SEMBILAN

1363 Words
Seminggu ini, aku sengaja pulang kantor lebih lambat dari waktu yang seharusnya. Selain karena lebih memilih menghabiskan waktu di kantor daripada di angkutan umum akibat kemacetan, aku sengaja menghindari Pak Ben yang beberapa waktu ini sepertinya mencari cara untuk terus mendekatiku. Bukannya aku kegeeran atau suka mendapat perhatian seperti itu, tapi tingkah lakunya terlalu kentara untuk diabaikan begitu saja. Ada saja cara laki-laki itu untuk mendekatiku. Ketika aku mengembalikan kotak makanan yang sudah kucuci bersih, Pak Ben –yang waktu itu hendak makan siang bersama Pak Rudi– mengajakku bergabung makan bersama di kantin kantor yang ada di lantai dasar. Lebih tepatnya memaksaku ikut. Jelas saja dia memaksa karena laki-laki itu asal menggandeng tanganku dan tidak menerima “tidak” sebagai jawaban. Hari yang lain, aku bertemu Pak Ben di lobi di jam pulang kantor. Laki-laki itu terus mengikutiku dan berkata bila hari itu dia memang tidak membawa mobil dan berniat menikmati kendaraan umum. GM mana yang dengan senang hati tidak membawa mobil pribadi dan berdesak-desakan di dalam kendaraan umum pada jam macet? Belum lagi, tanpa kuduga, beberapa kali aku menerima kiriman kopi, kue, bahkan nasi padang yang diantarkan oleh Anton. Untung saja, aku sudah berkantor di ruang divisi HRD, terpisah dari Mbak Ani dan Kevin yang berada di divisi keuangan. Paling tidak, aku tak harus menanggung malu karena mereka –dua rekan yang paling dekat denganku selama masa training– tak tahu-menahu perihal kiriman itu dan tentu saja tak bisa menggodaku habis-habisan seperti yang mereka lakukan di minggu training. Namun, suatu siang, ketika kami bertiga makan bersama di cafe yang letaknya tak jauh dari kantor, Pak Ben muncul seorang diri. Dan laki-laki itu bahkan meminta izin untuk bergabung bersama kami. Mbak Ani dan Kevin menyilakan Pak Ben duduk di sampingku –satu-satunya kursi kosong di meja kami– sambil tersenyum penuh arti padaku. Setelah itu beberapa kali aku melihat Pak Ben duduk di area lobi, dan tentu saja aku memilih untuk berkerumun dengan rekan-rekan kerja yang lain atau sengaja menghindar dengan cepat-cepat melangkah keluar pintu utama lobi sebelum laki-laki mencegatku. Jelas aku juga tak nyaman harus bermain kucing-kucingan seperti itu. Maka aku memilih untuk tetap berada di kantor dan mengerjakan apa saja yang bisa kulakukan. Sejujurnya, siapa yang tidak tersanjung mendapat perhatian sebesar itu dari seorang laki-laki baik –paling tidak dari cerita-cerita yang berseliweran di kantor dan reputasinya yang begitu baik– seperti Pak Ben. Kalau hidupku normal dan baik-baik saja, mungkin aku tidak akan bereaksi seekstrem ini. Tapi aku sadar bahwa hidupku amat jauh dari hidup Pak Ben. Beliau lulusan luar negeri dengan prestasi segudang. Rumor yang beredar di kantor, keluarga beliau memiliki perusahaan yang cukup mapan, tetapi Pak Ben menolak bekerja di sana karena ingin mencari jalan hidup yang mandiri. Penampilan beliau yang begitu rapi dan menawan membuat banyak rekan-rekan perempuan di kantor menjadikan beliau idola mereka. Tidak sedikit yang rela melemparkan diri dalam pelukannya –yang pasti hangat. Oh. Stop, Phoebe! Jangan mulai membayangkan yang tidak-tidak. Mana mungkin perempuan sepertiku pantas bersanding dengan Pak Ben? Aku cuma lulusan universitas kecil yang mungkin tidak banyak orang pernah mendengar namanya. Aku hidup sebatang kara di ibu kota, dan masih menanggung beban dari pengobatan Mama dulu. Kalau Pak Ben tahu cerita hidupku, dia tak akan mau mendekati apalagi menyentuhku. Aku cukup tahu diri untuk paham bahwa cerita Cinderella, Beauty and the Beast, atau The Frog Prince –yang menceritakan kisah cinta pangeran dengan perempuan biasa– tidak ada di dunia nyata. Aku harus tahu diri bahwa aku pun mungkin belum pantas dicintai siapa pun, dengan kondisiku saat ini. Aku juga tahu bahwa aku tidak butuh pangeran untuk menyelamatkan hidupku. Aku bisa berusaha dengan tanganku sendiri, mencari pijakan dengan kakiku sendiri, dan menggunakan otak encerku untuk mewujudkan impianku, hidup layak dan tenang. Sudah sejak lama, aku tak bisa percaya pada laki-laki. Papa saja, yang seharusnya menjadi pelindung buat Mama dan buatku, memilih untuk pergi ketika kondisi hidup kami terus menurun. Papa pergi begitu saja ketika Mama membutuhkan kehadirannya. Mama, yang divonis dengan kanker payudar*, harus berjuang menghidupi kami berdua. Hingga akhirnya aku belajar untuk menjadi tumpuan Mama, aku belajar bertahan hidup dengan cara yang begitu keras. Papa baru datang sehari setelah Mama dimakamkan. Di mana beliau ketika Mama mencari dan mengharapkan suaminya datang dan mendampingi di saat-saat terakhir? Di mana beliau ketika aku menghadapi kedukaan dan mengurus semua pemakaman Mama seorang diri? Di mana beliau ketika banyak kerabat dan teman beliau menagih uang yang dipinjam untuk pengobatan Mama? Saat itulah aku belajar bahwa aku hanya bisa berharap pada diriku sendiri. Aku sudah lama berhenti berharap pada orang lain, terutama pada Papa. Tetapi aku terus menelan pil pahit kekecewaan. Tak ada gunanya mengharapkan orang lain. Aku menghela napas panjang. Ingatan akan peristiwa yang terjadi setengah tahun yang lalu itu masih membuatku sesak. Butuh waktu buatku membereskan semua peninggalan Mama, hingga akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mulai bekerja untuk mencapai apa yang kuinginkan, yang Mama inginkan untukku juga. Langit di luar sudah gelap. Mungkin sebentar lagi aku akan turun dan memulai perjalanan panjang pulang ke kos. Aku meneguk sisa air yang ada di cangkir. Lalu membereskan meja dan bersiap pulang. Tapi, tiba-tiba gawaiku berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal. Aku menghela napas lagi. Entah siapa lagi yang kali ini akan menerorku. “Halo?” sapaku sesopan mungkin. “Halo. Ini Febe? Ini Tante Linda. Gimana kabarmu?” Ah, Tante Linda, salah satu sepupu Papa yang sudah lama sekali tidak aku jumpai, yang selalu salah menyebut namaku. Sejak Mama sakit, dan Papa pergi, kami memang sering absen hadir di acara keluarga besar Papa. “Ya, Tante. Phoebe baik. Apa yang bisa Phoebe bantu, Tante?” “Tante dengar Febe mau cari kerja kantoran? Apa sudah dapat kerja?” Aku mulai curiga. Tak pernah berkomunikasi, tiba-tiba Tante Linda menelepon dan bertanya soal pekerjaan. Masa beliau mau membantu mencarikanku kerja? “Iya, Tante. Kebetulan Phoebe sudah dapat kerja. Terima kasih atas perhatian Tante.” “Oh bagus kalau begitu. Tante ikut senang, paling tidak kamu bisa bantu membayarkan utang papamu yang belum diselesaikan.” Ya ampun, utang apa lagi ini? Aku masih harus mencicil pinjaman uang kepada beberapa orang yang waktu itu membantu kami. Kalau hitunganku benar, aku baru bisa melunasi semua dalam waktu dua tahun, dengan catatan aku harus mengencangkan ikat pinggang agar bisa bebas sepenuhnya. Dan kini, masih ada utang Papa di Tante Linda? Sebetulnya apa yang ada di pikiran Papa? Tega-teganya beliau melakukan ini! Aku sudah tidak fokus mendengar semua penjelasan Tante Linda. Aku ingin sekali memutus sambungan telepon ini. Tetapi yang ada di pikiranku hanya wajah Mama. Aku tidak mau beban ini mencoreng nama baik Mama. Aku tidak rela Mama terus dibawa-bawa untuk urusan dunia yang sudah beliau tinggalkan. Aku ingin Mama bisa beristirahat dalam damai. “Begini saja, Tante…” Aku memutus kalimat-kalimat panjang Tante Linda yang membuatku pening. “Tolong Tante kirimkan rinciannya. Nanti Phoebe akan kabari lagi. Maaf, Tante, Phoebe harus jalan dulu. Terima kasih, Tante.” Tak menunggu jawaban, aku memutus pembicaraan itu. Kakiku rasanya lemas sekali. Jantungku berdebar kencang. Apa yang harus aku lakukan? Gawaiku berbunyi lagi. Allana. Aku mungkin belum sanggup menceritakan semua padanya, tetapi paling tidak suaranya bisa membuatku tenang, ada seorang yang menemaniku. “Halo, Lan?” sapaku dengan suara yang bergetar. “Bi, lo gak apa? lo di mana?” Aku berdeham sejenak, berusaha meningkahi debar jantung yang tidak terkontrol. “Gue masih di kantor. Kenapa, Lan?” “Bi, sori ya, gue mau tanya, lo mau cari uang tambahan? Gue tahu waktu itu lo bilang mau fokus di kerjaan aja. Tapi ini ada satu murid gue, temennya cari guru les. Anak SMA. Lo tahu gue gak sanggup kalo ngajar anak SMA. Dan kebetulan tempatnya searah kalau lo dari kantor mau ke kos.” “Gue mau, Lan,” sahutku tak ragu. Mungkin ini yang namanya nasib baik, ada jawaban dari kesulitan yang disodorkan di depan mataku. “Bener, Bi? Ya udah, gue kasih nomor lo ke orangnya ya. Nanti biar orangnya kontak lo langsung.” “Makasih banyak, Lan.” Tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Lana tak tahu betapa berarti teleponnya malam ini. Memang benar, aku harus berusaha dengan tanganku sendiri. Aku bisa berusaha dengan kekuatanku sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD