Mengerjakan pekerjaan berulang memang semembosankan itu, itulah mengapa aku kekeh ingin bekerja di line depan yang berhubungan langsung dengan orang lain. Ku pikir, jika pekerjaan itu dilakukan karena cinta hasilnya akan beda, ternyata sama saja. Lebih parahnya, karena kegiatanku berkutat di dalam rumah saja.
Beberes rumah, cuci mencuci, masak memasak, lama-lama membosankan. Hanya kebun lah satu-satunya aktivitas yang masih aku senangi. Aku suka ketika melihat sebaran air yang kusiram ke atas tanaman, menyentuh permukaan daun tanaman yang kencang dan segar, kemudian memperhatikan tiap perkembangan kuncup. Tamanku semakin rimbun dan hijau. Sebenarnya aku tertarik ingin mencoba menanam sayur dengan metode hidroponik, tapi harga perangkatnya sangat mahal.
Setiap hari aku punya waktu khusus untuk taman kecil depan rumah, aku mengisinya dengan tanaman hias yang aku beli. Untuk yang satu ini, ternyata lebih sulit dari perkiraan. Meski aku sudah membeli media tanam khusus, mengikuti tips-tips dari internet, sering kali tanamanku mati dalam pot.
Aku sedang menyirami tanamanku, ketika mobil Pandu memasuki carport. Aku lantas meletakkan selang dan menyambutnya. Pandu tahu apa yang harus dia lakukan sebelum mendekatiku, dia harus mencuci tangan terlebih dahulu di keran yang sudah kusediakan sabun.
Mood Pandu sepertinya sedang tidak bagus, dia hanya mencium pipiku sebelum masuk ke dalam rumah. Aku menunggu dia selesai bersih-bersih di kamar mandi, begitu dia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, aku langsung menyodorkan handuk kecil bersih. Pandu menggunakan handuk itu untuk menggosok-gosok rambutnya.
"Mau makan sekarang nggak, Yang?" tanyaku. "Aku masak Chicken Teriyaki nyontek resepnya Willgoz. Enak banget."
"Nanti aja." Pandi menghempaskan tubuhnya duduk di tepi tempat tidur.
Aku mengambil alih handuknya untuk mengerinkan rambut, agar Pandu bisa segera rebahan. "Capek banget, ya?"
"Fisik enggak, batin iya." Pandu melingkarkan tangannya di sekitar pinggangku yang berdiri di depannya, pipi Pandu dtempelkan di perutku. "Outlet ternyata nggak bisa bertahan, Yang," beritahunya.
"Semua cabang?"
Aku menundukkan kepala melihat kepala Pandu mengangguk. "Customer makin hari makin sedikit. Sebelum aku pulang tadi, sales outlet nggak sampai sejuta. Daripada kerja rugi tiap hari, pusat mutusin buat tutup sementara."
Aku bisa mengerti, siapa juga yang mau berlibur di tengah kecemasan kesehatan. "Ya udah, anggap aja istirahat. Selama ini, kan, kamu udah kerja keras. Jadi kamu lesu karena itu?"
"Bukan, karena itu sebenarnya udah kami prediksi cuma kita nekat terus operasi biar karyawan bisa tetap kerja."
"Terus?"
"Nggak ngerti dapat bocoran dari mana, karyawan ternyata udah pada tahu kalau kita mau tutup, padahal aku baru mau ngumumin lusa. Mereka nangis di office, nanya nasib mereka gimana. Aku sedih nggak bisa bantu banyak karena nasib aku pun di tangan perusahaan, kan?"
Gosokan handuk di kepalanya kuganti dengan elusan lembut. "Mereka cuma syok, Yang. Lama-lama mereka juga pasti ngerti kalau apa yang mereka alami, juga dialami puluhan ribu orang lain."
"Coba kamu ada di office tadi, kamu pasti akan ngerasa aku kayak habis pecat masal karyawan."
"Nggak boleh ngerasa gitu, Yang. Mending mikir yang positif-positif aja biar pandeminya cepat selesai. Berarti kapan kamu terakhir kerja?"
"Sehari sebelum nyepi."
"Pas seminggu lagi berarti, ya?"
Kurasakan kepala Pandu kembali mengangguk. Aku mendorong kepalanya, menjauhkan dari perutku. "Udah ah, ayo semangat. Semoga Mei semuanya udah mulai normal keadaannya."
Pandu mendongak menatapku. "Kita honeymoon aja kali ya, Yang? ke Lombok atau Sumba gitu?"
"Ngaco." Jelas-jelas kami tidak punya budget untuk honeymoon sampai ke luar kota. Paling-paling cuma bisa staycation saja di Ubud atau sekitar Uluwatu. Ya, siapa yang nggak mau honeymoon. Kami tidak merencanakan honeymoon karena selain budget juga karena Pandu tidak bisa meninggalkan pekerjaan lama-lama. Setelah akhirnya kami punya waktu, memang sayang sekali rasanya kalau tidak dimanfaatkan untuk liburan.
Pandu terkekeh pelan, aku terpekik saat Pandu menyentak tubuhku berbaring dengannya. Kusabet pelan dadanya dengan handuk. "Yang, rambut kamu masih basah."
"Kalau kayak gini nggak apa-apa, kan?" Pandu membalik posisi, kini kepalaku yang menyentuh kasur, sementara dia mengungkung tubuhku di atas. "Apa boleh buat, kita kayaknya honeymoon di rumah aja."
Aku menahan senyum geli, lantas mengalungkan tangan di lehernya. "Asal sama kamu, di mana aja rasanya kayak honeymoon."
Pandu tersenyum dan menyentuhkan ujung hidung kami. "Nah, itu poinya."
***
Sudah tanggal 5 lagi, hari ini uang di rekening Pandu secara otomatis akan terpotong 3 juta untuk membayar cicilan hutang kami bulan ini. Sudah tiga bulan uang di rekening itu terus diambil dan diambil tanpa sekali pun ada pemasukan. Aku tidak berani mengecek sisa saldonya lantaran takut menghadapi kenyataan bahwa kami sedang diambang kebangkrutan.
Pandu bukannya berpangku tangan, dia sudah coba cari kerja setelah dua bulan full menganggur. Perkembangan Covid hingga bulan Juni ini semakin tidak jelas solusi dan kebijakannya, membuat kami pesimis ini akan berakhir di bulan Agustus.
Kulirik Pandu yang masih bergelung nyaman di bawah selimut, padahal ini sudah hampir tengah hari. Pengangguran membuat gaya hidup Pandu berantakan. Tidak ada olahraga di pusat kebugaran setidaknya seminggu sekali, jarang minum air putih, dan makan tidak di jam teratur. Belum lagi kebiasaan begadang hingga menjelang pagi hanya untuk main game atau nonton film.
"Pandu," aku menggoyangkan badan Pandu pelan. "Ndu, bangun dulu. Kamu mesti lihat sesuatu."
Pandu menggeliat lantaran tidurnya terusik, matanya terbuka dan langsung menatapku keberatan.
"Bangun, yuk,"
"Apa apa?"
"Kamu bangun dulu."
Pandu mendecakkan lidah keras. "Ini udah bangun,"
Aku menghela napas panjang. Baiklah. Aku mengeluarkan stik kecil dari kantong celana tidurku, dan menyodorkan itu ke Pandu. Mata Pandu yang semula hanya terbuka setengah, sekarang terbuka sempurna. Aku tidak perlu menjelaskan benda apa ini karena sepertinya dia sudah mengerti.
"Hamil, ya?" tanyanya memastikan.
Aku mengangguk sekali. Lantas dia menelusupkan tangannya di sela rambutku dan mendekatkan wajahku ke arahnya, Pandu mencium keningku lumayan lama tanpa ada sepatah kata. Membuat aku kesulitan meraba dia senang atau kecewa sebenarnya.
Pandu menjauhkan bibirnya dari keningku dan memberiku senyum simpul. "Dijaga, ya, sekarang badannya bukan milik kamu sendiri," ujarnya terdengar memaksakan diri.
"Kamu senang aku hamil?"
"Senang, dong. Kita ingin cepat menikah salah satunya karena itu, kan?"
Pandu benar. Kami tidak menunda rencana kehamilan begitu menikah, kami sangat menginginkan anak segera hadir dalam kehidupan kami. Lima tahun rasanya sudah cukup bagi kami menikmati masa-masa pacaran.
"Aku sebenarnya takut," cicitku pelan. "Dalam keadaan kayak gini, aku takut nggak bisa ngasih yang terbaik buat anak kita."
Pandu kembali memelukku, dia tidak mengatakan apa-apa karena sepertinya apa yang aku pikirkan juga menjadi kegelisahannya hingga kegembiraannya seperti ada yang menahan. Persis seperti yang sedang aku rasakan.
"Jangan takut, mikir yang positif-positif aja. Aku yakin pasti ada jalan. Habis ini kita periksa, ya?"
Getaran ponsel yang kupegang menyita perhatian kami, mendapati nama Ibu di layar, aku menegakkan dudukku untuk menjawab telepon itu. Belum sempat aku mengucap salam, suara Ibu terdengar lebih dulu, "kata Wiwin kamu mau jualan donat. Bener?"
Kubawa tubuhku menjauh dari Pandu, sepertinya pembicaraan ini akan jadi serius. "Nyoba-nyoba aja, Bu. Siapa tahu enak."
"Jadi beneran kamu mau jualan?"
"Belum tahu, tapi pas lebaran kemarin aku kirim ke teman-teman, mereka pada bilang enak. Ya, kenapa nggak aku coba jual, kan?" jelasku. Entah bagaimana pembicaraanku dengan Mbak Wiwin, sepupuku yang punya usaha toko kue. Mbak Wiwin menyarankan kenapa aku nggak coba jual saja, daripada tidak ada kegiatan di rumah.
"Suami kamu memangnya belum kerja sampai kamu kepikiran jualan donat segala?"
"Balum." Berat sekali harus menjawab pertanyaan berulang dengan jawaban belum ada perubahan, namun itu bukan sesuatu yang bisa kututupi. Memang kenyataannya Pandu belum bekerja lagi.
"Tuh, lihat, kerjaan yang dulu kalian bangga-banggakan. Yang katanya nggak akan pernah ada sepinya lah, bonusnya banyak lah, uangnya dollar lah. Lihat sendiri, kan. Nggak ada kerjaan yang lebih enak kecuali PNS. Kondisi apa pun gajinya jelas, masa tua jelas."
Aku mendesah lelah, "Bu, jangan mulai lagi. Aku nggak akan nyesel sama pilihan aku, berapa kali pun Ibu ngomong begitu."
"Iya, sekarang kamu belum nyesel karena masih punya tabungan. Nanti kalau tabungan kamu udah habis dan suamimu belum juga kerja, kamu mau makan pakai apa?"
"Bu..."
"lihat itu Mbakmu, kliniknya mau pindah ke tempat yang lebih besar. Suaminya mau naik pangkat. Kemarin Ibu dibelikan gelang rantai 5 gram. Coba kalau kamu nurut apa kata Ibu, pasti sekarang kamu udah enak jadi istrinya Fahri meskipun nggak kerja."
Aku tidak bisa bayangkan apa jadinya jika sekarang Ibu kuberitahu aku sedang hamil, entah kata-kata apa lagi yang akan dia berikan padaku. "Iya, sekali lagi aku maaf udah nggak nurut sama Ibu dan belum bisa beliin Ibu apa-apa lebaran kemarin. Sekali lagi juga aku minta Ibu buat hargai pilihan aku."
"Halah, kamu dari dulu ngomongnya hargai-hargai, tapi nggak ada yang bener. Jangan terlalu keminter, Nin. Nggak ada Ibu yang mau anaknya susah, kalau Ibu nyuruh sesuatu, artinya itu buat kebaikan kamu.Ibu yang ngandung kamu sembilan bulan kemana-mana, yang nyusuin kamu siang malam, jadi Ibu yang paling kenal kamu."
Aku memijit pelipis karena kepalaku mulai pusing. "Iya..."
"Kamu belum hamil, kan?" Aku menelan ludah serat. "Jangan hamil dulu. Mau kamu kasih makan apa anak kamu kalau bapaknya nggak kerja?"
"Nin," panggil Ibu lantaran aku tidak menyahuti. "Nin, kamu dengar Ibu, nggak?"
"Dengar, Bu," jawabku akhirnya.
"Ingat kata-kata Ibu. Kalau di Bali masih nggak ada yang bisa dikerjain, pulang aja ke sini. Nanti Ibu minta Pakdhe bantu carikan kamu lowongan di kantornya."
Kuiyakan saya perkataan Ibu meski tidak sungguh-sungguh. Aku sudah menikah, aku tidak bisa seenaknya begitu meninggalkan suami.
Saat aku berbalik badan hendak kembali ke kamar, ternyata Pandu ada sekitar dua meter di belakangku. Sejak kapan dia ada di sana? dia tidak bisa dengar suara Ibu, kan? Aku yakin volumenya tadi hanya sampai di telingaku.
"Ibu telepon tanya kabar."
"Oh, oke. Aku mau mandi dulu."
Sial. Harusnya aku lebih pintar mengarang. Pandu sangat tahu Ibu tidak akan menelepon hanya untuk tanya kabar. Beda denganku yang merantai sendiri dari pulau Jawa, meski Pandu aslinya juga orang jawa, tetapi dia sudah tidak punya keluarga di Jawa. Dia kelahiran Bali, nenek dan orangtuanya sudah menetap di sebuah kampung muslim di daerah Singaraja. Setidaknya sebulan sekali kami akan berkunjung ke sana.
Seringkali aku merasa maludan beruntung di waktu bersamaan. Orangtua Pandu menerima dan memperlakukan aku dengan sangat baik. Mereka tidak pernah menyinggung pekerjaan dan benar-benar menghormati aku sebagai perempuan pilihan anak mereka. Berbeda dengan Ibuku, meski Ibu tidak punya alasan untuk menolak Pandu lantaran semua syaratnya berhasil Pandu penuhi, tetap saja di mata Ibu derajat Pandu tidak bisa disandingkan dengan seorang PNS.