“Phoebe!”
Aku menoleh ke arah pintu utama dan menemukan Kevin melambaikan tangan. Dia memberi kode, memintaku menunggunya. Dengan cepat laki-laki itu memperoleh lanyard dari resepsionis. Pagi ini, kami bukan lagi “TAMU” seperti kemarin. Sudah ada nama kami di ID pegawai sementara, juga pas foto yang kami kumpulkan ketika melamar.
Aku menatap bayanganku di pintu lift yang tertutup. Aku sengaja memilih blus kuning, warna kesukaanku, yang kupadankan dengan celana pensil hitam dan blazer hitam hadiah dari Mama ketika aku lulus kuliah. Bertahun-tahun aku menyimpannya. Akhirnya, aku bisa mengenakannya di hari pertama bekerja. My lucky charm!
Dulu aku membayangkan bisa menelepon Mama dan meminta doa restu beliau di hari pertamaku bekerja. Cita-cita itu tak pernah jadi kenyataan. Karena jarak dan waktu, berkunjung ke makam Mama saja aku tak bisa. Blazer inilah yang menjadi tanda kehadiran dan doa Mama bagiku. Aku masih bisa merasakan dukungan dan doa Mama yang tak pernah lepas.
“Ngelamun aja!”
Kehadiran Kevin membawaku kembali ke kenyataan. Aku tersenyum dan melihat rekan kerjaku yang tampil rapi.
“Semangat banget, Pak?”
Kevin menyeringai. “Oh iya dong. Hari pertama kerja.” Dia tertawa lepas dan keras. Untung saja lobi gedung masih cenderung sepi. Kami memang datang 30 menit lebih awal dari dimulainya jam kerja pada umumnya. Situasi bisa menjadi makin padat dalam hitungan menit.
Tak menunggu lama, kami menggunakan lift untuk menuju lantai 22, tempat kami akan berkantor. Gedung perkantoran ini menjadi base office bagi beberapa perusahaan. Perusahaan tempat kami bekerja menempati lantai 20 sampai lantai 25 dari total 30 lantai yang ada di gedung ini.
Begitu tiba di lantai 22, kami diarahkan menunggu di sebuah ruangan meeting. Dinding ruangan yang terbuat dari kaca membuat kami bisa melihat para pegawai berseliweran di lorong kantor. Beberapa OB sibuk lalu-lalang membawa gelas berbagai ukuran. Beberapa juga membawa kardus berisi map dan amplop.
Sisi ruangan lain juga dari kaca, yang menawarkan pemandangan kota yang diterangi matahari nan terik. Dari atas sini, lalu lintas yang padat di bawah sana tampak seperti mainan miniatur saja.
“So, sebelumnya lo kerja di mana? Eh, gue panggil lo apa enaknya ya? Nama lo unik juga. Vi-bi,” eja Kevin dengan menekankan tiap suku kata namaku.
“Terserah lo. Mau panggil ‘Vibi’ boleh, ‘Bi’ singkat begitu juga gak apa. Asal jangan panggil gue ‘Phoe’ aja.” Sengaja aku melafalkan suku kata pertama namaku sebagaimana tulisan itu dibaca secara literal.
Kevin terbahak. “Oke. ‘Bi’ it is. Jadi, sebelumnya lo kerja di mana? Kok bisa ngelamar kerja di sini?”
Aku menarik kursi yang berada di bagian tengah meja berbentuk oval. Setelah duduk, dan melihat Kevin mengambil tempat tepat di sebelah, aku menjawab, “Sebetulnya gue udah 3 tahun lebih lulus kuliah. Cuma setelah lulus, nyokap sakit. Gue harus bantu jaga nyokap. Sembari nemenin nyokap berobat, gue cuma ngelesin anak-anak di sekitar tempat tinggal nyokap.”
Kevin mengangguk. “Ah gitu.”
“Hehm. Kan enggak mungkin gue kerja kantoran terus sering izin gara-gara mau nganterin nyokap. Enggak tanggung jawab banget gitu rasanya. Lagian nyokap tinggal di pinggiran, udah terhitung kota sebelah. Jauh juga dari area perkantoran sini.”
Aku sengaja tak mau menatap Kevin. Salah satu alasan karena pandanganku mulai buram. Membicarakan tentang masa-masa Mama berjuang melawan penyakitnya selalu membuatku sedih. Alasan lain, aku tak merasa nyaman berbagi hal yang lebih personal lagi kepada seorang yang baru kukenal kemarin.
Aku berdeham, mencoba mengatur suara, lalu berusaha bersikap santai untuk bertanya, “Kalo lo sendiri sebelumnya kerja di mana?”
Dari suara derit kursi, aku menebak Kevin sedang memutar-mutar tubuh di atas kursi kantor yang nyaman ini.
“Gue sempat kerja di kantor lain. Tapi karena waktu itu mereka enggak buka lowongan di HRD, gue masuk di bagian QC. Dan, gue merasa udah cukup pengalaman di sana. Jadi waktu temen gue bilang ada lowongan staf HRD di sini, gue nekat cabut dan ngelamar di sini.”
Aku berdecak kagum. “Nyali lo gede juga ya. Gue mungkin gak bakal seberani itu. Tapi gue jadi ngerti, kenapa kemarin lo bisa cepet banget baca situasi, aktif waktu diskusi dan simulasi. Beda sama gue yang bergantung nasib baik.”
Dahi Kevin berkerut. “Loh, kok lo malah negatif thinking sama diri sendiri sih? Lo emang gak banyak bicara di kelompok kemarin, tapi gue tahu lo lagi mikir aja dan lo selalu bicara di waktu yang pas banget! Lo tuh bukan tipe orang impulsif yang asal buka mulut. Setiap kata yang keluar dari mulut lo tuh udah penuh pertimbangan dan tertata rapi.”
Aku cukup terkejut mendengar penilaian dari Kevin itu. “Ah, thank you, Vin. Kemarin tuh gue gugup setengah mati.”
Laki-laki di sampingku tersenyum ramah. “Kita tidak perlu merendah supaya tidak disangka sombong. Cukup jadi diri sendiri. Kalau memang kita berpotensi dan punya kualitas, tidak perlu menyembunyikan diri. Jadi apa adanya aja. Tapi juga jangan ekstrem melebih-lebihkan.”
Pembicaraan kami terpotong ketika satu per satu rekan-rekan yang lain mulai masuk ke dalam ruangan. Dan pukul 8 tepat, manager HRD beserta dua staf yang kemarin kami temui saat proses wawancara akhir, masuk ke dalam ruangan. Proses training dan probation dimulai.
Tanganku bergerak merapikan blazer pemberian Mama. Aku akan membuat Mama bangga.
–
Kami bersepuluh sedang makan siang di kantin yang disediakan bagi karyawan yang berkantor di gedung ini. Untung saja kami diizinkan bubar sebelum pukul 12, sehingga kami bisa duduk berkelompok.
Begitu kami semua selesai memesan makanan masing-masing, kantin yang cukup besar itu segera terisi penuh. Banyak juga karyawan yang terpaksa berdiri menunggu tempat kosong.
“Kalian udah denger enggak, kalau nanti sore kita bakal ketemu sama GM baru?” tanya Mbak Ani yang duduk di tepat di hadapanku. Dari kami bersepuluh, hanya Mbak Ani yang sudah menikah dan memiliki 2 anak. Dia juga yang paling senior secara usia.
“Nanti sore kan memang sesi sama GM, Mbak. Tuh sudah ada di jadwal yang dibagi. Biasa aja kali,” timpal Kevin.
“Iya. Tapi, rumornya GM kita ini baru masuk juga. Orangnya masih muda, lulusan luar negeri, dan kemarin sempat bikin heboh sekantor,” jelas Mbak Ani yang membuat teman-teman lain bersorak heboh.
“Pasti ganteng ya, Mbak?”
“Masih lajang, udah ada gandengan, apa malah udah berbuntut, Mbak?”
Teman-teman perempuan sibuk menimpali. Mata mereka berbinar membahas GM yang bentuknya saja belum kami ketahui. Mbak Ani yang menjadi pusat perhatian malah tersenyum bangga dan mengangkat satu tangan, memberi tanda agar kami semua diam dan menyimak.
“Gue dapat info jalur orang dalam ini. GM yang ini high quality jomlo. Kemarin aja banyak cewek-cewek yang kesengsem. Coba kalo gue masih single, daftar juga kali gue.”
Kami semua menyoraki Mbak Ani yang kini mukanya memerah.
“Inget buntut di rumah, Mbak.”
“Wah, mas suami mau dikemanain, Mbak?”
Kevin mengangkat kedua tangannya, ganti meminta perhatian dari teman-teman yang tadinya sibuk menggoda Mbak Ani.
“Kalian tuh ya, ngapain membayangkan orang yang belum jelas ganteng apa enggaknya. Mendingan sini sama Bang Kevin. Gini-gini gue juga jomlo kali.”
Tisu bekas melayang dari Mbak Ani tepat mengenai wajah Kevin. “Ngarep banget lo, Vin. Pede amat promosi diri sendiri.”
“Lah kan sah-sah aja, Mbak. Gue beneran jomlo nih. Open aja buat yang emang sama-sama mau.”
Mbak Ani memberi tanda agar kami, para cewek, sedikit mendekat. Walaupun gestur tubuhnya seakan hendak berbisik, dengan lantang dia berkata, “Hati-hati ya. Terpantau ada buaya darat yang mencari mangsa.”
“Eits! Lo jangan begitu dong, Mbak. Fitnah itu! Temen usaha mestinya didukung dong, bukan malah begini. Ah, Mbak Ani gak asik!” Kevin dengan cepat meneguk es teh manis pesanannya.
Kami semua tertawa lepas menyaksikan interaksi Mbak Ani dan Kevin yang saling serang itu.
“Sans, Bro!” Mbak Ani mengerling pada Kevin. “Di kelompok ini, cowok cuma 3. Lo ambis amat. Tuh, Derry sama Bryan santai aja walaupun mereka juga jomlo. Gak usah khawatir sampe promosi abis. Baru juga sehari.”
Aku melihat ada beberapa karyawan yang melirik ke arah kami. Piring dan mangkuk di hadapan kami sudah kosong. Teman-teman masih sibuk ngobrol tanpa melihat ada orang-orang yang menanti tempat duduk.
Segera saja kuteguk habis teh tawar hangatku dan aku berdiri. “Gue pamit dulu ya. Mau rehat bentar di atas. Lagian, itu masih banyak yang antri duduk.”
Sontak teman-teman yang lain juga beranjak. Kevin mengajak kami melanjutkan obrolan di cafe yang berada tak jauh dari kantor. Masih tersisa lebih dari 30 menit waktu istirahat siang ini. Sementara yang lain bersemangat dengan ajakan Kevin, aku memutuskan untuk naik, kembali ke ruangan tempat training kami.
Lantai 22 terlihat cukup sepi. Hanya ada beberapa karyawan yang tinggal di kubikel dan menikmati makan siang. Kebanyakan sudah menghilang. Mungkin mereka sedang asyik berjubel di kantin bawah atau pergi ke tempat makan lain.
Aku memutuskan untuk merebahkan kepala di atas meja ruang meeting. Rasanya sudah berabad-abad lamanya aku tidak bersentuhan dengan materi yang sejak pagi disampaikan oleh manager HRD kami, Bu Shinta. Aku tahu materi tadi tidak jauh berbeda dengan apa yang kupelajari di bangku kuliah dulu. Tetap saja rasanya sulit sekali untuk mengingat kembali apa yang pernah diajarkan oleh dosen-dosenku.
Di atas meja, tanganku terlipat dan menjadi bantal sementara bagi kepala yang kelelahan setelah digunakan setengah hari ini. Aku memejamkan mata, 30 menit cukup untuk istirahat sebentar. Walaupun aku tahu leherku akan sedikit kaku dan nyeri saat bangun nanti, aku memilih untuk tetap beristirahat. Kepalaku harus bekerja dengan baik hingga sore nanti.