Aku sempatkan bilang terima kasih dan mengingatkan soal janjinya sore nanti, lalu aku makan siang setelahnya aku rebahan dan malah jadi tertidur. “Mba Sinta…bangun…ada temannya” suara PRT rumah yang membangunkanku. “Siapa mbo…” jawabku malas. “Mas Rengga katanya…” jawab bibi. Panik dong aku, aku lihat handphoneku sudah berderet pesan Rengga yang terlambat aku baca. Hadeh…aku buru buru mandi setelah menyuruh bibi menyediakan minum untuk Rengga. Aku pakai baju apa ya?. Panik lagi. Serepot ini cuma untuk pergi dengan Rengga. Cape bolak balik mikir, akhirnya aku putuskan pakai jeans dan kaos. Lagian kenapa aku panik ya?, emang mau pergi dinner atau pesta. Cuma pergi ke sanggar, ya paling aman pakai jeans dan kaos. Lalu aku melongo melihat penampilan Rengga. Keren banget, cuek tapi tidak berantakan. Pakai kaos dan celana jeans belel tapi dia pakai kemeja kotak kotak biru lengan panjang sebagai luaran dan tidak di kancing. Lengannya di gulung sampai siku dengan gelang gelang tali etnik sebagai pelengkap. Aku sih gitu kalo lihat orang pakai fashion yang menarik dan pas dengan karakter dirinya. “Pak jendral gak ada Sin?” tanyanya begitu aku menyapanya di ruang tamu rumahku. “Takut lo?” ledekku. Dia tertawa sambil mengusap tengkuk. “Lagi siapin pistol di kamar” gurauku lagi. Dia melongo dan aku terbahak. “Serius Sin…” rengeknya. Aku ngakak. “Papi lagi tugas negara, mami ikut, ajudannya ada, kalo elo mau di tembak” jawabku sambil beranjak ke pintu keluar rumahku. Dia tertawa lalu mengekor. “Tau gitu, gue gak mesti tegang banget ya…gokil Jendral, orangnya gak ada, tetap aja bikin geder” jawabnya. Aku ngakak lagi. “Ayo ah jalan!!” ajakku. Dia menurut membukakan aku pintu mobil lalu menyusulku masuk mobil. Berlalulah kami dari rumahku. “Di tanya apa sama penjaga rumah?” tanyaku dalam perjalanan. “Masa nanya gue udah punya pacar apa belum” jawabnya tanpa menoleh. Aku terbelalak. “PERES LO!!” bentakku dan dia ngakak. Aku jadi cemberut. “Ya salam…ngambek mulu sih Sin?, jangan galak galak jadi cewek, susah di naklukinnya” ledeknya baru menoleh. Aku memutar mataku dan dia tertawa pelan. “DIAM GAK!!, GUE TEMBAK NIH?” ancamku galak. “Tembak aja…tapi jangan tembak jantungku, cuma ada satu, kan udah di kasih kamu” jawabnya. Aku jadi ngakak dan merona. Baru dia menyusul tertawa. Ampun bang…aku meleleh… Sampai di sanggar yang dia maksud, aku jadi mengawasi keadaan. Seperti rumah biasa dengan halaman luas, dan tampak kesibukan beberapa orang berpenampilan nyentrik. Rengga yang paling biasa, aku lihat, rata rata gondrong, atau rambut semi panjang yang di ikat konde, untuk lelakinya. Kalo wanita juga terlihat berpenampilan seadanya, pakai jeans dan kaos over size, rambut mereka juga terkesan berantakan dan mereka rata rata merokok. Aku menurut waktu Rengga menggenggam tanganku untuk berkenalan. “Kirain sendiri Reng, ternyata…” ledek salah satu cowok berambut gondrong. Aku sampai gregetan untuk mengikat rambutnya. “Teman bang Ibong, satu ekskul di sekolah” jawab Rengga. Yang lain mengangguk lalu tersenyum ramah. “Eh elo aktif di ekskul sekolah, tapi jangan lupa di sini ya!!, musikalitas elo bagus, kita bisa kehilangan” jawab salah satu cewek, lalu menghembuskan asap rokok yang dia hisap. “Slow kak Regi, justru gue butuh bantuan. Udah waktunya, anak anak penerus bangsa, cinta karya sastra puisi, bantu ya latih teman teman gue, biar gak boring baca puisi doang, mending di iringi music atau musikalisasi puisi kan?, apalagi lomba berkelompok” kata Rengga. Mereka kompak bersorak. “Ayo deh, bawa dulu alat alat yang elo pinta, elo bikin dulu sama teman teman elo, baru kita mampir ke sekolah elo” katanya bang Ibong tadi yang sepertinya senior sanggar. Rengga mengangguk. “Tunggu sini ya Sin, gue angkut alat dulu ke mobil” pamitnya. Aku mengangguk. Lagian teman temannya memberikan aku duduk. “Masalah gak Sin, kita ngerokok?” tanya kak Regi tadi. Aku tertawa. “Santuy kak, gak masalah kok” jawabku. Dia tersenyum. “Eng… kakak semua kuliah apa gimana?’ tanyaku penasaran. “Gue mahasiswa sinematografi IKJ persis Ibong, trus yang lain ada yang karena hobi seni peran, music, jadilah komunitas ini” jawabnya kak Regi. Akhirnya satu satu cerita. Ada yang karena fans WS Rendra, ada yang ikut karena suka kumpul, ada yang sekedar ikut ikutan. “Rengga itu ikut karena nyokapnya dulu dosen di kampus gue, dan buat bunuh sepi. Hampir tiap hari dia kesini” lapor yang lain. Aku diam menyimak. “Paling muda, tapi paling punya bakat seni. Pantes kali ya Rengga begitu, dasar seni nyokapnya ngalir. Sayang nyokapnya meninggal karena kecelakaan. Padahal artis teater hebat. Kalo jadi artis, aktingnya selevel Cristine Hakim, atau Ratna Riantiarno yang punya teater koma. Komunitas ini juga ada, karena nyokap Rengga yang temanan dekat sama WS. Rendra” jelas yang lain lagi. Hal lain yang aku akhirnya aku tau tentang Rengga, dianya sibuk angkut alat alat teater ke mobil dan tidak tau sedang di bicarakan. “Elo ceweknya Rengga?” tegur kak Regi dan membuatku merona. “Bukan kak, teman sekelas, tertarik aja karena Rengga jago buat puisi” sanggahku. Aku menghela nafas lega saat kak Regi dan yang lain mengangguk. “Emang jago dia sih, deep banget kalo merangkai kata. Kalo bukan bocah, udah gue pacarin deh” puji yang lain. Aku tertawa mengikuti yang lain. “Ibong bilang, Rengga itu perasa. Tanpa elo bilang elo gimana, dia kaya bisa sentuh dasar hati orang. Pendiam, tapi diamnya Rengga itu mempelajari karakter orang. Itu yang bikin dia gampang di terima orang, karena bisa mengimbangi sifat dan karakter orang lain. Gak sombong walaupun orang kenal dia anak orang kaya. Taukan lo kalo bokapnya tajir melintir?. Punya usaha ekspedisi jalur internasional, Natalegawa Loyd” kata kak Regi. Aku hanya mengangguk walaupun baru tau. “Udah Reng?” tegur yang lain melihat Rengga mendekat. “Udah, Sin mau di sini dulu apa mau balik?” tanyanya. “Di sini, baru juga bentar” jawabku. Dia mengangguk. “Mending lihat kita latihan, kasih penilaian, Rengga gak ikutan sih, soalnya tugas kuliah gue, dan dia gak bisa ikut latihan intens” kata bang Ibong yang bergabung. “MAU!!” seruku girang. Mereka tertawa termasuk Rengga yang duduk di sebelahku. Lalu untuk pertama kalinya aku melihat gimana proses latihan reading dialog dalam sebuah sketsa pertunjungan teater. Asli bagus banget. Bukan sekedar baca naskah di lembar kertas yang mereka masing masing pegang, tapi dari intonasi, mimic dan bahasa tubuhnya mesti banget sesuai dialog. “Pertunjukan teater beda dengan sintron atau film Sin. Harus benar benar hafal dialog, lafal dan intonasi. Belum gerak juga. Gak bisa di take ulang seperti pembuatan film atau sinetron. Malah harus live show. Itu kenapa setiap pemain karakter, harus benar benar menjiwai karakter yang di perankan. Supaya merasuk jadi yang keluar ya karakter yang dia mainkan. Kalo sudah merasuk ke jiwa, kemungkinan melakukan kesalahan akan mengecil. Gak kebayangkan kalo salah dialog di tengah pertunjukan?, bisa berantakan semua dan pasti berpengaruh pada focus pemain lain” jelas Rengga. “Elo bisakan jadi pemain teater?” tanyaku. Di luar dugaan, Rengga menggeleng. “Kok bisa?” tanyaku. “Gue belum mau gila Sin. Gue gak sehebat mereka yang bisa merasuk jadi tokoh yang mereka mainkan. Butuh latihan intens untuk membangun mood dan feel. Lihat deh kak Regi!!. Tuh dia lagi ketawa ketawa. Bentar lagi juga dia bisa mewek mewek. Pertunjukan ini berkisah soal Nyai Dasimah, wanita pribumi yang di nikahi orang eropa, masa jajajahan Inggris. Cinta beda agama dan ras, yang mengundang sentiment dari warga pribumi sendiiri. Kalo elo baca novelnya, pasti elo mewek, kasihan dan tragis banget Sin” jelas Rengga. Singkirkan soal n****+ yang Rengga maksud, aku lebih tertarik melihat gimana perubahan emosi kak Regi dan bang Ibong yang jadi pemeran Samiun, si tokoh antagonis dalam pertunjukan. Gokil banget. Khusus kak Regi ya, dari ketawa ketawa, dia bisa menangis sampai menyayat hati kala harus menikah dengan Samiun dan pisah dengan suaminya yang bangsawan Eropa. Aku gak tau pemeran suami bulenya, aku beneran focus pada kak Regi yang di akhir pertunjukan harus mati karena di bunuh. Ampun seberat itu berperan dalam pertunjukan teater. Kalo nonton pertunjukan benarannya pasti aku mewek parah, masih nonton versi latihan aja, aku sudah mewek. Rengga sampai panik dan mencarikan aku tissue. “Elo tepuk tangan, tapi mewek, heran gue” keluh Rengga. Aku jadi tertawa sambil mengusap airmataku. “Sedihlah” jawabku. Dia tertawa. “Gimana?” tanya bang Ibong di ikuti kak Regi. Aku langsung bersorak. “KEREN!!, Gue sampe mewek” pujiku. Mereka tertawa lalu berhigh five. “Reng, kita mau beli makan, mau sekalian gak?” tanya bang Ibong. “Boleh…makan rame rame aja ya Sin” katanya sambil mengambil dompet. Aku mengangguk. “Eh gantian gue yang traktir, elo melulu, gue tau babeh elo bisa di palakin, cuma gue jadi keenakan” tolak bang Ibong. Rengga tertawa lalu menurut. “Tinggal bentar Sin!!” pamit kak Regi. Aku mengangguk lalu duduk lagi. Rengga menyusul duduk dan pindah di bangku depanku. “Kita ngapain?” tanyanya. “Nyanyi Reng…hibur gue biar gak sedih” pintaku. Dia tertawa sambil bangkit lalu kembali dengan gitar. “Nyanyi apa?” tanyanya menyeret bangku supaya mendekat di hadapanku. “Bebas!!” jawabku. Dia tersenyum lalu mulai memetik gitar. “Sang Dewi…” desisku menyadari pilihan lagu Rengga. Dia tersenyum lalu menunduk memetik gitar lagi. Aku sampai bersandar di bangku lebih menatapnya walaupun dia focus dengan gitarnya lagi. Aku masih anteng mendengarkan bernyanyi di part awal, karena dia juga menghindari tatapanku. “Walaupun dirimu tak bersayap…'Ku akan percaya…Kau mampu terbang bawa diriku…Tanpa takut dan ragu…..Woo hooooooo ooh” di bagian refrain baru dia menatapku lekat dan aku merasa jantungku berlompatan. Baper...sampai meleleh. Untung setelah refrain selesai, Rengga memutus tatapan kami lalu menunduk lagi tapi terus bernyanyi. Astaga…benar kak Regi bilang...Rengga seakan bisa menyentuh dasar hatiku yang terdalam. Suaranya, tatapan hangat dan teduhnya. Aku menghela nafas kasar waktu dia menatapku lagi di bagian refrain lagi yang liriknya dia ganti. “Walaupun kau bukan titisan dewi…'Ku takkan kecewa…Karena kau jadikanku sang dewa…Dalam taman surgawi…” lolongnya lalu melembut sampai petikan gitarnya berhenti dan tatapan kami terputus. “Melted…” desisku. Rengga tersenyum. “Elo bangetkan lagunya?” tanyanya menatapku lagi tetap memangku gitar. Aku mengerjapkan mataku. “Dewi Sinta dalam legenda, itu perempuan cantik nan anggun. Tapi saat Dewi Sinta di buang ke hutan karena Rama tidak percaya dengan kesetiaan dan kesuciannya setelah jadi tawanan Rahwana, dewi Sinta, mampu bertahan dengan anak Rama yang dia kandung dan tetap berani. Persis elo yang cantik dan anggun, tapi punya kemampuan bela diri dan nembak jadi elo pemberani juga. Tapi elo punya hati yang lembut di balik sikap elo yang garang. Itu sosok sang Dewi yang sempurna menurut gue. Berperangai lembut tapi punya keteguhan” katanya. Aku tersenyum. “Hubungannya sama lagu tadi?” tanyaku sudah payah karena debar jantungku yang menggila. Rengga menghela nafas dan bertahan menatapku. “Gue belum kenal elo Sin, tapi gak tau ya…gue yakin aja elo gak akan bikin gue kecewa. Gue gak punya keberanian kaya elo. Gue berharap banget bisa terbang keluar dari zona nyaman gue, berharap nemuin banyak hal yang gak bisa gue temuin kalo gue terbang sendiri. Mau gak bawa gue terbang?, untuk lihat banyak hal di luar sana, yang gue lewatin karena gue menikmati rasa sepi gue” pintanya. Astaga….aku terenyuh saat dia menunduk setelah ngomong itu. Aku jadi bergeser dan dia jadi menatapku lagi. “Janji dulu kalo gue bersedia ajak elo terbang lihat warna lain dunia di luar sana, tolong jangan lepas genggaman tangan gue. Jangan pernah juga sedikit pun elo berpaling pada sang Dewi lain yang mungkin lebih hebat dari gue. Bisa janji itu?” tanyaku. Perlahan senyum Rengga terbit.. “I’m promise…dengan hidup gue” jawabnya lirih. Gantian aku yang tersenyum. “Hadeh…gue mesti jago nembak juga nih, biar gantian ancam elo karena sukses bikin gue baper” keluhnya dan aku terbahak. Untung yang beli makan cepat kembali, kalo gak….aku bisa terkapar karena bukan hanya hatiku yang meleleh oleh pujangga milenial, tapi seluruh tubuhku juga melemas.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD