“Sibuk apaan, Kak?” tanyaku sambil menggigit donat coklat dan duduk di sebelah Kak Erlan yang sedang membolak-balik ransel dan mengacak-acak kaporlap. Dia hanya melirikku cuek, seperti biasa. “Mau minggat,” ujarnya asal. “Baguslah! Aku bisa tempati rumah sendirian. Bisa berantakin sesuka hati!” selorohku membalasnya. Dia menatapku lekat. Oh Tuhan, jangan tatapan itu lagi. Untung saja Tuhan mendengar doaku. Ponselku bergetar hingga membuatku punya alibi untuk menghindarinya. “Halo Mamah? Ada apa? Kok tumben telepon, Abel?” berondongku cerewet. Namun, kecerewetanku itu mendadak hilang saat kudengar jawaban mama. Donat coklat yang kupegang mendadak jatuh ke lantai dingin. Aku bagai tak bertenaga seketika. Kak Erlan yang berdecak kesal karena lantainya kotor, tak k