Tamu Tak Di Undang

2203 Words
Pagi-pagi sekali Peter sudah memasak sarapan sebelum Jasmine bangun. Semuanya sudah dia hidangkan lengkap di atas meja beserta minuman kesukaan mereka berdua. Segelas coklat panas yang masih terlihat mengepul dari gelasnya. Jasmine belum bangun. Dan setelah sarapan nanti, dia akan membawa Jasmine ke Rumah sakit. Dia sudah menghubungi seorang dokter dan membuat janji untuk memeriksakan kondisi Jasmine yang sebenarnya. "Pagi ... " Sebuah tangan hangat melingkari tubuhnya. Senyuman Peter tak dapat di sembunyikan. Tangannya pun tergerak untuk memegang tangan lembut kekasihnya itu. "Pagi sayang,” cup! jawabnya sambil menoleh kilas dan mengecup Puncak kepala Jasmine. "Kenapa sudah bangun? Ini masih sangat pagi." Jasmine menguap sebentar sambil menggulung rambutnya ke atas dengan asal. "Seharusnya kan aku yang memasak makanan? Aku jadi malu terlihat seperti wanita pemalas," ucapnya lalu memutar tubuh menatap sepotong roti panggang dengan selai coklat yang nampak meleleh di tengahnya. Terlihat sangat menggiurkan. "Eh, mau ke mana? Sarapan dulu ya?" pinta Peter balik memeluknya dari belakang. "Aku mau bersih-bersih kamar dulu. Setelahnya, baru sarapan. Oiya, aku mau mengunjungi Nenek Jessy ya?" Peter hanya mengangguk lalu membawa Jasmine dalam pangkuannya. Dia tidak boleh mengutarakan maksudnya sebelum Jasmine sarapan. Dia tau, Jasmine dengan keras kepalanya akan menolaknya "Aku akan mengantarmu. Tapi, sebelum itu sarapan dulu." Jasmine menurut. Perkataan Peter bukan sesuatu yang bisa dia sangkal. Lebih baik dia diam, daripada mengusik Singa yang jinak pagi-pagi begini. "Kau tidak sarapan?" tanyanya saat Peter hanya diam sambil memangkunya. "Tidak. Aku hanya ingin minum cokelat panas." "Oh." Dia kecewa. Harusnya Peter menghangatkan suasana pagi dengan sarapan bersama layaknya keluarga. Lagi pula, sudah ada Anak di tengah-tengah mereka meskipun masih di sembunyikan. "Kenapa diam. Apa kau tidak suka?" Jasmine menunduk. Meremas sudut meja sambil menggeleng pelan. Se pagi ini, Peter harus membuatnya sedih karna tak berniat makan bersama. Keterlaluan! "Lalu? Apa kau ingin sesuatu sebagai pelengkapnya?" Jasmine menggeleng lagi sebagai jawabannya. "Ada apa Jasmine? Katakan sesuatu. Jangan membuatku bingung." tekan Peter dengan nada frustasi. Semakin hari, Jasmine semakin aneh dengan tingkahnya. "Jangan membentakku Peter! Aku hanya ingin di suapi! Hiks.. Hiks ... " Jasmine menangis terisak. Dia benci Peter yang tidak peka. Sementara akhir-akhir ini, emosinya lebih cepat tersulut. Bisa dikatakan baper nya sering kumat dan Peter tetap diam di poros yang sama. Dia tidak mencoba memahaminya. Peter merengkuh Jasmine, mengecupi rambutnya berkali-kali. Lalu menyelusupkan tangannya ke dalam kaos kebesaran milik Jasmine dan mendaratkan telapak tangannya di perut Jasmine yang mungkin sudah tumbuh juniornya. "Cup, cup, cup! Jangan menangis sayang. Maafkan aku. Aku mengaku salah. Aku tidak membentakmu, sungguh!" lirihnya dengan menyesal. "Sekarang makan, aku akan menyuapimu ya?" Jasmine mengangguk. Dan Peter tersenyum lega. Dia pun dengan telaten menyuapi wanita yang berubah manja itu. Bukannya dia tidak paham situasi apa yang terjadi pada Jasmine. Dia hanya memperkuat dugaannya dengan memancing emosi wanita itu se pagi ini. Perilakunya yang berubah-ubah dengan emosinya yang naik turun sudah cukup menjelaskan padanya jika Jasmine sedang menyembunyikan kehadiran Anaknya. Dan hari ini, dia akan membuktikannya dan membuat Jasmine merasa bersalah karena sudah membohonginya. Jasmine sayang. Siap-siap mendapat hukuman dari bodyguard-bodyguard cantikku. **** Saat ini, mereka sudah berada di mobil. Jasmine yang sekarang mudah terlelap saat menaiki mobil membuatnya tertawa pelan. Jasmine yang dulu dengan yang sekarang memang berubah drastis. Dulu, dia adalah wanita keras kepala, pemberontak dan introvert. Sehingga sering membuatnya kesal dan marah. Sedangkan Jasmine yang sedang bersamanya kali ini, cenderung manja, penurut, cengeng, dan itu semakin membuatnya suka. Jasmine terus bergantung kepadanya sehingga hanya dia lah yang akan terus berkuasa melindunginya. "Sayang, bangun. Sudah sampai," ucapnya sambil menepuk pipi Jasmine pelan. "Enggh. Aku ketiduran ya?" lirih Jasmine sambil membuka sabuk pengaman. Peter tersenyum tipis. "Bukan ketiduran Sayang, tapi terlelap." Peter keluar dari mobil. Dan dia pun membuka pintu di samping Jasmine. "Kau masih mengantuk ya?" tanyanya saat Jasmine nampak mengucek matanya beberapa kali. Jasmine mengangguk sambil melirik dengan matanya yang sepertinya enggan terbuka. "Mau ku gendong?" "Ya. Tentu saja." jawabnya bersemangat. Baguslah, ini akan semakin mempermudah misi ku. Peter membawa Jasmine dalam pelukannya. Dan Jasmine malah bergelut manja dengan memasukkan wajahnya di ceruk lehernya. Dia belum mengetahui di mana keberadaannya sekarang. Jika saja Jasmine tau, pasti dia akan mencak-mencak minta pulang. "Eh, kenapa rumah Nenek Jessy bau obat-obatan ya?" tanyanya lalu membuka mata dan kaget saat melihat perawat lalu lalang di depannya. "astaga Peter! Kenapa kau membawaku ke Rumah sakit?" pekiknya mulai berontak minta di lepaskan. "Kau akan di periksa. Dan aku akan mengetahui apa yang sedang kau sembunyikan dariku." "Tidak ada apa-apa. Sungguh. Ku mohon lepaskan aku!" teriaknya mulai panik. "Kali ini, kau tidak akan bisa mengelak Jasmine!" "Huwaaa ... Hiks.. Hiks .... Tolong ... Tolong aku..." isaknya dengan keras sambil meronta minta tolong sehingga orang-orang yang melihatnya menatapnya aneh bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak. "Nona itu kenapa Tuan?" tanya seorang ibu-ibu yang berpapasan dengannya dengan pandangan prihatin. Mungkin dia mengira, Jasmine adalah korban penganiayaan dari pria yang menggendongnya. Peter tersenyum tipis. "Dia istriku. Dia memang takut di bawa ke Rumah sakit. Takut di suntik katanya ..." "Ahh benarkah?" tanya wanita itu. "Wah, kalian pasangan yang romantis. Kau sangat beruntung Nona. Jarang-jarang loh, seorang wanita punya suami yang perhatian sampai seperti ini. Apalagi suamimu sangat tampan. Limited edition loh!" Jasmine mendengus tak suka dengan mata berkilat kecemburuan. Sedangkan Peter hanya terbahak melihatnya. Drrtt ... Drrtt. "Peter. Ponselmu berdering." "Biarkan saja. Sebentar lagi kita sampai." Drrtt ... Drrtt. "Angkat dulu Peter. Siapa tau penting. Bisa saja, Ayah dan Ibu kan?" "Huftt ...." Peter menarik nafasnya kasar. Dia menurunkan Jasmine di sebuah tempat duduk yang jaraknya tak sampai 20 langkah dengan ruangan dokter kandungan. "Baiklah. Aku angkat dulu. Kau puas?" sungutnya. Jasmine hanya cengar-cengir dengan mimik wajah palsunya. Sebenarnya dia sedang bingung. Dia tidak pernah memprediksikan jika Peter akan membawanya untuk periksa. Dan dia tidak punya rencana cadangan untuk bisa kabur sekarang. Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Peter mengangkat panggilan telepon dari seseorang dengan wajah memerah kesal. "Ada apa Dokter?" jawabnya begitu yang menghubunginya adalah dokter yang merawat Luke. "Anda harus kemari Tuan. Anda harus melihat sendiri kondisi Tuan luke." "Kenapa dengan Luke?" bentak Peter tak sabar. "Baiklah. Jaga dia. Aku akan segera sampai.” Klik! Hampir saja di memaki jika tidak ingat Jasmine si sensitif sedang berada di dekatnya. "Kali ini kau lolos Jasmine. Tapi, jangan harap kau akan lolos dariku besok." Jasmine mengusap d**a nya yang bergemuruh kencang. Akhirnya dia bisa lolos. Peter tidak jadi memeriksanya dan itu artinya kehamilannya untuk saat ini masih menjadi rahasianya. Dan untuk besok, dia harus membuat rencana untuk bisa kabur dari kehendak Peter si pemaksa. *** Jasmine memilih bersantai dengan berkebun di halaman depan rumah. Peter sudah pergi beberapa menit yang lalu setelah mengantarkannya. Dan saat ini, dia sendirian. Ralat, hanya berdua bersama putranya dan bibit bunga Mawar dan Melati yang sedang dia pindahkan ke dalam pot yang lebih besar. "Jasmine!" Suara seorang wanita di belakangnya, membuatnya memutar tubuh. Di belakangnya, berdiri seorang wanita seusia ibunya berdiri elegant dan angkuh menatapnya. Tak seperti biasanya yang menatapnya penuh kasih sayang. "Eh bibik? Mari silahkan masuk," ucapnya lalu mempersilahkan wanita yang ternyata Merry itu masuk dan dia sendiri memilih ke dapur untuk mencuci tangan dan membuat minuman. Jasmine kembali ke ruang tamu dengan nampan berisi teh dan se Toples kue jahe yang diberi Nenek Jessy tempo hari yang lalu. “Silahkan di minum dan di cicipi kuenya bik." Merry berkilah, menatap Jasmine dengan pandangan bencinya. "Tidak perlu berbasa-basi Jasmine. Berapa harga yang harus ku bayar agar kau meninggalkan Peter?" Deg! Jasmine terperangah mendengar kata-kata ibu Anna yang sinis menghunus tajam. "Maksud bibik Apa? Aku tidak mengerti?" "Hahaha ... " Merry tertawa keras begitu mendengar perkataan Jasmine. "Apa? Benarkah? Kau tidak mengerti dengan maksudku?" ucapnya sinis. "Bullshit! Buka topeng kepolosanmu yang menutupi tabiat jalang mu itu, Jasmine!" teriak Merry setelah memukul meja di depannya dengan kuat. "Kau kira aku tidak tau, Jika kau sudah menghianati Anna hah!?" sinisnya. "kau memiliki hubungan gelap dengan Peter, sementara kau sendiri tau, jika Anna sangat mencintai Peter!" "Tidak! Bibik salah paham," elak Jasmine mencoba mencari cara untuk mengatasi kesalahan pahaman Merry, walaupun semua itu memang sesuai kenyataannya. Merry menyipitkan sebelah matanya, menatap Jasmine dengan pandangan mencemooh hina. "Kau bilang salah paham? Bahkan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, saat Peter mencium mu dan mengatakan jika kalian sepasang kekasih dan itu pun di rumahku!" bentaknya. "Kau masih ingin mengelak Jasmine!? Sementara, aku melihat sendiri kebenarannya. Kelicikan yang tersembunyi dibalik kebaikanmu!" Deg. Jasmine bungkam. Saat di mana Peter menciumnya di rumah Anna, harus disaksikan oleh ibu Anna sendiri dan ini petaka. "Sekarang katakan! Berapa harga yang harus ku bayar, agar kau pergi dan memutuskan hubunganmu dengan Peter!?" Jasmine mendongak. Kembali kata-kata itu menamparnya keras. Tidak seharusnya ibu Anna mengadilinya seperti ini? Sebelum Anna mencintai Peter, sudah lebih dulu dia mengikat hubungannya. Bahkan Anna lah yang menjadi penyebab dia mengalah dan merelakan hubungannya dan Peter berada di ambang kehancuran. Lalu saat ini, kenapa dirinya yang harus di salahkan? "Bibik tidak bisa membeli Cinta ku dengan uang! Aku dan Peter saling mencintai. Bahkan beberapa bulan terakhir, aku mengalah demi Anna, walau pun harus membuat hatiku sendiri terluka. Lalu apa salahku? Bahkan aku sudah lebih dulu memulai hubungan ini!” Jasmine menekankan kata-katanya. Merry tidak bisa menganggap dirinya jalang karna mencintai Peter. Apa artinya uang baginya. Jika dirinya mau, bahkan semua harta Anna pun bisa dia beli. Tapi tidak. Disini, dia tidak akan menggunakan kekuasaan atau uang. Ini tentang sebuah hubungan, ikatan Cinta. Dan Cinta itu suci, anugerah dari Tuhan, seharusnya tidak di pandang dengan kuasa materi. "Hiks.. Hiks ..." tiba-tiba Merry menangis terisak, dengan ke piluan malang di matanya "maafkan bibik Jasmine. Hanya saja, bibik merasa terluka. Kau lihat sendiri bagaimana kondisi Anna saat ini. Dia sakit, dia bermental rendah, dia butuh seseorang yang dia Cinta untuk menjadi penyemangatnya. Dan saat itu, saat bibik melihat hubungan kalian. Bibik merasa sangat sedih dan terluka ... " isaknya. "Bibik berpikir ... dunia tidaklah adil. Apa yang tidak di berikan Anna padamu dulu, saat kau hanya gadis miskin dengan orang tua tunggal? Dia selalu me nomor satukan dirimu di bandingkan dirinya sendiri. Dia selalu ada disaat suka dukamu dan kami selalu memberimu bantuan saat kau mengalami kesusahan. Sedangkan dirimu, untuk memberikannya kebahagiaan dengan merelakan seorang pria yang kau cintai untuknya saja, kau tidak bisa Jasmine." Pandangan Jasmine buram oleh butir air mata yang memenuhi bola matanya. Semua perkataan ibu Anna benar adanya. Anna satu-satunya orang yang peduli padanya saat dia susah, dia memang merasa berhutang budi bahkan sangat banyak. Tapi, apakah dia harus membalasnya dengan mengorbankan perasaannya? Mengorbankan masa depan putranya? Tidak. Cukup dirinya yang hidup dengan orang tua tunggal dan tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah sejak dia kecil. "Aku tidak berdaya bik," ucap Jasmine merendah. Sungguh meninggalkan Peter adalah sesuatu yang mustahil baginya. Merry tertawa rendah, niatnya untuk memaksa Jasmine merelakan Peter untuk Anna sia-sia belaka "Tidak apa-apa Jasmine. Maafkan Bibik. Bibik membuatmu terluka. Bibik kira, kau akan memikirkan perasaan gadis lumpuh seperti Anna yang kehilangan masa depannya. Tapi ternyata, Bibik datang pada orang yang salah," isak Merry sambil mengusap air matanya yang tak tertahankan. "Bibik pamit. Maaf sudah mengganggumu." lanjutnya lalu bangkit dan mulai melangkah keluar. "Bibik tunggu!" ucap Jasmine menahan kepergiannya sambil memegang tangan Merry yang terasa panas di telapak tangannya. Benar! Anna lumpuh dan entah kapan sahabat malangnya itu bisa sembuh. Anna kehilangan semangatnya, cita-citanya bahkan masa depannya. Lalu kenapa hanya untuk menjaga perasaan Anna dengan memberikannya kebahagiaan dia tidak bisa? Anna sudah berkorban banyak dan dirinya egois jika tidak melakukan hal yang sama. "Baiklah. Aku akan pergi. Aku akan merelakan Cinta ku untuk Anna," lirih Jasmine, mencoba menelan pahitnya nasib kehidupannya dan Anaknya kelak. "Bibik tidak perlu khawatir. Aku akan pergi, Hiks.. Hiks ..." isaknya tak tahankan. Merry berbalik dan merengkuh Jasmine dalam pelukannya. "Terimakasih Jasmine. Terimakasih banyak. Bibik tidak akan pernah melupakan kebaikanmu," ucapnya dengan suara bergetar. Jasmine diam. Dia terisak di pelukan Ibu Anna. Kali ini, dia mengambil keputusan yang bukan hanya akan menjauhkan Peter darinya, tapi membuat dia kehilangan Peter untuk selama-lamanya. Tidak mengapa nak. Kita masih punya kakek dan nenek yang akan menyayangi kita berdua. Jangan sedih ya? Merry melepaskan pelukannya dan melangkah keluar dengan senyuman kemenangan tersungging di bibinya. Jika batu tidak bisa kau pecahkan dengan Palu. Kau bisa memecahkannya dengan tetesan air. Seperti itulah kelicikan. Jangan gunakan kekuatanmu, tapi gunakan akal dan siasat untuk melumpuhkan musuhmu. Dunia yang memaksa ku untuk melakukannya dan kali ini, untuk putriku. Jasmine meringkuk di sudut sofa. Dia menangis sejadi-jadinya. Bukan nasibnya yang dia tangisi. Tapi nasib putranya yang harus mengalami nasib seperti apa yang dia alami sejak kecil. "Maafkan Ibu, Nak, kita harus pergi meninggalkan Ayahmu demi kebahagiaan orang lain, hiks.. Hiks ... Jangan bersedih. Ibu tidak akan membiarkanmu kekurangan kasih sayang sedikit pun." Sakit, pedih, terluka. Di harus melihat putranya tumbuh tampa seorang ayah. Mengalami nasib seperti dirinya yang di katai Anak haram dan di kucilkan oleh teman-temannya. Meski dirinya memiliki kekuasaan, bisa mewujudkan apapun yang suatu saat nanti putranya inginkan, tapi bagaimana jika nanti, putranya menanyakan keberadaan Ayahnya? Jasmine bangkit, dia menuju kamarnya dan mulai mengemasi beberapa baju yang akan di bawanya. Dia akan kembali ke London dan menghubungi orang tuanya yang saat ini masih berada di Washington Dc, lalu meminta ayahnya membawanya pergi jauh dari Peter. Walaupun dia tidak tau, apakah Peter akan mampu menemukannya atau tidak, hanya takdir yang akan menentukannya. Selamat tinggal Peter...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD