Langit melirik sinis saat mendapati Alana sudah duduk manis di kursi samping kemudi. Pria itu mengurungkan niatnya untuk mengenakan sitbelt.
“Aku nggak bilang bakal antar kamu pulang,” kata Langit.
“Tapi kebetulan Kakak juga mau pulang, kan? Kalau begitu, boleh aku minta tolong buat nganterin aku sebentar?” pinta Alana.
Langit menghela napas panjang. “Taksi ada banyak, Alana.”
“Kenapa aku harus naik taksi kalau pacar aku aja ada?”
Langit terkekeh. “Pacar?”
“Kita udah sepakat buat pura-pura pacaran buat sementara waktu. Aku pikir, Kakak adalah pria sejati yang ucapannya bisa aku pegang. Apa mungkin aku salah?” ujar Alana setengah menyindir, memojokkan pria di sebelahnya.
Langit menghela napas pasah. Ia mengalihkan tatapannya dari Alana. Tubuh dan mentalnya sudah benar-benar penat dan ia tidak ingin berdebat sekarang.
“Pakai sitbeltnya!” ujar Langit dingin.
Alana mengangguk sambil tersenyum menang. Ia tidak tahu, bagaimana harus memperbaiki hubungannya dengan Langiit untuk ke depannya. Namun, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan Alana sudah dapat menahan pria itu agar tidak pergi darinya.
Langit mengantar Alana hingga sampai ke rumah gadis itu. Suasana selama di perjalanan sangat sunyi. Alana baru sadar, sangat sulit menghidupkan suasana saat Langit sedang dalam mode kesal seperti ini.
“Makasih ya, Kak. Kakak mau mampir dulu?” ucap Alana dengan kaku.
Langit sama sekali tidak bereaksi, membuat Alana semakin yakin jika apa yang sudah ia lakukan hari ini benar-benar membuat Langit kesal. “K- kalau gitu, aku turun ya, Kak. Sekali lagi … makasih.”
Alana teringat dengan sebuah adegan dalam beberapa n****+ atau film romansa, di mana karakter pria akan tiba-tiba menahan tangan gadisnya saat dalam suasana yang mirip dengan yang terjadi antara dirinya dan Langit. Namun, sayangnya, hingga Alana menapakkan kedua kakinya di tanah, Langit masih bertahan dengan raut wajah dingin dan tak bergeming dari posisi sebelumnya.
Alana menghela napas lesu. Ia menutup pintu mobil Langit dengan perasaan kecewa. Ia tidak bisa menyalahkan Langit. Karena biar bagaimana pun, keadaan lah yang membuat mereka seperti sekarang.
Alana melangkah menuju pintu utama rumahnya. Langkahnya tampak seperti diseret. Gerak-geriknya menunjukkan jika ia seperti sudah tidak punya semangat hidup lagi.
Namun, saat tangan gadis itu mulai menyentuh ganggang pintu, Alana bisa merasakan sesuatu yang menggenggam erat pergelangan tangannya. Alana pun menoleh. Matanya berbinar saat melihat Langit berada tepat di depannya, menatapnya dengan tatapan mata yang rumit.
“Lain kali, kalau kamu masih mau libatkan aku dalam permainan ini, beri tahu aku apapun yang terjadi!” ujar Langit tegas.
“Aku bisa kok jelasin yang tad-”
“Jangan sekarang! Aku masih kesal. Tapi, aku akan menagihnya lagi di pertemuan kita yang berikutnya. Jadi, kamu utang satu penjelasan hari ini,” potong Langit.
Alana menangguk paham. Senyum cerahnya yang sempat luntur beberapa jam terakhir, kini telah kembali lagi. “Aku janji bakal jelasin semua ke Kakak. Dan aku akan usahain, buat nggak bikin Kakak kesal lagi.”
Langit kembali diam. Pria itu masih menatap Alana, seolah ada sesuatu yang belum selesai mereka bicarakan. Namun, beberapa detik menunggu, Alana tak juga mendengar suara dari pria itu.
Alana meraih kedua tangan Arkan, lalu menggenggamnya. Wajahnya tampak sendu, seperti menyimpan kesedihan, “jangan abaikan aku lagi ya, Kak! Rasanya nggak enak, tahu, Kakak cuekin kayak tadi.”
Langit terkekeh singkat, “aku tidak mengabaikanmu. Kamu aja yang ngerasa gitu.”
“Dih … tadi siapa yang nyuruh aku pulang sendiri dan bilang mau berhenti bantuin aku? “
“Aku cuma … sedikit kesal.”
“Sama saja,” balas Alana. “Jadi gimana? Mau mampir dulu? Sebagai permintaan maaf, gimana kalau Kakak makan di rumahku? Bi Murni pasti sudah masak,” tawar Alana.
Langit menyentuh kedua bahu Alana. “Nggak usah, Alana. Daripada ngurusin tamu, mending kamu langsung mandi, makan, terus istirahat!”
Alana mengangguk patuh. Gadis itu berpamitan satu kali lagi, tak lupa, ia juga berpesan pada Langit untuk berhati-hati selama berada di perjalanan. Setelah itu, Alana pun meninggalkan Langit yang masih menunggu di depan pintu.
***
Hubungan Alana dan Langit membaik dalam semalam. Setidaknya, pria itu mau membalas beberapa pesan dari Alana, membuat suasana hati Alana pagi ini tampak lebih cerah dari biasanya.
To: Dokter Langit
[Sayang banget hari ini aku nggak bisa nganterin bekal lagi buat Kakak.]
[Padahal pengen, sekalian numpang tempat buat lunch.]
Tak lupa, Alana membubuhkan emoticon murung serta sedih.
From: Dokter Langit
[Nggak usah mikirin yang aneh-aneh dulu! Mending kamu istirahat!]
Alana tersenyum miris. Sayangnya, hari ini ia tidak bisa beristirahat. Bahkan, sekarang ia sudah berada di meja makan dengan pakaian yang lebih rapi dari biasanya.
Bi Murni datang, menatap Alana dengan alis mengernyit. “Non beneran mau kerja di perusahaan Mas Arkan? Nanti kalau Mas Arkan ngerjain Mbak Alana, gimana?”
“Aman, Bi. Saya nggak selemah itu, kok. Kalau Arkan mau macam-macam pun harusnya mikir, karena biar bagaimana pun media masih mengetahui kalau kami adalah pasangan. Kalau aku sampai celaka di tempat kerja, pasti media akan berdatangan dan mulai curiga,” terang Alana.
“Meski menjengkelkan dan berengsek, tapi aku harus akui kalau cara berpikir Arkan memang bagus. Dia nggak mungkin bertindak ceroboh yang akan merugikan dirinya juga,” lanjut Alana.
Bi Murni menghela napas pasrah. Ia tahu, dalam memutuskan sesuatu, Alana pasti punya banyak pertimbangan sendiri. Alana bukan lagi gadis kecil seperti saat petama ia bekerja di rumah ini. Alana yang sekarang, sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang biasa berpikir jernih sebelum bertindak.
“Ya udah, tapi tetap hati-hati ya, Non! Kalau ada apa-apa, coba hubungin Dokter Langit! Dokter Langit itu orangnya tulus, dan saya yakin diaa nggak mau Non Alana berada dalam kesulitan sendirian,” ujar Bi Murni.
Alana terkekeh. “Dia juga punya pekerjaan sendiri kali, Bi. Lagian apa yang mungkin bisa terjadi? Arkan udah terlanjur juga kasih aku posisi. Nggak mungkin dia mau mencelakai pegawainya sendiri, kan?”
Bi Murni hanya tersenyum tipis. Ia harap juga demikian. Setelah itu, Bi Murni membiarkan Alana menikmati sarapannya dengan khidmat, sebelum akhirnya gadis itu berangkat ke kantor dengan taksi online.
Setibanya di kantor, Alana sudah ditunggu oleh seorang karyawan yang ditugaskan untuk mengantar Alana ke ruang kerjanya oleh Arkan.
Alana sudah tidak heran jika Arkan menempatkannya di bagian perencanaan dan proyek. Alana langsung dijadikan wakil manajer, sehingga ia punya ruang kerja sendiri meski ukurannya tidak besar.
“Perkenalkan, nama saya Alana. Saya adalah wakil manajer bagian perencanaan dan proyek mulai hari ini. Mohon kerja samanya!” ujar Alana memperkenalkan diri setelah dipersilakan oleh karyawan yang tadi menjemputnya di lobby.
Sepertinya, beberapa pegawai tahu siapa Alana. Sedangkan mayoritasnya tidak tahu dan menganggap Alana memang orang luar. Alana juga baru sadar, banyak wajah baru di kantor ini. Banyak pegawai yang tidak bisa ia kenali. Namun, itu wajar saja, mengingat saat terakhir Alana berkeliling, perusahaannya memang belum sebesar sekarang.
“Kalau kalian memerlukan bantuan atau ingin bertemu saya, silakan datang ke ruangan saya kapan saja, ya!” lanjut Alana.
“Baik, Bu,” jawab dua orang karyawan, membuat Alana terkesiap. Ia cukup kaget saat dipanggil dengan sapaan itu. Namun, Alana tidak ingin terlalu mempermasalahkannya.
Ia meminta seorang staff di bagian perencanaan untuk mengantarkan proyek-proyek perusahaan dalam waktu dekat. Staff itu pun bersedia, membuat Alana bisa segera masuk ke ruang kerja barunya dengan lebih tenang.
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Bu?”
Alana menggeleng. “Terima kasih sudah mengantar saya ke sini dan memperkenalkan diri pada karyawan-karyawan di divisi ini.”
“Tentu, Bu. Itu sudah tugas saya. Kalau begitu, saya permisi ya, Bu?” balas karyawan itu.
Alana mengangguk saja. Ia segera menyalakan laptopnya. Sembari menunggu staff yang ia mintai untuk memberikan daftar proyek dalam waktu dekat, Alana pun mulai bergerilya dengan laptop fasilitas dari kantor untuk mencari tahu detail-detail informasi tentang perusahaan ini.
Ia masih sangat heran, kenapa Arkan bisa dengan mudah memindahkan kepemilikan perusahaan mereka ke tangannya sendiri. Dan Alana, ingin berusaha untuk mencari celah agar bisa menjatuhkan Arkan dan mengambil kembali haknya.