11 - Rasa Aman

1385 Words
Langit menggiring Alana ke ruang kerjanya. Ia mempersilakan Alana untuk duduk, lalu ia sendiri duduk di seberang gadis itu. Dengan gerakan kaku, Alana mulai menata makanan yang ia bawa di atas meja. Ada dua cream sup yang ia siapkan, dan salah satunya ia sodorkan untuk Langit. “Aku nggak tahu Kakak bakalan suka apa enggak. Cuma, karena aku suka makan cream sup jagung, jadi aku coba bikinin buat Kakak,” ucap Alana. Langit menerima tanpa protes. Ia pun langsung mencicipi cream sup jagung yang masih sedikit hangat itu. Rasanya cukup lezat. Mungkin akan jauh lebih lezat jika dinikmati saat masih panas. “Gimana keadaan kamu? Semalam pas bangun, sempat merasa sesak?” tanya Langit. Alana menggeleng. “Pas kebangun aku cuma ngerasa lapar. Soalnya waktu siang juga udah nge-skip lunch.” “Dasar ceroboh. Lalu pagi ini udah minum obat?” “Aku udah baik-baik aja, kok. Jadi aku rasa nggak perlu minum obat lagi,” jawab Alana. “Lain kali jangan ceroboh! Kalau tahu apa yang bisa memicu asmamu, segera jauhi! Kamu juga harus mencoba membiasakan diri buat hidup sehat. Jaga pola makan, olahraga ringan secara rutin, tidur dengan cukup,” ujar Langit. Alana mendengus. Sepertinya suasana hati gadis itu memang bisa dengan cepat berubah-ubah. “Kenapa?” tanya Langit. “Ribet. Lagian aku juga nggak ada teman buat olahraga, malas olahraga sendiri. Kalau soal makanan, masakan Bi Murni di rumah sebenarnya juga udah memperhatikan pola makan yang sehat, kok. Lalu soal tidur, aku sendiri susah mengendalikannya. Aku memang sering susah tidur waktu malam,” adu Alana. “Belajar, biasakan! Kalau kamu nggak berusaha, ya nggak akan bisa. Memang pada dasarnya menerapkan pola hidup sehat itu susah.” Alana hanya memutar bola matanya malas. Mungkin mudah bagi Langit untuk melakukan itu semua. Namun, bagi Alana yang sejak dulu hanya berpikir cara untuk bersenang-senang dan jalan-jalan dengan kekasih tercintanya, tentu hal itu tidaklah mudah. “Kamu mau sembuh, kan?” “Ck, pada akhirnya juga aku nggak bakalan bisa sembuh total.” “Kamu bisa sembuh, Alana …” “Nggak bisa, Kak. Dokter Pras sudah-” “Selama kamu bisa jaga diri kamu baik-baik, penyakit itu nggak akan kambuh. Cuma itu satu-satunya cara kalau kamu mau terbebas dari rasa sesak dan sakit itu,” potong Langit. Alana tidak ingin berdebat dengan Langit. Ia pun memilih tidak lagi menanggapi ucapan pria itu. Lagi pula, ia tahu maksud Langit baik. Langit hanya ingin Alana tidak terlalu bergantung pada obat-obatan seumur hidupnya. Karena biar bagaimana pun, itu pasti akan menimbulkan efek samping di kemudian hari. Ponsel Alana bergetar. Alana meletakkan sendoknya dan mengecek panggilan yang masuk. Ia mengernyit menatap nama penelepon yang tampak di layar ponselnya. Ia pun meletakkan kembali ponselnya dengan layar menghadap ke meja. “Nggak mau kamu angkat dulu?” Alana menggeleng lemah. “Mantan kamu?” Alana mengangguk. “Kamu masih nggak bisa move on dari dia, sampai-sampai ngangkat teleponnya aja nggak mau,” tebak Langit. Alana menatap tajam ke arah Langit. Lalu, ia mengambil kembali ponselnya. Ternyata, Arkan juga mengiriminya pesan sejak tadi. From: Arkan [Kamu di mana?] [Aku on the way ke rumah kamu, ya. Mau titip sesuatu nggak?] [Alana, mau pesen makan? Atau kita lunch di luar aja?] [Ngapain ke rumah sakit? Memang sekarang jadwal kamu check up?] [Al, aku susulin ke sana, ya. Kebetulan kerjaanku juga udah selesai.] Alana meletakkan ponselnya dengan kasar. Ia memandangi Langit dengan tatapan kesal, membuat Langit mengurungkan niatnya untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu di tempat lain … Arkan baru saja tiba di rumah sakit. Sebelumnya, ia sudah pergi ke rumah Alana. Namun, Bi Murni mengatakan jika Alana sedang berada di rumah sakit. Awalnya Arkan sempat bertanya, apakah ini jadwal Alana check up, tetapi Bi Murni tidak menjawab dengan jelas sehingga akhirnya Arkan berinisiatif untuk langsung menyusul ke rumah sakit. Selama ini, Arkan sering mengantar Alana check up. Bahkan, ia juga cukup mengenal dokter yang selama ini menangani Alana - Dokter Pras. Arkan sangat hafal di sebelah mana ruang dokter itu berada. Dan saat Arkan sampai di sana, ia melihat perawat yang sering mengobrol dengan Alana saat mereka menunggu antrean. “Sus!” panggil Arkan. Ia menghampiri perawat itu. “Ada yang bisa saya bantu?” “Alana ada di sini, kan? Suster tahu di mana dia sekarang? Soalnya dari tadi saya telepon nggak diangkat,” tanya Arkan. “Apa mungkin lagi di ruang kerja Dokter Langit, ya?” gumam Suster Novi tanpa sadar. “Ada, kan? Bisa tolong panggilin sebentar! Bilang aja pacarnya nunggu di depan!” Suster Novi tampak diam sebentar. Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan. Sepertinya, ia bermaksud ingin mendekatkan Alana dengan Langit. Ia lupa, jika selama ini Alana sering datang bersama pria yang saat ini berada di hadapannya. “Mereka masih pacaran, ya? Aku pikir udah putus. Mana udah terlanjur naik kapal Mbak Alana sama Dokter Langit lagi.” “Sus?” “Eh, iya, Pak? Baik, sebentar coba saya cek dulu, ya?” ujar Suster Novi, kemudian segera menuju ke pintu ruangan Langit. Suster Novi masuk setelah Langit mempersilakannya. Ia tersenyum kikuk ke arah pasangan yang sedang sibuk menikmati makan siang mereka itu. “Ada apa, Sus?” tanya Langit melihat ekspresi yang tak biasa dari salah satu suster yang bekerja di poli itu. “Anu … itu, di luar ada pacarnya Mbak Alana,” jawab Suster Novi. Alana tersentak kaget. Entah kenapa ia tidak terima saat Suster Novi mengatakan jika yang di luar itu adalah pacarnya. “Mantan, Sus! Sudah putus, kok.” “Oh, udah putus?” Tatapan Mata Suster Novi tampak semringah mendengar ralat dari Alana. Dan Alana mengangguk cepat. “Kamu nggak mau temui dulu?” tanya Langit pada Alana. Alana kembali menoleh ke arah pacar pura-puranya, “kalau langsung diusir aja nggak bisa, ya?” Langit menghela napas panjang. “Mau coba aku yang bicara sama dia?” Alana menelan saliva dengan susah payah. Apa tidak papa kalau Langit langsung yang menghadapi Arkan? Apa mereka tidak akan ribut? Apalagi, Alana juga baru mengetahui tabiat Arkan yang ternyata kejam dan menyebalkan. “Aku aja nggak papa deh,” putus Alana. Ia membereskan makanannya, lalu bangkit dan menghampiri Suster Novi yang menunggu di dekat pintu. “Makasih ya, Sus,” ucap Alana. “I- iya, Mbak.” Alana pun keluar. Ia melihat Arkan yang sedang duduk di ruang tunggu poli. Ia pun menghampirinya dengan raut wajah datar. “Ngapain nyariin aku?” Arkan segera berdiri. Lelaki itu memegangi kedua sisi bahu Alana, membuat Alana merasa risih. Alana ingin menghindar, tapi Arkan menahannya. “Kenapa? Asma kamu tiba-tiba kambuh? Gimana keadaan kamu sekarang?” tanya Arkan. Alana mencebik, “apa urusannya sama kamu kalau penyakit aku kambuh?” Arkan langsung melepaskan tangannya yang ada di lengan mantan kekasihnya itu. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau perhatiin kamu? Udah untung aku tanyain.” Alana tersenyum paksa, “lain kali kamu nggak perlu repot-repot kasih perhatian sama aku. Daripada kasih perhatian yang nggak berguna itu, mending kamu kasih aja perusahaan yang memang seharusnya jadi milik aku!” “Nggak usah bermimpi,” tolak Arkan. “Sudah periksanya? Ayo aku antar pulang!” Alana menghempas tangan Arkan saat pria itu menariknya. Namun, Arkan segera menangkap lengan Alana kembali dan menariknya paksa. “Lepasin! Aku nggak mau ikut sama kamu!” “Kamu mau kita bahas soal perusahaan, kan? Kamu mau minta hak kamu di perusahaan itu, kan?” ujar Arkan. Alana diam. Jika itu soal perusahaan, ia tidak ingin melepaskan kesempatan ini begitu saja. Namun, di sisi lain, ia juga tidak ingin pergi berdua dengan Arkan. Arkan yang sekarang, berbeda dengan Arkan yang dulu. Dia adalah pria yang jahat dan kejam. Sedangkan Alana memiliki fisik yang begitu lemah. Bukan sebuah kemustahilan jika ia akan kembali celaka jika memutuskan untuk pergi dengan mantan kekasihnya itu. “Mungkin ini akan jadi terakhir kalinya aku kasih penawaran ke kamu. Kalau kamu mau bahas soal kepemilikan perusahaan sama aku, ikut aku sekarang! Kalau enggak, itu artinya kamu sudah siap melepas semua hak kamu di sana,” tegas Arkan. Alana masih bimbang dan belum membuat keputusan, hingga akhinya sebuah suara berhasil mengusik indera pendengarannya. “Ada apa ini?” Alana menoleh, mendapati dewa penyelamatnya berdiri dengan raut wajah dingin di belakang tubuhnya. Hanya dengan melihatnya saja, Alana dapat menghela napas lega. Kehadiran pria itu menimbulkan perasaan aman dalam diri Alana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD