Pintu lift terbuka di hadapan Ben Suryadjaja. Hari ini jadwal memang relatif lengang. Namun, siapa sangka, Pak Salim, sang direktur utama mengajaknya berdiskusi mengenai seputar perkembangan bisnis hingga mengobrol tentang putrinya yang baru lulus kuliah. Tiba-tiba saja, jam makan siang di depan mata.
Untung saja, Ben bisa mengelak dari undangan makan siang mendadak setelah Pak Salim menerima telepon dari putri yang dibanggakannya di depan Ben. Dengan dalih akan menemui karyawan baru yang sedang dalam masa training, Ben dapat menikmati nasi padang yang dibelikan Anton, OB kantor.
Di hadapan bungkus nasi padang yang terlipat rapi, kata-kata Mami kemarin malam terdengar di kepala Ben.
Habis makan siang, kamu gitu jalan keliling sebentar. Siapa tahu mantu Mami sebetulnya enggak jauh, cuma nunggu kamu deketin aja.
Usul Mami kali ini tidaklah buruk. Dan Ben memutuskan untuk menjelajahi lantai-lantai tempat karyawan perusahaan bekerja. Kantornya sendiri terletak di lantai 25, bersama dengan beberapa petinggi perusahaan lain. Lantai 25 sangatlah sepi. Masing-masing memiliki ruangan sendiri. Sesekali dia bertemu dengan sekretaris atau asisten dari para direktur di pantry atau di daerah resepsionis.
Ben turun ke lantai 24 dan 23 untuk menemukan hanya segelintir karyawan yang menghabiskan waktu istirahat siang di kubikel mereka. Tak ada yang menarik bagi Ben. Hingga dia tiba di lantai 22, pandangannya tertumbuk pada sosok yang ada di ruang meeting. Entah magnet apa yang menariknya, Ben perlahan masuk ke dalam ruangan itu, bersandar di ambang pintu, dan mengamati perempuan yang sedang tidur itu. Ya, dia yang Ben temui kemarin.
“Eh, Pak Ben,” sapa Anton yang kebetulan lewat.
Cepat-cepat Ben mengangkat jari telunjuk di depan bibirnya, memberi tanda agar Anton bicara perlahan.
“Saya baru antar pesanan Bu Shinta, terus mau antar kopi pesanan Bapak ke atas,” jelas Anton setengah berbisik.
“Kopi? Buat saya?” Ben menunjuk pada dirinya sendiri.
“Kata Mas Rudi, Bapak minta dibeliin cappuccino di cafe seberang.”
Ben mengintip kantong kertas yang ada di tangan Anton. “Rudi suruh kamu beli berapa cup?”
Anton mengangkat dua jarinya. “Dua, Pak. Satu tanpa gula buat Bapak, satu gula setengah punya Mas Rudi.”
“Siniin yang gula setengah,” perintah Ben yang kini mendekat ke arah meja dan mengulurkan tangan, siap menerima gelas kertas dari Anton.
“Loh, Pak, mau di–”
“Santai aja, Ton. Entar saya yang bilang ke Rudi.” Ben tersenyum penuh kemenangan. Rudi, asisten sekaligus sahabatnya itu tidak mungkin marah padanya. Apalah arti segelas kopi bagi laki-laki itu. Ya, mungkin Rudi akan mengomel panjang lebar karena perbuatan Ben ini.
Namun, Ben yakin, kopi ini bisa jadi berarti banyak bagi sosok yang sedang tidur di hadapannya. Juga bagi dirinya sendiri. Mungkin segelas kopi ini akan menjadi kunci yang membuka pintu baginya untuk mengenal perempuan ini.
“Punya pen, Ton?” tanya Ben setelah menerima gelas kertas.
Anton mengulurkan sebuah pen sederhana.
“Kertas?”
“Ya elah, si Bapak. Emangnya saya toko alat tulis, Pak?” tukas Anton sedikit jengkel melihat perilaku atasannya itu. Walau demikian, Anton mengeluarkan sebuah block note dan menyobek selembar untuk diserahkan pada Ben.
“Kopi saya taruh di meja situ, Ton. Nanti saya bawa naik sendiri. Kembaliannya ada?” Ben kini setengah membungkuk dan menuliskan sesuatu di lembar kertas yang dimintanya dari Anton.
“Ini, Pak,” kata Anton sembari menyerahkan beberapa lembar uang dari saku celananya.
Ben menutup pen milik Anton dan mengembalikan benda itu pada sang pemilik. “Ambil aja kembaliannya, Ton. Kamu udah makan siang?”
Anton tersenyum lebar. “Makasih banyak, Pak. Makan siang saya mah, tunggu semua balik dulu, Pak. Gampang mah itu.”
“Ya udah, kamu balik sana.”
Seiring dengan kepergian Anton dari ruangan itu, Ben meletakkan gelas yang masih terasa hangat di tangannya, beberapa sentimeter dari kepala perempuan yang masih lelap itu. Dia menimbang dan memastikan jarak aman sehingga kopi itu tidak akan tumpah ketika si perempuan itu bangun dari tidurnya. Kertas yang dia tulis diarahkan sedemikian rupa hingga mudah terbaca oleh penerimanya, ditindih rapi oleh gelas cappuccino yang bertuliskan “Kak Rudi.”
Puas dengan “karyanya”, Ben memutuskan untuk meraih gelas cappuccino miliknya sendiri dan kembali ke ruangannya. Ternyata, niat iseng menjelajah kantor tak sepenuhnya sia-sia. Dia harus berterima kasih kepada Mami. Nanti, setelah Ben memastikan tahu nama perempuan yang menarik hatinya itu.
Dengan tangan kiri berada di saku celana dan tangan kanan menyesap cappuccino tanpa gulanya, Ben melihat Rudi yang berdiri di depan pintu ruangannya. Ben mengangkat gelas yang dipegangnya, seakan memberitahu Rudi bahwa dia sudah menerima kopi yang dipesankan asistennya itu.
“Punya gue mana?” tanya Rudi sembari membukakan pintu.
“Lo beli lagi aja,” jawab Ben santai dengan kaki yang melangkah menuju kursi di belakang satu-satunya meja kerja di ruangan itu.
“Eh, serius. Kopi gue mana?”
Ben mengangkat satu alisnya dan berujar, “Barang yang udah gak ada jangan dicariin. Percuma, buang-buang energi. Minta Anton beli lagi sono. Jangan kayak orang susah lu, Rud.”
“Temen ya temen, Ben. Tapi enggak pake ngembat jatah kopi gue dong.”
Ben tersenyum melihat Rudi berjalan mondar-mandir di hadapannya. Dia sengaja dengan sangat perlahan mengambil gelas kertas dan menyesap isinya. “Kopi ini wangi banget, Rud. Enggak salah lo pilih cafe. Kearifan lokal yang berkualitas.”
“Bener-bener lo ya, Ben. Kalo gak ingat lo atasan gue, udah habis lo gue maki-maki.”
Ben mengangkat tangan kanannya, membuat gestur menyilakan Rudi melakukan sesuatu. “Ruang dan waktu gue serahin ke lo.”
Rudi hanya bisa menggeram jengkel. “Lo buang ke mana sih kopi gue? Kembaliannya mana? Lo kasih ke Anton juga? Itu lumayan buat nambahin beli bensin tahu gak! Mentang-mentang lo udah jadi GM, segitu mah receh ye buat lo.”
Kali ini Ben tidak bisa menahan tawa. “Perhitungan amat sih lo, Rud. Sama temen juga.”
“Temen tuh enggak seenaknya kayak gini, Ben. Pusing nih kepala gue. Belum dapet jatah kopi, ditambahin kelakuan lo yang kayak anak kecil begini.” Rudi meremas rambutnya sembari duduk di hadapan Ben.
“Sono, cepetan, minta Anton beliin lagi. Perkara sepele juga.”
Rudi hanya bisa melirik tajam ke arah sahabatnya itu. “Lo utang dinner sama gue. Lunch besok juga. Enak aja main embat kopi orang.”
“Gampang. Jadwal gue habis ini apa?”
Sontak Rudi melotot, “Jangan bilang lo lupa kalo siang ini kudu meeting sama karyawan baru? Awas lo main pulang lebih awal kayak kemarin!”
“Oh,” jawab Ben singkat lalu mengulum senyum. Gue inget kalo itu, batinnya puas. Mungkin ini jalan bagi Ben untuk tak perlu bersusah payah mencari jalan untuk berkenalan lebih jauh dengan perempuan itu. Sejujurnya, Ben tak ingin menunjukkan niatnya secara sembunyi-sembunyi. Dia bukan anak SMA yang memuja seseorang dari kejauhan.
Ben Suryadjaja adalah seorang laki-laki dewasa yang dengan berani bertanggung jawab atas pilihan dan keputusannya. Termasuk, keinginannya untuk lebih dekat dengan seorang perempuan. Tak ada yang perlu disembunyikan dari niatnya itu. Bukankah hal itu tidak melanggar hukum dan juga bukan sesuatu yang memalukan?
“Jam berapa sih meeting sama karyawan baru?”
Rudi melihat jam tangannya. “Masih ada satu jam. Bu Shinta minta lu on time ya, Ben. Jam 2 udah nyampe di ruangan meeting lantai 22. Gue kagak ikutan, masih kudu ngerapiin file yang lo minta. Lo jangan bikin masalah bisa gak sih? Jangan mentang-mentang kita sahabat dari dulu. Lo kudu profesional dong. Kalo gini nyesel gue kasih tahu lo info lowongan ini.”
Ben tergelak melihat ekspresi wajah Rudi selama laki-laki itu mengomel tanpa henti. “Iya, Pak Rudi, asisten GM terandal dan tepercaya. Enggak cocok lo nyerocos gitu, Rud. Persis Mami kalo lagi ngomelin Cole atau Drew.”
“Kalo lo gak berulang, gue gak usah ngomel gini kali. Inget, jam 2. Jangan kabur-kabur lagi. On time! Bu Shinta bisa ngomel sepanjang Sabang sampai Merauke ke gue kalo lo bikin ulah,” ancam Rudi sembari melangkah keluar.
Ben melirik ke arah jam dinding yang persis terletak di dinding atas pintu ruangannya. Satu jam lagi. Ah, rasanya dia seperti anak kecil yang tak sabar menanti diajak ke tempat bermain. Dia ingin segera turun dan sekali lagi menatap wajah manis perempuan yang memenuhi pikirannya sejak kemarin itu.
Sudah lama Ben tidak merasakan getaran seperti ini dalam hatinya. Selama ini dia berusaha mematikan rasa yang bisa saja muncul terhadap perempuan-perempuan baik dan cerdas yang ada di sekitarnya, terutama ketika dia menjalani studi lanjutnya. Namun, sepertinya satu pengalaman buruk –dikhianati ketika dia sudah berkomitmen menyerahkan hati– membuat Ben mengeraskan tekad untuk tidak mudah goyah dan tergoda.
Entah mengapa, perempuan sederhana itu menawan perhatiannya. Apakah ini tanda bahwa hatinya sudah siap untuk membuka lembaran yang baru?
Atau mungkin ini yang dinamakan keajaiban karena doa seorang Mami, yang tak lelah mendorong Ben membawa pulang calon menantu yang sudah Mami dambakan dan nantikan. Mungkin memang sudah waktunya. Ya, sudah waktunya.
Ah, apalah arti satu jam. Ben memutuskan untuk beranjak dari ruangannya dan hadir lebih awal di ruangan meeting tujuannya. Bu Shinta tentu tidak keberatan bila Ben bergabung lebih awal, kan? Rudi hanya mengatakan dia tak boleh terlambat. Datang lebih awal tentu tidak akan menjadi masalah.
Lift seperti bergerak lambat. Ben mengetukkan kaki pada lantai hingga pintu lift terbuka. Lantai 22. Tidak ada pilihan untuk mundur. Ben melangkah mantap, melempar senyum pada resepsionis yang bertugas di konternya. Dia berbelok menuju ruang meeting. Bu Shinta ada di depan, sedang menjelaskan sesuatu.
Ben mendorong pintu ruangan. “Selamat siang, Bu Shinta. Semoga tidak keberatan saya hadir lebih awal.” Dan tatapannya berhenti di tengah ruangan memanjang itu.