Ben merebahkan badan di atas tempat tidur. Tangannya meraih gawai yang tadi dia letakkan di nakas samping tempat tidurnya. Jari-jarinya bergerak lincah, mencari profil perempuan yang nomornya sudah dia peroleh sore tadi.
Foto itu menampilkan setengah wajah Phoebe. Sepertinya dia sedang menoleh ke arah lain dan seseorang mengambil gambarnya secara candid. Ben bisa melihat senyum ayu Phoebe dan matanya yang menyipit karena sinar matahari.
Cantik. Ben ingin sekali melihat senyum itu secara langsung. Selama berada di ruang meeting, Ben belum melihat Phoebe tersenyum atau tertawa begitu lepas. Dia tersenyum ramah, jenis senyuman sopan kepada kolega atau atasan. Tetapi, bukan seperti senyum yang ada di foto profilnya.
Ben juga tak bisa lupa pada mata Phoebe yang membulat terkejut saat dia menanyakan nomor kontak perempuan itu sore tadi. Awalnya Ben hanya iseng memeriksa ruang meeting yang sempat dia tinggalkan saat jam kerja berakhir. Dia sudah tak punya kepentingan di sana, dan sesi training juga sudah dibubarkan. Tapi, entah mengapa ada dorongan dalam hatinya untuk kembali dan melihat keadaan di ruang meeting.
Hampir saja dia berteriak senang melihat Phoebe masih ada di sana bersama dua rekannya yang lain. Ben tak melepas kesempatan untuk makin dekat pada Phoebe. Segera saja dia menanyakan nomor telepon, bahkan sempat menawari Phoebe untuk pulang bersama.
Entah harus kecewa atau senang, yang pasti Ben merasa lega Phoebe menolak tawarannya. Dia tak mungkin bisa mengatur detak jantungnya bila perempuan itu sungguh mau pulang bersamanya. Di sisi lain, Ben meyakini bahwa Phoebe tipe perempuan yang berhati-hati dan menjaga diri dengan baik.
Suara ketukan di pintu, menyadarkan Ben.
“Ben…,” suara lembut Mami terdengar dari balik pintu.
Ben bergegas berdiri dan membuka pintu. “Ada apa, Mi? Mami butuh bantuan Ben?”
Mami menepuk lengan Ben dan beranjak masuk ke dalam kamar putra sulungnya itu. “Kamu lagi repot, Ben? Mami pengen ngobrol sama kamu.” Perempuan paruh baya itu duduk di sofa yang terletak berdempetan dengan bagian kaki tempat tidur Ben.
Laki-laki menurut saja ketika Mami menepuk tempat kosong di samping beliau, dan duduk persis di sebelah Mami.
Tangan Mami yang mulai dihiasi keriput mengusap lembut pipi Ben. “Kamu kurus begini, Ben. Di sana enggak ada yang rawat kamu. Makan pasti enggak teratur.” Tangan yang sama tiba-tiba menepuk lengan Ben keras.
“Aduh, Mi!” pekik Ben kesakitan.
“Rasain! Itu karena kamu bikin Mami khawatir setengah mati.”
Ben hanya bisa terkekeh melihat ekspresi sebal Mami. Laki-laki itu meraih tangan Mami dan menggenggamnya. “Sekarang Ben udah pulang. Mami bisa puas-puas rawat Ben lagi.”
Bukannya gembira, Mami malah menepuk paha Ben lebih keras. “Enak aja! Mami enggak mau urusin kamu lagi. Mestinya ini tugas istri kamu, Ben.”
Ben mengusap paha yang terasa panas, tak berani mengeluh di hadapan Mami.
“Kamu cepetan cari istri. Banyak perempuan baik di sekitar kamu. Cuma kamunya aja yang sok jual mahal dan enggak mau membuka diri. Mami juga pengen punya menantu yang bisa diajakin shopping, ngobrol hal-hal perempuan bareng Mami.”
“Nanti posisi Mami sebagai perempuan paling cantik di rumah ini tergeser dong?” goda Ben.
Mami tersenyum. “Enggak apa, Ben. Mami dari dulu pengen anak perempuan. Tapi dapetnya tiga jagoan tukang bikin onar kayak kalian. Lagipula, udah waktunya kamu pikirin masa depan. Mami udah pusing lihat Cole gonta-ganti pacar. Tiap kali bawa perempuan dikenalin Mami, langsung vertigo Mami kumat.”
Ben hanya bisa geleng kepala mendengar Mami mengeluh tentang adik laki-lakinya itu. Sejak dulu, Cole memang berbeda dari dirinya. Kalau Papi dan Mami dipanggil ke sekolah untuk Ben, itu pasti karena prestasi dan deretan penghargaan yang dia terima. Namun, kalau Papi dan Mami dipanggil ke kantor kepala sekolah untuk Cole, mereka akan menahan malu karena keributan dan kekacauan yang disebabkan putra keduanya itu.
“Mi, Cole sekarang kan juga sudah bantu Papi di kantor. Dia udah enggak berulah seperti dulu. Mami kasih dia kesempatan lah. Mami ngobrol gitu sama Cole, pengen dia cari cewek yang seperti apa. Mungkin Cole cuma perlu diajakin ngobrol sama Mami, kayak begini nih,” ujar Ben sambil menggenggam tangan Mami lagi.
Mami menepuk genggaman tangan mereka dengan tangan yang bebas. “Ini sebabnya Mami bisa percaya sama kamu Ben. Berarti Mami enggak usah khawatir ya, Ben? Sebentar lagi kamu bakal bawa calon mantu Mami ke sini kan?”
“Doain ya, Mi.”
“Berarti sudah ada nih?” pekik Mami gembira.
Ben menggeleng. “Belum, Mi. Dia susah banget dideketin. Tapi, entah kenapa kayak ada magnet yang bikin Ben terus ketemu sama dia, dan rasanya seneng banget kalo lihat dia.”
“Kamu mesti pinter-pinter, Ben, jangan bikin calon mantu Mami lari. Itu anak orang jangan kamu macem-macemin ya. Seandainya pun kamu gak tahan, jangan sampe dia hamil dulu.”
“Mamiiii! TMI ya, Mi!” Ben merasa wajahnya panas. Cuma Mami yang bisa membuat Ben mati berdiri seperti ini.
Mami terbahak melihat kelakuan putra sulungnya yang mendadak seperti anak baru puber sekalipun badan Ben sekarang jauh lebih tinggi dan besar dari beliau.
“Mami cuma pengen kamu bahagia, Ben. Dan kamu harus bahagia, dengan cara yang benar.” Kedua tangan Mami menangkup wajah Ben, penuh sayang.
Ben memeluk Maminya erat. “Ben akan kejar bahagia itu, Mi. Buat Ben, dan buat Mami juga.”
–
“Selamat pagi, Pak Ben.”
Ben tersenyum kepada resepsionis lantai 22 yang sudah bersiaga walau waktu baru menunjukkan pukul 7.30 pagi. Dia melangkah yakin menuju ruang meeting dan senyumnya melebar melihat satu pribadi yang sudah duduk di dalam sana.
“Selamat pagi, Phoebe. Tidur nyenyak semalam?” sapa Ben yang sudah duduk di hadapan perempuan itu, hanya dipisahkan oleh meja di antara mereka.
Perempuan itu seperti tersihir dan hanya mengedipkan matanya melihat Ben.
Ben mendadak grogi melihat reaksi Phoebe. Dia mengusap pipinya sendiri. “Apa ada yang aneh di wajah saya sampai kamu melihat saya segitunya?”
Phoebe segera mengalihkan pandangan ke arah lain. “Em, enggak, Pak.” Suara perempuan itu bergetar, sepertinya dia juga gugup.
Ben tersenyum simpul melihat gerak-gerik salah tingkah Phoebe. Dia menyodorkan sebuah paper bag kepada Phoebe. “Ini, ada makanan. Sarapan dari Mami saya.”
“Hah?” Phoebe melongo dan terdiam beberapa saat. “Saya enggak kenal maminya Bapak.” Dia mendorong kembali paper bag itu ke arah Ben.
“Loh, nanti juga kenal kok. Terima saja ya. Buat kamu sarapan. Atau kalau kamu sudah makan, bisa buat kudapan nanti waktu istirahat.” Ben sontak berdiri dan memasukkan tangan ke dalam saku celana, ingin menutupi kegugupannya. “Have a nice day, Phoebe.” Dan Ben buru-buru berjalan cepat, keluar dari ruang meeting.
Betapa leganya Ben menemukan pintu lift terbuka ketika dia tiba di sana. Entah mengapa jantungnya seperti menggedor dadanya ketika melihat Phoebe. Ben harus berusaha keras untuk terlihat tenang padahal telapak tangannya sudah berkeringat dingin dan perutnya terasa melilit.
“Anton!” seru Ben melihat bawahannya itu melintas ketika pintu lift terbuka di lantai 25.
Anton memundur satu langkah dan melihat Ben keluar dari lift. “Oh, Pak Ben toh. Pagi, Pak,” sapa laki-laki itu semringah.
Senyum itu menular ke wajah Ben. “Cerah banget pagi ini kamu.”
Anton yang badannya tergolong kecil menengadah dan nyengir gembira. “Kalau udah menikah tuh begitu, Pak Ben.”
“Masa?” tanya Ben tak percaya. “Emang ada teorinya begitu?”
“Wah, saya enggak ngerti teori-teori begitu, Pak Ben. Wong cuma lolos dari SMA saya ini.”
“Lulus?” Ben berusaha mengoreksi kata-kata Anton.
“Kalau lulus kan nilainya bagus, Pak. Saya mah lolos aja udah seneng,” jawab Anton sambil terkekeh.
“Terus?” tanya Ben penasaran.
“Apanya ya, Pak?” Anton terlihat kebingungan.
“Ya itu tadi yang kamu bilang. Orang menikah bisa cerah kayak kamu.”
“Weleh,” sahut Anton dan sekali lagi dia tertawa cekikikan. “Kalau Pak Ben enggak percaya, coba aja. Cari calon, dinikahin, terus dirasain sendiri.”
Ben terbahak mendengar penuturan Anton. “Kalau enggak cerah kayak kamu, saya minta ganti rugi loh.”
“Eh, jangan, Pak.” Anton melambaikan tangan, menunjukkan rasa khawatir bila Ben sungguh meminta ganti rugi atas nasihatnya. “Saya bukan pakar begituan. Namanya juga saran berdasar pengalaman, Pak.”
Ben menggeleng geli melihat tingkah bawahannya itu. “Udah, daripada kita makin ngawur ngobrolnya, beliin saya kopi di seberang ya. Yang kayak kemarin, Ton.” Ben mengambil kartu e-money dan mengulurkannya kepada Anton.
“Cappuccino tanpa gula ya, Pak?”
Ben menjawab pertanyaan Anton dengan anggukan. “Satu lagi cappuccino gula sedikit.”
“Buat Mas Rudi, Pak?” Anton menerima kartu itu dan menyimpannya dalam saku.
“Kamu tuh, Ton, masa Rudi dipanggil ‘Mas’ saya dipanggil ‘Bapak’? Saya juga masih cocok jadi kakakmu ketimbang jadi bapakmu.”
Anton tersenyum malu. “Enggak sopan atuh, Pak. Bapak ge-em masa saya panggil ‘Mas’?”
“Ji-em, Ton,” koreksi Ben.
“Eh, ya itu, Pak.” Laki-laki itu terdiam sejenak, dan setelah Ben sedikit memelotot, segera Anton mengimbuhkan, “Eh iya, Mas Ben.”
“Gitu dong,” sahut Ben puas. “Yang tanpa gula anter ke kantor saya ya, Ton.” Ben sedang berpikir bagaimana caranya meminta Anton mengirim cappuccino itu untuk Phoebe, ketika sebuah ide melintas di pikirannya. “Eh, Ton, pesanannya diganti. Cappuccino tanpa gula buat saya. Lalu 15 es kopi gula aren kirim ke ruang meeting lantai 22, buat Phoebe.”
“Oke siap, Mas. Cappuccino panas tanpa gula buat Mas Ben, sama 15 es kopi gula aren buat… siapa tadi, Mas? Mbak Febe?”
“Phoebe, Ton. Jangan sampe salah. Ruang meeting lantai 22, buat Vi-bi.” Ben sengaja menekankan tiap suku kata nama Phoebe agar Anton tidak salah kirim.
“Siap 86! Uang di kartunya cukup kan, Mas?”
“Kamu menghina saya, Ton?” Ben menahan geli mendengar pertanyaan Anton.
“Eh, enggak, Mas. Oke, saya berangkat.” Anton meninggalkan Ben yang masih berdiri menyaksikannya menunggu lift ke bawah. “Cappuccino, gak pake gula, buat Mas Ben. Buat Mbak Febe, eh, Vibi, 15 es kopi. Mbak Vibi lantai 22, es cappuccino….”
Ben tersenyum simpul mendengar gumaman Anton, lalu beranjak menuju ruang kantornya.