Ben
***
Ben memijat pelipis walau secara fisik dia baik-baik saja. Sepanjang malam hingga siang ini, kepalanya penuh dengan seseorang. Phoebe.
Tak pernah dia membayangkan akan melihat Phoebe dalam kondisi yang begitu rapuh. Dan ketika memeluk tubuh kecil yang terus bergetar itu, Ben merasa hatinya begitu pedih. Dia tak tahu apa yang Phoebe tanggung, yang membuat perempuan itu terkena serangan panik.
Beruntung, selama di Singapura, Ben sering mengikuti berbagai seminar dan lokakarya. Salah satunya tentang kegawatdaruratan. Awalnya dia berpikir akan diajari cara menangani orang yang terkena serangan jantung, melakukan pertolongan pertama untuk orang yang patah tulang. Namun, uniknya dia juga diberi beberapa pengetahuan tentang bantuan yang bisa diberikan pada orang dengan masalah mental.
Dia yakin Phoebe tidak gila! Di zaman yang sudah maju ini, kata “gila” rasanya tak bisa menggambarkan kesulitan yang dihadapi orang-orang dengan penyakit atau gangguan mental.
Ben curiga pada panggilan telepon yang diterima Phoebe sesaat sebelum perempuan itu sesak napas dan menggigil karena serangan panik. Pengetahuan Ben sangat terbatas, tetapi dia melakukan apa yang dia ingat. Membantu Phoebe mengatur napasnya dan memberikan dukungan yang tulus.
Kalau boleh berharap, Ben tentu tak ingin kenangan akan sentuhan fisik dengan Phoebe terjadi karena sebuah kondisi darurat. Dia ingin memberikan pelukan yang hangat sebagai bentuk komitmennya pada Phoebe. Dia ingin sentuhan yang dia bagi dengan Phoebe merupakan ekspresi rasa dari dua hati yang tertaut.
Badan ringkih Phoebe yang bergetar di pelukannya membuat Ben makin yakin bahwa dia ingin melindungi perempuan itu. Bukan karena dia ingin jadi pahlawan. Tetapi, karena ketertarikan yang sudah ada dalam benaknya kini mendorong Ben untuk melangkah dan tak lagi ragu untuk menyatakan isi hatinya pada Phoebe.
Bukan karena iba semata. Perempuan itu sudah memenuhi pikiran Ben. Soal hati, Ben masih belum yakin. Dia sudah ingin bicara dengan Mami, tetapi pembicaraan mereka belum bisa berlanjut.
Ben ingat perkataan Mami pagi tadi. Adik-adiknya belum turun untuk makan pagi, karena itu Ben bisa mencuri sedikit waktu Mami. Dia menceritakan kejadian malam kemarin kepada Mami yang menyimak kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya.
“Mami pikir, tindakanmu sudah benar, Ben. Kamu bisa tetap temani dia. Tapi jangan memaksa. Kadang dia juga butuh waktu sendiri. Jangan memojokkan dia supaya mau bercerita. Hadirlah ketika dia butuh. Nanti, ketika dia merasa yakin, dia akan membuka dirinya sendiri tanpa kamu meminta.”
Ben mengangguk. Dia meneguk kopi hitam yang sudah Mami siapkan untuk dirinya, sambil melihat Mami yang masih sibuk menyiapkan beberapa kotak bekal.
“Waktu lihat Phoebe, Mami merasa dia anak baik. Setelah tahu dia kerja di kantor kamu, Mami sempat mikir, apa upah yang dia dapat enggak cukup sampai dia harus terima murid les lagi. Kantor kamu kan cukup demanding, Ben. Apa Phoebe enggak capek gitu?”
Tangan Ben menyomot sebuah apel dan mengigitnya. Setelah mengunyah, Ben menjawab, “Kayaknya dia ada masalah uang, Mi. Ben enggak yakin apa. Tapi kalau lihat dari gaya dia berpakaian, kebiasaan dia bawa bekal, Ben merasa masalah ini bukan karena dia.” Dia kembali mengigit apel di tangannya. “I don’t know, Mi. Bisa aja Ben bias. Tapi gimana menurut Mami?”
Mami menutup salah satu kotak bekal yang sudah diisi lalu menengok ke arah Ben. “Mami setuju. Dia sederhana banget. Anaknya juga sopan. Ya… bisa saja dia menipu kita. Tapi, kok hati Mami yakin Phoebe bukan orang yang begitu ya.”
Ben mengangguk sambil menghabiskan bagian apel yang masih tersisa.
“Kamu hati-hati, Ben. Mami tahu maksud kamu baik, Mami juga enggak mencurigai Phoebe. Tapi dengan kondisi dia yang begitu, ada baiknya kamu enggak terus-menerus mendekati dia. Bisa jadi dia enggak nyaman dan malah merasa kamu memaksa. Ajak dia bicara, supaya dia juga tahu kamu enggak ada maksud jelek. Kalau Phoebe menolak, kamu jangan memaksa. Kasih dia space, tapi di saat yang sama, kalau kamu memang sungguh-sungguh ingin bantu, hadirlah waktu dia butuh.”
Ben melempar apel yang dagingnya sudah habis dimakan ke dalam tempat sampah. Dia melangkah ke tempat cuci tangan sambil berkata, “Iya, Mi. Nanti aku akan cari waktu untuk ajak dia bicara. Nanti dia ngelesin Drew lagi?”
Mami menggeleng. “Besok. Jadwal les Drew seminggu tiga kali aja. Kamu mau sarapan dulu?”
Setelah mengeringkan tangan, Ben berdiri di samping Mami lalu memeluk bahu perempuan paruh baya itu. “Sudah habis apel, Mi. Lagipula, itu bekal Mami siapin buat aku, kan?”
Mami tertawa lalu menepuk pipi Ben. “Mami bungkusin buat Phoebe juga. Setelah kejadian semalam, mungkin dia belum benar-benar fit. Kamu kasih ke dia ya.” Mami memasukkan dua kotak bekal ke dalam tas yang sudah beliau siapkan.
Ben tersenyum sendiri mengingat ekspresi wajah Phoebe ketika menikmati nasi goreng yang Mami siapkan untuk mereka. Dia hanya bisa menebak bahwa Phoebe sebenarnya tak benar-benar menolak, tetapi ada sesuatu yang menghalangi dia untuk menerima maksud baik Ben.
Mata Ben melirik ke arah kertas yang berisi jadwal kerja selama masa expo. Hari ini Phoebe akan bertugas setelah jam makan siang hingga malam. Ben memperhatikan tim yang bertugas siang akan berangkat dari kantor tepat di jam makan siang.
Petunjuk waktu di pojok kanan bawah laptopnya menunjukkan ada 15 menit sebelum tepat tengah hari. Ben masih punya waktu untuk mengejar tim siang, berharap Phoebe juga akan ada bersama dengan mereka.
Langkah Ben terayun lebar dan cepat menuju lift. Dia merasa lift bergerak jauh lebih lambat. Kaki kanannya mengetuk pintu lift tak sabar. Dan begitu pintu terbuka, Ben mendengar suara-suara keras dari arah resepsionis. Pintu lift di sebelah lift yang dia gunakan tadi terbuka. Phoebe muncul dari baliknya.
Sepertinya perempuan itu tidak melihat Ben. Buktinya, dia melangkah seperti tak memedulikan sekitar. Tetapi, Ben menangkap gemetar tangan Phoebe yang dia sembunyikan barusan dengan mengepalkan keduanya.
Seorang perempuan yang Ben perkirakan berusia 50 tahunan sedang menuding dua petugas di balik counter penerima tamu. Seorang laki-laki berbadan besar dengan tato di lengan kanannya berdiri dengan dua tangan terlipat, seakan sedang melindungi perempuan yang sedang marah-marah itu.
Ben melihat Phoebe mendekati dua orang itu.
“Nah, ini dia orangnya! Begini saja kok susah. Saya cuma minta dipanggilkan, apa sulitnya? Apa kalian sudah dibayar sama perempuan ini untuk menghalangi saya bertemu sama dia?”
Nada suara perempuan itu makin keras. Orang-orang yang ada di lobi tak mungkin mengabaikan mereka.
“Tante, sudah. Kita bicara di luar saja.” Suara lirih Phoebe masih bisa terdengar di tempat Ben berdiri. Wajah Phoebe terlihat begitu pucat.
“Di sini saja! Kamu jangan berkelit lagi! Kamu janji kasih jawaban hari ini. Tapi, sepanjang hari Tante telepon, kamu tidak angkat. Apa mau kamu? Mau mengelak dari tanggung jawab? Kamu harus bayar hari ini!”
Badan Phoebe agak membungkuk di hadapan perempuan yang dia panggil “tante” itu. Kedua tangannya terkatup seakan ingin memohon ampunan.
“Tante, ini tempat kerja. Kurang baik kalau begini. Saya pasti akan bayar. Saya tidak akan lari dari tanggung jawab.”
“Ah, alasan saja kamu! Lebih baik kamu ikut dulu. Saya perlu pastikan kamu enggak berkelit dan enggak menghindar.” Perempuan itu mengedikkan dagunya, memberi tanda pada laki-laki berbadan besar yang langsung mencengkeram lengan Phoebe.
Sontak Ben melangkah cepat dan meraih pergelangan tangan Phoebe. Dia menarik hingga perempuan itu berdiri di belakang tubuhnya.
“Ada apa ini? Saya bisa laporkan Anda berdua atas perbuatan tidak menyenangkan terhadap karyawan kami.”
Sekilas Ben melirik ke arah Phoebe yang tertutupi oleh tubuhnya. Perempuan itu sedang mengusap lengan yang tadi dicengkeram oleh laki-laki berbadan besar di hadapan mereka.
“Ini urusan pribadi, Pak. Anda tidak perlu ikut campur kalau tidak mau terlibat dalam masalah anak tidak tahu diri ini.”
Ben bergeming dan menatap tajam kepada perempuan di hadapannya.
“Justru karena ini urusan pribadi, tolong jangan mengacau di tempat pekerjaan. Sila menunggu di luar. Sekali lagi saya melihat Anda di dalam area gedung ini, saya akan mengambil tindakan serius.”
Sedetik kemudian, beberapa petugas keamanan mendekati mereka dan memaksa kedua orang itu untuk keluar dari gedung. Ben terus menatap mereka, memastikan kedua orang itu benar-benar meninggalkan gedung perkantoran ini.
Ben memutar badan dan mendapati Phoebe tertegun di sana. “Kamu tunggu sebentar ya,” katanya lembut kepada perempuan yang air mukanya amat pias itu. Setelah mendapat anggukan sebagia jawaban dari Phoebe, Ben melangkah ke meja resepsionis.
Dia memberikan instruksi yang detail agar mereka tidak lagi menyambut perempuan itu. Ben juga menekankan bahwa dia tidak akan menoleransi kekacauan di tempat kerja seperti yang disebabkan oleh dua tamu Phoebe barusan.
Selesai bicara dengan petugas, Ben kembali melangkah ke arah Phoebe yang kini gemetaran. Dengan perlahan, Ben menggamit lengan Phoebe dan membawanya ke kedai kopi yang terletak di area lobi. Orang-orang sudah beraktivitas seperti biasa, seperti tidak ada kejadian yang mereka saksikan baru saja.
Ben menuntun Phoebe untuk duduk di kursi yang letaknya di sudut, jauh dari pandangan mata orang-orang yang lalu-lalang di area lobi. Tak berpikir lama, dia memesan secangkir teh hijau panas untuk Phoebe dan secangkir espresso untuk dirinya. Ben sengajar berdiri di dekat counter pemesanan, memberi waktu bagi Phoebe untuk menenangkan diri.
Perlu beberapa menit hingga barista menyelesaikan pesanan Ben. Perlahan, Ben membawa dua cangkir dengan uap mengepul itu ke meja tempat Phoebe duduk.
Dia meletakkan cangkir teh ke hadapan Phoebe, baru kemudian duduk di hadapan perempuan itu. “Minum dulu, Phoebe. Biar badan kamu lebih nyaman.” Ben sendiri menyeruput espresso dari cangkir mini yang dia pegang.
“Terima kasih, Pak,” sahut Phoebe lirih. Dua tangannya yang gemetar menangkup cangkir di hadapannya. Perlahan dia menyesap teh dan menghela napas panjang.
Ben tersenyum melihat muka Phoebe yang tidak lagi pucat seperti beberapa saat yang lalu. Tetapi hati Ben masih dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Phoebe.
“Phoebe,” panggil Ben lembut. Dia menunggu perempuan itu menengadah dan menatapnya. “Habis ini harus ke expo, kan?”
Phoebe mengangguk lemah. Pandangan matanya belum fokus.
“Kamu pergi bareng saya aja, ya? Biarkan saya bantu kamu.”