Gejolak Kerinduan

2870 Words
Jasmine membuka pintu dan masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai. Peristiwa hari ini, membuatnya lelah luar dalam. Bahkan, beberapa kali dia harus mendesah frustasi karna kepanasan. Kepanasan? Bagaimana tidak? Anna dengan segala kemanjaannya, terus-terusan menempel dan mencari perhatian Peter. Sampai-sampai dirinya tak ubahnya seekor nyamuk yang tak di hiraukan keberadaannya. Anna sama sekali tak meminta bantuannya. Ini itu, selalu meminta Peter untuk melakukannya untuknya dan Peter malah dengan senang hati menuruti semua keinginannya. Tak taukah dia, jika ada dirinya yang sedang kepanasan dengan segala kecemburuannya? Menyebalkan! Flash back on. Jasmine kikuk. Begitu cepatnya Peter menyimpulkan kondisi yang di alaminya sekarang. Ya Tuhan, bagaimana ini? “Jasmine?” “Ya?” jawab Jasmine cepat. “Kau belum menjawab pertanyaanku!” cecar Peter yang haus akan jawaban dari Jasmine atas pertanyaannya. “Pertanyaan yang mana ya?” tanya Jasmine sok lupa dan sok polos dengan senyuman lebarnya. Peter mengeram kesal. “Jangan mencoba membodohiku. Kenapa kau mual seperti wanita hamil, Jasmine?” Jasmine tertawa kecil. Tangannya yang lembut terulur menyentuh rahang tegas Peter yang mengetat. “Jangan berlebihan. Aku hanya masuk angin dan kebanyakan makan es krim. Nanti kalau aku hamil, aku pasti akan memberitahumu. Kau ‘kan ayahnya,” ucap Jasmine dengan lembut membuat Peter menarik nafasnya pelan-tenang. Peter bisa bernafas lega, begitu mendengar perkataan Jasmine tadi. Jasmine tidak mungkin menyembunyikan hal sebesar itu darinya. “Tentu saja kau mual. Kau sampai tega menukarkan mobilku dengan es krim-es krim itu.” “Hehehe ... “ Jasmine tertawa polos. Kemarahannya, membuatnya buta mata. Sampai-sampai tega menukarkan mobil Peter yang harganya se langit itu dengan semangkok es krim. Tangan Jasmine menyentuh tangan Peter. Menggenggam nya kemudian membawanya ke depan bibirnya. Cup! “Jangan mudah marah. Kau menakutkan tau!” cibir Jasmine dengan bibir mencebik manja. Cup! “Asalkan kau menjadi penurut,” balas Peter setelah mengecup bibir merah Jasmine. Kedua pasangan sejoli itu berlalu dari sana sambil berpegangan tangan. Tidak ada lagi rasa kesal ataupun amarah. Semuanya mencair karena kehangatan yang berhasil Jasmine ciptakan untuk mengalihkan perhatian Peter dari kondisi tubuhnya yang tengah berbadan dua. Tap! Langkah kaki mereka berhenti di depan ruangan Anna. Sebelum masuk, Peter ingin mengatakan sesuatu pada Jasmine. Yang mungkin saja, kali ini Jasmine mau ber negosiasi dengan keputusannya. “Mari hentikan sandiwara ini,” ucap Peter membuat Jasmine mengeleng dengan lemah. “Anna butuh dirimu. Aku tidak mungkin egois.” Cukup! Peter tidak mau lagi mendengar apapun dari Jasmine. Sudah cukup dia mencoba dan terus mencoba untuk meruntuhkan tembok kekeras kepalaan wanita itu. “Jika begitu, bersiaplah. Aku akan menuruti keinginanmu, “ ucap Peter kemudian meninggalkan Jasmine yang mematung di depan pintu. Jasmine menatapi punggung tegap Peter yang menjauh darinya. Rasa takut kehilangan akan pria dingin yang di cintainya itu, membuat matanya berkaca-kaca. “Maaf. Anna juga berharga untuk ku ...” lirihnya kemudian ikut masuk ke dalam ruangan itu. Anna menoleh ke arah pintu, begitu terdengar suara pintu di buka. Kehadiran Peter di sana, membuat sudut bibirnya terangkat. “Kau di sini?” tanya Anna dengan berbinar senang. Peter mengangguk sembari tersenyum tipis. Melangkah mendekati Anna begitu merasakan kehadiran Jasmine di belakangnya. “Ya. Aku menunggumu siuman,” ucap Peter sambil mengusap puncak kepala Anna. Anna tersenyum lebar sambil menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga. Mendengar jawaban Peter tadi, tentu saja dia senang. “Anna?” Suara seorang wanita yang sangat dikenalinya, membuat Anna mempersembahkan senyuman terbaiknya. “Jasmine?” jawab Anna. Jasmine mendekat. Sekejap, Jasmine sempat melirik Peter yang berdiri di sampingnya. Pandangannya meng isyaratkan ke tidak sukaan begitu melihat Peter dekat dengan Anna. “Bagaimana kondisimu?” tanya Jasmine prihatin. Anna tersenyum miris. “Kau bisa lihat sendiri. Aku lumpuh.” Jawaban Anna membuat Jasmine memilih bungkam. Dia tidak tau harus bertanya atau mengatakan apa. Bisa saja Anna salah persepsi nantinya. “Em, Aku haus.” Celetukan Anna, membuat Jasmine tergerak untuk mengambil air di atas nakas. Tapi, belum sampai Jasmine memberikan gelas berisi air itu pada Anna, Anna sudah lebih dulu berkata, “Peter, tolong bantu aku.” Peter mengangguk, sedangkan Jasmine membatu di tempatnya. Gelas dalam genggamannya pun berpindah tempat ke tangannya. Rasanya, dia perlu memanfaatkan moment langka ini untuk memberi Jasmine pelajaran. Peter membantu Anna minum. Setelahnya, menaruh gelas itu kembali ke tempatnya. “Kau ingin sesuatu?” tanya Peter dan Anna mengangguk. “Aku ingin makan,” jawab Anna. Peter mengambil nampan berisi makanan. Tapi, tiba-tiba saja nampan itu sudah berpindah tempat ke tangan Jasmine. “Anna, aku akan menyuapimu ya?” potong Jasmine menawarkan. Anna menggeleng pelan. “Tidak perlu. Biar Peter saja.” “Lebih baik kau istirahat di sana,” imbuh Peter membuat Jasmine kesal. Bisa-bisanya Peter melakukan hal itu di depannya? Dia ‘kan cemburu. Jujur saja, dia tidak rela jika Peter harus perhatian pada wanita selain dirinya. “Tapi,” “Sudah. Biar aku saja, Jasmine. Kau istirahat saja di sana.” Jasmine mendesah kecewa. Peter tidak memberinya kesempatan atau sengaja membuatnya kesal? Dasar menyebalkan! Entah, hal menyebalkan apalagi yang akan terjadi di ruangan itu selanjutnya. Flash back off. "Nampaknya, ada arang berjalan di sini?" Suara yang membuatnya jengkel setengah mati, menyapa pendengarannya. Rupa-rupanya Peter sedang menyindirnya. Jika Peter tau kecemburuannya, kenapa Peter malah semakin berulah dengan menuruti semua permintaan Anna? Itu namanya TIDAK SOPAN! Jasmine berkilah, memilih menghindari Peter yang sedang menatapnya tajam di sofa dengan melangkah ke dapur. Apa-apaan dia? sudah membuatnya jengkel, masih juga sok akrab. Modus. Pasti sebentar lagi, Peter akan merayu dengan nada datarnya. Ya, walaupun Jasmine akui, rayuan garing Peter sering membuatnya meleleh. Tapi, tidak lagi. Kali ini rayuannya tidak akan mempan. Dia sudah terlanjur marah. Dia tidak akan termakan umpan, si play Boy cap siput itu lagi. "Kau cemburu, sayang?" Jasmine menghentikan tegukan nya dari botol air yang baru dia ambil dari lemari pendingin. Benar kan dugaannya. Peter mulai menjalankan aksinya. "Tidak!" ketus nya, lalu melanjutkan kembali tegukannya pada botol air yang sedikit mendinginkan suhu tubuhnya. Sudah tau aku marah, masih juga bertanya. Menyebalkan! "Tapi, tanduk kecil nampak sedang mengintip-intip di atas kepalamu," goda Peter. Sepertinya dia harus sering-sering membuat Jasmine cemburu untuk segera meng akhiri sandiwaranya. "Bohong!" "Wajahmu bahkan merah seperti Angry birds," lanjut Peter sambil mencolek pipi Jasmine. Jasmine memandangnya marah. "A-ku ti-dak cemburu! Pergi sana! Temui pasien menjamu itu!” Brak! Jasmine menutup kuat pintu lemari pendingin setelah meletakkan botolnya dan berlalu dari sana. "Ternyata, Jasmine ku memang cemburu ...!" teriak Peter dan di hadiahi Jasmine dengan menimpuknya menggunakan bantal sofa. "Jangan mimpi!" teriak Jasmine. Peter tertawa pelan. Menggoda Jasmine sampai wanita itu merasa jengkel adalah hal yang paling menyenangkan untuknya. Dia tau, Jasmine cemburu sejak mendengar janjinya pada ibu Anna. Tidak ada maksud apa, hanya saja, dia melakukannya karna Anna sahabat Jasmine dan tidak mau Jasmine bersedih melihat penderitaan sahabatnya. Seharian ini, dia memang berniat menghukum Jasmine dengan membuatnya kesal setelah membuatnya kalang kabut mencarinya, dan Anna mempermudah misi nya. Jasmine cemburu melihat kedekatannya dan Anna. "Hiks... Hiks ... " Jasmine menjatuhkan tubuhnya di ranjang sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir deras dengan sendirinya. Kenapa dia jadi se melow ini? Bahkan Sebelum-sebelumnya dia tidak pernah menangis walaupun Peter melakukan sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini. "Ini ulahmu ya, Nak? Hiks.. Hiks ... " lirihnya sambil mengusap perut buncitnya. "Ayolah Sayang, jangan membuat perubahan banyak pada ibu, sehingga membuat ayahmu semakin mencurigai kehadiranmu ... " lirihnya. Dia cemburu, cemburu berat. Entah kenapa, melihat Anna menyentuh dan mendapat perhatian Peter membuatnya ingin mencekik ke dua manusia yang tak tahu sopan santun itu. Tak sadarkah mereka, ada dia dan putranya yang terluka melihat drama menyebalkan itu. "Sayang, kita harus buat perhitungan pada Ayahmu itu. Kau memihak ibu kan?" Jasmine menarik selimut. Menenggelamkan dirinya disana. Dia lelah. Apa lagi rasa pusingnya masih terasa. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat ke arah kamarnya hingga dia pun memejamkan mata. ---- "Astaga, Jasmine belum makan malam," lirih Peter, kemudian mengambil makanan yang dia masak tadi dan menghangatkannya sebentar. Kesibukannya menggoda Jasmine membuat dia lupa, jika Jasmine belum makan malam. Peter membawanya dengan nampan lengkap beserta minuman di atasnya, melangkah mendekati kamar Jasmine yang nyatanya tidak terkunci dari dalam. "Jasmine, makan malam dulu,” ucapnya sambil meletakkan makanan di atas nakas. Jasmine sudah bergelut di dalam selimutnya. Peter jadi tidak tega untuk membangunkannya. Dia pun berjongkok dan menatap wajah damai dan polos Jasmine dalam tidurnya, "Kau menangis?" lirihnya saat melihat jejak air mata di mata Jasmine yang ternyata sembab. Lantas, Peter mengusap sisa air mata itu dengan ibu jarinya. "Maafkan aku. Aku hanya ingin kau lekas meng akhiri semua sandiwara ini. Aku lelah, terus bersitegang dengan mu, Jasmine." Peter menghela nafasnya kasar. Dia tidak bisa bersabar lagi. Dunia harus tau, jika Jasmine adalah miliknya. Bahkan jika harus ada hati yang terluka, dia tetap dengan senang hati akan mengakuinya. "Aku akan segera meng akhiri semua ini. Dengan atau tampa persetujuanmu." Peter beranjak dan menaiki ranjang. Dia membaringkan tubuhnya di samping Jasmine. Tangannya tergerak untuk memeluk tubuh rapuh dengan mental baja yang terus melawannya itu. Eh! Apa hanya aku yang merasakan jika bagian perutmu berubah? Pikir Peter. ---- Jasmine menahan nafas. Kenapa Peter tiba-tiba memeluk dengan meletakkan telapak tangannya di perutnya, bahkan Peter mengusapnya pelan. Seolah takut membuat sesuatu di dalam nya terluka. Apa Ayahmu juga merasakan kehadiranmu, Nak? Jasmine menggerakkan tangannya. Memegang tangan Peter yang setia menempeli perutnya. Meskipun hal kecil itu membuatnya nyaman dan membuat hatinya menghangat, dia tidak bisa terus membiarkannya. Bisa saja, dia kelepasan dan terbongkarlah semua rahasianya. "Aku tau kau belum tidur," lirih Peter sambil mengecup lembut belakang telinganya. "Maafkan aku. Aku tidak tau kau akan menangis hanya karna lelucon tadi. Setauku, kau Jasmine yang keras kepala. Tapi, kenapa hari ini kau berubah cengeng hm!?” Jasmine diam. Peter jeli dengan semua situasi di sekitarnya. Bahkan Peter mengetahui gerak bola matanya. Bisa tidak? Tuhan tidak menciptakannya begitu sempurna? "Jangan cemburu. Aku hanya mencintaimu. Dia tidak ada artinya bagiku, percayalah." Jasmine berbalik arah. Menatap Peter di depannya dengan pandangan berkaca-kaca. Hormon kehamilannya, membuatnya lemah hanya karna beberapa kata yang meluluhkan hatinya. "Hiks ...Kau tega. Kau suka berdekatan dengan Anna. Aku benci! Hiks ... " Peter menarik Jasmine dalam pelukannya. Berbagi hangat dalam selimut dan kehangatan Cinta. Dia senang melihat Jasmine yang seperti ini. Jasmine yang terbuka dengan perasaannya juga klaim akan kepemilikan dirinya. Bukan Jasmine yang senang menyingkirkan kebahagiaannya demi orang lain. "Akhirnya Jasmine ku kembali ... " ucap Peter, sambil memperdalam pelukannya. Entah ke mana perginya Jasmine yang selalu mementingkan kebahagiaan Anna? "Jangan menangis lagi, tidurlah sayang. Aku hanya mencintaimu ... " Peter mengecup lembut kening Jasmine, hingga Jasmine mulai tenang dan memejamkan mata. ---- Keesokan harinya... Peter menggeliat dalam tidurnya. Jasmine sudah tidak ada di sampingnya. Jejaknya bahkan sudah terasa dingin. Tapi, suara gemericik air di dalam kamar mandi, membuatnya bernafas lega. Jasmine nya berada di sana. Mungkin sedang mandi. Peter bangkit. Melangkah pelan, menghampiri kamar mandi ingin bergabung bersama Jasmine. Tapi tak sengaja dia menginjak sesuatu di dalam saku celana Jasmine yang tergeletak di depan pintu. Mungkin, tadi tercecer saat hendak Jasmine cuci. Yang Peter tau, Jasmine tipe wanita yang bersih dan tidak membiarkan hal kotor diam di tempatnya. Peter menunduk. Mengambil celana Jasmine dan merogoh sakunya. Karna sepertinya, ada benda asing di sana sehingga membuat saku celana itu sedikit mengembung. Grep! Belum sempat melihatnya, benda kecil yang tadi sudah ada di genggamannya, di sambar oleh tangan dingin Jasmine hingga benda itu berada di posisi yang mana menjadi rebutan di antara 2 genggaman. Jasmine yang baru keluar dari kamar mandi, mendadak kaget saat Peter mengambil test pack yang ternyata masih tersimpan dalam saku celananya. Astaga, dia lupa memindahkannya. Secepat kilat, Jasmine menyambar test pack nya yang ada dalam genggaman Peter, tapi Peter sudah lebih dulu memperkuat genggaman nya sehingga dia gagal merebutnya. "Apa ini!?" "I ... Tuh ..." Jasmine gelagapan. Dia bingung, alasan real apa yang harus dia katakan untuk membuat Peter percaya. "A-lat A-pa i-ni, Jasmine!?" tekan Peter dengan pandangan yang menaruh curiga. Dia mengetahui rupa semua alat canggih di dunia, tapi Alat yang di pegangnya saat ini, dia sama sekali tak pernah melihatnya. Jasmine memutar akalnya. Alasan milik siapa benda yang sedang di pegang Peter saat ini? Mengatakan jika itu milik sahabatnya, hanya Anna yang dia punya dan tentu Peter akan menanyakannya pada Anna dan itu akan semakin berbahaya. "Emm, Ini milik ... Nenek Jessy. Ya, Nenek Jessy. Aku tidak tau alat apa ini. Nenek Jessy memintaku membelikannya di Apotek." Jasmine mendesah lega. Akhirnya nama Nenek Jessy spontan keluar dari bibirnya. Dia yakin, Peter akan percaya. "Kau bo--hong!" Kelegaan yang baru saja membuatnya bernafas lega, menghilang di telan udara begitu Peter masih belum mau percaya. "Raut wajahmu menunjukkan jika kau bohong Jasmine. Sejak aku tinggal dengan Grandma, sekali pun dia tidak pernah memintaku membelikan alat aneh ini. Dan itu artinya kau bo ... Emphh!" Ucapan Peter tercekat sampai tenggorokan begitu Jasmine menyambar bibir tipis yang sering mengeluarkan kata-kata yang sering membuat lawan bicaranya mati kutu seperti dirinya. Dia harus mengambil langkah ini untuk membuat Peter teralihkan, atau dia akan semakin terpojokkan oleh klarifikasi yang akhirnya akan membuat rahasianya terbongkar. Peter membatu. Serangan Jasmine yang tiba-tiba mengecup bibirnya, membuatnya telat mengambil langkah setelah beberapa hari lamanya tak pernah bersentuhan. Nafas hangat Jasmine masih terasa tertinggal, dan lembut bibirnya masih terasa menyentuh bibirnya. Jasmine menarik dirinya, nafas keduanya memburu. Hanya saling menempelkan bibir tapi mampu mengalirkan dahaga yang lebih intim untuk saling mengecap. Peter merengkuh Jasmine merapat ke tubuhnya. Pegangannya pada benda mencurigakan tadi terlepas begitu saja. Biarlah benda itu berada dalam kuasa tangan Jasmine, dan sebagai gantinya Jasmine yang akan berada dalam kuasanya. Bibir tipisnya mengambil alih, dia pun mengecap bibir merah Jasmine yang selalu menjadi candunya. Rindu. Kerinduannya membuatnya tak ingin kehilangan rasa bibir lembut beraroma manis itu menghilang cepat-cepat. Bibirnya memaksa bibir yang lebih tebal di bagian bawah itu terpisah. Meletakkan bibirnya sendiri di tengah-tengah, sehingga saat dia menghisapi bibir atas Jasmine, bibir bawahnya masih akan merasakan hangatnya bibir Jasmine yang menyentuhnya. Gerak tangannya, membuat pola-pola abstrak di sekitar punggung Jasmine yang terbuka. Dia pemiliknya. Pemilik jiwa raga wanita ter sayangnya yang sedang di cumbunya. Siapa pun tidak akan pernah dia biarkan sedikit saja menyentuh miliknya. Dia memang rakus, egois untuk memiliki Jasmine hanya untuk dirinya seorang. Jasmine memekik karna lamanya Peter mencumbu. Apa-apaan Peter, pasti setelah ini bibirnya akan membengkak. Peter pun mengalah. Membiarkan bibir itu lepas dari kuasanya, tapi dia akan mencari sesuatu yang akan lebih menambah panasnya suasana. "Peter ... " Jasmine terengah, belum sempat dia ingin menarik nafasnya, Peter kembali menyerang sehingga dia pun ikut tenggelam begitu saja ke dalam cumbuan panas itu. Lidahnya ikut menari dan saling membelit bertukar saliva. Tangannya yang semula menahan tubuhnya, kini ikut mengalung dan mengusap lembut tengkuk belakang Peter yang jauh di atasnya. "Emmm ... " Lenguhan Jasmine, membuat Peter menyeringai senang. Jasmine tak menolak sentuhannya dan itu artinya, Jasmine juga merindukannya walaupun berhasil dia tutupi dengan kekerasan kepalanya. Cumbuannya terlepas. Peter menatap intens bibir Jasmine yang membengkak karna ulahnya, bola mata tajamnya bergerak ke segala sudut, memandangi wajah merona wanita di pelukannya yang tak pernah membuatnya bosan. “Aku merindukanmu," bisiknya serak, sembari mengecup rahang dan sudut leher Jasmine yang terbuka. Jasmine memejamkan mata. Bagaimana dia akan menolak saat dirinya juga menginginkannya? Dia juga merindukan Peter. Merindukan semua yang ada pada dirinya. Bahkan Peter yang sering membisikan kata-kata untuk menggodanya. "Aku pun begitu ..." Manik mata Peter menggelap begitu mendengar alunan suara penyerahan diri Jasmine untuknya. Dia kembali mencumbu bibir Jasmine dan dalam sekali tarikan, handuk yang melilit tubuh Jasmine itu pun terlepas. Peter terengah. Dia membawa Jasmine terlentang di atas ranjangnya dengan rambut berantakan, dan melepas celananya sendiri dengan tergesa. “Kenapa kau semakin berisi hm?" bisiknya menatap Jasmine di bawahnya, sambil menyentuh tubuh Jasmine dengan tangan kasarnya. "Aku gendut ya?" tanya Jasmine dengan wajah muram. Peter tertawa tipis, sembari mengecupi leher putih nya dan sesekali membuat tanda di sana. “Kau semakin sexy, Sayang," bisiknya. Jasmine mendongak. Menatap mata Peter yang seolah tak lepas memandanginya. Nampak Peter sangat memuja dan mencintainya. Ke dua manik mata itu beradu pandang, saat penyatuan di bawah sana menemukan pelabuhannya. Jasmine tak bisa menahan racauan bibirnya, sementara si pria meringis menahan nikmat karna rasa sempit dan pijatan lembut nya. Peter menatap Jasmine yang menahan desahannya dengan menggigit bibirnya. Dia tak tahan lagi. Dia pun kembali mencumbu bibir Jasmine dan melanjutkan pekerjaannya. Tangannya bertautan erat dengan tangan lembut Jasmine, sementara siku lengannya bertumpu untuk menahan beban tubuhnya. Tangan Jasmine mengikatnya melingkari leher lalu beralih ke punggungnya. Sesekali Jasmine terengah begitu gerak pinggangnya menyentak. "Jasmine ... " "Emmhh?" "Do You Love me?" "Yah." "Will You Marry me?" "Peter ..." Jasmine mendapatkannya. Pertanyaan yang Peter lontarkan saat Jasmine berada di ambang kesadarannya, tak bisa Jasmine jawab karna sesuatu yang meledak dalam dirinya. Peter juga tak bisa menahannya lagi, dia pun mendapatkan hal itu kemudian. Peter menatap Jasmine yang terpejam dengan nafas teratur. Di percintaan sesingkat ini, kenapa bisa begitu menguras tenaganya? Bagaimana bisa? Biasanya tidak. Bibirnya tergerak untuk mengecup ke dua mata tertutup Jasmine lalu ke bibirnya. Peter melepaskan penyatuannya. Kepalanya bergerak menuju perut Jasmine menuruti insting nya. "Hadirlah untuk ku, Nak. Saat itu tiba, aku tidak perlu lagi bertanya pada ibu keras kepalamu ini. Aku tidak sabar untuk mengikatnya dalam pernikahan dan merengkuh kalian dalam sebuah keluarga. Karna saat dirimu ada, dia tidak akan pernah bisa menolak aku lagi. Cup!" bisiknya lalu mengecupi perut Jasmine dan menyelimuti tubuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD