"Cie...cieeeeeee," seloroh Dea sok ceria saat melihatku baru datang ke kampus.
"Kenapa kamu, De?" tanyaku bingung.
"Halah, gak usah sok polos. Kamu seneng kan dengan unggahan si Erlannnn?" Kata-kata Dea membuatku sadar dia sedang menggodaku.
Yap, dia pasti sudah memantau i********: milik Erlan yang berisikan foto-foto milikku itu. Foto yang berkesan so sweet, keren, dan lain-lain. Padahal kalau Dea tahu, Erlan memang sengaja melakukan itu semua. Tengsin berat waktu ingat percakapanku dan Erlan kemarin sore. Kok bisanya aku termakan hipotesis palsuku sendiri. Rasanya pengen lepas muka ini terus kubuang di lautan. Rasanya pengen banget kenanganku kemarin sore dihapus bersih tuntas. Ya iyalah secara kemarin sore percakapan kami bagaikan menghantarkanku ke neraka.
"Cie, katanya gak suka sama aku. Diam-diam kok kasih kejutan..." godaku sambil menatap Erlan yang baru pulang dari persiapan kunjungan Pangdam. Wajahnya terlihat aneh karena melihatku tersenyum menggodanya.
"Maksudmu? Kamu gak lagi bingung kan? Kayaknya kamu udah makan banyak deh. Nih ruang makan udah mirip TPS!" sindirnya sambil menata piring-piring yang berserakan di meja makan. Aku mendekati tubuh tingginya.
"Ih, pake sok cuek segala. Udahlah Kak, ngaku aja. Kakak suka kan sama aku?" sahutku kegirangan.
"Kamu kenapa sih? Ngomong tuh yang jelas. Jangan halu!" ejeknya sambil duduk dan meminum jus apel dinginnya.
"Halah, pakai cuek segala. Ngaku saja kalau Kak Erlan suka sama aku. Pake kasih kejutan upload foto dengan caption manis di i********: segala," ejekku usil. Dia keselek jusnya. Aku terkikik pelan.
"Tahu darimana kamu, Bel?" tanyanya seolah tak percaya aku sudah membongkar isi instagramnya.
"Ya elah, aku juga punya akun i********: keleus, Kak. Ih udah deh gak usah ngalihin pembicaraan. Jujur saja, Kak," godaku kepedean.
"Bilang dong kalau kamu itu punya akun i********:. Jadi aku gak usah repot-repot upload foto-foto itu. Bikin jelek reputasiku saja," ujarnya galak. Hah, kok dia galak gini. Aku salah ganggu orang ya?
"Maksudnya?" tanyaku polos.
"Asal kamu tahu ya, aku upload foto itu untuk meredam gosip yang sempat ada sebelum pernikahan kita. Kamu tahu, ada gosip yang bilang katanya aku hamilin kamu makanya mendadak nikah. Katanya pernikahan kita ini settingan. Katanya pernikahan kita ini bohongan. Malah ada yang bilang katanya kita nikah kontrak! Siapa yang mau kena gosip gitu? Nama baikku selama 7 tahun jadi tentara bisa tercorenglah! Gini-gini aku juga pengen pernikahanku terkesan sempurna. Walaupun cuma bohong saja," omelnya kesal.
"Pernikahan kita emang gak direncanakan, kan? Kita nikah kan bukan karena cinta," jawabku pelan.
"Iya, tapi kan hanya keluarga kita yang tahu itu. Itu semua adalah rahasia keluarga kita!" balasnya tegas.
"Emangnya kenapa sih kamu ga cari istri sendiri? Katanya hebat, keren, kok mau-maunya dijodohin paksa gitu," ejekku.
"Kamu pikir aku anak durhaka yang berani lawan orang tua? Menurutmu, cuma kamu saja korban dari pernikahan ini. Aku juga korban dari perjanjian mereka semasa muda," tukasnya yang membuatku tertegun.
"Kamu gak bocorin tentang pernikahan kita ke siapa-siapa, kan?" tegasnya mengagetkanku. Haduh, aku kan sudah memberi tahu Dea. Aku mengangguk takut.
"Awas kalau sampai rahasia ini bocor!" ancamnya sebelum beranjak pergi.
"Jadi, tujuan Kak Erlan upload foto karena itu?" selorohku yang menahan langkahnya. Wajahku mendadak malu tujuh turunan. Nabilla, mending kamu masuk ke laut deh! Olok hatiku.
"Bukan karena Kak Erlan suka sama aku?" tegasku meyakinkannya. Dia terbahak sinis.
"Adek kecil, jangan suka menghayal ya!" ujarnya sinis sambil beranjak pergi dari depan mataku.
Gubrak! Rasanya aku pengen roboh saja dari pendirianku. Malunya aku sampai kepedean tingkat tinggi model gitu. Kenapa aku bisa berhayal kalau Erlan menyukaiku? Kenapa pikiranku dangkal sekali? Harusnya aku kembali menyadarkan diri kalau pernikahan ini adalah lelucon, lelucon untukku dan lelaki dewasa seperti dia. Suka, cinta, perhatian, itu bukan hal yang ada di antara kami. Sadar Bel, sadar! Sadar!
"Napa sih kamu, Bel? Nglamun apaan sih? Nglamunin Kak Erlan ya?" goda Dea. Aku mendelik kesal.
"Udah deh gak usah sebut nama dia. Bikin suntuk!" ujarku kesal.
"Loh, kenapa sih? Bukannya udah dikasih caption manis. Kok sekarang kesel sih, Bel?" tanya Dea polos. Hidih ni anak belum tahu saja kalau kemarin sore Erlan sudah menghancurkan wajahku.
"Udah deh gak usah kepo. Ke mall saja yuk?" tanyaku suntuk.
"Hah? Kamu gak bimbingan skripsi? Bukannya udah janjian sama bu Mala?" berondongnya cerewet.
"Bu Mala batalin janjinya. Katanya sakit perut. Udah yuk!" ajakku malas sambil menarik tangannya. Dia hanya menurut.
---
"Serius kamu Bel belanja sebanyak itu? Emangnya nanti suamimu gak marah?" tanya Dea heran ketika melihatku memboyong tumpukan baju diskonan di Matahari Mall.
"Santai aja! Marah juga biarin!" ucapku cuek.
Mau aku salah atau benar, Erlan juga hobinya marah. Paling bentar lagi dia marah karena notif dari SMS banking memburu masuk ke ponselnya. Secara aku baru saja tarik tunai dari ATM merah putihnya. Dan lagi, aku juga gesek sana sini menggunakan kartu debitnya. Pasti notif segambreng masuk dengan semangat ke ponsel Erlan. Marah marah aja sono.
"Ih serius kamu, Bel? Tapi dari wajahnya Kak Erlan itu sabar banget ya kayaknya?" ujar Dea halu. Iya sabar banget sampai bikin aku pengen gigit tangannya.
"Banyak omong kamu. Tumbenan cuma ambil sepatu," ujarku tanpa menanggapi kata-kata Dea.
"Soalnya kemarin aku udah belanja sih, Bel. Eh Abel, kamu lihat arah jam 5 deh. Kayaknya aku gak asing deh sama cowok itu," ujar Dea tetiba antusias.
"Aku gak minat sama cowok baru, Dea. Aku udah punya 1 di rumah," olokku kecut.
"Yeee, tapi dijamin kamu pasti suka yang ini!" ujarnya jejeritan tak jelas. Aku menurutinya sebelum seluruh pengunjung memandangi kami.
Ya Allah Gusti, siapa yang kulihat ini! Dia Kak Imran! Iya, bener banget, Kak Imran Septiawan. Tak lain dan tak bukan mantan pacarku. Pantas saja Dea jejeritan tak jelas ingin aku melihat dirinya. Ternyata itu benar Kak Imran yang sedang memilih sepatu. Kak Imran adalah primadona kampusku. Saat putus denganku, dia baru lulus dari pendidikan S1 Ilmu Hukum. Dia memang bercita-cita jadi pengacara lebih tepatnya pengacara militer alias perwira prajurit karier yang jadi pendamping hukum militer.
"Kak Imran?" sapaku pelan padanya yang jauh lebih tinggi dariku.
"Ya ampun Nabilla ya? Hai apa kabar?" sahutnya ceria.
Dia memang selalu ceria menyambutku walau kami hanya mantan kekasih. Kami berjabat tangan. Ups, aku harus berhati-hati agar dia tak sampai tahu dengan cincin emas putih di jari manisku alias cincin kawin.
"Kabar baik, Kak," ujarku pelan. Dea tak mau kalah juga menjabat tangan Kak Imran.
"Jadi sekarang sudah sampai mana pendaftarannya, Kak," buka Dea ketika kami bertiga akhirnya makan di food court mall.
"Udah sampai di sidang pantukhir, Dea." Jawab Kak Imran kalem. Semoga semua upayanya berjalan lancar.
"Moga lancar ya, Kak?" ujarku pelan sambil sesekali menutupi cincinku dengan tangan kiriku.
"Aamiin, makasi Abel. Ngomong-ngomong aku gak pernah lihat kamu sih. Biasanya kamu sibuk urusin skripsimu. Fakultas kita kan deketan, kemarin aku sering mondar-mandir ke kampus tapi gak pernah ketemu kamu," ujar Kak Imran sambil menatapku. Ups, aku menunduk.
"Abel kan habis sibuk dan menghilang, Kak," seloroh Dea yang membuatku ingin menjundunya.
"Iya, aku emang sibuk 2 bulanan kemarin Kak. Jarang ke kampus," ujarku terbata.
"Jadi, udah sampai mana skripsimu?" Mangkrak batinku.
"Bab 3? Eh bab 2 ding!" ujarku bingung dan bohong. Dia tergelak.
"Kamu nih, skripsi sendiri kok gak hapal. Cepat selesaikan lalu lulus tepat waktu!" ujar Kak Imran mengerlingkan mata padaku.
Hello, seolah dia mau mengajakku balikan saja. Please jangan! Nabilla sudah bersuami! Jejerit hatiku.
"Duh!" celetukku tiba-tiba yang membuat Kak Imran dan Dea terkejut. Ada panggilan dari ibu danyon.
"Kenapa, Bel? Kamu sakit?" tanya Kak Imran perhatian. Aku menggeleng ragu. Aku meminta izin untuk menepi dan menerima telepon penting ini.
"Kok tingkah Abel agak aneh ya, De?" tanya Kak Imran pelan yang kudengar sebelum aku ngacir. Duh, jangan sampai dia tahu kalau aku sudah menikah.
"Halo Assalamualaikum, Mbak," sapaku penuh hormat.
"Walaikumsalam. Dek Nabilla pulang dari kampus jam berapa? Adek sudah sembuh kan? Kira-kira Mbak bisa minta tolong tidak?" tanya Mbak Rahman hati-hati.
"Izin Mbak, mungkin jam 1 saya sudah ada di rumah. Saya sudah baikan kok, Mbak. Minta tolong apa ya, Mbak?" jawabku takut-takut.
"Oh, syukurlah kalau begitu. Mbak tidak bisa jelaskan di telepon. Nanti sore datanglah ke rumah ya, Dek." Permintaan Mbak Rahman kusanggupi dengan pelan. Apa permintaan mbak cantik itu ya? Aku jadi berdebar sendiri. Memang seharusnya aku sibuk di asrama sih, bukannya malah jalan-jalan tak jelas seperti ini.
"Masyaallah!" ujarku kaget sambil menatap layar ponselku. Ada nama Kak Erlan berkelip-kelip di layar ponselku.
"Halo, Kak?" tanyaku cuek.
"Walaikumsalam!" sindirnya. Aduh!
"Iya Kak, Assalamualaikum. Ada apa Kak Erlan?" tanyaku berusaha semanisnya.
"Kalau didengar dari suaramu, kamu gak lagi di kampus tuh. Lagi di mall mana kamu?" berondongnya seperti hantu. Aku celingak-celinguk. Kok dia bisa menebak aku sedang di mall!? Jangan-jangan dia di sini. Mengikutiku!
"Eh, gak kok. Aku lagi di kampus, Kak" ujarku menutupi.
"Kalau mau bohong lihat situasi dulu dong!" timpalnya cuek. Aduh mama, dia seperti hantu.
"Iya, iya. Maaf. Ada apa Kak Erlan?" tanyaku lunak.
"Kamu gak ingat jalan pulang ya? Udah jam berapa nih? Lagian dari tadi aku ditelepon Bang Rahman suruh ajak kamu ke rumahnya!" omelnya yang membuatku suntuk.
"Iya barusan Mbak Rahman juga udah telepon aku kok" ujarku pelan.
"Ya udah tunggu apalagi? Jangan bilang kamu minta kujemput ya!" sindirnya lagi.
"Enggak-enggak. Ya udah aku pulang sekarang, Kak," ujarku menahan kesal.
"Ingat dong kalau kamu itu sudah ibu-ibu. Jangan terbawa sama teman-teman terus! Kalau mau kemana-mana itu izin sama suami dulu," ujarnya sesaat sebelum menutup telepon.
Ngok! Ini cowok bener-bener absurd ya? Dia sendiri yang membuat aturan untuk gak saling campuri privasi masing-masing. Tapi, kenapa malah dia sendiri yang menginjak kebebasanku? Udah tahu kalau aku ini masih remaja tingkat akhir, masih happy-happynya jalan, belanja. Perasaan dia udah sadar itu deh. Kenapa pula sekarang dia malah marah-marah sama aku! Hiks. Beneran sebel aku! Sebel sebel sebel!!!!! Kalau gak ingat sore ini ketemu sama Mbak Rahman, aku udah pulang ke rumah mama. Gak tahan lama-lama serumah sama cowok ngok!
---
"Makasih ya Kak udah anterin aku pulang," ujarku ragu pada Kak Imran yang pada akhirnya mengantarku pulang. Cuma dia yang bisa membantuku kali ini.
"Habis terima telepon dari siapa sih, Bel? Sampai kamu harus buru-buru pulang?" tanyanya pelan.
Jawab apa ya? Masak aku harus curhat kalau habis ditelepon suami dan ibu danyonku. Hello bisa serangan migrain mendadak dia! Dia kan belum tahu kalau aku sudah menikah.
"Hem, mamah. Mamahku suruh buru-buru pulang karena ada kerabatnya datang, Kak." Dia tampak ragu mendengar jawabanku. Aku memang bodoh dalam hal berbohong.
"Loh, kok kamu minta berhenti di depan batalyon? Bukannya rumahmu gak di sini. Lagian ini kan punyanya angkatan darat. Papamu kan angkatan laut, Bel?" berondongnya yang membuatku ingin pingsan.
"Nanti aku jelaskan, Kak! Udah ya aku buru-buru. Dah Kak Imran!" pamitku sambil turun cepat-cepat dan mengangkat kantong belanjaanku.
Kebodohan lagi dan lagi. Kebohongan lagi dan lagi. Kenapa tingkahku selalu serba salah dan tak ada benarnya sih? Dan sepertinya waktu tak membiarkanku bernapas lega sebentar saja. Ketika melewati pos penjagaan, aku berpapasan dengan para ibu yang tampak sinis menatapku. Iyalah secara mereka sedang sibuk menyiapkan kunjungan Pangdam esok hari. Malah aku asyik berjalan lenggang sambil membawa kantong belanja, banyak pula. Aduh!
Kenapa tadi tak kuminta Kak Imran mengantarku masuk ke dalam dan berhenti langsung di depan rumah. Hello, dobel aduh! Bakalan jadi gosip apa lagi kalau diantar lelaki lain yang bukan suamiku. Dangkal banget otakku!
"Enak ya Dek yang habis belanja! Kami terlalu sibuk persiapan kunjungan nih. Coba kalau gak sibuk, pasti bisa ikutan kamu belanja!" sindir tajam Mbak Yusa yang diikuti bisikan-bisikan sinis dari ibu-ibu yang mengekor di belakangnya. Ya Allah kenapa harus ketemu senior yang satu ini sih!
"Eh, iya Mbak. Izin Mbak, ini belanjaan titipan Kak Erlan kok," ujarku berbohong. Maaf Kak, kali ini namamu kupakai sebagai kambing congek.
"Hem terserah deh! Yang jelas Mbak Rahman udah sibuk cari kamu dari tadi. Ternyata kayak gini kelakuan adik kesayangannya!" sindirnya sambil berlalu pergi.
Ingin rasanya aku pingsan saat itu juga. Hidupku kok serba salah sih, Tuhan? Sepertinya aku memang tak cocok berada di lingkungan ini. Lingkungan militer dan embel-embelnya membuatku sesak. Hamba tidak bisa hidup seperti ini. Tangisku dalam hati.
Sesampainya di rumah, bukan sambutan suka cita yang kudapat. Melainkan, tatapan angkuh dari pemilik rumah dinas ini. Yap, kak Erlan sudah mendelik sambil mengangkat barbelnya. Dia terlihat seperti ingin melemparkan barbel itu padaku. Dia pasti marah besar kalau tahu aku diantar lelaki lain sambil membawa kantong belanjaan seperti ini. Benar saja, dia memberondong seribu pertanyaan yang tak kujawab satupun. Lebih baik aku diam saja agar suasana tak makin runyam.
Langsung kuguyur badanku alias mandi. Aku harus bertemu Mbak Rahman sebelum dia semakin kecewa padaku. Semoga dia belum bertemu dengan Mbak Yusa. Bisa tambah runyam kalau Mbak Yusa berkata macam-macam. Hancur lagi namaku, nama Kak Erlan juga. Berat sekali beban di pundakku ini. Tuhan, hamba tak bisa hidup seperti ini.
***
Bersambung