09 - Penyelamatku

2727 Words
Alana hampir jatuh saat Arkan mendorongnya keluar dari ruangannya. Alana menatap mantan kekasihnya itu nyalang. Rasanya, masih sulit dipercaya jika pria itu akan menjadi sosok sejahat dan sekejam ini. “Aku punya hak di perusahaan ini!” tegas Alana. Arkan tersenyum remeh. “Semua yang bekerja di sini tahu kalau perusahaan ini milikku.” Naya datang, menyerahkan sebuah berkas pada Arkan yang kemudian Arkan tunjukkan pada Alana. “Lihat dan baca baik-baik, siapa nama pemilik perusahaan ini!” ujar Arkan. Alana membaca bagian yang ditunjukkan oleh Arkan. Kalimat itu menyatakan jika perusahaan ini telah berganti nama, dan kepemilikannya, seratus persen milik Arkan. “Apa?” Alana yang tidak terima, berniat untuk merebut berkas itu. Namun, Arkan segera mengamankannya. Ia menyerahkan berkas itu pada Naya dan meminta Naya untuk menyimpannya. “Jadi, kamu tahu posisi kamu di sini, kan? Kalau kamu butuh kerjaan, mungkin aku bisa pertimbangkan, mengingat kamu pernah meminjamkan uang pada perusahaan,” ucap Arkan. Ia masih menatap Alana dengan remeh. “Bagaimana kalau cleaning service?” lanjur Arkan. “Arkan, kamu gila …” “Oh iya. Aku hampir lupa kalau kamu penyakitan dan nggak bisa bekerja yang ngandelin fisik. Apa kamu mau aku tempatkan jadi admin online shop? Atau customer service?” lanjut Arkan dengan nada meremehkan. Alana menggeleng lemah. Air matanya mulai berjatuhan. Ia merasa terhina dan terbuang dari apa yang selama ini ia perjuangkan. Ia telah melakukan kesalahan besar, dengan menaruh kepercayaan besar pada pria berengsek seperti Arkan. “Kamu … kamu jahat! Aku belum pernah bertemu dengan orang sejahat kamu,” ungkap Alana. “Oh, good. Berarti aku adalah orang jahat pertama yang kamu temuin? Senang bisa jadi orang pertama buat kamu dalam hal itu,” balas Arkan. Setelah puas menghempaskan mental Alana hingga ke jurang, dengan santainya, Arkan pergi dari sana. Ia juga memberi kode pada asistennya yang sejak tadi menyimak untuk segera mengusir Alana dari kantor. “Mbak Alana, maaf. Tapi Pak Arkan minta Mbak Alana buat segera pergi dari sini,” ucap Bayu - asisten pribadi Arkan. Alana menatap asisten mantan kekasihnya itu dengan tajam, yang hanya dibalas tatapan dingin oleh Bayu. “Saya pemilik perusahaan ini. Nggak ada yang bisa mengusir saya dari sini,” tegas Alana. “Mohon kerja samanya, Mbak! Biar bagaimana pun, Pak Arkan punya bukti otentik kepemilikan perusahaan ini di depan hukum. Dan bila Mbak Alana tidak setuju akan hal itu, silakan buat gugatan secara perdata ke pengadilan!” balas Bayu. Alana masih enggan beranjak. Dia akan melawan, saat Bayu mulai memegangi lengannya dan menariknya pergi. Alana meronta, tetapi, rontaannya seakan tidak berarti sama sekali bagi Bayu. “Arkan, dengar! Aku akan ambil alih lagi perusahaan ini dari kamu. Aku akan mengambil semua yang seharusnya jadi milik aku!” teriak Alana, saat Bayu memegangi lengannya dan memaksanya ikut dengannya. Alana memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Ia sendiri masih sulit untuk menghentikan tangisannya. Saat dirinya dan Bayu berada di dalam lift, tiba-tiba tubuh Alana ambruk. “Mbak Alana, mohon jangan seperti ini!” ujar Bayu. Mungkin Bayu tidak percaya, jika saat ini asma Alana sedang kambuh. Gadis malang itu, hanya bisa terus meremat dadanya yang terasa sesak sembari berusaha meraup sebanyak mungkin oksigen untuk dapat bertahan hidup. Bersamaan dengan terbukanya pintu lift, kesadaran Alana akhirnya hilang. Ia tersungkur tak sadarkan diri, membuat Bayu akhirnya panik sendiri mengetahui jika sejak tadi Alana benar-benar merasa kesakitan. *** Saat Alana membuka matanya, ia merasa tak asing dengan keadaan sekitarnya. Ini bukan salah satu ruangan di rumahnya. Namun, bukan juga rumah sakit tempat biasa ia dirawat. Ia tersenyum miris menyadari betapa lemahnya ia sampai lagi dan lagi justru harus menunjukkan sisi lemahnya di depan orang yang sangat ia benci. Alana memaksakan diri untuk duduk dan mulai siaga setelah ia sadar betul di mana ia berada saat ini. Bersamaan dengan itu, pintu ruangan yang letaknya tidak jauh darinya akhirnya terbuka. “Sudah selesai aktingnya?” tanya seorang perempuan sebaya dengannya. Pakaiannya tampak jauh lebih modis dari Alana. Bahkan, rambutnya tampak begitu stylist, berbeda dengan Alana yang tak pernah bermain dengan alat-alat stylist rambut. “Nih, minum! Nggak usah nyusahin!” ujar perempuan itu sambil menyodorkan segelas air pada Alana. Alana menatap perempuan itu sengit. Lalu, tatapannya beralih pada cangkir yang wanita itu berikan padanya. “Nggak ada racunnya. Aku nggak sebodoh itu buat ngebunuh kamu di sini. Misal pun aku pengen kamu mati, aku pasti bakal carikan tempat yang lebih sesuai buat kamu,” ujarnya sinis, seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Alana saat ini. Alana tersenyum sinis. “Ternyata kalian memang pasangan yang sangat serasi.” Mendengar pujian Alana, wanita itu tersenyum menang. “Memang. Pantas saja, kan, Arkan milih aku daripada kamu? Udah penyakitan, ngebosenin lagi. Untung b**o, jadi masih ada yang bisa Arkan manfaatkan dari kamu.” Alana terkekeh, membuat wanita itu mengernyit heran. “Benar, kan? Harusnya aku sadar dari awal kalau aku dan Arkan memang nggak cocok. Dia cocoknya sama kamu, sama-sama t***l dan nggak tahu malu.” Plakkk Satu tamparan mendarat di pipi Alana. Namun, gadis itu malah semakin menambah volume tawanya. “Senggak tahu diri itu, sampai masih berani nampar orang yang udah modalin pacarnya bikin usaha, hahah … cewek murahan memang gampang kesinggung walau apa yang dihinakan padanya itu benar.” “Sialan. Kamu mau mati, hah?” Wanita itu - Keisha berniat untuk menampar Alana satu kali lagi. Alana sendiri sudah bersiap untuk menangkis. Namun, belum sempat tangan Keisha menyentuh pipi Alana, sebuah suara yang keras nan tegas terdengar, membuat dua perempuan yang sedang adu mulut itu terdiam. “Kei, stop!” “Arkan?” kaget Keisha. Ia tidak menyangka Arkan malah akan menghentikannya. “Kan, dia bicara kurang ajar sama aku. Aku cuma mau kasih dia pelajaran. Kamu nggak bermaksud buat belain dia, kan?” “Jelas enggak. Cuma aku nggak mau dia keluar dari sini dengan pipi merah. Yang ada dia bakal jadi sorotan. Bisa bahaya kalau sampai ada wartawan yang ngeliput,” ujar Arkan, memberi penjelasan pada sang kekasih barunya. Keisha menghela napas lega. Ia tadi sempat berpikir jika Arkan mungkin tidak tega pada Alana. Namun, untungnya kekhawatirannya itu tidak benar-benar terjadi. Alana berusaha untuk bangkit. Dadanya masih terasa sesak. Harusnya ia segera meminum obatnya sekarang. Namun, ia memutuskan untuk berdiri dan menatap dua musuhnya itu satu per satu. “Untuk kali ini, aku akan pergi. Tapi kalian harus ingat. Aku pasti akan kembali buat mengambil alih kembali apa yang seharusnya jadi milik aku. Dan aku akan menendang sampah-sampah yang bersebaran di wilayah milikku,” tegas Alana. Arkan tersenyum remeh, “jangan mimpi!” Sejujurnya, Alana juga tidak yakin dirinya akan menang melawan Arkan. Dan ini semua, karena kecerobohannya sendiri yang sejak dulu terlalu mempercayai pria itu sehingga pria itu bisa dengan mudah mengambil alih perusahaan. Saat Alana keluar dari ruangan Arkan, Bayu menunggu di luar. “Maafkan kecerobohan saya tadi, Mbak.” Alana tersenyum singkat tanpa menjawab, sebelum akhirnya berjalan ke arah lift. Kali ini, ia akan benar-benar pulang. Ia harus keluar dari sini sebelum ia kembali tumbang dengan begitu menyedihkan. Setibanya Alana di rumah, ia dikejutkan dengan keberadaan sebuah mobil yang beberapa hari lalu pernah mengantarnya pulang. Alisnya mengernyit, mendapati pemilik mobil itu tiba-tiba sudah berada di hadapannya. “Kamu ngapain ke sini?” tanya Alana lemah. Pria itu menatap tajam ke arah Alana. “Bukannya kamu yang ngajakin saya makan malam? Tapi kenapa malah menghilang seharian?” Alana tidak langsung menjawab. Seingatnya, Langit tidak membalas pesannya tadi pagi. Dan sekarang, hari sudah menjelang sore dan ia belum kembali mengecek ponselnya. Karena keadaannya yang tidak sedang baik-baik saja, Alana sempat limbrung. Untung, Langit dengan cekatan menahannya. “S- saya nggak papa.” Alana berusaha menegakkan kembali tubuhnya yang lemah. “Makan malamnya bisa ditunda? Gimana kalau besok atau lusa? Kamu masih bisa menyempatkan, kan?” Langit menatap Alana penuh selidik. “Apa terjadi sesuatu hari ini? Kamu kelihatan tidak sedang baik-baik saja.” Alana tidak mampu menjawab. Ia memegangi dadanya sambil berusaha untuk bernapas. Di waktu bersamaan, Langit bisa mendengar bunyi napas gadis itu yang terdengar sangat menyesakkan. Ketika Alana hampir jatuh lagi, Langit langsung menarik gadis itu dan menggendongnya. Ia membawa Alana ke dalam, tanpa mengatakan sepatah kata pun. *** Alana memegangi dadanya yang masih terasa sesak. Sesekali napasnya masih berbunyi khas, membuat Alana sendiri merasa muak dan jengkel. Langit baru saja membantu ia meminum obat. Dan sekarang, keduanya berada di dalam kamar Alana, menunggu kondisi Alana menjadi lebih stabil. Alana memandangi pria yang juga sedang menatapnya itu. Tatapan Langit tampak begitu dingin, berbeda dengan Arkan saat biasanya menunggui Alana yang sedang sakit. Tiba-tiba saja, gadis itu tertawa dengan nada sumbang, membuat alis Langit menukik tajam. “Dari mana saja seharian ini, sampai bisa tiba-tiba kambuh begitu?” tanya Langit. Nada bicaranya terdengar datar, seolah tidak memiliki rasa khawati sama sekali. Alana mencebik. Ia menunduk lesu mengingat apa yang terjadi hari ini. “Kamu nggak habis melakukan aktivitas fisik yang berat, kan?” imbuh Langit. “Sampai kapan sih aku akan hidup seperti ini? Bahkan ngedengerin napasku sendiri aja aku takut. Kapan aku bisa sembuh? Apa selamanya aku akan seperti ini?” ujar Alana dengan suara bergetar. Langit berjalan mendekat. Ia menyentuh kepala Alana yang tertunduk hingga gadis itu mendongak. “Yang perlu kamu lakukan hanya menjauhi hal-hal yang bisa memicu asma kamu. Kamu sudah dewasa, pasti bisa memilah mana yang baik dan tidak baik buat kamu.” Hati Alana bergetar. Ia bahkan tidak bisa mengontrol dirinya akhir-akhir ini. Dan ia sering membuat dirinya sendiri berada dalam kesulitan. Kehilangan Arkan, seperti ia telah kehilangan kekuatannya dalam hidup. “Kamu mau kan bantu saya?” pinta Alana. Usapan Langit di kepala gadis itu pun terhenti. Langit menurunkan kembali tangannya dari kepala Alana. “Napas kamu sepertinya sudah mulai stabil. Melihat keadaanmu yang sekarang, ada baiknya kalau makan malamnya ditunda dulu,” ujar Langit. Pria itu seperti akan beranjak pergi, membuat Alana kelabakan dan langsung menahan lengannya. Alana menarik tangan Langit hingga pria itu duduk di sampingnya. Lalu, Alana memeluk erat lengan itu, tak mengizinkan pemiliknya untuk pergi. “Saya sudah kehilangan semuanya. Kenapa sih, Dok, dia jahat banget sama saya? Kenapa dia tega menghancurkan saya seperti ini?” lirih Alana. “Bukannya kalian sudah berbaikan? Saya nggak sengaja dengar obrolan beberapa perawat rumah sakit kalau kamu dan tunangan kamu itu nggak benar-benar putus.” Alana menggeleng ribut. “Dia ngelak, karena khawatir saham perusahaan akan turun. Dia memaksa saya buat tutup mulut demi perusahaan. Tapi ternyata, dia malah ambil alih kepemilikan perusahaan saya.” Langit diam selama beberapa waktu. “Saya tidak mengerti dunia bisnis. Tapi kalau kamu merasa itu milik kamu dan dia mengambilnya dengan paksa, kenapa tidak kamu laporkan ke pihak berwajib saja?” Alana terkekeh. “Sudah saya bilang, kan? Saya itu bodoh. Sejak awal ketemu saya, memang Dokter nggak sadar kalau saya itu bulol?” “Ya, saya tahu, kok.” Langit membenarkan ucapan Alana. Namun, bukannya merasa puas, Alana justru kesal dengan ucapan Langit. Ia pun melepaskan pelukannya dari lengan Langit. “Jadi, kamu mau saya lakuin apa?” tanya Langit melihat gadis itu kembali murung. “Cukup selalu ada buat saya!” “Saya-” “Plis! Saya nggak akan minta hati atau pun cinta dari kamu. Saya cuma butuh seseorang buat menemani saya di masa-masa sulit ini. Saya hanya butuh orang yang bisa jadi bukti pada Arkan dan Keisha kalau saya nggak selemah itu tanpa mereka. Saya … saya nggak punya semua itu. Saya nggak punya lagi keberanian untuk melawan mereka jika saya sendirian,” potong Alana dengan memaksa. Langit menghela napas gusar. Dia adalah tipe orang yang malas berhadapan dengan konflik. Apalagi untuk sesuatu yang bukan urusannya. Namun, kenapa ia harus menaruh rasa simpati pada gadis di hadapannya itu? “Saya janji nggak akan ganggu privasi kamu. Kalau kamu suka sama seseorang, atau punya pacar sekali pun, saya nggak akan ikut campur,” lanjut Alana. Langit menoleh kaget. Ia merasa tersindir dengan ucapan Alana. Ternyata gadis itu juga sadar, di usia Langit yang sekarang, harusnya dia memiliki gadis yang ia cintai. Namun, nyatanya hingga kini ia masih betah menyendiri. “Waktu itu kamu minta saya jadi pacar pura-pura kamu.” Alana mengangguk. “Hanya saat di depan Arkan. Tapi, sekarang, saya juga merasa butuh teman. Jadi, bisa kan kamu jadi teman saya? Sebentar saja, setidaknya sampai saya bisa menemukan orang lain yang bisa saya percayai lagi.” “Butuh waktu berapa lama?” “Saya nggak tahu. Saya bukan orang yang pandai bergaul. Tapi saya akan berusaha, kok. Saya janji,” kata Alana. Akhirnya, Langit mengangguk kecil. Alana tersenyum senang mendapati jawaban Langit. “Oh iya, boleh nggak mulai sekarang kita ngobrolnya lebih santai? Jadi aku-kamu? Usia Dokter Langit berapa? Kalau ternyata jauh di atas saya, saya juga nggak keberatan buat manggil Dokter Langit Kakak.” “O- oke. Cukup panggil aku Langit!” pinta Langit. Alana mengernyitkan alisnya. “Aku baru berusia dua puluh tiga tahun. Dan aku tebak, pasti usia Dokter Langit udah hampir tiga puluhan, kan?” “Kamu bukan adikku. Jadi-” “Nggak papa, biar lebih sopan aku manggil kamu Kak aja,” potong Alana. Langit menghela napas pasrah. Lagi pula, apa salahnya dengan panggilan itu? “Baik, terserah kamu saja.” Alana bergelayut manja di lengan Langit, membuat pria itu merinding seketika. “Sebagai ucapan terima kasih, aku traktir makan malam, ya!” “Alana, kamu lagi sakit.” “Aku udah baik-baik aja, kok. Pokoknya, habis ini kita makan di luar. Tunggu sebentar, ya! Biar aku mandi sama siap-siap. Kakak bisa tunggu di ruang tamu, biar nanti dibikinin minum sama Bi Murni,” ujar Alana. Alana bangkit dari kasurnya. Ia berniat untuk mandi. Namun, Langit menahan lengannya dan menarik gadis itu untuk kembali duduk. “Kamu harus istirahat dulu buat memastikan kalau kondisi kamu udah stabil!” “Tapi aku beneran udah nggak papa. Biasanya juga gini, kan? Selagi obatnya udah bekerja, aku udah bisa beraktivitas normal, kok,” tolak Alana. “Patuh, Alana! Aku baru aja menuruti keinginan kamu loh,” desak Langit. Alana merengut kesal. Akhirnya ia kemballi menyamankan posisi duduknya. “Tapi aku mau makan malam sama Kakak. Apa kita delivery aja? Tapi vibesnya pasti bakalan beda, dong. Enakan langsung dine in di restonya.” “Aku akan buatin kamu makanan buat kita makan malam. Tapi kamu harus istirahat!” putus Langit. Kebetulan, Langit memang terbiasa mengolah makanan sendiri. Ia sudah hidup mandiri sejak lulus SMP. Memasak bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Itu adalah kegiatannya sehari-hari. “Serius? Kakak bisa masak?” Alana mencondongkan tubuhnya, saking antusiasnya mendengar ucapan Langit. Merasakan jarak antara dirinya dan Alana yang melampaui batas wajar, Langit pun mendorong kening gadis itu untuk mundur. “Cuma makanan rumahan biasa, jangan berharap banyak!” “Nggak papa. Saya bukan orang yang suka pilih-pilih makanan, kok. Tapi serius Kakak mau masak? Aku bant-” “Tunggu di sini dan istirahat, Alana!” potong Langit. “Aku cuma bantu. Aku juga bisa kok basic skill dalam masak. Janji nggak akan ganggu.” Alana mengangkat kedua jari tangannya, simbol ia sedang berjanji dengan ucapannya. Langit menggeleng. “Kalau kamu masih mau saya masakin, kamu harus patuh!” Bahu Alana merosot. Tubuhnya turut merosot lalu menarik selimut untuk menutupi dirinya sendiri. Wajahnya memelas menatap Langit, tapi sayangnya Langit sama sekali tidak tersentuh dan malah bangkit berdiri. Langit menarik selimut Alana hingga leher gadis itu. “Istirahat! Kalau bisa tidur, tidur! Aku akan bangunin kamu setelah masakannya matang.” Saat Langit akan beranjak, lagi-lagi Alana menahan lengan pria itu hingga membuat Langit kembali menoleh. “Tapi Kakak janji nggak akan kabur kan kali ini? Aku bakalan nungguin Kakak, dan nggak akan makan sampai Kakak nyamperin aku dan ngajak makan bareng.” Langit mengembuskan napas panjang, “aku itu laki-laki. Dan laki-laki tidak akan mengingkari apa yang sudah ia katakan.” Alana tersenyum lega. Ia melepaskan lengan Langit lalu berpura-pura menutup matanya. Langit tersenyum tipis mendapati gadis itu mulai patuh dengan ucapannya. Setelah itu, ia pun keluar untuk menepati janjinya pada Alana. Ia berjalan ke dapur, menemui asisten rumah tangga Alana untuk meminta izin menggunakan dapur. Dan tentu saja, Bi Murni pun memberi izin. Wanita yang sudah seperti ibu bagi Alana itu pun tersenyum penuh arti melihat ketelatenan Langit menyiapkan beberapa bahan makanan untuk dia masak. “Kalau yang satu ini, Bibi jamin dia bisa bikin Non Alana bahagia, Bu,” batin Bi Murni sambil mengamati gerak-gerik Langit, seolah sedang berbicara dengan mendiang ibu Alana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD