02 - Namanya Langit

805 Words
“Arkan nggak mengelak karena kami memang saling sayang dan sepakat buat bersama,” sambar Keisha, yang membuat pertahanan Alana runtuh saat itu juga. Air mata Alana mulai tak terbendung, berloma-lomba untuk keluar dari kelopak yang menahannya. Detak jantung Alana kian berpacu kencang dan ia tak bisa mengendalikannya. Sakit. Rasanya sangat sakit saat tahu dirinya dikhianati oleh orang yang terlanjur ia jadikan tumpuan selama ini. “Kan, kamu tahu kan, aku selalu sayang dan percaya sama kamu selama ini? Dan ini balasan kamu?” Arkan tersenyum miring. “Kamu berharap apa lagi dariku, Alana? Aku sudah selalu mendukungmu selama ini. Aku selalu menemanimu saat kamu sakit. Dan sekarang, apa aku salah kalau aku ingin bahagia?” “Jadi, kita putus?” “Itu terserah kamu. Jika kamu masih bisa menerima hubunganku dengan Keisha, kita masih bisa kok lanjutin hubungan ini. Aku akan tetap jadi Arkan yang seperti biasa. Selalu ada buat kamu dan kasih support kamu. Tapi, kalau kamu suruh aku untuk memilih, maka aku nggak akan berpikir dua kali buat lepasin kamu,” terang Arkan. Alana sangat terpukul mendengar jawaban kekasihnya itu. Dadanya terasa sesak. Ia tidak sanggup menerima kenyataan yang kini terpampang begitu jelas di hadapannya. Dengan lesu, ia mengangguk, membuat pria di hadapannya tersenyum menang, “baiklah. Kalau begitu, mungkin kita memang harus berakhir cukup sampai di sini. Maaf kalau selama ini aku cuma bisa merepotkan buat kamu karena penyakitku.” Alana ingin beranjak, tetapi, sebuah lengan menyentaknya kasar, membuat Alana tetap menghadap ke arah pria yang baru saja menghancurkan hatinya. “Lihat aku, Alana! Kamu yakin bisa putus dari aku?” “Bukannya kamu yang bikin kita kayak gini?” heran Alana. “Oke. Kita lihat nanti! Mau sampai kapan kamu bisa bertahan hidup tanpa aku.” Setelah mengatakan itu, Arkan merangkul mesra pinggang Keisha yang langsung menghadiahkan satu kecupan manis di pipinya. Tak sanggup melihat kemesraan itu lebih lama, Alana memutuskan untuk pergi. Kaki Alana bergetar saat ia menutup pintu apartemen Arkan. Dadanya mulai naik turun, tak sanggup lagi menahan kepedihan yang sejak tadi ia pendam. Langkahnya gontai, seakan diseret paksa untuk segera meninggalkan tempat terkutuk itu. “Kamu harus kuat, Alana! Kamu nggak boleh pingsan di tempat ini.” Alana memegangi dadanya yang kian terasa sesak. Wajah gadis itu bahkan semakin memucat tanpa ada seorang pun yang menyadarinya. Dan saat ia tiba di lantai dasar gedung itu, Alana berniat untuk melangkahkan kakinya keluar dari lift. Namun, kekuatannya sudah terkuras habis. Ia akhinya limbrung, jatuh ke pelukan seseorang yang kebetulan bersiap untuk menaiki lift yang Alana pakai. *** Alana akhirnya mendapatkan kesadarannya kembali setelah sempat pingsan. Matanya mengejap. Ia merasa risih dengan sesuatu yang menempel di wajahnya. Hal pertama yang ia lakukan saat matanya sudah benar-benar terbuka adalah membuka masker oksigen di wajahnya. Namun, sebuah tangan menahannya. “Jangan lakukan!” ucap orang itu. Alana mengernyit. Ia merasa asing dengan pria yang ada di samping tempat tidurnya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena ia segera ingat apa yang terjadi sebelumnya. Bibirnya menyunggingkan senyum miris. Matanya berkaca-kaca, membuat pria yang menungguinya panik karena mengira terjadi sesuatu pada Alana. “Apa ada sesuatu yang salah? Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanyanya. Alana menggeleng dengan wajah pucatnya. “Terima kasih sudah bawa saya ke rumah sakit,” ungkap Alana. Pria itu diam. Dia kembali menahan tangan Alana saat Alana akan melepas oksigennya. “Jangan dilepas dulu sampai kamu merasa baikan!” “Saya sudah nggak papa,” jawab Alana. Akhirnya pria itu membiarkan Alana melepas oksigennya. Dia juga membantu Alana, saat tubuh mungil itu untuk duduk. “Saya nggak bisa menghubungi kontak darurat di HP kamu. Lalu, karena HP kamu di-password, saya juga tidak bisa menghubungi kerabat kamu yang lain.” Alana ingat, satu-satunya kontak darurat di ponselnya adalah kontak Arkan. Dan ia mengerti kenapa Arkan tidak mengangkat panggilannya di waktu genting seperti ini. “Nggak papa. Lagi pula wajar dia nggak angkat panggilan saya. Kami … baru saja putus.” Alana tidak tahu kenapa, tapi ia ingin meluapkannya. Sejak tadi ia menahannya. Rasa sakit itu semakin parah saat ia sadar tak memiliki tempat untuk mencurahkannya. Dan sekarang, ada pria itu yang setidaknya bisa mendengarkan curahan hatinya meski Alana tidak yakin dia akan peduli. Alana terkejut saat merasakan usapan lembut di pipinya. Ia mendongak, menatap penyelamatnya yang ternyata sedang menghapus air mata di pipinya. Alana tersenyum pilu. “Saya kelihatan menyedihkan banget, ya?” Pria itu menarik tangannya dari wajah Alana. “Saya cuma nggak biasa melihat perempuan menangis. Apalagi karena putus cinta.” Alana terkekeh. “Kamu pasti pria baik, jadi nggak pernah bikin anak orang menangis.” Pria itu menyunggingkan senyumnya untuk yang pertama kalinya di depan Alana. “Boleh saya tahu nama kamu? Kamu adalah penolong saya, saya utang budi besar banget sama kamu, tapi saya bahkan belum tahu nama kamu,” tanya Alana. “Langit.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD