bc

Stuck in Love (Bahasa Indonesia)

book_age18+
10.0K
FOLLOW
108.4K
READ
love after marriage
goodgirl
comedy
sweet
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Masa muda Nabilla yang indah mendadak jungkir balik karena mendadak dinikahkan dengan lelaki aneh dan menyebalkan. Bagaimana dia bisa menikah mendadak? Bagaimana kelanjutan kisah keduanya? Sanggupkah Nabilla menghadapi dilema rumah tangganya? Stuck in Love, Terjebak Cinta (?)

Dipublikasikan sejak 2017 di WP. Tahun 2019 di Dreame/Innovel

chap-preview
Free preview
Bab 1 Bertemu dengan Bencana
"Selamat pagi, Ibu!" sapa sebuah suara yang mengagetkanku. Rupanya ada seorang ibu berusia sekitar 30 tahunan dengan anak balita berusia 4 tahun yang menyapaku. Aku langsung membalasnya dengan ramah. "Eh, selamat pagi juga, Bu!" balasku pelan. Dia langsung melanjutkan langkah kakinya dan meninggalkanku yang sedang berjalan sendiri. "Selamat pagi Ibu Airlangga?" sapa beberapa orang ibu-ibu sambil menatapku. Hah? Ibu Airlangga? Ya ampun, dimana ingatanku. Aku lupa kalau aku ini sudah menjadi ibu-ibu. "Iya, selamat pagi Ibu-ibu," balasku kaget sambil duduk di sebelah mereka. Anehnya mereka langsung menatapku aneh. Kenapa pula ini? Batinku. "Dek, jangan duduk di situ!" tegur Mbak Yusa pelan sambil mencolekku. Aku menoleh dan berdiri, lalu berjalan mengikuti langkahnya. "Memangnya kenapa, Mbak?" tanyaku bingung. Wajah Mbak Yusa juga makin aneh. "Izin dulu, Dek. Perasaan saya sudah kasih petunjuk deh!" selorohnya pelan. Astaga, lupa lagi. Bodoh sekali rasanya aku ini. "Izin Mbak. Memangnya kenapa ya kalau saya duduk dengan ibu-ibu itu?" ujarku polos. "Dek, kita ini istri perwira. Jaga wibawa dong menyesuaikan suami. Kalau tidak kenal tidak usah duduk terlalu dekat dengan anggota. Jelas?" tekannya tegas padaku. Aku hanya mengangguk lemas. Salah lagi di hari pertama kegiatan persit. Huft.         Memangnya masih zaman ya 'kasta terselubung' macam begitu? Masih ada ya ternyata orang yang mengutamakan pangkat suami seperti Mbak Yusa? Di tahun 2017 ini! Oh My Lord...Oke fine. Oke Abel, mungkin mbak Yusa memang sedikit beda dengan yang lain. Dia memang beda dengan Mbak Rahman yang membumi dan rendah hati. Padahal mbak Rahman adalah yang paling senior di antara kami.         Dunia persit alias persatuan istri prajurit memang baru untuk perempuan sepertiku. Walau kakekku seorang pejuang di zaman dahulu dan nenekku adalah sesepuhnya persit, aku masih saja merasa awam. Aku makin awam saat mama mendampingi papa yang seorang marinir angkatan laut dan mama menjadi ibu Jalasenastri. Makin asinglah aku pada yang namanya Persit. Padahal Jalasenastri dan Persit kegiatannya tak jauh berbeda. Saat ini juga aku ingin menyesali kebodohan dan keapatisanku.         Memangnya siapa pula yang mau jadi seperti ini? Sejak kecil aku tak pernah mimpi apalagi sampai bercita-cita jadi seperti mereka. Aku sama sekali tak suka dengan tentara dan dunianya. Menurutku, tentara itu hanya banyak gaya karena berseragam. Aku tak suka pada lelaki kaku model tentara. Tapi, lagi-lagi omongan memakan diriku sendiri. Ya ya ya, semua memang berubah semenjak 2 bulan terakhir ini. Hiks...kalau teringat itu, aku hanya ingin menangis gulung-gulung. --- "Sstt, tuh pak danton keren lewat!" bisik beberapa ibu yang cukup muda dari arah barisan belakangku. Pagi ini, memang acara senam rutin hari jumat.  "Eh iya, wah sayang ya udah punya istri. Padahal mau kukenalkan pada..." potong ibu yang lain. "Iya, mendadak nikah gitu deh. Bapak itu kan ramah banget sama orang asrama sini," timpal ibu satunya. "Eh jangan-jangan dia nikah karena..."  "Ibu-ibu tolong jangan gosip sendiri. Ayo mulai senamnya!" tegur mbak Yusa tegas. Aku tersentak dan melihat ke arahnya. Mbak Yusa sudah memandangiku sinis. Mungkin dia kesal karena aku cuek pada ibu-ibu gosip itu.         Siapa pula sih yang digosipin ibu-ibu di belakangku ini? Seru amat gosipin bapak-bapak, batinku sambil menelisik ke arah yang sempat menarik perhatian ibu-ibu itu. Tiba-tiba mulutku melongo melihat dua orang tentara bertubuh tinggi yang sedang memakai training Eka Paksi. Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim, ucapku berulang dalam hati. Aku mengenal salah satu dari mereka. Mereka kan Pak Danyon dan...Erlan. Jder! Rasanya ada petir yang menyambar di atas kepalaku.         Ohemjii, jadi Erlan itu primadona di asrama ini? Dia ganteng? Benar sih. Wajahnya mirip dengan aktor Rendy Kjaernett. Itu loh, aktor yang sering nongol di FTV. Dia memang menawan dengan badannya yang tinggi besar, 180 cm dan berat 70 kg. Otot tubuhnya atletis karena olahraga adalah hobinya, hidupnya mungkin. Kulitnya kuning dan sedikit kemerahan karena terpapar sinar matahari. Rambutnya cepak tipis di bagian pinggir dan jambul jabrik di depannya. Matanya tajam dengan iris mata berwarna coklat. Hidungnya mancung mungil dengan bibir tipis dan seksi. Hei, apa yang kugambarkan ini? Sepertinya aku terlalu nafsu ketika menggambarkan wajah tampannya. Lelaki itu sungguh sempurna jika dilihat dari fisiknya. Iya, dia memang pemilik tubuh sempurna dan menggiurkan untuk ukuran laki-laki.         Dia baik dan ramah? Hello yang benar saja! Laki-laki itu punya sifat yang super duper menyebalkan, cuek, dingin, dan angkuh. Dari mana dia bisa baik kalau dia saja selalu memasang wajah dingin dengan istrinya yakni aku. Iya! Aku memang istri dari Lettu Erlan, danton ganteng idaman ibu-ibu itu. Hiks. Inilah kenyataan hidupku. Hukuman terberatku. Bencana untuk hamba tak taat sepertiku. Semua kekonyolan ini bermula dari suatu hari di 2 bulan yang lalu. --- 2 bulan yang lalu         Rumahku sudah ramai dengan jajaran mobil-mobil berplat militer. Mobil yang jelas milik pejabat militer itu terparkir rapi di halaman rumahku yang luas. Aku yang baru saja pulang dari bimbingan skripsi dan jalan-jalan tak jelas tentu saja merasa bingung. Memangnya sejak kapan Papa berganti matra dari AL ke AD? Memangnya rumahku ini jadi tempat parkir mobil pejabat Angkatan Darat? Dueng! Dodol! Kenapa pikiranku sedangkal ini sih? Kutuk hatiku. Daripada aku terus melantur, lebih baik aku langsung masuk ke dalam rumah melalui pintu samping. "Mamah! Ada apaan sih, Mah? Rumah kita kok ramai? Mau ada konferensi ya?" berondongku pada mama yang sudah cantik dengan gaun brokat berwarna mint senada dengan jilbabnya. "Ya ampun Nabilla? Darimana saja kamu? Mamah berulangkali meneleponmu tapi tak diangkat. Kamu ini kok apatis sekali!" keluh Mamah sambil mencubitku gemas.  "Ada apaan sih, Mah? Tadi Abel masih bimbingan skripsi," jelasku manja. "Dasar apatisnya itu loh! Kakakmu mau menikah!" jelas mamah yang membuat mataku membola. "Hah? Menikah sama siapa? Kak Nindy kan gak punya pacar!" selorohku keras. Mamah membungkam mulut mungilku hingga terasa panas. "Volume down, Sayang. Ini bukan pernikahan biasa. Kak Nindy akan menikah tanpa pacaran atau ta'aruf. Yang di depan itu keluarga calon suaminya," jelas mamah sambil mendorong tubuhku ke kamar.         Aku masih mencerna perkataan mamah sambil mengamati mamah yang mengacak-acak lemari bajuku. Kak Nindy mau menikah? Itu adalah kejutan terbesar setelah aku menonton video konspirasi kalau bumi itu datar. Mana mungkin kakakku yang seperti anti laki-laki itu menikah? Jangankan menikah, di dunia ini ada spesies lelaki saja mungkin kakakku tidak tahu. Dia sangat tertutup pada makhluk bernama lelaki. Sama halnya dengan kerudung besar yang selalu dipakainya. Baju dan rok besar yang selalu sesuai syariat. Bisa dibilang dia adalah perempuan yang sangat mencintai kerudungnya.         Dia pernah menceramahiku soal itu, termasuk soal pacaran. Kakakku sempat marah besar padaku karena tahu aku pacaran dengan kawan kampusku. Dia mengeluarkan berbagai macam dalil yang melarang pacaran di dalam Islam. Yap, kakakku memang solehah dan muslimah sejati. Beda sekali dengan adiknya, yakni aku. Kerudungku saja masih buka tutup seperti gorden warteg. "Sudah jangan melongo saja, cepat kamu berbenah. Kamu juga harus kenalan sama calon suami Kak Nindy dan keluarganya," ujar mama sambil menyodoriku sebuah gamis katun motif bunga besar di bawahnya berwarna pink pastel. "Hah? Mamah aku gak mau pakai baju ini. Pakai baju kuliahku ini kan sudah bagus!" elakku sambil menunjukkan penampilanku sore ini.         Mama menggeleng kesal. Wajah cantiknya terlihat marah. Beliau langsung mengambil tisu basah dan mengusapnya ke wajahku. Aku meronta tidak suka. Mama memang menghapus make-up andalanku. Dihapusnya maskara, blush-on, eye liner, eye shadows dari wajahku yang sebenarnya natural. Akhirnya, aku hanya dibedaki dengan bedak tabur dan polesan madu di bibir merah mungilku. "Sudah berapa kali Mamah bilang, jangan merendahkan dirimu sendiri sebagai wanita. Kamu sudah cantik dengan wajah polosmu. Kamu ini mau kuliah apa dugem? Cocok tidak dandanan seperti itu untuk kuliah? Coba lihat celana ketatmu ini! Tidak gerah ya dipakai berjam-jam? Tidak kasihan ya pada kaki dan betismu? Suka ya jadi sasaran mata nakal laki-laki?" omel mama pelan sambil menarik celana dan memakaikan gamis itu pada tubuh semampaiku.         Ketika mama sudah marah seperti itu, aku tak lagi bisa melawannya. Aku hanya pasrah dan merasakan mamah mengganti baju yang membalut tubuhku. Memang aku belum bisa menjadi muslimah yang baik seperti kakakku. Yap, aku memang masih menjadi muslimah amatiran yang masih suka dunia. Masih suka hura-hura. Tuhan, aku memang bersalah. Hiks. --- "Mbak Nafa, ini adalah anak kedua kami. Adiknya Nindy, ayo Nak kenalan!" ujar mama pelan sambil membimbing tanganku menuju sebuah tangan lembut dan wangi. Aku mencium tangan wanita yang sebaya dengan mama itu tanpa tersenyum. Ternyata beliau istri dari Om Firman Handojo. "Nabilla Larasati Atmaja," ujarku pelan memperkenalkan nama lengkapku. "Wah, cantik sekali adiknya Nindy. Usianya berapa, Mbak?" tanya bu Nafa antusias. "Masih 21 tahun, Mbak." Mama lalu menggiringku untuk mencium tangan Om Firman Handojo. Aku mencium tangan laki-laki yang sebaya dengan papaku itu. "Andaikan saya masih punya anak lelaki, pasti akan saya jodohkan dengan Nabilla," ujar Bu Nafa pelan sambil tergelak. "Hahah, iya ya Mbak. Tapi sayangnya, putra mbak Nafa cuma 1," ujar mama pelan sambil melirikku yang juga memandang mama. "Abel! Kamu pegang tangan siapa itu!" seloroh mama setengah keras.         Aku mendongak dan mendapati sebuah tangan yang beda sudah ada di depan hidungku. Ada seorang lelaki berbaju batik coklat yang sudah memandangku aneh. Rupanya tangan itu milik calon suami Kak Nindy yang...em...ganteng. Aduh aduh, kok bisa gini...bodoh! "Ngapain kamu pegang tangan calon suami Kak Nindy?" bisik mama sambil menarik tanganku halus.         Sementara itu, calon suami Kak Nindy itu hanya tersenyum samar. Mungkin dia merasa aneh dengan kelakuan calon adik iparnya ini. Kapan aku bisa tidak ceroboh! Aku langsung ngacir ke sebelah duduk Kak Nindy yang agak jauh dari sofa ruang tengah. Dia memang tidak mau duduk berhadapan dengan calon suaminya, sekalipun itu ada banyak orang. Wajahku yang masih merasa malu, kubenamkan saja ke lengan kecil kakak sulungku ini. Dia terkikik pelan di telingaku seolah senang melihat adiknya malu. "Kak Nindy nih malah ketawain aku!" protesku yang disambut senyum khasnya yang tak bersuara. "Aku udah lihat calon suamimu dari jarak dekat kok. Kakak beruntung bisa nikah sama dia," bisikku pelan. "Emangnya kenapa, Dek?" tanyanya biasa. "Dia ganteng beud, Kak. Sumpah!" ujarku antusias. Kak Nindy menjundu kepalaku pelan. "Matanya dijaga. Jangan lihat laki-laki yang bukan muhrimnya. Lagian jangan lihat lelaki dari wajahnya dulu, tapi dari agamanya," ujarnya berceramah. Halah, mulai lagi. "Hehe, kak Nindy yakin mau nikah sama dia? Kalian kan baru kenal," ujarku pelan. "Kalau masalah yakin atau tidak, Kakak sudah serahkan semua ke Allah. Kakak sudah pasrah kalau dia memang jodoh Kakak."         Aku terdiam mendengar penjelasannya. Kakakku ini masih berusia 25 tahun, tapi dia sudah seperti puas dengan hidupnya itu. Apa dia tidak berpikir jauh ke depan? Bagaimana kalau laki-laki itu bukan lelaki baik? Bagaimana kalau dia suka KDRT? Bagaimana kalau dia punya kelainan? Bagaimana kalau dia itu hanya memanfaatkan Kak Nindy? Kudengar ada tujuan mengapa mereka bisa dijodohkan. Aduh aku takut kalau kakakku menjadi korban. Kasihan kak Nindy, ucapku berulang dalam hati. "Jadi, dengan pertemuan ini sudah ada kesepakatan ya, Danu. Mulai hari ini Airlangga Sakha Handojo anakku akan menikah dengan Anindya Larasati Atmaja, putri pertamamu." Ucap Om Firman Handojo bahagia diiringi ucapan alhamdulillah dari sana-sini. "Alhamdulillah, akhirnya impian kita selama ini untuk menjodohkan putra putri kita menjadi nyata." Ucap papa senang.          Hah? Punya impian kok menjodohkan anaknya. Itu sih menghancurkan mimpi anaknya keleus, Pah. Batinku. Amit-amit, moga aku bukan salah satu korban papa. Moga aku anak yang selamat dari impian papa, ucapku berulang-ulang.         Lettu Airlangga Sakha Handojo alias Erlan. Berusia 29 tahun. Dari keluarga jenderal di lingkungan Angkatan Darat. Punya karier yang bagus sejak lulus dari Akademi Militer, Magelang. Kurang lebih setahun lagi naik pangkat menjadi kapten. Dia sudah pernah umroh 2 kali ketika awal menjadi tentara dan ketika bertugas di Libanon. Baik dari segi agama dan mapan secara finansial karena punya bisnis perhotelan. Sekilas itulah profil calon kakak iparku. Kupikir profil itu masuk kriteria calon suami idaman Kak Nindy. Terutama karena lelaki itu sudah pernah umroh 2 kali dalam hidupnya. Kak Nindy pasti senang sampai tak bisa tidur. ---         Aku melangkah riang sepulang kegiatan rutinku setiap minggu yakni shoping. Tenang saja, aku tak belanja banyak kok. Aku hanya ngiler dengan tas jinjing terbaru yang dipajang di mall. Harganya juga tak lebih dari 300 ribu. Kecillah! Sahutku usil. Namun, kerianganku hilang saat kakiku sampai di depan pintu rumah. Kulihat papa yang sibuk menelepon sambil mondar-mandir. Di belakangnya ada Om Yusri, ajudannya, yang ikut-ikutan sibuk. Mama yang terduduk di sofa sambil menangis sesenggukan. Sesekali dia memandangi selembar kertas yang sudah lusuh. Aku meletakkan tas belanjaku begitu saja dan berlari ke pangkuannya. "Mah, kenapa? Mama sakit? Kenapa mama menangis? Ada apa, Mah?" berondongku yang tak dijawab mama. Mama malah menangis dan memelukku. "Tolong kamu cepat arahkan anggota untuk cari anak saya," ucap papa yang membuatku takut. Jangan-jangan... "Mah, ada yang meninggal ya? Mamah..." panggilku sambil meronta. Aku takut Kak Nindy meninggalkan kami. "Sayang, bagaimana ini? Kakakmu, Sayang," ujar mama parau sambil menyerahkan selembar kertas lusuh itu. Aku menyusut air mataku yang sempat menggenang lalu membaca tulisan rapi itu. ***   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
77.0K
bc

Destiny

read
246.6K
bc

Infinity

read
213.6K
bc

Ineffable Cafune

read
23.7K
bc

MOVE ON

read
96.9K
bc

MBA (Married by Accident)

read
168.7K
bc

Keyra

read
88.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook