Ben hanya bisa menggeleng melihat nota yang diberikan Anton beserta kartu e-money dan kopi hitam tanpa gula yang sekarang berdiri di mejanya. Entah untung atau buntung; sejumlah uang yang ada dalam kartu itu cukup untuk membayar tagihan kopi yang cukup besar itu. Tetapi, Ben harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk kesalahan order kopi yang dilakukan Anton.
Seharusnya dia tahu pesanannya bisa tertukar, apalagi dengan berbagai detail informasi yang harus Anton ingat. Seharusnya dia bisa menuliskan pesanan di secarik kertas untuk menghindari kesalahan seperti ini. Dia tak bisa marah pada Anton. Harusnya Ben bisa mengambil langkah antisipasi. Ini bukan salah Anton sepenuhnya.
Bayangkan saja, 1 cappuccino hangat tanpa gula dan 15 es kopi gula aren kini menjadi 1 kopi tanpa gula dan 15 es cappuccino juga tanpa gula. Ben hanya bisa tersenyum masam sambil menyesap pahitnya kopi yang Anton belikan untuk dirinya. Tak apa, anggap saja ini bagian usaha untuk mendekati Phoebe.
Harapan Ben, pesanannya diantar dengan benar kepada Phoebe. Ketika ditanya, Anton hanya menjawab, “Sudah diterima Mbak Febe di lantai 22, Mas Ben.” Aduh, kepala Ben jadi pening. Dia tak bisa berkata-kata lagi. Terlebih, belum ada pesan masuk dari Phoebe. Ben juga ragu apakah dia harus mengirim pesan lebih dulu. Dia tak ingin Phoebe berpikir dirinya terlalu agresif.
Tapi, bukannya mengirim 15 es cappuccino juga bisa dianggap berlebihan?
Ben memutuskan untuk mulai bekerja saja. Ada banyak hal yang menuntut fokus dan perhatiannya. Masalah kopi sudah cukup menyita waktunya pagi ini. Mungkin dia bisa bertemu Phoebe di kantin karyawan siang nanti. Ya, dia akan makan siang di kantin saja.
Gawainya berbunyi. Pesan masuk dari Mami. Tak ingin ribet menjawab, Ben memutuskan untuk langsung menelepon Mami.
“Iya, Mi. Ada apa?”
“Sudah sampai di kantor, Ben? Tadi macet enggak? Bekal sudah dimakan? Kamu jangan biasain minum kopi pas perut kosong. Nanti kalau sakit, Mami juga yang direpotin.”
Ben hanya menyeringai. Entah apa yang merasuki dirinya hingga terpikir untuk memberikan bekal pemberian Mami kepada Phoebe. Mulutnya seperti berkata-kata tanpa perintah dan tangannya juga langsung bergerak memberikan paper bag itu pada Phoebe yang terlihat begitu manis.
“Mi, Ben bukan anak SD dikasih bekal gitu. Lagian, Mami main taruh di mobil aja. Untung Ben lihat loh, Mi. Kalau enggak, nanti sore itu bekal entah jadi apa.”
“Emang Mami sengaja, Ben.” Seruan Mami itu membuat Ben membayangkan wajah ketus bin judes sang Mami. “Sudah beberapa hari disiapin bekal di meja makan, kamu enggak bawa. Makanya tadi Mami suruh si Wati taruh di mobil kamu.”
“Pasti Mami bawain bekalnya pake kotak gambar Hello Kitty atau bunga-bunga gitu kan?” tuduh Ben dengan suara halus, berusaha tak menyinggung Mami. “Mi, apa kata dunia kalau tahu Ben Suryadjaja, GM perusahaan lulusan Singapura bawa bekal pakai kotak begitu?”
Ben hanya bisa menggeleng memikirkan obsesi Mami memiliki anak perempuan hingga ibunya itu mengoleksi berbagai pernak-pernik yang sangat feminim dan terlalu imut. Mungkin semua koleksi Mami juga sudah tak cocok untuk perempuan dewasa. Lebih sesuai untuk anak perempuan yang masih duduk di bangku SD.
“Yang penting kan isinya, Ben. Enak, sehat, dan bergizi.”
Kalau sudah begini, Ben tidak bisa lagi berkata-kata. Mami selalu menang. Sebagai ratu di rumah, tidak ada yang berani melawan perkataan Mami, tidak ada yang bisa menandingi omelan Mami. Apa lagi kalau Mami sudah mengeluarkan senjata pamungkasnya: air mata. Dijamin Papi dan ketiga putranya tak mampu berkutik.
“Mi, sudah dulu ya. Ben ditunggu klien.” Ini usaha terakhir Ben. Kalau Mami tidak juga berhenti, entah apa lagi yang bisa dia jadikan alasan untuk mengakhiri pembicaraan ini.
“Iya, sana. Kerja yang bener. Jangan lupa nanti makan siang. Awas kalo kamu makan nasi padang lagi ya,” ancam Mami sebelum akhirnya mengakhiri panggilan telepon itu.
Ben menghela napas lega. Kembali ke kota kelahiran, pulang dan tinggal seatap bersama Mami, selalu memberi warna buat hari-harinya. Di satu sisi Ben ingin protes; dia bukan lagi anak SD yang perlu dipantau dan terus diatur oleh Mami. Tetapi, di sisi lain, Ben sebenarnya menikmati curahan perhatian Mami yang selama ini tidak dia rasakan selama studi di Singapura.
Diambilnya cangkir kertas kopi dan disesapnya perlahan. Pahit! Ben mengernyit. Walau sering memesan cappuccino tanpa gula, Ben tidak begitu familier dengan rasa pahit kopi hitam. Ah, ini harga yang harus dia bayar untuk satu langkah lebih mengenal Phoebe.
Sejujurnya, secara fisik, boleh dikatakan tidak ada yang istimewa dari penampilan Phoebe. Perempuan itu tidak mengenakan make up yang berlebihan. Ben masih bisa melihat bibir yang sedikit lembab dan rona di pipi Phoebe. Tapi, rona itu bisa jadi karena sikap malu-malu yang perempuan itu tunjukkan setiap kali Ben mengajaknya bicara. Ben jadi merasa tersanjung mendapat reaksi yang begitu menggemaskan dari perempuan itu.
Phoebe tidak imut seperti banyak tokoh di film yang mengisahkan sang laki-laki yang tinggi jangkung dan sang perempuan yang perawakannya kecil sehingga mudah digendong atau dibopong. Tinggi Phoebe cukup standar, malah cenderung lebih tinggi dari rata-rata perempuan. Ben bisa menatap mata Phoebe dengan nyaman tanpa harus menundukkan kepala.
Cara Phoebe berpakaian juga cenderung sederhana. Tidak ada pakaian bermerek. Tidak ada rok mini atau kemeja yang sangat ketat hingga menampilkan lekuk tubuhnya. Sederhana tetapi rapi. Seakan Phoebe ingin menampilkan diri apa adanya. Dan semuanya terlihat pas di mata Ben.
Lantas, apa yang menarik dari seorang Phoebe? Ben pun tak tahu. Hingga sekarang, Ben belum benar-benar mengenal Phoebe; apa yang dia sukai dan tidak, bagaimana kepribadian, sifat, dan perangainya, dan banyak hal lain yang masih belum Ben ketahui. Ben sungguh ingin mengenal gadis itu. Tetapi, hingga saat ini, Phoebe belum juga menunjukkan tanda-tanda membuka diri pada Ben.
Mungkin Ben terpesona dengan mata hitam pekat yang penuh dengan determinasi itu. Cara Phoebe menjawab dan mengajukan pertanyaan selama sesi perkenalan yang lalu membuat Ben sedikit bisa menebak bahwa dia gadis yang cerdas. Ada keteguhan hati yang membuat gadis itu berjuang mati-matian untuk sesuatu. Entah apa itu.
Mungkin juga Ben terpana dengan kebaikan hati Phoebe pada dirinya, seorang yang asing dan belum dikenal siapa pun pagi itu. Mudah bagi orang untuk bersikap baik dan menawarkan banyak bantuan ketika mengetahui siapa Ben, jabatan, dan reputasi yang membawanya ke kantor ini. Tetapi, dibutuhkan kebesaran dan kemurahan hati dari seorang Phoebe untuk memastikan pintu lift tetap terbuka, bahkan membantu mengangkat bawaan seorang laki-laki asing yang tak jelas rimbanya.
Ben hanya tersenyum setelah memproses semua pemikirannya tentang gadis istimewa bernama Phoebe. Semua bayangan Phoebe membuat Ben bersemangat mengerjakan tugas-tugasnya. Dia meraih sebuah map yang berada di puncak tumpukan tugasnya. Ah, saran dan kritik dari karyawan. Bagian yang menarik tetapi juga penuh jebakan.
Sebagai seorang GM, Ben perlu memastikan kesejahteraan karyawan agar mereka dapat bekerja dengan optimal dan loyal kepada perusahaan. Tetapi, dia juga berperan sebagai wakil dari perusahaan yang harus mengawasi agar peraturan ditegakkan sesuai dengan tujuannya dan kinerja karyawan dapat ditingkatkan tanpa memberi ruang untuk bersikap seenaknya atau semena-mena.
Matanya memindai baris demi baris laporan hasil pertemuan dengan para kepala divisi dan berusaha membandingkannya dengan survei yang disebar kepada seluruh karyawan. Setiap membaca masukan yang baik dan menarik, tanpa sadar Ben manggut-manggut. Pandangan Ben kemudian terpaku pada masukan di bagian bawah tabel yang dibacanya.
Kalau digambarkan sebagai komik, mungkin sudah muncul bola lampu yang menyala tepat di sebelah kepala Ben. Senyum lebar terbit di wajah laki-laki itu. Sebagai seorang GM baru, tentu dia harus membuat langkah taktis untuk melakukan tugasnya. Dan tidak ada salahnya kalau langkah itu membawanya lebih dekat pada sang gadis pujaan kan?