Cuaca dingin pagi itu sudah terangkat sedangkan cahaya matahari sudah mulai terik, di sekitar kolam renang, ada banyak sekali jejak-jejak air yang mulai mengering, Juga ada sejoli yang sedang duduk mematung tak jauh darinya.
Angel menatap nanar dua benda pipih yang kini basah kuyup di hadapannya, yang beberapa saat yang lalu berusaha untuk dia nyalakan tapi tidak berhasil.
"Ehem ... Kita saat ini sedang honeymoon, liburan. Kenapa kau masih membawa ponselmu ke mana-man, ehem ... " Kriss cepat-cepat membuang muka begitu Angel mendongak ke arahnya, menatap ke segala arah asalkan tidak pada gadis itu.
"Karena itulah mendorong orang sembarangan ke dalam air itu tidak disarankan, bahkan saat menghadiri pesta kolam renang, mereka akan memastikan tidak mendorong orang yang terlibat membawa benda elektronik, atau benda-benda yang bisa rusak saat terendam air." Suara Angel terdengar sabar, tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Dan lagi, bagaimana kalau aku tidak bisa berenang?"
"Kan ada aku, aku tidak mungkin membiarkanmu tenggelam."
"Apakah itu inti pembicaraannya saat ini?"
"Tidak." Kriss melirik, mamatai penampilan basah gadis di hadapannya dan berbisik. "Marah?"
Angel langsung mendelik tajam, tapi alih-alih takut, pandangan Kriss justru semakin bersemangat. Jadi Angel melakukan hal yang paling sering dia lakukan semenjak Kriss mulai berulah, yaitu menarik tapas dan menghembuskannya. "Sudahlah, lagi pula benda ini bisa diganti, aku hanya tidak tahu apakah semua data di dalamnya bisa diselamatkan."
Angel meraih dua ponsel pintarnya yang sudah tidak bisa digunakan itu dan bangkit, memastikan tidak ada banyak tetesan air lagi dari tubuhnya dan berjalan ke dalam rumah.
Kriss mengekori. "Bagaimana? Kau tidak marah?"
"Kau ingin aku marah?"
"Ya, bukankah di saat seperti ini sangat wajar untuk marah."
Angel menghela napas lagi. "Aku marah juga tidak bisa mengembalikan ponselku."
Kriss berhenti berjalan, menatap punggung Angel hingga menghilang dari ujung tangga sebelum berbalik ke ruangan lain untuk mandi.
Kemudian, mungkin karena rasa bersalah, hari itu Kriss tidak membuat masalah lagi, bahkan membantu Angel membersihkan pekerjaannya di ruang tamu yang sempat tertunda.
Tapi, bukan berarti Kriss menyerah.
Saat makan siang, pria itu masih makan dengan sangat berantakan, mengganggu pemandangan Angel dan menatapnya dengan mata lebar penuh harap.
Angel akhirnya tidak sabar dan meletakkannya sendoknya. "Bisakah kau berhenti?"
"Apa?"
"Berhenti bersikap seperti ini."
"Kenapa?"
"Kita akan menjadi pasangan suami istri mulai sekarang, bukankah terus menerus membuat masalah sangat melelahkan?"
"Tidak melelahkan."
Wajah Angel berubah. "Jadi sampai kapan kau mau melakukannya?"
"Sampai kau menghapus topeng yang kau pakai."
"Topeng?" Angel mendengus pelan. "Tidak masuk akal."
"Hehe, lihatkan? Topengnya mulai pecah." Kriss bermain-main dengan sendoknya. "Kau tahu sendiri aku paling ahli membuat orang kesal."
Angel mengepal. "Sebenarnya untuk apa kau melakukannya?"
"Hn?"
"Bukannya kalau aku bersikap seperti ini, kehidupan pernikahan kita bisa lebih harmonis hingga kontraknya berakhir."
"Tidak mau."
"Kenapa?"
Kriss mengangkat pandangannya dari makanan dan menatap Angel, tatapan itu adalah tatapam serius pertama yang Kriss perlihatkan semenjak dia berusaha untuk terus menerus membuat Angel marah. "Aku hanya tidak suka."
Omong kosong!
Angel memutuskan untuk berhenti bertanya, lagi pula lunatik seperti Kriss tidak bisa diajak berdiskusi, hanya akan menambah sakit kepala dan naik darah. yang perlu dia lakukan hanya bersabar hingga pria itu bosan dan berhenti sendiri.
Kriss selesai makan dengan lahap, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan bersendawa dengan keras. "Terima kasih makanannya."
Angel mengerutkan kening dan mengumpulkan semua peralatan makanan kotor untuk dicuci.
Angel pikir Kriss akan meninggalkan ruang makan setelah itu, tapi entah apa yang sedang pria itu rencanakan dengan tetap di meja makan dan menonton punggungnya dengan sangat intens.
"Strawberry, mangga dan nanas, rasa mana yang paling enak?"
Gerakan Angel seketika berhenti, bersamaan dengan bau manis es krim yang mulai bertebaran di sekitar hidungnya.
Melihat itu, Kriss menyeringai lebar dan lebih semangat lagi mengambil salah satu cup es krim dari freezer, menyendoknya banyak-banyak dan memasukkannya ke dalam mulut. "Waaahhh, enak sekali. Ternyata rasa Vanila ... Um? Mau?" Kriss menawarkan sendoknya ke arah Angel yang sudah berbalik.
Tapi tatapan Angel sepenuhnya tertuju pada cup es krim di tangan Kriss, dengan raut tak terbaca.
"Tidak mau? Ya sudah, aku makan sendiri." Kriss menyendok es krim lebih banyak lagi ke dalam mulutnya, mendesah lega dan melemparkan cup yang kosong ke tong sampah. "Sekarang, ayo kita coba rasa lain lagi."
Kriss menatap freezer yang penuh dengan berbagai macam es krim dan mengulurkan tangan ke salah satunya dengan kemasan kuning ketika melihat bayangan seseorang terlihat mendekat dari ujung matanya.
Kriss menoleh dan langsung berhadapan dengan tatapan tajam Angel.
Kriss mematung selama beberapa saat, menelan ludah sebelum memaksakan senyum. "Oh? Berubah pikiran?" Dia menarik tangannya kembali.
"Jangan. Menyentuh. Es. Krimku!"
Kriss melangkah mundur, tapi sebelum dia bisa menghindar, Angel sudah menangkap rambut tipis di pelipisnya dan menariknya ke atas dengan keras.
"Ahh!" Tubuh tinggi Kriss langsung membungkuk demi mengurangi tarikan. "Angel! Angel! Sakit!"
"Sepertinya, kau sudah lupa pelajaran yang pernah aku berikan ya?"
"Tidak ...
Tapi Kriss sama sekali tidak diberi kesempatan untuk melakukan perlawanan ketika Angel melompat ke punggungnya, mengikat pinggang pria itu dengan kedua kaki, memanjat hingga kepala mereka sejajar dan menggigit daun telinga pria itu.
"Angel! Ahh! Sakit, sakit!"
Kekacauan terjadi, Kriss berteriak sangat keras dan berputar-putar di dapur dan ruang makan, berusaha untuk menurunkan gadis yang menempel seperti perangko dan menggigit telinganya.
"Ahhh!"
Saat itu, keadaan seolah tumpang tindih dengan masa lalu, hanya saja dengan dapur dan ruang tamu yang jauh lebih sederhana, dengan dua remaja yang penuh semangat muda dalam posisi yang sama, masih dengan pria yang berteriak kesakitan, tapi dengan kedua tangan yang senantiasa menjaga agar gadis yang menyerangnya tidak jatuh dari punggungnya selama dia berlari dan berputar.
Beberapa saat kemudian, keadaan dapur sepenuhnya berantakan, sedangkan kedua pelakunya duduk saling berdekatan di sofa ruang tamu.
Kriss menatap tv yang tidak menampilkan apa-apa dengan wajah masam dan tangan bersedekap, merajuk. Sedangkan Angel dengan kotak P3K di pangkuannya, sedang mengoleskan obat ke bekas gigitan memerah di telinga Kriss sembari sesekali meniupnya pelan.
Angel menatap sisi wajah pria di hadapannya yang semenjak beberapa saat yang lalu tidak memberinya sedikitpun lirikan dan menahan senyum. "Kenapa marah? Bukankah ini yang kau inginkan dengan terus memprovokasi ku?"
"Tapi siapa yang menyuruhmu menggigit begitu keras? Telingaku hampir putus!" Kriss akhirnya menoleh, dengan tatapan penuh keluhan.
Tapi Angel justru tertawa dan mendorong wajah pria itu ke depan kembali demi melanjutkan pengobatan. "Jangan berlebihan, telingamu bahkan tidak berdarah."
"Jadi kau berharap telingaku berdarah!"
"Mau bagaimana lagi? Kemarahanku selama beberapa hari terakumulasi dan akhirnya aku tidak bisa menahan diri." Angel menutup kotak P3K dan meletakkannya ke meja. "Lagi pula siapa yang menyuruhmu menyentuh es krimku? Padahal dari semua orang, kau sudah merasakan kemarahanku karena hal yang sama sebelumnya."
Kriss spontan menoleh, menatap dengan mata yang jauh lebih tajam, tapi juga intens.
Angel tiba-tiba merasakan bahaya. "Apa?"
Ujung bibir pria itu terangkat. "Balas dendam." Tanpa menunggu reaksi dari Angel, Kriss meraih pinggang gadis itu dan menariknya, membuka kaki si gadis agar duduk di atas pangkuannya. "Aku tidak bisa membalas dengan cara yang sama, tapi aku bisa membutmu menangis dengan cara yang lain."
"Kriss-
Angel tidak diberi kesempatan untuk berbicara, karena bibirnya sudah dibungkam dengan ciuman panas, tidak kalah panas dengan tubuh dan tangan si pria yang menjalar di tubuhnya.