Langit menutup kembali pintu kamar Alana saat melihat bagaimana lelapnya gadis itu tertidur. Padahal, ia merasa dirinya tidak terlalu lama di dapur. Ia hanya membuat sop dan menggoreng ayam sebagai lauk. Namun, saat ia kembali, ia justru mendapati Alana yang sudah terjun ke alam mimpinya.
“Non Alana memang biasanya akan langsung tidur setelah asmanya kambuh. Mungkin dia kelelahan,” ujar Bi Murni yang saat itu berada di dekat Langit.
Langit melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah hampir malam. Dan ia merasa tidak sedekat itu dengan Alana hingga ia bisa tinggal hingga larut di rumah ini tanpa sepengetahuan orang tuanya.
“Nggak papa, Bi. Nggak usah digangggu!”
“Dokter mau nungguin? Tapi biasanya Non Alana lama tidurnya. Palingan nanti menjelang tengah malam baru kebangun. Nggak papa kalau mau Dokter bangunin dulu!”
“Jangan! Nggak usah. Biar dia istirahat aja. Dia pasti capek. Nanti jangan biarin dia mandi ya, Bi! Kalau mau bebersih, cukup ganti baju sama dilap aja. Pokoknya jangan dipaksa kena dingin dulu!”
Bi Murni mengangguk. “Dokter mau pulang? Nanti kalau Non Alana nyariin gimana?”
“Ya tinggal bilang saja kalau saya sudah pulang. Oh iya, sopnya nanti juga tolong angetin sebentar kalau dia sudah bangun. Cukup angetin aja, dan jangan terlalu lama!”
“Siap, Dok,” jawab Bi Murni. “Mari, Dok, saya antar ke depan!” kata Bi Murni, saat melihat Langit yang seperti akan pergi.
“Nggak usah. Bibi lanjutin kerjaan Bibi aja! Saya titip Alana ya, Bi! Ini kontak saya, kalau sewaktu-waktu terjadi sesuatu sama dia, langsung kabari saya!”
Bi Murni menatap Langit dengan mata berbinar. “S- siap, Dok. Aduh, makasih banget ya, Dok! Terima kasih sudah peduli dan baik sama Non Alana.”
Langit tersenyum tipis, sebelum akhirnya beranjak pergi dari sana. Ia terkekeh saat tiba di teras dan menutup pintu rumah Alana dari luar. “Aku hanya melakukan tugasku sebagai dokter. Aku nggak berlebihan, kan? Aneh sekali sikap Bi Murni.”
***
Dan benar saja. Saat Alana bangun, ia kebingungan mencari keberadaan Langit. Gadis itu bangun pukul setengah sepuluh malam, saat Bi Murni sedang mengunci pintu depan.
“Bi, Dokter Langit mana?”
“Sudah pulang, Non,” jawab Bi Murni.
Alana langsung cemberut. Ia berbalik, lalu berjalan gontai ke arah tangga sambil mendumel.
“Eh, Non, tapi Dokter Langit tadi sudah masak buat Non. Biar Bibi angetin sebentar ya, buat Non Alana makan? Non mau makan di kamar aja atau-”
“Serius, Bi? Dia beneran jadi masak?” kaget Alana. Ia pikir, Langit hanya berbohong dan berakhir kabur darinya. Namun, ternyata pria itu juga sempat masak untuknya?
“Iya. Ada sayur sop sama ayam goreng. Tadinya Dokter Langit mau ajakin Non makan bareng pas makanannya matang, tapi nggak jadi, karena ngelihat Non tidurnya nyenyak banget,” terang Bi Murni.
“Yah … kenapa nggak dibangunin aja, sih?”
“Sudah saya usulin gitu, Non. Tapi kayaknya Dokter Langit nggak tega. Oh iya, Dokter Langit juga berpesan biar Non Alana nggak mandi karena itu kurang baik buat kesehatan Non. Terus, kalau mau bebersih, cukup ganti baju sama dilap aja,” ujar Bi Murni.
Alana terkekeh. Ternyata pria itu bisa perhatian juga meski perhatiannya tidak ia tunjukkan secara langsung.
“Non, Non Alana kenapa ketawa-ketawa sendiri gitu?”
“Nggak papa, Bi. Seneng aja ada yang perhatiin lagi,” jawab Alana jujur.
Bi Murni ikut tersenyum. “Iya, Non. Kalau yang satu ini kayaknya beneran baik dan tulus. Bibi langsung suka ngelihat Dokter Langit daripada Mas Arkan.”
“Bibi bisa aja.”
“Serius, Non. Bibi bisa ngerasain, kok. Perhatian Dokter Langit itu benar-benar tulus ke Non Alana,” balas Bi Murni.
“Ya sudah, sudah. Bibi angetin dulu gih sopnya! Saya mau ganti baju dulu ke atas,” kata Alana.
“Siap, Non. Nanti mau Bibi antar ke kamar makanannya? Biar Non Alana nggak kecapekan naik-turun tangga. Nanti saya diomelin lagi sama Dokter Langit,” goda Bi Murni.
“Bibi ini ada-ada aja. Ya udah, gimana enaknya aja saya ngikut,” balas Alana.
Pagi harinya, Alana sibuk berkutat di dapur hingga membuat Bi Murni bingung. Ia pikir, Alana langsung kembali ke kamarnya setelah menghabiskan makan paginya. Namun, ternyata gadis itu menghilang karena pergi ke dapur dan sibuk memotong beberapa sayuran dan jagung.
“Non belum kenyang?” tanya Bi Murni sambil mengintip yang dilakukan oleh putri majikannya itu.
“Enggak, Bi. Ini bukan buat aku,” jawab Alana.
“Terus?”
Alana tersenyum penuh arti. Namun kemudian, Bi Murni akhirnya bisa menyimpulkan sendiri apa yang sedang Alana lakukan saat ini. Ia pun membiarkan Alana melakukan apa yang dia mau, selagi Bi Murni membersihkan seisi rumah.
Pukul sepuluh pagi, Alana sudah tampak rapi dengan kemeja berwarna merah muda dan rok putih yang tampak manis. Tangannya sibuk menata peralatan makan dan memasukkannya ke dalam sebuah lunch bag.
“Bi, saya pergi dulu, ya! Kayaknya nggak akan lama juga. Cuma nganter ini sebentar,” kata Alana.
“Lama juga nggak papa, Non. Sekalian nemenin calon pacar,”goda Bi Murni.
“Dih, siapa lagi calon pacar aku? Baru juga putus. Aku belum mikir ke sana, Bi.”
“Tapi kan kalau sama yang ini jadi juga syukur, Non …”
Alana terkekeh. Ia memukul ringan bahu Bi Murni sambil sekali lagi berpamitan, sebelum ia benar-benar pergi karena sopir taksinya sudah menunggu di depan.
Alana tiba di rumah sakit dalam waktu kurang dari satu jam. Masih ada waktu hampir sejam lagi untuk menuju ke waktu makan siang. Alana menunggu di depan ruang praktik Langit yang tampak masih cukup ramai.
“Mbak Alana!” seru Suster Novi setelah menyadari keberadaan Alana. “Mbak Alana, memang udah jadwalnya check up lagi? Atau asmanya tiba-tiba kambuh?”
“Aman kok, Sus. Cuma mau ketemu Dokter Langit sebentar,” jawab Alana.
Suster Novi menatap Alana penuh selidik, “waduh, dalam rangka apa, nih? Eh, ini makanan jangan-jangan buat Dokter Langit, ya?”
Alana merasa kikuk hingga memilih untuk tidak menjawab.
“Saya kasih tahu ke Dokter Langit ya, kalau Mbak Alana nungguin?” tawar Suster Novi.
Alana membulatkan matanya. “Eh, nggak usah. Lagian ini kan masih jam kerja. Nggak papa, saya nunggu aja.”
“Serius nggak papa? Saya sampaikan dulu juga nggak papa, Mbak. Siapa tahu Dokter Langit juga udah kangen,” goda Suster Novi.
“Sussss!” gemas Alana.
“Memang kedatanganku yang tiba-tiba ini terkesan ambigu, ya? Aku kan cuma mau balas budi karena semalam dia sudah masakin aku,” batin Alana dengan pipi memanas dan bersemu merah.
“Ya sudah, Mbak. Saya permisi lanjut kerja dulu, ya!” pamit Suster Novi.
Alana mengangguk.
“Semangat!” ucap Suster Novi yang membuat Alana mengernyit bingung. Ia hanya mengangkat tangannya dengan tangan terkepal, sama seperti yang dilakukan Suster Novi meski ia tidak tahu apa maksudnya ucapan perempuan itu.
Alana menunggu sambil mengecek ponselnya. Ia masih belum membuat keputusan akan langkah apa yang ia ambil setelah ini. Ia masih tidak rela melepaskan perusahaannya begitu saja. Namun, ia merasa dirinya telah menemui jalan buntu untuk memperjuangkan haknya.
“Apa aku ke sana lagi aja, ya? Aku coba bicara baik-baik saja Arkan buat ngasihin hakku. Nggak papa kalau aku cuma dapat sebagian, setidaknya aku tidak benar-benar dicampakkan oleh usaha yang sudah aku bangun dengan susah payah,” pikir Alana.
“Alana …”
Senyum Alana terbit saat menyadari kehadiran Dokter Langit. Ia melihat jam digital yang tertera di ponselnya. Padahal baru sekitar lima belas menit berlalu sejak kedatangan Suster Novi. Harusnya Langit masih bekerja saat ini.
“Nggak papa, Kakak lanjutin aja dulu kerjanya! Aku tungguin di sini. Lagi pula nggak ada yang urgent juga, kok,” ujar Alana setelah Langit berdiri di hadapannya.
Langit menatap lunch bag yang ada di kursi samping tempat duduk Alana. “Kebetulan pasienku sudah habis, bisa istirahat sekarang. Jadi, ada apa?”
Alana mendadak diserang rasa gugup. Ia menoleh kaku ke arah lunch bag yang ia bawa, lalu meraihnya. “I- ini … aku bawain bekal buat Kakak. Dimakan, ya!”
Langit tersenyum tipis. “Kamu bawa buat berapa orang?”
“Dua.” Awalnya Alana pikir, ia akan makan siang bersama Langit. Namun, sekarang ia malah gugup sendiri dan tidak yakin untuk menawarkan diri makan bersama pria itu. “I- itu … buat jaga-jaga kalau ada teman Kak Langit yang nggak bawa bekal juga. Biar kalau ada yang minta, Kakak tetap bisa makan bekal satunya.”
Langit tahu Alana sedang berbohong. “Nggak akan ada yang minta.”
Alana mengangguk malu. Benar juga. Langit kan punya ruang kerjanya sendiri. Nyaris mustahil tiba-tiba akan ada yang masuk dan meminta makanannya.
“Mau makan bareng di ruangan aku?” tawar Langit.
Alana terperanjat mendengar tawaran itu. Ia menatap Langit dengan raut wajah cengo. Jari telunjuk kanannya mengacung menunjuk dirinya sendiri. Ia tak berucap apapun, tapi, Langit yang sedang dalam mode peka mengangguk membenarkan pertanyaan yang tersimpan di benak gadis itu.