Kalah Atau Mengalah?

2393 Words
Jasmine mengerjap. Silau dari pantulan sinar matahari yang mengenai sebuah mangkok dari aluminium menerpa wajahnya. Begitu membuka mata, dia menemukan dirinya berada di tempat asing. Ruangan itu sama sekali tak dikenalinya. Dia ingat, beberapa jam yang lalu, dia berada di taman kemudian mendadak dia merasa pusing setelah menikmati es krim dan cup cake yang di belinya. Dan sekarang, dia terdampar di ruangan asing yang mungkin milik seseorang yang sudah menolongnya atau bisa saja, menculiknya? Jasmine menggeleng kuat. Pikiran negatif berlomba memenuhi otaknya. Seharusnya dia lebih dulu memastikan sebelum mengambil kesimpulan. Ceklek! Bunyi tuas pintu yang tertekan, membuat Jasmine menoleh ke arah sumber suara. Seseorang mendorongnya pelan, dan nampak di sana, seorang wanita cantik yang mungkin seusia dirinya melangkah mendekat dengan senyuman lebar. "Kau sudah siuman?" tanyanya lembut sambil duduk di sisi ranjang yang tersisa. “Syukurlah .... “ Jasmine mengangguk. Senyuman manis tersungging di bibir tipisnya. Bersyukur, dirinya di tolong bukan di todong seperti pikiran buruknya tadi. "Ya. Terimakasih sudah menolongku," jawabnya. Wanita itu mengambil tas di dekatnya dan mengambil buku catatan kecil. "Sejauh ini, kondisi kesehatanmu normal. Tekanan darah, detak jantung, suhu tubuhmu semuanya normal. Apa kau merasakan sesuatu?" tanyanya dengan lembut. "Tidak. Aku baik-baik saja. Entahlah, tiba-tiba aku merasa pusing dan kegelapan menyelimutiku." Jasmine memandang lekat wanita di depannya. Sosok nya yang ramah, jelas menunjukkan jika wanita yang menolongnya itu, bukan wanita biasa yang tak berpendidikan. "Apa kau membawaku ke rumah sakit?" "Maaf sebelumnya. Aku memeriksamu tampa ijin. Aku tidak punya pilihan lain. Kau pingsan dan demam." "Kau seorang dokter?" "Mm ... Iya. Aku seorang Dokter. Tepatnya, Dokter ahli bedah." Jasmine terperangah. Bahkan mulutnya sampai ternganga lebar mengetahui siapa wanita yang sudah menolong nya itu. "Profesimu sangat menakutkan. Tidak cocok dengan wanita cantik sepertimu." "Hahaha .... " Ke dua wanita itu tertawa bersamaan. Dalam waktu beberapa detik saja, mereka sudah akrab layaknya sahabat. "Oiya, kita belum sempat berkenalan. Aku Sarah. Sarah Isabella," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Jasmine lekas menjabat uluran tangan lembut itu. Tangan yang entah sudah berapa kali bermain dengan pisau dan bermain dengan organ manusia layaknya psikopat. "Aku Jasmine Rose's," ucap Jasmine tampa memberi imbuhan marga ayahnya di belakangnya. Jasmine merasa, Sarah adalah orang asing yang tidak mengenalinya, melihat bagaimana Sarah memandangnya layaknya wanita kelas biasa. "Nampaknya kau bukan penduduk sini?" lanjut Jasmine penasaran. Sarah mengangguk. "Ya. Aku hanya singgah sebentar di kota ini. Beberapa jam lagi, aku akan kembali ke kota asalku, Italia. Aku dari Italia Jasmine." Jasmine mencebikkan bibirnya. “Padahal ba-ru saja, aku ingin mengajakmu makan di rumahku sebagai tanda ucapan terima kasihku." Sarah tertawa pelan. Wanita di depannya terlihat tegar dan kuat tapi kenapa bersikap manja? "Jasmine, lain kali saja ya. Aku harus kembali, ada misi yang harus ku selesaikan." "Baiklah. Pisau, jarum suntik dan obat-obatan mu pasti sudah menunggu," jawab Jasmine sambil mengerucutkan bibirnya. “Eh Sarah, jika boleh tau, kau sedang mencari apa di kota ini? Siapa tau aku bisa membantumu," lanjutnya. Sarah menggeleng pelan. “Seorang dokter juga Jasmine. Kita akan melakukan pembedahan bersama." Jasmine yang mangut-mangut mendengar perkataannya, membuat Sarah tersenyum ironi. Dia bohong. Sebenarnya dia memiliki tujuan lain yang jauh lebih besar dan lebih menantang di bandingkan proses pembedahan. Aku mencari seorang penguasa Jasmine. Penguasa pengganti yang mengklaim dirinya beberapa puluh jam yang lalu. Seseorang menyuruhku untuk mengetahui identitasnya. Aku tidak tau siapa dia. Aku hanya tau dia bernama Chris, Chrissam Stewart. batinnya. "Oiya Jasmine, boleh ku katakan sesuatu?" tanyanya dan Jasmine mengangguk. "sepertinya kau hamil," lanjutnya. "Ha-hamil? Ah, Jangan bercanda Sarah!" Jasmine terkekeh pelan. Baginya perkataan Sarah hanya gurauan saja. Walaupun tidak dapat di pungkiri, jika dirinya sudah beberapa kali membuat program anak dengan Peter tampa pengaman dan tampa batasan yang seharusnya. Sarah memegang tangan Jasmine yang nampak gemetar pelan. Jasmine mungkin menyangkalnya, tapi raut wajah khawatir nampak kentara di wajahnya. "Aku memang bukan dokter kandungan. Tapi, aku sering membantu persalinan lewat pembedahan. Dan sejauh yang aku tau. Kondisimu saat ini, menunjukkan gejala yang di alami oleh wanita hamil." "Bagaimana kau bisa menyimpulkannya?" "Kondisi mu baik-baik saja, bahkan tekanan darahmu normal. Kau demam dan pusing sampai pingsan, ku kira karna kau mengonsumsi makanan manis secara berlebihan. Tapi, begitu ku periksa, ada detak jantung lain di sini." jelasnya lalu menyentuh perut Jasmine yang memang tidak sesuai ukuran biasanya. Jasmine menunduk melihat bagian tubuhnya yang mungkin saja sudah di huni oleh makhluk mungil copyannya atau Peter. Bahkan dia sendiri lupa, kapan tamu bulanannya datang karna serentetan peristiwa yang beberapa bulan lalu memorak-porandakan keluarga dan hubungan asmaranya. "Apa itu benar, Sarah?" Sarah berbalik arah, kembali merogoh sesuatu dalam tas nya. "Pergilah ke kamar mandi, tes urine mu dengan ini. Agar kau mendapat Jawabannya," ucapnya sambil memberikan sebuah bungkusan kecil dengan alat tes kehamilan di dalamnya. Jasmine mendongak. Menatap Sarah dengan pandangan gamangnya. Dia menghela nafasnya kasar. Bagaimana jika vonis Sarah benar adanya? “Kau ragu?” pertanyaan Sarah membuat Jasmine menggelengkan kepalanya sambil tersenyum masam. “buang semua keraguan dan ketakutanmu, Jasmine. Dia pasti ingin kau mengetahui keberadaanya.” “Apa dia benar-benar ada?” balas Jasmine bertanya pada Sarah. Sarah mengangguk yakin. “Ya. Dan kau harus memastikannya,” jawab Sarah. Jasmine beringsut turun dari ranjang. Dia melangkah cepat menuju kamar mandi sambil menggenggam benda kecil pemberian Sarah sebagai penentu nasib hubungannya dan Peter ke depannya. "Aku harus membuktikannya," lirihnya mantap. ---- 5 menit berlalu... Sarah menunggu di depan pintu dengan khawatir. Sudah lama, tapi Jasmine belum juga keluar dari kamar mandi. Entah apa hasil yang di dapatinya, tapi jika saja hasilnya positif dan ternyata Jasmine tak menginginkan nya, Sarah takut Jasmine melakukan sesuatu hal nekat yang membahayakan nyawa keduanya. "Jasmine, kau baik-baik saja? Jasmine, buka pintunya! Jangan buat aku khawatir!" teriak Sarah sambil mengetuk pintu berulang-ulang. "Jasmine! " Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka. Jasmine melangkah mendekat ke arah Sarah dengan tangan gemetar seolah menggenggam pisau yang melukai tangannya. Takut, bingung, bahagia, semuanya bercampur aduk menjadi satu. 2 garis. Itu artinya positif. Aku hamil, aku hamil anak Peter. Sarah memegang bahu Jasmine. Menyadarkan Jasmine yang termenung dengan pikirannya sendiri. "Apa pria itu berengsek? Apa dia tidak akan bertanggung jawab?" Jasmine menggeleng kuat. Tentu saja, Peter akan bertanggung jawab. Ini sudah menjadi misi nya sejak dulu. Membuatnya hamil adalah senjata Peter untuk menghancurkan keras kepala dan sandiwara nya pada Anna. “Tidak Sarah. Dia akan menerima anak ini. Aku masih akan ke rumah sakit untuk memastikan usianya," "Ya. Kau harus memastikannya. Dia butuh nutrisi dan kasih sayang dari ke dua orang tuanya," tegas Sarah. "Tapi, maaf Jasmine. Aku tidak bisa menemanimu. Aku harus pergi, pesawat jemputanku sudah menunggu." Jasmine mengangguk. Kemudian membawa Sarah dalam pelukannya. "Terimakasih banyak Sarah. Berhati-hatilah. Semoga kau pulang dengan selamat." "Ya. Sampai bertemu lagi Jasmine." Ke dua wanita itu keluar dari kamar yang ternyata sebuah kamar hotel. Sebelum berpisah arah, Jasmine dan Sarah kembali berpelukan untuk perpisahan mereka. "Selamat tinggal, Sarah," ucapnya sambil melambaikan tangan. Sarah adalah wanita baik. Dan dia berharap, suatu saat nanti, takdir akan kembali mempertemukannya dengan dokter cantik spesialis bedah itu. Jasmine menghentikan taxi dan menuju sebuah alamat yang harus dia kunjungi. Rumah sakit. Dia harus memastikan usia kehamilannya. Apa aku langsung memberitahu Peter saja ya? Ahh—tidak. Aku harus memastikannya dulu. Jasmine mengusap lembut perutnya, mencoba merasakan ikatan kuat antara ibu dan bayi yang dikandungnya. "Kenapa baru mengabari Ibu sekarang?" lirihnya, mencoba berkomunikasi dengan bayinya yang entah sudah berapa usianya. "Sehat terus ya, sayang." Taxi pun berhenti. Jasmine meminta nomor rekening si sopir taxi, karna dia tak memiliki uang untuk membayarnya. Bahkan Jasmine memberikan alamat rumahnya, karna si sopir masih tak percaya. Jasmine melangkah cepat. Dia ingin segera sampai dan memperkuat bukti testpack di tangannya. Langkahnya pun terhenti saat di depan sebuah ruangan dengan label Dokter kandungan. Keraguan sempat menghentikannya. Bagaimana jika dirinya benar-benar hamil? Apa yang akan terjadi pada Anna saat tau hubungannya dan Peter? Jasmine berbalik arah. Dia belum siap, jika Anna harus mengetahui hubungannya dan Peter sekarang. Tapi, rasa mual tiba-tiba seperti mengaduk isi perutnya. Lantas, Jasmine kembali mengingat nasib bayi dalam rahimnya. Saat ini, kehidupan anaknya lebih penting dari pada Anna. Dia juga harus memikirkan kehamilannya, masa depan anaknya. Dia tidak mungkin membiarkan anaknya tumbuh tampa kasih sayang ayahnya. Tidak. Aku tidak akan membiarkan mu kehilangan ayahmu, Nak. Tidak akan pernah. Jasmine berbalik arah. Memantapkan hatinya untuk masuk ke dalam ruangan di mana dia akan melihat dan mendengarkan detak kehidupan anaknya. Lagi pula, Anna adalah sahabatnya, lambat laun Anna akan menerima dan memaafkannya. "Nona? Anda sakit? Ada yang bisa saya bantu?" ucap dokter itu sambil menghampiri Jasmine yang masih mematung menatap sekelilingnya. Jasmine tersenyum kikuk. "Ya dokter. Bantu aku untuk melihatnya," ucapnya sambil memberikan test pack di tangannya. **** Senyuman lebar tersungging di bibir tipisnya. Jasmine melangkah menyusuri koridor untuk segera pulang dan memberitahukan hasil tes nya kepada Peter. Ayah biologis anaknya. Selembar kertas dengan gambar makhluk mungil yang menghuni rahimnya, tak lepas dari genggaman tangannya. Pandangan matanya tak teralihkan dari sosok mungil yang sudah terlihat warna kulitnya di lembar kertas foto itu. Kecanggihan teknologi membuatnya takjub. USG yang dipilihnya tadi, bisa menunjukkan seperti apa rupa dan keadaan bayinya di dalam rahimnya. Tak dia sangka, usia kehamilannya sudah memasuki usia 4 bulan. Dan saat ini, semua garis takdir tuhan sudah tertulis untuk bayinya. Lalu, apa lagi yang membuatnya ragu untuk memberitahukan kepada ayahnya? "Jasmine?” Suara seseorang yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya, membuat langkahnya terhenti. Jasmine menyembunyikan foto bayinya di balik punggung. Dia tidak mau, seseorang mendahului si Ayah melihat foto pertama bayinya. "Justine. Kau di sini?" tanya nya dengan sedikit senyuman hambar. Terkejut melihat Justine yang tiba-tiba sudah muncul di depannya bagai jin botol. Justine mengusap wajahnya kasar. "Astaga, ke mana saja kau selama beberapa jam terakhir? Peter hampir membunuhku, karna tak kunjung menemukanmu, Jasmine!" sungutnya sambil menghembuskan nafas lelah. "Emm, A-aku ... Jalan-jalan. Yah, jalan-jalan keliling kota," jawab Jasmine sedikit tergagap karna jawaban bohongnya. "Lalu, kenapa kau ada di sini?" tanyanya sambil celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang yang biasa menjadi Tuan besar Justine. "Kau tidak tau apa yang terjadi pada sahabatmu Anastasia, Jasmine?" Jasmine menggeleng kuat. "Kenapa dengan Anna? Aku tidak mendengar berita apa pun tentangnya," jawabnya. Karna setaunya, Anna masih baik-baik saja di rumahnya. "Anna kecelakaan Jasmine, dan dia juga berada di rumah sakit ini." "Apa!? Anna kecelakaan?" pekiknya sambil menutup mulutnya tak percaya. "Tapi, bagaimana bisa? Anna sedang berada di rumahku." Justine mengangkat bahu dan kedua tangannya bersamaan, pertanda ke tidak tahuanya. "Kau bisa tanyakan sendiri padanya. Saat ini, Anna sudah sadar." "Berapa nomor kamar nya?" "VVIP nomor 1A." Tampa bertanya lagi, Jasmine melangkah cepat meninggalkan Justine yang mematung di tempat. Dia khawatir, Anna adalah sahabatnya satu-satunya. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang membahayakan nyawa nya? "Itu dia!" ujarnya begitu mendapati ruangan kamar yang Justine sebutkan. Jasmine melangkah menuju pintu, tapi sebuah isakan seseorang yang sangat di kenalnya menyapa kedatangannya yang ternyata sangat tidak tepat waktu, hingga langkahnya terhenti sampai di celah pintu yang tidak tertutup rapat. "Anna kecelakaan. Dia kehilangan kakinya." "Maksud Paman? Anna ... " "Dia lumpuh Peter. Dan Bibik berharap, kau akan selalu ada di sampingnya untuk memotivasi nya. Dia hancur dan terluka begitu tau kehilangan fungsi kakinya. Dan kami melihat, Hanya kau yang bisa mengendalikannya. Bibik mohon, berjanjilah untuk selalu membahagiakan nya Peter, Bibik mohon. Hiks.. Hiks .... " Isak Merry dan Peter mendekat, memeluk wanita setengah baya yang menangis terisak karna melihat kesakitan putrinya. "Jangan menangis Bibik. Aku berjanji, aku akan selalu berada di samping Anna, dan berusaha membahagiakannya. Aku janji..." Nampak ruangan itu, kembali riuh oleh tangis haru ibu Anna. Tampa tau, di celah pintu yang terbuka, ada dirinya yang menangis pilu bahkan lebih menyakitkan, hanya dalam diam. Niat hati, Jasmine ingin melihat bagaimana kondisi Anna, malah dia mendengar hal yang menyakiti hatinya di depan matanya. Sebelumnya dia bahagia, ketegangan antara hubungannya dan Peter pasti akan mereda setelah Peter mengetahui kehamilannya, dan dia sudah mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkap kebenarannya pada Anna. Tapi, situasi ini tak pernah dia bayangkan sebelumnya, Sehingga dirinya harus mengalah lagi demi Anna. Jasmine meletakkan telapak tangannya mendarat lembut di perutnya yang dia ketahui adalah Peter junior nya. "Sayang, jangan sedih. Saat ini, Mommy belum bisa memberitahu Daddy mu. Tapi, jangan khawatir. Suatu saat nanti, Daddy pasti akan mengetahui keberadaanmu. Hiks.. hiks ..." Bergetar. Suara Jasmine bergetar teredam oleh isakan yang coba dia telan kuat. Kali ini, dia harus mengalah lagi untuk Anna. Hanya mengalah, bukan berarti dia kalah. Jasmine akan memperjuangkan posisi putranya saat Anna sudah sembuh entah kapan waktunya. Dan hari ini, biar lah cintanya di kalahkan oleh persahabatannya. "Jasmine? Kau disini?" Jasmine mendongak. Buru-buru meletakkan test pack dan foto USG putranya dalam saku celana, saat yang menyapa nya adalah pria yang mau tak mau, dia takuti setelah ke dua ayahnya. "A-aku... " Belum sampai Jasmine menjawabnya, Peter sudah lebih dulu menariknya sedikit menjauh dari ruangan kamar itu. "Kau dari mana saja huh!?" omelnya sambil membawa Jasmine dalam pelukan eratnya. "Aku hampir gila karna mencarimu ke mana-mana." Bohong! Kau tidak mencariku! Kau di sini. menemani Anna! "Kau baik-baik saja kan? Ke mana saja selama beberapa jam terakhir?" lanjutnya. Jasmine terdiam. Ingin rasanya dia melepas pelukan hangat itu, tapi dia tidak bisa. Pelukan hangat Peter, membuatnya merasa betah berlama-lama di sana. "Aku hanya berkeliling kota," jawabnya. Sedikit dongkol, saat tau Peter berbohong saat mengatakan mencarinya padahal tidak. "Aku tau kau marah. Tapi kau salah paham. Aku tidak melakukan apapun dengan Anna, kukira itu dirimu!" jelas Peter. Dia tidak mau, Jasmine berpikiran yang tidak-tidak dan berakhir menjauhinya. Jasmine diam. Dia percaya. Mungkin saja Peter terkecoh oleh baju tidur miliknya yang di pakai Anna. Dia pun menarik dirinya dari pelukan Peter yang membuatnya semakin tak ingin lepas. "Tidak masalah," jawabnya setengah hati. "Mm, aku akan menemui Anna dulu," lirihnya sambil berbalik arah. Membuat alasan agar dia bisa lepas dari Peter. Tapi baru satu langkah dia menjauh, "Huwekk ... " Jasmine lekas menutup mulutnya. Apa-apaan ini? Kenapa dirinya tiba-tiba mual? Perasaan, tadi baik-baik saja. Peter menghadang langkahnya yang kembali ingin menghindar. Dia harus bisa pergi, agar Peter tak memburunya dengan serentetan pertanyaan mematikannya. "Tunggu!" ucap Peter sambil memegang lengannya dan sebelah tangannya menempel di keningnya. "Tubuhmu tidak panas. Dan kau sama sekali tak menunjukkan gejala orang yang sedang sakit. Wajahmu juga tidak pucat. Tapi, kau baru saja mual. Apa terjadi sesuatu dan kau tak memberitahu kannya padaku? Kau hamil Jasmine?" Jasmine ternganga. Secepat itukah Peter menganalisis dan menyimpulkan kondisinya? Tuh kan nak. Apa ibu bilang, ayah mu yang menakutkan ini limited edition loh. Please, jangan buat ibu kalang kabut untuk membuat alasan. Kau harus memihak ibu, jangan ikut-ikutan memprovokasi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD