"Langit."
“Ya?"
“Nama saya Langit. Kamu bisa panggil saya dengan nama itu.”
“Saya cinta banget sama dia. Kami sudah jalan selama dua tahun. Saya bantu modal usaha dia, dia yang jalankan. Tapi setelah usaha kami mulai maju, dia malah selingkuh sama perempuan yang menjadi brand ambassador produk kami,” terang Alana.
Pria itu diam, tapi raut wajahnya menunjukkan jika dia sedang menyimak dengan saksama. Tatapannya selalu ia tujukan pada gadis malang yang sedang berbagi cerita itu.
“Selama ini saya terlalu menggantungkan hidup saya sama dia. Seolah-olah jika tanpa dia, saya nggak akan bisa bertahan hidup. Tapi ternyata, dia tidak melihat saya dengan cara yang sama seperti saya melihat dia.”
“Jadi, penyakit kamu kambuh setelah melihat perselingkuhan kekasih kamu?”
Alana terkekeh. “Kami bahkan sudah bertunangan dua bulan lalu.”
Pria itu kembali bangkit dan menghapus jejak-jejak air mata Alana. “Life must go on. Kehilangan satu orang bukan berarti hidup kamu akan berakhir. Mungkin ini memang cara Tuhan bikin kamu belajar buat berhenti menggantungkan hidup kamu ke dia.”
Alana menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. “Tapi menurut kamu, rasa sakit saya ini wajar nggak, sih?”
“Kalau sekadar sakit karena dikhianati, saya rasa masih wajar. Terlebih kamu dan dia sudah bersama selama beberapa tahun. Tapi kalau rasa sakit itu lebih dari yang saya bayangkan, sampai kamu merasa ingin menyerah dan putus asa, maka saya tidak bisa membenarkannya,” terang pria itu.
Alana tersenyum. Hatinya menghangat mendengar ucapan penolongnya itu. “Makasih, ya. Pelan-pelan, perkataan kamu membuat saya ingin berusaha untuk bangkit dan membuktikan setidaknya ke diri saya sendiri, kalau saya nggak selemah itu sampai-sampai nggak bisa bertahan karena satu cowok.”
Alana mengangguk mengerti. “Terima kasih ya, Kak Langit. Saya nggak akan lupain jasa kamu. Oh iya, gimana kalau malam ini saya traktir kamu makan?”
“Kamu kan masih sakit, Alana.”
Alana tersenyum. Ia begitu senang saat pria itu menyebutkan namanya.
“Saya udah nggak papa, kok. Biar saya sekalian pamitan sama dokter. Saya nggak bisa menginap di rumah sakit.” Alana melepas infusnya.
Pupil mata Langit membesar. Ia berniat untuk mencegah Alana melakukan hal itu. Namun, sayangnya ia terlambat. Bahkan, Alana langsung turun dari tempat tidur dengan santainya dan tersenyum cerah seolah ia bukan pasien rumah sakit yang baru saja tersadar dari pingsan selama hampir tiga jam.
“Ayo, Kak! Atau Kakak mau tunggu di sini selagi saya ngobrol sama dokter sekaligus bayar biayanya?”
“Kamu masih-”
“Saya sudah baik-baik aja. Kalau Kakak nggak mau ikut, nggak papa, tunggu di sini aja! Atau Kakak juga bisa-”
“Saya antar kamu.”
Alana tersenyum. Ia membiarkan Langit membantunya berjalan menuju ke ruang dokter jaga.
“Kondisi kamu belum pulih betul. Apa nggak sebaiknya kamu menginap malam ini? Saya janji, sebelum pergantian shift besok, kamu sudah boleh pulang,” ujar dokter itu.
“Saya udah nggak papa kok, Dok. Beneran, tadi karena syok aja. Tapi sekarang udah jauh lebih baik,” tolak Alana.
Dokter yang bertanggung jawab atas Alana saat itu menggeleng. Beliau menoleh ke arah Langit, dan dengan segera, Langit dapat menangkap maksud tatapan dokter itu.
“Menginaplah semalam! Nggak baik membantah perintah dokter. Biar bagaimana pun Beliau lebih tahu tentang yang terbaik buat kamu, Alana,” ucap Langit.
“Kalau kamu tidak mau diinfus juga tidak papa, Alana. Kami hanya perlu memantau kamu malam ini, untuk memastikan jika kamu sudah tidak sesak napas lagi,” tambah Dokter Ani.
Dengan lesu, akhirnya Alana mengangguk. Ia tersenyum palsu, lalu mengucap terima kasih pada Dokter Ani sebelum bangkit dan berjalan kembali menuju ruang rawatnya.
Harusnya Langit pulang saja sekarang. Lagi pula, Alana sudah sadar. Namun, melihat gadis itu yang tampak murung dan sendirian, ia merasa tidak tega. Ia mengikutinya hingga kembali ke ruang rawatnya. Langit juga membantu saat Alana tampak kesulitan naik ke atas tempat tidurnya.
“Kamu nggak mau coba hubungi keluarga kamu? Saya rasa, kamu juga perlu kasih kabar ke mereka kan, agar mereka tidak cemas?”
“Papa sama kakak saya kerja di luar kota dan jarang pulang. Selain mereka, saya nggak punya siapa-siapa lagi.”
“Nggak papa kalau Kak Langit mau pulang. Saya sudah biasa kok tidur sendirian. Oh iya, soal makan malam, diundur jadi besok ya, Kak! Kakak tinggalin aja-”
“Alana …”
“Boleh kalau saya temani kamu di sini malam ini?”
“Hah?” Alana kaget. Pasalnya, selama ini hanya Arkan yang sering menjenguk atau menungguinya saat ia harus di rawat di rumah sakit. “Tapi kenapa? Memang Kak Langit nggak punya urusan lain?”
“Kebetulan saya baru aja pindah ke sini. Dan saya baru akan mulai bekerja minggu depan. Jadi, untuk minggu ini saya masih ada waktu luang buat bantu kamu,” jawab Langit.