Terkejut melihat Phoebe ada di rumahnya, Ben lebih terkejut lagi karena sepertinya Cole mengenal Phoebe. Ben menoleh dan menatap Cole dengan heran.
“Lo kenal Phoebe?”
“Kenal lah, temen gue waktu SMA.”
Mata Ben membelalak. Jadi, Phoebe adalah alumni SMA-nya? Lantas mengapa mereka tidak pernah bertemu sebelumnya? Ah, Ben lupa, Cole sempat harus tinggal kelas sekali waktu SD dan sekali waktu SMP. Sekalipun usia mereka terpaut tak sampai 2 tahun, Ben sudah lulus SMA ketika Cole baru masuk SMA.
Fakta berikutnya yang membuat Ben jadi berpikir keras, SMA mereka termasuk salah satu SMA eksklusif dan terkenal mahal, yang sebetulnya cukup sepadan dengan fasilitas yang ditawarkan pihak sekolah. Rasanya cukup janggal melihat Phoebe yang begitu sederhana tetapi pernah mengenyam pendidikan di SMA nasional plus.
“Oh kalian sudah kenal Phoebe? Dia guru les Drew, dikenalin sama guru lesnya Eva.” Mami berujar sambil mengarahkan Phoebe untuk ikut duduk di meja makan. “Phoebe jangan sungkan ya. Tante sudah masak banyak juga.”
Ben melihat bagaimana Phoebe pasrah ketika Mami menyuruhnya duduk di antara beliau dan Ana, berhadapan dengan dirinya, Cole, dan Drew. Sepanjang makan, Ben mencuri pandang pada Phoebe yang lebih banyak menatap ke arah piring dan sepertinya menghindari kontak dengannya dan Cole.
“Jadi, Mas sama Abang kenal Phoebe di mana?” tanya Mami yang menatap mereka dengan senyum, tetapi Ben tahu di balik wajah ramah itu ada sesuatu yang mendorong Mami ingin tahu lebih banyak.
Ben menatap Phoebe dan langsung tahu bahwa perempuan itu tidak akan menjawab pertanyaan Mami. Dan karena pertanyaan itu diajukan padanya, tentu Ben yang harus menjawabnya.
“Phoebe staf HRD di kantor, Mi,” jawab Ben singkat, sesuai dengan kenyataan.
Mami tersenyum lebar. “Kalau Abang?”
Ben sebenarnya sedang menahan geli. Mereka sudah mirip anak SMP yang baru pertama merasakan cinta monyet tetapi harus berhadapan dengan orang tua.
“Temen SMA, Mi.” Cole juga menjawab singkat. Mereka sudah tahu bahwa tak ada gunanya menutupi fakta dari Mami, tetapi juga mereka harus pandai-pandai menutupi hal-hal yang tak perlu Mami ketahui supaya tidak dikorek lebih jauh.
“Wah, kebetulan banget ya. Sekarang malah Phoebe jadi guru les Drew. Mohon maklum sama tiga cowok berandalan ini ya, Phoebe. Semoga Phoebe betah ngajar Drew. Kalau ada yang macam-macam, lapor Om langsung saja,” ujar Papi yang menatap Ben dan Cole bergantian dengan mata tajamnya.
Phoebe tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Om.” Dan Ben tahu senyum Phoebe itu sering dia tampilkan di hadapan Ben, jenis senyum ramah dan sopan. Tetapi bukan senyum yang lepas seperti yang ada di foro profil media sosialnya.
“Phoebe dulu kuliah di mana?” tanya Papi lagi.
Menit-menit berikutnya, Ben mendengar banyak fakta yang tidak tercantum di CV Phoebe, yang pernah dia foto untuk dia “pelajari” lebih jauh. Ben tahu di mana Phoebe berkuliah dan dia tahu banyak pengalaman organisasi dan kegiatan sosial yang Phoebe ikuti. Memang semuanya tak jauh dari pendidikan anak. Karena itu Ben cukup heran mengapa Phoebe memilih untuk bekerja di perusahaan bila memang hatinya berbeban untuk pendidikan.
Ben baru tahu bahwa Phoebe tinggal sendiri. Mamanya meninggal beberapa bulan lalu. Ben juga jadi tahu alasan jeda dari tahun kelulusan Phoebe hingga saat dia melamar pekerjaan di kantor. Rupanya Phoebe mendampingi sang mama yang menderita kanker. Anehnya Phoebe tidak menyebutkan apa-apa tentang papanya.
Tersenyum lebar, Ben merasa senang. Rupanya semesta membukakan jalan baginya mengenal Phoebe lebih jauh. Setelah perempuan itu menolak diantar sore tadi, Ben sempat kecewa. Dia tak menyangka Phoebe begitu keras kepala dan lari begitu saja. Mana mungkin driver ojek online atau sopir angkutan umum itu lebih ganteng daripada Ben kan?
Tapi mengapa Phoebe lari begitu saja? Apakah Ben melakukan sesuatu yang membuat Phoebe tidak nyaman? Apa Ben harus berterus terang bahwa dia menaruh perhatian khusus dan mengharapkan sesuatu dari Phoebe?
Piring-piring buah sudah dibereskan, menyisakan gelas-gelas air di atas meja. Drew sudah pamit kembali ke kamar untuk menyelesaikan tugas sekolah. Papi baru saja mengajak Cole dan Ana ke ruang kerja beliau untuk bicara masalah perusahaan.
Ana memang bekerja di kantor Papi. Sejak kecil dia sangat mengagumi Mami sehingga memilih desain interior ketika kuliah. Sedangkan Cole, memang tak punya pilihan untuk tidak meneruskan usaha Papi. Walau tak memiliki latar belakang arsitektur atau teknik sipil, Cole kini belajar langsung di lapangan.
“Tante, saya pamit pulang juga ya. Sudah malam,” pamit Phoebe, berdiri dari tempatnya duduk.
Mami mengangguk, ikut berdiri, dan menepuk pundak Phoebe. “Terima kasih ya, Phoebe. Tante berharap Phoebe tidak sungkan dan betah bantu Drew belajar.”
Phoebe ikut mengangguk sopan. “Terima kasih, Tante.”
Lagi-lagi Ben melihat senyum sopan yang selalu ditampilkan Phoebe. Dia ikut berdiri dan mengekori Mami dan Phoebe yang berjalan perlahan ke arah pintu keluar. Dua perempuan itu masih saja asyik bicara.
“Ben, kok masih diam di situ? Ayo ini Phoebe diantar.”
Ben tertegun mendengar perintah Mami. Ketika menatap Phoebe, dia melihat keterkejutan yang sama di mata perempuan itu.
“Oh iya. Bentar Ben ambil kunci mobil, Mi.”
Ketika berbalik untuk mengambil kunci mobil, Ben mendengar Mami yang berkata pada Phoebe, “Diantar sama Ben aja ya. Sudah malam. Tante enggak tenang kalau kamu naik kendaraan umum.”
Ben tersenyum mendengar Phoebe yang tidak bisa menolak permintaan Mami. Ah, memang Mami terbaik. Terlepas dari tahu atau tidaknya Mami tentang perasaan Ben pada Phoebe, Ben tetap harus berterima kasih pada Mami yang membukakan jalan lebar baginya mendekati Phoebe.
–
Sepanjang perjalanan dari rumah Ben hingga sampai di jalan raya yang cukup padat, Phoebe tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Ben memperhatikan Phoebe hanya memandangi jendela sampingnya. Entah apa yang dilihatnya.
Hal lain yang cukup janggal di mata Ben, tangan Phoebe terus memegangi tas yang dibawanya. Sebenarnya hal itu umum dilakukan perempuan, bukan? Tetapi sesekali Ben menangkap ada suara benda bergetar, kemungkinan besar gawai Phoebe yang ada di dalam tas.
“Itu teleponnya enggak mau diangkat? Sejak tadi sepertinya. Mungkin penting.” Ben memberanikan diri untuk bertanya.
Phoebe menghela napas lalu berkata lirih. “Tidak penting. Terima kasih.”
Rasanya mereka berdua seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar, persis seperti yang Ben katakan pada abang ojek online sore tadi. Ben yang mencoba untuk memulai pembicaraan ditanggapi dengan dingin dan kalimat singkat oleh Phoebe yang bahkan tidak menoleh ke arah Ben sama sekali.
Ben memutuskan untuk diam. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Phoebe. Entah apa yang membuatnya begitu tertarik pada perempuan ini. Ben yakin ada sesuatu yang Phoebe sembunyikan. Dari CV Phoebe, dari interaksi mereka ketika masa training dan beberapa kali perjumpaan –yang disengaja oleh Ben–, dan dari komentar Bu Shinta dan Rudi yang banyak bekerja dengan Phoebe, Ben tidak menemukan kejelekan dari perempuan ini.
Ya, mungkin belum. Kan tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Tetapi, Ben yakin Phoebe adalah perempuan baik-baik. Ben berharap begitu sih.
Tiba-tiba saja Phoebe berdecak keras. Mungkin karena getar gawainya yang tanpa henti itu, akhirnya dia memutuskan untuk mengambil gawainya dari dalam tas.
Dalam gelapnya mobil, Ben tidak bisa melihat ekspresi Phoebe. Tetapi, perempuan itu terus diam. Dan kemudian terdengar suara lirih yang penuh keraguan.
“Halo? Iya, Tante. Saya sudah terima pesan dari Tante. Iya, Tante. Maaf, saya tidak bermaksud untuk menghindar, memang sedang banyak pekerjaan. Tapi… Iya, Tante. Maaf… Iya… Maaf…”
Kembali hening. Ben juga berfokus pada lalu lintas di hadapannya. Tetapi, tak lama, Ben mendengar pola napas Phoebe yang menjadi tidak beraturan.
Ketika dia menoleh, Phoebe sudah setengah menunduk. Punggungnya bergerak naik-turun tetapi seperti menanggung beban yang berat. Tangannya ada di dadanya. Napas Phoebe pendek-pendek.
“Phoebe, kamu baik-baik saja?”
Tidak ada jawaban. Phoebe terus pada posisi yang begitu tidak nyaman dan mengkhawatirkan.
Ben bergegas mencari celah di barisan mobil yang mengular dan mencoba melihat kemungkinan untuk berhenti. Begitu melihat sebuah cafe, Ben mengarahkan mobil ke sana dan segera mencari tempat parkir yang aman.
Begitu mobil berhenti dengan sempurna, Ben segera memutar badan menghadap pada Phoebe.
“Napas, Bi. Pelan-pelan, napas dulu.” Ben memberanikan diri untuk mengusap punggung Phoebe. “Dengerin aku ya, Bi,” kata Ben dengan suara yang tenang, sekalipun jantungnya berdetak kencang. “Ikutin arahanku ya. Tarik napas dalam dari hidung, lalu tahan. Aku hitung sampai tiga ya, satu, dua, tiga. Keluarkan dari mulut pelan-pelan. Lagi ya.”
Ben mengulangi arahannya pada Phoebe sembari terus mengusap punggung yang tampak ringkih itu. “Good. Udah lebih baik napasnya? Sekarang rasain udaranya masuk sampai ke diafragmamu. Tarik napas yang dalam, ya gitu, sampai ke diafragma.”
Dia melihat tubuh Phoebe yang perlahan mulai tegak. “Tahan. Satu, dua, tiga. Keluarkan dari mulut. That’s it. Yes. Napas lagi, Bi. Rasain udaranya masuk di tubuhmu.”
Cahaya dari luar mobil terpantul lewat titik-titik air mata yang membasahi pipi Phoebe. Begitu napasnya sudah mulai teratur, badannya lemas.
Ben merengkuh tubuh Phoebe dan memeluknya. Hatinya terasa pedih melihat Phoebe dalam keadaan seperti ini. Isak Phoebe yang terdengar di sela upayanya menarik napas seakan menyayat Ben juga. Dia tidak tahu apa yang dihadapi oleh perempuan ini. Yang Ben tahu, dia ingin ada dalam kehidupan Phoebe, dia ingin mendampingi perempuan ini dan hadir di saat-saat sulit seperti sekarang ini.
“Aku di sini, Bi. Aku di sini buat kamu,” ujar Ben lembut seraya mengeratkan pelukannya.