TIGA BELAS

1738 Words
Kepala yang berdenyut membuatku terjaga. Sulit sekali buatku untuk membuka mata. Tetapi, badanku rasanya tidak bisa diajak bekerja sama. Aku sudah bisa menebak, sekarang sudah pukul 5 pagi, waktu biasanya badanku akan bangun dari tidur, bahkan tanpa bantuan alarm. Rutinitas harian ketika merawat Mama masih diingat dengan sangat baik oleh tubuhku. Perlahan aku membuka mata. Aku sudah ada di kamar kos. Kepalaku masih pening, seakan ada belasan palu yang memukul bergantian. Setelah beberapa menit, aku akhirnya berhasil duduk. Badanku terasa lengket. Aku meraba tubuhku sendiri dan menemukan aku masih mengenakan pakaian kerja kemarin. Berusaha keras mengingat apa yang terjadi, memoriku hanya membawaku mengingat Pak Ben. Kemarin malam, setelah mengajar Drew, aku baru tahu bahwa Pak Ben adalah kakak kandung dari murid lesku itu. Parahnya lagi, di sana juga ada Cole, cowok yang sempat kusukai selama SMA. Belum cukup semua kejutan yang membuatku sulit berkata-kata, Bu Dewi –maminya Pak Ben, Cole, dan Drew– meminta putra sulungnya itu untuk mengantarku pulang. Alasan apa pun yang kuberikan beliau mentahkan begitu saja. Bu Dewi punya cara yang sangat elegan yang membuatku tak bisa menolak permintaan beliau supaya aku mau diantar pulang. Setelah menolak ajakan Pak Ben di sore harinya, aku tak bisa lari dan duduk di sebelah atasanku yang sedang menyetir. Karena bingung dan tak tahu harus bersikap seperti apa, aku hanya diam sepanjang perjalanan. Dan kemudian ada telepon dari Tante Linda. Beliau marah-marah dan mengatai aku dan Mama. Aku tak masalah bila beliau ingin memberiku sebutan apa pun, tetapi hatiku rasanya panas ketika beliau mengatakan hal-hal buruk tentang Mama, yang aku tahu sepenuhnya tidak benar. Aku mengakhiri telepon begitu saja. Biar saja Tante Linda menganggapku tidak sopan. Telingaku sudah panas dan aku merasa tak enak bila Pak Ben sampai mendengar percakapanku dengan Tante Linda. Tiba-tiba saja, semua hal yang terjadi sepanjang hari ini seperti diputar di kepalaku. Lelah karena bekerja tanpa henti di expo. Jengkel karena perlakuan Pak Ben yang seperti tidak mengacuhkan perasaanku sore tadi. Lalu pertemuan dengan Cole yang membawa perasaan negatif mengungkit kenangan pahit interaksi kami di SMA. Dan ketika aku masih mencoba mengatasi rasa tak nyaman berada di mobil Pak Ben, Tante Linda seperti menyiram minyak di api yang sudah membakarku hari ini. Aku ingat dadaku terasa sesak dan aku sulit bernapas. Lalu sepanjang tulang belakangku seperti diguyur air es yang begitu dingin dan menusuk tulang. Dan selanjutnya, tubuhku seperti kaku dan tidak bisa kukendalikan hingga ada kehangatan yang membantuku untuk bertahan hingga aku kehilangan kesadaran. Lalu, mengapa aku bisa sampai di sini? Aku memang sudah memberikan alamat kos ini pada Pak Ben. Tapi apa dia yang membawaku hingga masuk dalam kamar? Pikiranku masih berusaha menampik. Tetapi kalau bukan Pak Ben, bagaimana bisa aku sampai di kamar dan berbaring di tempat tidurku? Ah, tak ingin terus kebingungan, aku meraih gelas air di meja yang letaknya memang di sebelah ranjangku. Kuteguk air yang ada di dalam gelas, dan setelah mengambil waktu menenangkan diri, aku merasa cukup kuat untuk membersihkan diri dan bersiap kerja. Setelah memastikan penampilanku sudah rapi, aku menatap jam dinding dan mendapati jarum pendek sudah mengarah ke angka 7. Waktunya berangkat. Aku akan mencari sarapan di perjalanan atau di warteg dekat kantor. Baru saja aku mengambil tas, pintu kamarku diketuk. Aku beranjak untuk membuka pintu dan berniat untuk langsung berangkat kerja. Ternyata Mbak Imah, ART kos yang mengetuk. “Non Febe, ada yang jemput di depan.” Aku mengernyit. Bukan karena cara Mbak Imah menyebut namaku. Aku sudah maklum banyak orang yang kesulitan menyebut namaku dengan benar. Tetapi, siapa yang menjemput aku pagi-pagi begini? “Siapa, Mbak?” “Mas yang antar Mbak Febe kemarin malam. Ganteng banget loh, Mbak,” kata Mbak Imah sambil mengerjap genit. “Makasih, Mbak. Saya sekalian berangkat kalau gitu.” “Salam buat Mas Ganteng ya, Mbak,” imbuh Mbak Imah sekalipun aku tidak merespons penilaiannya terhadap orang yang menjemputku. Kepalaku hanya memunculkan satu nama. Kemudian, timbul juga pertanyaan lain. Mengapa dia susah-susah menjemput pagi-pagi begini? Selain karena tempat kosku berlawanan arah dengan kantor bila dilihat dari posisi rumahnya, jam berapa dia berangkat hingga sepagi ini sudah tiba di sini? Ketika aku sampai di teras kos, Pak Ben sudah berdiri di dekat pagar. Kedua tangannya ada di dalam saku celananya. Sesekali dia menendang kerikil kecil yang memenuhi teras sebagai ganti rumput. Pemilik kosku rupanya penganut prinsip ekonomis. Tanpa rumput, rendah juga biaya perawatan, tetapi tetap estetik dengan bebatuan kecil yang diletakkan di sana. Belum sempat aku berpikir apa yang harus kulakukan, Pak Ben menengadah dan menatapku. Dia tersenyum. Entah mengapa aku merasakan ketulusan dari senyumnya itu. “Pagi, Phoebe. Tadi malam bisa tidur?” Aku berdeham dan menelan ludah, sebelum mengangguk. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. “Yuk berangkat.” Pak Ben membukakan pintu pagar dan menyilakan aku untuk melangkah lebih dulu. Kakiku terpaku dan terasa berat untuk melangkah. Aku lebih baik berdesak-desakan naik kendaraan umum atau naik ojek online daripada berada di dalam mobil yang sama dengan Pak Ben. Kalau perkataan Mbak Imah benar, Pak Ben sudah melihat Phoebe dalam kondisi terburuknya. Aku hanya bisa menduga, serangan panik yang dulu pernah terjadi padaku setelah pemakaman Mama, datang lagi. Yang kuingat dari bahan kuliah dulu, serangan panik bisa menyerang ketika beban dan kecemasan itu menguasai diri. Sesak napas dan hilang kesadaran bisa jadi efek dari kecemasan yang begitu tinggi itu. Siapa yang tidak cemas mendapati banyak fakta menyesakkan dalam semalam? Aku tak menyangka bertemu dengan Pak Ben yang ternyata kakak dari Drew, murid les yang dikenalkan Allana. Dan aku tahu tidak mungkin tiba-tiba menolak mengajar Drew tanpa alasan yang jelas. Pada waktu yang sama, aku bertemu lagi dengan Cole, laki-laki pertama yang membuatku mengenal arti jatuh cinta. Tetapi juga laki-laki pertama yang menghempasku dalam jurang bernama patah hati. Dengan lantang dia mengaku tahu aku menaruh hati padanya, dan membalas dengan bersikap baik padaku karena iba melihat aku, murid beasiswa yang tampak menyedihkan. Belum lagi telepon dari Tante Linda yang menekan tombol hingga bom kecemasan dalam diriku meledak. Rasanya aku ingin berteriak pada beliau yang menyalahkan keadaan Mama yang sakit parah. Memangnya siapa yang mau menderita penyakit seperti itu? Memangnya kami bisa menolak? Dan bukankah utang Papa sebetulnya tidak ada hubungannya dengan sakit Mama? Selama ini aku yang mengurus semua keuangan selama pengobatan dan tidak pernah aku menerima satu sen pun dari Papa. Kini, Pak Ben berdiri di sana dan terus menatapku. Apakah dia juga iba padaku setelah melihat kondisiku kemarin malam? Aku tak habis pikir apa yang membuat Pak Ben datang lagi. Dan hatiku rasanya ingin menolak kebaikannya. Aku tak mau menjadi sekadar charity bagi laki-laki ini. Aku tak perlu dikasihani siapa pun. “Phoebe? Yuk!” ajak laki-laki itu lagi. Aku menghela napas. Sejujurnya, walau aku tak yakin apa yang Pak Ben pikirkan tentang aku, hatiku tak bisa serta merta menolak kebaikannya. “Kita masih sempat cari sarapan kalau jalan sekarang,” imbuhnya lagi dengan senyum yang terulas di wajahnya. Sekali lagi aku menghela napas, lalu aku mengangguk. Ketika melangkah melewati Pak Ben yang masih menahan pintu pagar itu untukku, aku mencium bau parfum yang memberiku rasa nyaman. Pak Ben berlari kecil lalu membukakan pintu mobilnya untukku. Aku mengucapkan terima kasih yang begitu lirih. Tetapi, aku yakin Pak Ben mendengarnya, karena senyumnya makin lebar. Tunggu dulu. Mengapa dia harus tersenyum begitu lebar karena sebuah kata “terima kasih” dariku? Aku tidak sedang berhalusinasi kan? Aku cukup lega Pak Ben tidak membahas apa pun tentang semalam. Aku memang ingin tahu apa yang terjadi, tetapi tidak sekarang. Hatiku belum siap. “Kamu mau cari makan di resto fast food atau makanan rumahan?” tanya Pak Ben dengan pandangan yang berfokus pada jalanan yang macet di hadapan kami. Aku berdeham. Sesungguhnya kalau boleh, aku tidak akan keduanya. Aku lebih suka makan sendiri daripada berdua dengan Pak Ben seperti ini. “Bapak suka fast food?” tanyaku mengacu pada pilihan pertama yang Pak Ben berikan. “Suka,” jawabnya singkat. Pak Ben kemudian menoleh padaku, karena kondisi mobil yang berhenti di tengah kemacetan. “Fast food yang dekat kantor itu enak.” Aku mengernyit. Rasanya tidak ada gerai fast food yang ada di dekat kantor kami. “Emang ada?” Pak Ben mengangguk. “Tinggal pilih. Mau warteg Bu Ida atau nasi padang di sebelahnya. Kan cepet tuh.” Spontan aku tergelak. Tak menyangka dua tempat makan itu yang dimaksud Pak Ben dengan resto fast food. Kini aku menebak, makanan rumahan yang beliau maksud mungkin depot mie ayam yang juga terletak di belakang kantor. “Tapi setelah saya pikir, makan fast food berminyak sekali ya. Makanan rumahan mau?” lanjut Pak Ben tanpa memberiku kesempatan bicara. Aku mengangguk. “Boleh, Pak.” Lagi-lagi aku melihat Pak Ben tersenyum lebar. “Oke.” Tepat setelah itu, kami melewati perempatan karena traffic light yang menyala hijau. Dan tak lama kemudian, Pak Ben menepikan mobil di sebuah taman kecil. “Di sini makanan rumahannya?” Aku mengamati sekitar taman ini. Ada beberapa gerobak yang menjual makanan. Rupanya tebakanku salah; makanan rumahan itu bukan mie ayam belakang kantor. “Iya,” jawab Pak Ben yakin. Ketika aku menoleh ke arahnya, di tangan Pak Ben sudah ada sebuah tas, yang dari dalamnya Pak Ben mengeluarkan dua kotak makanan. “Ini makanan rumahan. Masakan Mami. Kamu pasti suka.” Pak Ben membuka penutup salah satu kotak, lalu menyodorkannya kepadaku; lengkap dengan sendok. Aroma harum bawang goreng memenuhi mobil. Nasi goreng merah yang terlihat sangat menarik. “Ini nasi goreng tomat kesukaan saya. Semoga cocok di lidah kamu.” Aku menerima kotak makan dan sendok itu. Aku bisa melihat lebih jelas potongan ham dan telur yang tersebar di sela-sela butiran nasi berwarna merah. “Ini enggak apa, Pak? Nanti mobil Bapak jadi bau.” Laki-laki di hadapanku –yang sedang sibuk dengan kotaknya sendiri– tergelak mendengar kalimatku. “Tenang aja, salon mobil banyak kok. Yang penting sekarang kamu makan dulu, biar perut aman sebelum kerja.” Pak Ben sudah memakan bagiannya dengan lahap. Aku jadi tergoda untuk segera menikmati milikku juga. Wow! Begitu sesendok nasi goreng masuk di mulutku, aku tak heran Pak Ben begitu memuji masakan maminya. Ini lebih enak dari nasi goreng restoran mana pun yang pernah kucoba. Untuk beberapa waktu, kami tak bicara. Masing-masing sibuk dengan nasi goreng tomat yang begitu sedap. “Phoebe,” panggil Pak Ben yang membuatku menoleh padanya dan melihat senyum lebarnya untuk ke-sekian kali sepanjang pagi hari ini. “Kalau di luar kantor, bolehkah kamu enggak usah panggil saya ‘Bapak’? Ben sounds better.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD