LIMA

1657 Words
Suara orang-orang memasuki ruangan membangunkanku dari tidur. Aku menegakkan kepala dan memutarnya perlahan, mencoba menghilangkan rasa kaku dan nyeri yang sudah kuantisipasi tadi. Aku merentangkan tangan dan sontak membuka mata ketika kelingkingku tak sengaja menyentuh sesuatu. Aku menepuk d**a lega melihat sebuah gelas kertas yang ada di hadapan. Untung saja, sedikit lagi bisa saja aku menjatuhkan gelas dan menumpahkan isinya. “Aduh duh, baru juga ditinggal sebentar, si Eneng udah dapet surat cinta,” suara Mbak Ani yang melengking menyadarkanku. Belum sempat aku meraih kertas yang ada di bawah gelas, Kevin sudah lebih cepat meraihnya. Dengan suara dibuat-buat, Kevin membaca, “Something sweet to sweeten your day! B.S.” “Siapa tuh ‘B.S.’?” Mbak Ani belum juga puas menggoda. “Babang Sayang dong, Mbak,” jawab Kevin yang disambut dengan gelak tawa seisi ruangan. Aku memutuskan untuk mengedikkan bahu tanda tak peduli. Kuraih saja gelas itu dan menyesap isinya. Cappuccino. Masih hangat. Tak terlalu manis. Pas sekali dengan seleraku. Mataku tertumbuk pada nama yang tertera di gelas itu. Siapa Rudi? Jadi, pengirimnya Rudi atau B.S.? Siapa B.S.? “Ini… ini bukan lo yang isengin gue kan, Vin?” Kevin yang baru saja duduk, langsung memelotot. “Kurang kerjaan banget gue ngerjain lo pake ngirim kopi.” “Tapi, ini dari cafe di seberang,” sahutku, menunjukkan logo cafe yang tercetak di gelas yang ada di tanganku. “Lo kan baru dari sana?” Aku menyipitkan mata curiga padanya. “Bareng temen-temen yang lain kali, Neng. Kalo emang gue yang isengin lo, yang lain pasti pada tahu lah. Lo tidur sebentar kok malah jadi agak lemot gini sih?” Aku mengedikkan bahu. “Ya kan gue boleh curiga. Gue gak kenal siapa-siapa di sini, tiba-tiba dapet kiriman begini.” “Perlu cek CCTV?” goda Kevin. “Kali aja lo penasaran siapa secret admirer lo?” Aku terkekeh mendengar respons Kevin. “Ini aman kan ya? Kok jatuhnya jadi creepy gini?” “Udah, Bi, nikmatin aja,” ujar Mbak Ani yang duduk di seberang meja. “Berkat tuh jangan ditolak. Anggap aja lo bantu si pengirim dapat pahala buat perbuatan baiknya.” “Cie… adem banget kultum si mbak,” goda Kevin yang dibalas dengan dengusan tak terima dari Mbak Ani. Aku tersenyum melihat interaksi dalam kelompok ini. Dulu kupikir bekerja di perusahaan besar artinya banyak drama musuh dalam selimut dan orang-orang bermuka dua. Aku terlalu banyak menonton drama berlatar kantor hingga membayangkan yang tidak-tidak. Nyatanya, sekarang aku duduk di ruang meeting ini, bersama dengan 9 teman yang bersahabat dan menikmati interaksi yang hangat. Ditambah lagi bonus cappuccino hangat di tangan. Aku akan mengikuti saran Mbak Ani untuk tidak terlalu memikirkan siapa pengirimnya dan menikmati setiap teguknya saja. Sesi training sudah dimulai kembali. Untung saja aku memilih tidur walau sejenak. Kepalaku terasa tak begitu berat dan fokusku terjaga, mengikuti materi yang disampaikan oleh Bu Shinta. Tanganku sibuk mencatat poin penting penjelasan Bu Shinta. Sedangkan mataku melirik pada gelas kertas yang tadi kuletakkan tak jauh dari buku notes. Aku tidak menampik bahwa cappuccino ini cukup membantuku berkonsentrasi siang ini. DI tengah penjelasan Bu Shinta, terdengar suara ketukan di pintu kaca ruang meeting. Dia? Kenapa dia ada di sini? Bukannya dia juga pegawai baru di gedung ini? Pegawai perusahaan yang sama dengan tempatku bekerja sekarang? Mbak Ani memelotot dan jarinya menunjuk ke arah tamu kami. Dia mengerjapkan mata seakan ingin memberi tanda. Aku tidak paham apa yang dimaksud Mbak Ani. “Oh, silakan masuk, Pak Ben.” Pak? Bu Shinta memanggil laki-laki ini “Pak”? Gerakan tangan Mbak Ani makin tegas, mengikuti arah langkah dari laki-laki yang kini mendekat ke ujung ruangan, tempat di mana Bu Shinta berdiri. “Kenapa sih, Mbak?” aku berkata tanpa suara pada Mbak Ani. Sekilas aku mendapati teman-teman perempuanku menatap laki-laki itu tanpa berkedip. “Itu.” Mbak Ani masih menunjuk laki-laki itu. “Itu apa?” Suara deham Bu Shinta menarik perhatian kami. Beliau membetulkan letak kacamata yang dipakainya, lalu berkata, “Perkenalkan, ini GM kita, Bapak Ben Suryadjaja. Beliau juga baru bergabung di perusahaan kita. Masih muda tetapi kaya ilmu dan pengalaman.” Ben Suryadjaja! Kevin menoleh padaku dan dia menyeringai begitu lebar. “Lo udah kenal Pak GM?” bisiknya. “Belum tentu dia kali, Vin. Inisial B.S. tuh lumayan umum juga,” balasku juga dalam mode berbisik. Si kunyuk Kevin hanya tersenyum simpul dan kembali mengarahkan pandangan ke depan. Sedangkan aku, berusaha keras untuk bersikap biasa. Namun, kuakui bersikap tidak ada apa-apa ketika seorang laki-laki menatapku dengan pandangan yang aku tak tahu artinya itu sulit sekali. Ternyata ada yang lebih berat dari materi Bu Shinta. Dan pendengaranku menangkap bahwa laki-laki itu akan bersama dengan kami hingga akhir jam kerja hari ini. Sepertinya aku butuh segelas cappuccino lagi. – Kami sudah dibubarkan 15 menit yang lalu. Sebagian besar sudah beranjak dan pulang. Sedangkan aku masih menyimak pembicaraan Mbak Ani dan Kevin sembari membereskan barang bawaanku. “Ganteng kan? Kalian sih dibilangin kagak percaya?” Mbak Ani menepuk dadanya, menyombongkan diri. “Ya, masih 11-12 lah sama aku, Mbak,” sahut Kevin yang masih sibuk memutar pulpen di tangannya. “Tapi penasaran gak sih? Ben Suryadjaja, pas banget sama Babang Sayang yang kirim kopi buat Phoebe.” Aduh, rasanya aku ingin menyumpal mulut Kevin agar tidak bicara sembarangan. “Udah kubilang, inisial B.S. tuh umum banget, Vin. Belum tentu juga itu Pak Ben,” ujarku. “Kalo Pak Ben juga gak apa kok, Bi. Kan gak ada aturan sesama karyawan dilarang pacaran. Yang aku dengar, suami Bu Shinta itu salah satu direktur di sini. Banyak juga cerita cinlok di kantor sini.” “Mbak Ani nih lebih canggih dari akun gosip ya. Bisa tahu banyak info begituan,” Kevin menimpali, lalu meneguk air dari gelas di hadapannya. Perempuan yang disindir Kevin malah tersenyum bangga. “Aku punya temen yang kerja di lantai 25, sekretaris di sana. Pasti tokcer lah info-infonya.” Kata-kata Mbak Ani barusan membuatku tersenyum. “Jadi, gimana, Bi? Pak Ben masih single loh.” “Mana mungkin sih, Mbak? Aku masih susah percaya kalo B.S. itu Pak Ben. Masih ada kemungkinan B.S. itu orang lain.” Percakapan kami terhenti oleh suara ketukan yang membuat kami bertiga menoleh. Kemunculan orang di sana membuatku berharap bumi terbelah dan menelanku. “Permisi, saya mau bicara dengan Phoebe, bisa?” Sontak Mbak Ani dan Kevin menatapku dengan sorot mata sejuta makna yang tidak ingin kuartikan. – “Jadi, gimana, gimana?” cecar Allana, sahabatku yang ada di seberang telepon. “Apanya yang gimana?” Aku sengaja membuat suaraku terdengar ketus dan galak. “Ketemu cowok cakep gak?” Aku mendengus, lalu merebahkan tubuh di atas tempat tidur. “Lo tuh ya, nanya bukannya gimana interviu atau trainingnya, malah heboh soal cowok. Kagak ada!” “Minim manager HRD-nya lumayan buat refreshing mata gak?” Suara cekikikan Allana terdengar jelas. Aku memutar bola mata. “Bisa sih, kalo lo suka sama ibu-ibu yang sasakan rambutnya nyaingin menara Eiffel.” Aku menjauhkan gawai dari telingaku mendengar sahabatku itu terbahak-bahak. “Senior lo masa gak ada yang ganteng?” “Ampun deh lo, Lan. Gue ngelamar kerja di sana bukan cari cowok.” “Sampai kapan lo mau terbayang-bayang bad boy first love lo itu? Udah lama juga kali, Bi.” Aku langsung mengerti siapa yang dimaksud Allana. Cowok pertama yang kutaksir ketika kami masih duduk di kelas 10, di tahun pertama SMA. “Gile aje! Kagak lah! Itu sejarah yang udah terkubur jauh di perut bumi,” sangkalku. “Hah!” ejek Allana. “Ngeles terus! Mana buktinya lo gak gamon? Dari dulu cowok-cowok pada lo tolakin semua.” Aku mengubah posisiku, hingga duduk bersila sambil memeluk salah satu bantal yang ada. “Beda situasi kali, Lan. Lo tahu sendiri gue gak bisa main-main selama kuliah. Kalo beasiswa kecabut, gimana gue bisa jadi sarjana? Gue fokus mati-matian. Terus Mama sakit pula. Urusan cowok udah nomor seribu sekian.” “Iya, iya, kayak gue gak kenal lo aja, Bi, sampe lo harus jelasin gitu.” “Salah siapa nuduh gue gamon!” “Sabar, Bu, sabar. Ibu Phoebe nyolot amat,” sindirnya tertawa. “Gue tuh cuma gak pengin lo sedih terus, susah melulu, Bi. Sekarang satu cita-cita lo udah ada di genggaman tangan. Siapa tahu dengan masuk di perusahaan gede itu, pelan-pelan pintu menuju bahagia terbuka buat lo. Termasuk urusan cowok.” Aku tersenyum dan memeluk bantal lebih erat. “Thanks, Lan. Gak tahu gimana nasib gue kalo enggak ada lo. Entar gue pasti traktir lo pas gaji kedua.” “Eh, kok gaji kedua? Niat traktir apa enggak sih lo?” protes Allana. Aku tertawa kecil. “Gaji pertama, mau gue kirim buat…,” rasanya ada yang menyumbat kata-kata untuk keluar dari mulutku. Dengan lirih, aku berusaha keras melengkapi, “Buat… Papa.” Sejenak Allana tidak merespons, aku juga tidak ingin melanjutkan lagi. Allana pasti sudah mengerti maksud hatiku. “Lo serius, Bi? Lo mau pulang, kasih–” “Enggaklah!” potongku segera. “Gue masih belum mau menginjakkan kaki di rumah itu. Tapi, ini salah satu pesan terakhir Mama. Gue lakuin ini buat Mama, bukan buat … buat dia.” Setelah beberapa detik terdiam, Allana berkata, “Enggak apa, Bi. Pelan-pelan aja. Gue percaya, someday, lo pasti bisa.” Aku memainkan kuku-kuku jari tangan kananku. “Gue… gue gak tahu, Lan. Rasanya enggak mungkin bisa. Terlalu…,” pandanganku mulai buram. “Gue masih ngerasa sakit banget, Lan.” Tanpa bisa dibendung, air mata membasahi pipiku. “Enggak apa, Bi. It’s okay. Yang buruk udah berlalu. Sekarang, lo hanya perlu fokus buat masa depan. Lo berhak bahagia, Bi. Gue yakin, Mama juga pengen lo bahagia.” Aku mengangguk. Sejenak lupa bahwa Allana tidak dapat melihat aku menerima kata-kata penguatannya. “Sekarang, lo kudu siapin diri. Siapa tahu pangeran berkuda putih segera menjemput.” Aku menghapus sisa air mata sambil tertawa lepas. “Gelo ah lo.” Dan sosok Ben Suryadjaja tiba-tiba memenuhi benakku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD