Rengga POV.
“Sibuk benar, sampai gue di lupain” keluhku pada Andi tetangga yang juga teman aku sekolah.
Kami bertemu di parkiran sekolah. Dia tertawa berdua Putri yang jadi pacarnya, dan kakak kelas di sekolah kami.
“Reng!!, laki gue bilang, gebetan elo ikut audisi cheers ya?” tanya Putri sambil merangkul lengan Andi yang lain, karena tangan yang lain membawa sarung gitar.
Aku tertawa ingat kalo aku cerita soal Sinta pada Andi.
“Loloskan dia?” tanyaku.
Putri tertawa.
“Gue gak punya kuasa mutusin, kayanya lolos, dancenya jago, dan kakaknya mantan ketua Cheers tahun lalu, Clara kayanya lolosin deh” jawab Putri.
Aku tersenyum.
“Elo nonton bentar doang, gak sampai selesai” kata Andi.
“Yang penting intinya, gue cuma mau lihat gimana dia dance” jawabku.
“Kerenkan?, walaupun elo bilang dia jago tarung” ledek Andi.
Aku mengangguk. Agak kaget juga menemukan SInta yang ternyata gemulai juga saat menari modern dance di acara audisi ekskul cheers sekolah.
“Trus elo jadi gabungkan sama anak teater?, ekskul teater butuh orang yang ikut komunitas teater macam elo, biar bisa menang kalo lomba Reng karena ada yang ngelead” kata Putri.
Aku hanya mengangguk.
“Kalo begitu, seharusnya ekskul teater mending di ganti band deh, aku yang lead” kata Andi.
Putri dan aku tertawa. Andi memang tidak mau ikut ekskul teater, kalo ekskul band mau, tapi di sekolah tidak ada, karena tidak ada guru yang bersedia jadi pembina dan yayasan tidak mau memberikan dana untuk menyediakan studio latihan juga peralatan band. Butuh banyak biaya juga sih kalo mau buat ekskul band. Itu yang membuat ekskul band gak ada. Kalo ekskul teater, guru bahasa Indonesia yang jadi pembina dan tidak butuh banyak biaya, kecuali mengadakan pertunjukan drama.
“Bro gue sama Putri di kios bakso ya” pamit Andi begitu sampai kantin.
Aku mengangguk.
“Gue di pojok, mau sarapan” jawabku.
Kami lalu berpisah, karena aku melanjutkan langkah ke pojok kantin. Ada Roland dan kawanannya sedang makan nasi goreng.
“Reng!!, sarapan!!” tegur Roland.
Aku mengangguk lalu duduk di sebelahnya setelah memesan nasi goreng untuk sarapanku.
“Udah kenalkan sama teman teman gue?, tetangga gue di rumah, persis elo sama Andi” kata Roland.
Aku menyodorkan tanganku.
“Rengga!!” kataku.
“Obi!!” jawab salah satunya yang bertampang jenaka.
“Omen!!” sahut yang satu tanpa menjabat tanganku, beda dengan Obi.
Aku mengangguk. Mereka diam menikmati sarapan, aku juga setelah pesananku datang.
“MY BROTHERS!!!”
Kami menoleh dan satu lagi teman Roland menyapa riang. Mereka tertawa lalu tos bergantian.
“Kenalin No!!. Rengga yang gue ceritain!!” kata Roland.
Aku mengulurkan tanganku lagi.
“Gerenino, Nino aja, semua orang kenal, gue kan badai” jawabnya menjabat tanganku.
“HOAX!!” cetus Obi.
Nino ngakak.
“Pada gak punya emak elo ya?, masa sarapan pada di kantin” ejeknya.
Mereka kompak memutar matanya dan Nino tertawa.
“Men!, gue doain ya!!, Noni gue semoga gak lolos audisi cheers” kata Nino.
Aku hanya diam mengawasi.
“Ngapa?, bule keren dancenya kemarin, kaya Tayang Tayang gue” jawab Obi.
Roland tertawa.
“Perawan Jendral juga. Elo nontonkan Reng?, walau bentar doang, ngapa cabut sih?. Sinta keren juga dancenya” kata Roland.
Aku tertawa.
“Gue malah doain bule lolos audisi, biar punya backing” jawab Omen lalu menyulut rokoknya.
Nino cemberut.
“Kita aja backing Noni, gak usah dia dance gak jelas” sanggah Nino.
Omen berdecak lalu bangkit.
“Dia di gencet di toilet aja elo gak bisa nolong, sok banget jadi backing” omel Omen ketus lalu beranjak keluar kantin pojok lalu duduk di bangku luar kantin pojok.
“Omen sih gitu, kalo Noni gue di modusin laki gimana Bi?” keluh Nino.
Gantian Obi berdecak lalu bangkit.
“Di banding di modusin elo!!” jawab Obi lalu menyusul Omen.
Roland terbahak.
“Doa elo kayanya gak akan di dengar” komen Roland.
Nino semakin cemberut lalu menyusul Obi dan Omen.
“Jadi laki ngakunya keceh badai, tapi bisanya cuma PHP in bule Reng. Obi sama Omen jadi eneg. Jadi laki tuh, kalo beneran suka, mestinya bilangkan ya Reng?” kata Roland.
“Takut di tolak kali” komenku.
Roland tertawa.
“Jangan suka sama cewek kalo gitu. Cewek mah, di kasih perhatian dikit pasti baper. Bokap gue aja, demen banget baperin cewek ABG, sampe mau dan luluh dia ajak kencan” komen Roland.
Aku hanya tersenyum.
“Ada yang serius bilang suka, macam Obi, malah ceweknya yang PHP dan bikin baper doang. Kadang serba salah ya Reng, benar fatkay, derita cinta tiada akhir” lanjut Roland.
Aku jadi ngakak.
“Elo sama perawan Jendral, siapa PHP siapa dan siapa yang baperan?” tanyanya padaku.
“Apaan sih lo?” keluhku.
Gantian Roland ngakak.
“Wah elo kayanya macam Obi yang baper ya?” ejeknya.
Aku tertawa sambil melepaskan rangkulannya.
“Gue sih ngeri sama Sinta Bro, kalo gue macam macam, bisa habis gue di hajar. Jago tarung macam Omen” lanjut Roland.
“Ya tinggal elo setia, pasti aman” jawabku.
Roland ngakak lagi.
“Kayanya cewek model Sinta, gak butuh laki deh, dia bisa jaga diri dia” komen Roland.
“Tetap butuh laki buat jaga hati” jawabku.
Roland ngakak parah.
“Dalam amat tuh bacot, kaya semvak” komen Roland meledek.
Aku jadi ngakak.
“ROL!!, BEL!!” jerit Obi dari luar.
Kami jadi beranjak setelah membayar sarapan kami masing masing. Kami lalu masuk kelas masing masing.
“Eh neng Sinta, sama neng Marina” sapa Roland pada Sinta dan teman sebangkunya.
Kalo Marina tertawa, Sinta yang diam aja. Aku masih abaikan diamnya Sinta. Walaupun aku pikir tumben juga. Biasanya dia selalu jawab ledekan Roland. Ini beneran dia diam sepanjang pelajaran. Boro boro noleh ke belakang, Bersuara aja gak.
“Perawan Jendral kenapa Reng?, PMS gak sih?. Apa sakit?” bisik Roland saat jam istirahat berbunyi.
Aku mengangkat bahuku. Aku jadi mengawasinya yang berlalu berdua teman sebangkunya keluar kelas, dan Roland juga pamit ke kantin. Aku baru keluar kelas setelah Andi menyusulku, untuk ke ruang OSIS, soal pendaftaranku masuk ekskul teater. Aku lalu tersenyum mendapati kenyataan kalo Sinta lolos audisi dari perdebatan Clara si ketua Cheers dan Putri yang jadi ketua sie kesenian merangkap ketua paduan suara. Gak ada yang mau jadi ketua paduan suara sekolah, bukan ekskul beken kali. Nyanyi bersama begitu, pasti buat bosan.
“Mau makan dulu gak Reng?” ajak Andi setelah urusanku dengan ketua ekskul teater selesai.
“Masih kenyang gue, ke kelas dulu ya, lagian bentar lagi bel” tolakku.
Jadilah kami berpisah, Andi pasti harus urus permintaan pacarnya, yang bilang haus. Aku sudah tidak sabar memberitahukan soal lolosnya Sinta jadi anggota cheers sekolah. Aku santai menunggunya masuk kelas sambil main game di handphoneku. Menjelang bel baru dia kembali dengan teman sebangkunya.
“Sin!!” tegurku tepat dia duduk di bangkunya.
“APA!!” jawabnya galak.
Aku jadi mengerutkan dahiku.
“Gak jadi deh” jawabku buru buru.
Dia hanya menatapku sekilas lalu balik badan dan mengeluarkan buku pelajaran berikutnya karena sudah bel. Jadi ingat komen Roland yang heran kenapa Sinta diam aja.
“Elo sakit Sin?” tegur Roland yang mungkin semakin heran.
Sinta baru menoleh ke belakang berdua temannya.
“Kalo gue sakit, urusannya sama elo apa?” tanyanya galak juga pada Roland.
Roland langsung bungkam saat Sinta berbalik lagi dengan wajah jutek. Tahan loh Sinta tetap jutek, padahal Marina tertawa melihat kelakuannya. Roland aja gak berani tegur tegur Sinta lagi. Aku juga tidak berani. Jadi aku diam juga. Jadi sepi dan buat bosan. Biasanya ada saja obrolannya dengan Roland yang buat aku tertawa. Juga membuatku punya kesempatan menikmati wajah cantiknya. Kalo mode galak malah bikin jiper. Kalo dengan teman sebangkunya masih bercanda dan tertawa tawa, entah ngobrol apa, denganku dan Roland sama sekali tidak mengajak kami ngomong.
Hari pertama aku masih menahan diri jadi ikutan diam. Hari kedua saat dia mulai komunikasi dengan Roland, aku mulai ada yang aneh, karena dia mengaabaikanku. Asyik aja bercanda dengan Roland, yang meledeknya autis hari kemarin, dan soal penampilang dancenya di audisi cheers. Boro boro ngajak aku serta dalam obrolan mereka berdua, menoleh ke arahku aja gak. Jadi bingungkan aku?. Aku sampai menunggunya di parkiran di jam pulang sekolah. Gak enak rasanya, mendapati Sinta yang bungkam dan jutek.
“Gue punya salah ya Sin sama elo?” tanyaku begitu melihatnya mendekat ke arah mobilnya.
“GAK!!” jawabnya galak dan menyingkirkan tubuhku yang menghalangi langkahnya.
Aku menghela nafas lalu mencekal tangannya yang bersiap membuka pintu mobil.
“Dewi…” desisku.
Gantian dia menghela nafas.
“Minggir deh Reng!!” tolaknya menepis tanganku.
Aku bersikeras dengan menutup pintu mobilnya dengan tubuhku. Dia seketika menggeram.
“MAU ELO APA SIH???” bentaknya lebih garang.
Aku mereguk ludahku, waduh perawan jendral ngamuk.
“Gue malas sama elo!!” tambahnya lagi.
Aku mengerjapkan mataku karena dia ngomong tepat di hadapan wajahku.
“Jadi minggir sebelum gue ngamuk!!” ancamnya.
Aku menggeleng.
“Masalah apa sih Sin?” tanyaku lagi bersikeras.
Aku takut berbuat salah. Dia menghela nafas lagi lalu tolak pinggang.
“Dengar ya!!. Yang ngerep dapat perhatian gue BANYAK!!” semprotnya.
Aku diam.
“Yang mau sama gue, BANYAK JUGA!!” tambahnya lagi.
Aku mengangguk membenarkan.
“Gak usah ngangguk nganguk dan bikin gue eneg” omelnya mulai lemah.
“Karena yang elo bilang benar, pasti banyak yang mau sama elo dan dapat perhatian elo” jawabku.
Dia berdecak.
“Makanya jangan PHP IN GUE!!” semprotnya sambil mendorongku minggir dari pintu mobilnya.
Aku mengusap tengkukku saat dia membuka pintu mobilnya.
“Satu lagi!!” jedanya sebelum masuk mobil.
Aku menantapnya.
“Gue sadar yang namanya DEWI BANYAK!!, gue yang bego jadi BAPER sama kelakuan elo!!” omelnya lagi lalu benar benar masuk mobil.
Aku yang melongo melihat reaksinya. Benar Roland cewek gak suka di PHP dan di buat baper. Aku salah kayanya kali ini. Aku jadi menjambak rambutku setelah Sinta berlalu pergi. Apa gara gara puisiku di statusku ya?. Dia kayanya gak tau, kalo aku hanya membiarkan dia yang melihat status What up aku, karena aku buat khusus untuknya kok. Tapi…hadeh…kadang bahasa puisi yang menyembunyikan makna tujuan sebenarnya, yang membuat orang salah tafsir dan jadi ambigu.
“Begonya Reng…” desisku mengacak rambutku.
Padahal semua karena aku yang tidak punya keberanian walau sekedar berharap dia mau sama aku. Gak mungkin banget kayanya. Lagian kalo aku bilang terang terangan, takut hubungan kami jadi kaku. Soal rasakan gak bisa di paksa. Kalo pun perasaaan dan harapanku besar pada Sinta, tetap tidak bisa memaksa Sinta untuk memenuhi harapanku, apalagi perasaanku. Apa SInta juga suka aku ya?, jadi dia merasa aku PHP dan dia jadi baper?. Jadi kusut gini sih?. Kenapa tidak berjalan mulus seperti harapanku. Kenapa Sinta tidak sepertiku yang sangat menikmati setiap moment kala rasa itu membuatku berdebar sampai harap harap cemas, sampai aku atau dia yakin dengan setiap rasa yang kami punya. Cewek macam Sinta ternyata mampu berpikir logis, harus pasti dulu, sebelum menumbuhkan harapan. Jadi semakin kagum pada sosok SInta. Cewek yang aku kenal, biasanya langsung terlena. Di beri perhatian sedikit, suka langsung bucin. Gak minat gitu cari tau dulu, bentuk perhatian itu sebagai seorang teman atau beneran karena ada rasa.
Tapi aku bisa apa?, lagi lagi aku tidak berani mendekatkan diri pada Sinta. Dia semakin mengabaikanku. Aku jadi cuma bisa diam.
“Elo berdua marahan?” tegur Roland tiba tiba saat pulang sekolah keesokan harinya.
Aku langsung menunduk menghindari tatapan sekilas Sinta ke arahku. Roland deblek amat sih?, kalo Sinta ngamuk lagi sama aku, kemungkinan kami seperti biasa lagikan jadi semakin tidak mungkin.
“Elo mau gue hajar ya?, apa mau gue tembak?. Kali elo mau jajal tabokan gue, atau malah gak percaya kalo gue bisa nembak lempeng kepala elo?” jawab Sinta.
Kalo aku mereguk ludahku, Roland ngakak. Aku buru buru membereskan bukuku ke tas. Tuhkan malah jadi semakin ngamuk.
“Gue duluan!!” pamitku bangkit dan mengabaikan tawa ngakak Roland dan Marina.
Aku gak tau gimana ekspresi wajah Sinta. Pasti angker seperti kemarin. Mending aku makan siang di kantin, karena jam istirahat tadi tidak sempat makan. Aku sibuk dengan urusan ekskul teater. Aku makan siang sambil mengawasi kawanan Roland setelah menanyakan keberadaan Roland padaku. Tak lama mereka pamit karena Roland sudah di parkiran motor. Aku suka sih dengan mereka yang selalu kompak berempat terus, sampai terkenal banget jadi genk cowok cowok keren di sekolah. Mereka punya ciri khas dan karakter masing masing, jadi saling melengkapi. Yang diam banget ada, yang cerewet sekali ada, yang konyol dan gesrek ada, tambah Roland yang tengah tengah sifat mereka, jadi klop. Tapi untuk bergabung dengan mereka, aku takut mereka tidak nyaman kalo melihatku sok akrab. Jadi aku hanya membalas sapaan mereka atau menegur lewat senyuman atau anggukan kepalaku.
Selesai makan, baru aku beranjak pulang. Mobil Sinta masih terparkir tapi Sintanya tidak kelihatan. Jadi aku meneruskan langkahku ke arah mobilku.
“SIN!!!” tegurku melihatnya jongkok dan terisak di samping mobilnya.
Aku tidak lihat tadi, karena terhalang mobil lain. Buru buru aku mendekat saat dia menoleh dengan airmatanya.
“Kenapa?” tanyaku mendadak panik.
Dia cuma menjawab dengan isakan dan menunduk lagi di lututnya yang tertekuk. Aku terpaksa lebih mendekat lagi.
“Astaga…” desisku meringis melihat bangkai kucing yang berlumuran darah.
Aku jadi ikutan jongkok.
“Gue gak tau ada kucing tidur di kolong mobil gue, sumpah Reng!!” rengeknya mengadu.
Aku menghela nafas. Takut takut aku mengusap kepalanya karena dia terisak lagi setelah menunduk lagi.
“Udah yuk!!” ajakku.
Dia menggeleng.
“Mesti di kubur Reng, pakai baju gue, kalo gak, gue bisa celaka, nabrak kucing gini” keluhnya masih menangis.
Aku diam berpikir. Lalu aku mengeluarkan handuk kecil di tasku yang selalu aku bawa.
“Elo mau apain?” tanyanya melihatku membungkus bangkai kucing itu dengan handukku.
“Kata elo mesti dikubur” jawabku.
Dia mengerjabkan matanya.
“Dimana kuburnya?” tanyanya sambil mengusap airmatanya.
Aku diam berpikir lagi.
“Di belakang ada tanah kosong, yuk buruan!!, daripada elo mewek gak guna gini” ajakku lagi sambil bangkit.
Bodo deh kalo dia tidak ikut aku. Ternyata dia mengekorku dan masih tetap mewek. Hadeh, luntur sudah aura garang perawan jendral. Sampai di halaman belakang sekolah dekat gudang, aku menggali lubang untuk kuburan kucing menggunakan tanganku dan bilah kayu yang aku temukan tergeletang di tanah. Dia ikutan membantuku dan aku biarkan, takut dia ngamuk lagi.
“Tunggu Reng!!” jeritnya menjedaku yang bersiap mengubur bangkai kucingnya.
Aku batal mengubur lalu terbelalak karena melihatnya santai membuka kemeja sekolahnya di depanku. Hadeh…untung pakai singlet putih sebagai lapisan kemeja seragamnya, begitu aja, aku jadi panas dingin.
“Tetap mesti di kubur pakai baju gue” jawabnya mengabaikan tatapanku.
Aku jadi gagu melihatnya santai mengubur bangkai kucing yang di ganti bungkusnya dengan kemeja seragamnya.
“Bantuin apa!!, enak banget lihatin t***t gue, mau gue hajar!!” omelku.
Aku buru buru membantunya dan menunduk menghindari tatapannya. Begitu selesai, aku buru buru bangkit dan dia tetap jongkok di kuburan kucing itu.
“Meng…maaf ya…jangan gentayangan dan ganggu aku, aku gak sengaja” rengeknya.
Aku menghela nafas.
“Sin!!, udah yuk balik!!” ajakku.
Bagus dia menurut bangkit, lalu mendekap tas sekolahnya dan beranjak meninggalkanku. Aku mengekor dan tidak berani bersuara. Untung koridor sekolah sudah sepi, jadi tidak ada yang memperhatikan kalo perawan jendral cuma memakai singlet putih dan rok sekolah.
“Makasih Reng!!” ungkapnya setelah tiba di mobilnya lagi.
Aku hanya mengangguk. Bingung juga mesti komentar apa lalu beranjak ke mobilku. Tapi.. aku khawatir dia pulang sendiri dengan kondisi dia yang cuma pakai daleman singlet dan rok seragam pendek. Aku buru buru mengekor mobilnya. Kalo ada apa apa di jalan gimana?. Aku jadi tau dimana rumah Sinta. Dan aku pikir, dia tidak tau aku ikuti, ternyata dia tau, karena begitu tiba di depan gerbang rumahnya, ada pesan masuk ke handphoneku. Posisiku yang sedang berhenti karena memastikan itu rumahnya, membuatku memeriksa handphoneku.
Makasih udah kawal gue, begitu pesannya.
Aku langsung terbahak, tepat pagar rumah Sinta terbuka dan mobil Sinta bergerak masuk. Begitu aja aku senang. Baiklah perawan jendral, biar aja deh, aku yang baper, kalo dia yang baper, bahaya amukannya. Aku lalu beranjak pulang. Sehappy happynya aku, tetap tidak berani menyapanya seperti kemarin kemarin. Sinta juga diam aja esok harinya di sekolah. Tetap gak tegur aku, tetap mengabaikan aku. Nelangsa gini. Rasa baperku yang kemarin, seketika lenyap. Berat euy deketin perawan jendral. Mahal nian!!, dan punya kelas tersendiri.
Jikalau untaian kata itu, untuk mewakilkan sebuah rasa. Lepaskan!!, jangan kau genggam dank au nikmati sendiri….Biarkan rasa itu mengalir dan menyentuh setiap ruang sampai ke dasar hati….Biar hati dapat menyeleksi..Rasa itu patut di genggam atau harus di hempaskan….
Aku sampai bangun dari tidurku saat membaca status WA Sinta. Aku sudah di rumah dan sedang galau, malah buat aku baper lagi. Buat aku atau bukan sih?. Aku mengacak rambutku gusar. Apa ini ya perasaan Sinta yang baper karena kelakuanku. Mesti aku beresin nih sih, supaya tidak ambigu trus. Aku sampai tidak sabar hari esok datang. Aku mesti ajak SInta ngobrol.
Tapi pas besoknya, aku ciut lagi waktu dia tetap mengabaikanku dan memasang wajah jutek. Bukan waktu yang tepat. Jadi aku diam. Selepas jam istrirahat baru dia keliatan ceria karena pengumuman audisi cheers sudah keluar di madding sekolah.
“Congrats Sin, gebetan teman teman gue juga lolos, semoga bisa jadi teman elo” kata Roland pada Sinta.
Sinta tertawa.
“Semoga Rol, gue juga senang kenal bule sama Karin” jawab Sinta.
Aku hanya senyum.
“Selamat Sin….” desisku takut takut.
Dia menoleh ke arahku dan ajaibnya dia tersenyum.
“Makasih Reng” jawabnya lalu balik badan.
Roland menatapku cengar cengir dan aku abaikan. Guru juga sudah masuk kelas. Kami konsen belajar sampai bel pulang berbunyi. Ternyata kesempatan untukku karena Sinta bertahan di kelas menyelesaikan catatan di papan tulis. Aku juga bertahan walaupun aku selesai mencatatnya. Aku buru buru membereskan bukuku setelah dia juga membereskan bukunya ke dalam tas.
“Sin!!” cetusku menjegahnya beranjak.
Dia menoleh dan menatapku. Aku buru buru bangkit berdiri.
“Gak ada Dewi lain kok, gue cuma mau kenal sang Dewi yang ada di depan gue” kataku lalu diam menunggu reaksinya.
Dia mengangkat sebelah alisnya menatapku.
“Maafin gue yang milih jadi pengagum rahasia elo. Semua karena gue takut, elo gak nyaman dan bukan mau bikin elo baper” lanjutku terlanjuran.
Dia masih menatapku.
“Teerserah elo kasih izin apa gak, gue tetap akan jadi pengagum elo” kataku lagi.
Dia menghela nafas.
“Udah ngomongnya?” tanyanya.
Aku mengangguk pasrah. Dia lalu beranjak meninggalkanku. Aku jadi mengacak rambutku. Lalu aku diam waktu dia berbalik tepat dia berdiri di muka kelas.
“Awas elo cari sang Dewi lain selain Sinta Sari Lukito!!, gue bisa suruh papi gue kirim sniper buat nembak elo!!” ancamnya dan membuat senyumku terbit.
“Jangan ketawa Reng!!, gue serius!!” ancamnya lagi.
Aku buru buru mengangguk.
“NGOMONG RENG!!” bentaknya.
“Iya Sin…Dewi lain banyak, tapi Dewi yang gue kenalkan cuma SInta Sari Lukito, apa mau ganti jadi Sinta Sari Natalegawa?” jawabku.
Dia terbelalak dengan wajah merona lalu wajahnya garang lagi.
“Hadeh..benaran gak anggap ancaman gue, masih aja bikin gue baper” omelnya lalu beranjak pergi.
Aku ngakak melihatnya ngomel tapi lalu menyusulnya, aku mesti mengawalnya pulang lagi, daripada dia mikir aku cari sang Dewi lain.4.