“Mas Ben!” seru suara gadis yang berlari menyambut Ben bahkan sebelum dia melangkah melewati ambang pintu utama rumah.
Ben tersenyum lebar. “Hai, Eva!” Ben memeluk gadis berusia 15 tahun itu. Setelah mengurai pelukan, Ben mengamati gadis itu dari atas kepala hingga ujung kaki. “Aduh, adik Mas Ben udah gede begini. Udah punya pacar ya?” goda Ben yang disambut dengan kekehan gadis itu.
“Jangan keras-keras, Mas. Nanti aku dimarahin Ayah,” jawab gadis itu berbisik.
Ben membiarkan gadis itu memeluk lengannya dan berjalan berdampingan masuk ke dalam rumah. Makin dekat, riuh percakapan terdengar makin jelas.
“Bunda,” sapa Ben pada perempuan yang duduk di sofa paling dekat dengan posisinya sekarang. Seakan sudah paham, Eva melepas lengan Ben, membiarkan laki-laki itu mendekati sang Bunda.
“Ben, kamu makin ganteng aja,” puji Bunda Melissa yang memeluk erat Ben.
“Bunda yang gak berubah, tetep cantik gak berkurang sedikit pun.”
Bunda Melissa menepuk lengan Ben dan membiarkan laki-laki itu mendekati suaminya, yang duduk persis di sampingnya.
“Ayah,” sapa Ben yang kini memeluk erat Ayah Ryan. “Sehat, Yah?” Ben kini duduk di tempat kosong samping Ayah.
“Sehat dong.” Ayah Ryan tersenyum dan menepuk-nepuk kedua lengan Ben. “Ayo, kapan main golf bareng. Ayah perlu saingan yang setara.”
“Kayak Ayah menang aja kalau main sama aku,” timpal Cole, adik Ben, yang duduk di sebelah Mami.
“Loh, ya kan Ayah butuh tantangan. Ayah sudah hafal gaya mainmu sama papimu. Pengen tahu ini bocah satu mainnya gimana sekarang.” Ryan menepuk pundak Ben sambil tertawa.
Senyum terulas di wajah Ben. Rasanya sudah lama dia tidak merasakan hangatnya berkumpul seperti ini.
Papi, seperti biasa, akan duduk di sofa dengan fasilitas pijat miliknya. Sofa itu seperti singgasana Papi yang tidak boleh diduduki siapa pun, khususnya bila Papi ada di rumah. Sesekali Papi mengizinkan Mami duduk di sana. Pernah juga, suatu kali Ben memergoki Mami duduk di pangkuan Papi. Ah, kadang Papi memang tak tahu malu, mengumbar kemesraan di depan ketiga anak laki-lakinya.
Di samping sofa singgasana Papi, ada sofa panjang tempat Mami duduk bersama Cole. Lalu ada Ayah Ryan dan Bunda Melissa, keduanya sahabat dekat Papi dan Mami yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Seingat Ben, mereka lebih sering pergi berlibur bersama keluarga Ayah Ryan dan Bunda Melissa, ketimbang dengan Om Rama –kakak Mami, Tante Mita, dan ketiga kakak sepupu Ben.
Eva, anak bungsu Ayah dan Bunda, masih berdiri di tempatnya. Karena jarak umur yang cukup jauh, sejak Eva lahir Ben sudah diberi tugas menjaga gadis itu. Eva seperti adik bungsu dari keluarga mereka, yang dimanja dan dilindungi dengan sangat ketat.
“Loh, Drew sama Ana mana, Mi?” Ben heran tak menemukan Anabelle, putri sulung Ayah dan Bunda, dan Drew, adik bungsunya, di ruang tengah rumahnya.
Mami berdiri dari tempatnya duduk. “Ada di kamar Drew. Ana lagi bantu Drew kerjain PR tuh. Coba kamu panggil, Ben. Kita mulai aja makan malamnya.”
Ben mengangguk, lalu menggandeng tangan Eva menuju kamar Drew yang ada di lantai 2. Sambil meniti tangga, Ben mendengarkan Eva bercerita tentang teman sekelasnya yang mendekati dirinya.
“Kamu tuh masih kelas 9. Lebih baik fokus belajar dulu. Mau ujian juga kan? Mas tahu, walaupun enggak ada UNAS lagi, kamu tetep ada ujian sekolah kan?”
“Apa tuh UNAS, Mas?”
Ben terkekeh. “Itu loh, ujian kelulusan. Dulu waktu Mas SMA, sebutannya UNAS. Kamu sekarang apa? Asesmen apa gitu kan?”
Eva mengangguk. Ketika mereka sudah ada di lantai dua, Eva menarik Ben dan berbisik di telinga laki-laki itu. “Tapi cowok itu ganteng, Mas. Baik lagi.”
“Ganteng mana sama Mas?”
Cekikikan, Eva menjawab, “Mas Ben udah tua. Cowok itu kan masih muda.”
Ben mencubit pipi Eva gemas. “Bawa ketemu Mas sini. Mas pengen tahu siapa sih yang berani deketin adik Mas yang paling cantik ini.”
Mereka tiba di depan pintu kamar Drew. Ben mengetuk lalu membukanya perlahan. “Drew, Na, dipanggil Mami turun. Kita mau makan.” Melihat kedua orang yang ada di dalam kamar sudah beranjak dari meja belajar Drew, Ben mengajak Eva turun.
Tak lama, mereka sudah mengelilingi meja makan. Seiring dengan pertumbuhan anak-anak, Mami sengaja mengganti meja makan ke ukuran yang lebih besar. Impian Mami, akan ada cukup tempat untuk semua menantunya ketika berkumpul kelak. Dan pemikiran itu terbukti benar, walau Mami belum punya menantu. Selalu ada cukup tempat untuk keluarga besar mereka berkumpul.
Ben melihat berbagai macam makanan yang sudah tersaji di atas meja. Tetapi matanya tertuju pada kepiting saus padang kesukaannya. Ben yakin Mami memasak makanan yang disukai oleh semua orang yang mengelilingi meja ini. Tetap saja Ben terharu Mami ingat makanan favoritnya dan menjadikan kepiting itu sebagai salah satu menu malam ini.
“Jadi, kamu sudah punya calon, Ben?” tanya Ayah, setelah mereka selesai makan malam, dan menikmati es krim yang disajikan Mami dan Bunda.
Ben menggeleng sambil tersenyum. “Belum, Yah. Tapi lagi deketin satu cewek.”
“Ini beneran kamu enggak mau jadi mantu Ayah aja?”
“Ayah!” Suara Ana terdengar ketus. “Udah deh, enggak usah jodoh-jodohin aku sama Mas Ben.”
“Ayah enggak bilang mau jodohin kamu sama Ben loh. Kamu kok geer?” goda Ayah Ryan pada Ana yang cemberut.
“Hon, kamu tuh ya, godain anak terus. Nanti kalo Ana ngambek, kamu kelimpungan sendiri,” tegur Bunda yang sudah menggeser mangkuk es krim Ayah dan menukarnya dengan segelas air minum.
Ben tertawa kecil. “Tenang, Yah. Masih ada satu ini yang bisa jadi mantu Ayah,” sahut Ben sambil melirik pada Cole yang duduk di sebelahnya.
“Aku enggak mau sama berondong.” Ana masih saja tidak terima.
“Eh, aku cuma lebih muda 6 bulan dari kamu, enggak bisa masuk kategori berondong. Lagian siapa yang mau sama kamu?” sahut Cole yang sama tak terimanya.
Percakapan mereka terus berlanjut dan berlangsung begitu riuh. Eva dan Drew yang biasanya hanya diam, karena jarak umur mereka yang cukup jauh, juga ikut meramaikan dan menyemarakkan percakapan malam ini.
Ben terdiam dan tersenyum amat lebar. Rasanya dia begitu gembira bisa merasakan kembali hangatnya keluarga mereka. Sesuatu yang dia rindukan selama studi di luar negeri. Dan kini, dia sudah kembali pulang. Berharap, dia juga segera punya seseorang tempat hatinya pulang dan menetap.
–
Rudi sedang menjelaskan beberapa hal yang ditanyakan Ben. Dia menyodorkan berkas-berkas yang perlu ditinjau dan dipelajari oleh Ben sebelum menghadiri meeting dengan beberapa kepala divisi.
“Proposal buat gathering karyawan sudah, Rud?” tanya Ben yang sedang menandatangani sebuah dokumen.
“Masih proses. Besok gue kasih. Oh ya, siang ini gue bakal enggak ada di tempat. Jadi, kalau lo butuh sesuatu, gue bisa bantu sampai sebelum makan siang.”
“Lo mau ke mana?” tanya Ben heran.
Rudi berdecak dan menggeleng. “Kemarin gue udah bilang kan, ada Mega Career Expo. Nanti gue antar Bu Shinta untuk cek anak-anak HRD yang tugas di sana.”
Mengangguk, Ben baru ingat bahwa kemarin Rudi sempat menjelaskan tentang acara ini dan bahwa tim HRD akan bergantian berjaga di sana. Tiba-tiba, terlintas sebuah ide di kepala Ben.
“Eh, siapa aja yang jaga di Expo?”
Rudi menyipitkan mata, lalu tanpa melepas pandangan, mengetuk di atas kertas yang terletak di meja Ben, persis di hadapannya.
“Gue curiga lo gak beneran baca berkas-berkas yang gue kasih.”
Ben tertawa lepas. “Kelewatan, Bro. Kalau gak percaya, coba lo tes, gue pasti inget tuh berkas-berkas isinya apa aja,” jawabnya sambil mengedikkan dagu ke arah setumpuk map yang ada di sudut mejanya.
Setelah itu, Ben memeriksa tabel yang berisi data nama para staf HRD yang harus berjaga di Expo. “Lo balik kantor jam berapa?” tanyanya dengan pandangan yang masih terpaku pada kertas itu.
“Kayaknya enggak bakal lama. Menurut pengalaman, Bu Shinta biasanya cek sana-sini, begitu semua beres, beliau minta balik sih.”
Ben mengangguk. “Oke. Nanti sore gue keluar kantor lebih awal buat cek kondisi di sana.”
Rudi menatap Ben dengan pandangan keheranan. “Lo mau ngapain ke sana?”
“Perlu nanya?” Ben bersidekap dan balas menatap Rudi. “Ya, gue perlu tahu kondisi di sana lah. Kalau Pak Salim ada nanya, gue bisa jawab gitu loh.”
“Gue tetep enggak bisa percaya lo ke sana cuma buat tahu kondisi.”
“Ya, lo emang gak harus percaya sih. Udah keluar sono. Katanya kerjaan banyak,” sindir Ben sambil mengipaskan tangan, memberi tanda untuk mengusir Rudi.
Rudi berbalik, tetapi beberapa kali menoleh kembali ke arah Ben dan menatapnya dengan pandangan yang penuh curiga. Melihat kelakuan teman sekaligus asistennya itu, Ben hanya bisa tertawa.
Tetapi, segera setelah pintu ruangannya tertutup, Ben mengambil gagang telepon interkom dan menekan beberapa tombol nomor di sana.
“Anton, ke kantor saya sekarang. Ada tugas mulia buat kamu.” Ben tersenyum lebar sambil memutar kursi kerjanya ke kanan dan ke kiri. “Yak, segera ya. Makasih, Ton.”
Ben menutup telepon lalu makin menyandarkan punggungnya ke kursi. Dengan dua tangan yang terlipat tepat di atas perut, Ben bersiul dan tersenyum lebar.