Keadaan nampaknya jauh lebih serius dari dugaanku. Pagi ini aku dan beberapa keryawan yang statusnya masih kontrak mendapat surat dari HRD kalau kami akan dirumahkan tanpa batasan waktu menyesuaikan situasi dan kondisi, kapan pun hotel butuh tambahan sumber daya, kami akan dipanggil kembali bekerja.
Okupansi hotel memang menurun drastis, masalah sama juga dialami hotel-hotel lain. Beberapa temanku yang kerja di hotel lain bahkan sudah dua minggu dirumahkan, sudah kuduga tinggal menunggu hari aku juga akan bernasib sama seperti mereka.
"Ya udah." Hanya itu tanggapan Pandu waktu kutunjukkan surat yang kubawa pulang.
"Kamu gimana?"
"Nggak bisa ngomong banyak juga, sementara ini sih masih ada aja yang belanja."
Aku mendudukkan tubuhku dengan cemas di tepi ranjang. "Ini nggak akan lama kan, Yang?"
Pandu menghendikkan bahu. "Aku mau dukung Indonesia ikutan lockdown, tapi kayaknya nggak mungkin."
"Kan cuma dua minggu, Yang?"
"Lihatnya jangan kita aja, gimana sama orang-orang yang kerja hari ini buat cari jatah makan besok?"
"Pemerintah pasti kasih bantuan lah."
"Nggak sesederhana itu, Yang."
Pandu melepas baju kerjanya dan masuk ke kamar mandi.
Pasti akan ada penyesuaian di sana sini dengan berkurangnya jumlah wisatawan masuk ke Bali, sales outlet Pandu akan turun dan imbasnya akan ke gaji dan bonusnya. Sementara beban kerja bertambah lantaran dia juga terpaksa merumahkan belasan karyawannya demi menghemat cost. Pandu bilang tidak masalah gajinya berkurang tapi jam kerja bertambah, selama dia tetap bisa bekerja.
Menurutku opsi lockdown adalah solusi paling masuk akal, meski di Bali sebaran kasus belum separah di Jakarta. Semua kegiatan dihentikan selama dua minggu untuk menghentikan penyebaran virus, dengan begitu lebih mudah dipetakan. Yang telah terjangkit dengan atau tanpa gelaja disembuhkan, dan yang belum terjangkit aman di rumah masing-masing, selagi virus coba dimusnahkan. Dari pemberitaan di media, sebenarnya lockdown jauh lebih kompleks dari itu, itu hanya sepenggal yang kupahami dan menurutku paling realistis. Sebab fakta di lapangan, banyak yang tidak terlalu peduli dengan apa itu masker dan jaga jarak satu meter.
Yang mengerikan dari virus yang resmi dinamai Covid-19 ini adalah belum ditemukannya obat untuk menyembuhkan yang sudah terjangkit atau vaksin pencegahan agar yang sehat tidak terjangkit. Ditambah lagi pasien positif tidak semuanya bergejala. Kita yang merasa sehat-sehat saja bisa jadi sudah terinveksi, karena kita tidak tahu, kita masih beraktivitas seperti biasa.
Itu lah yang membuatku sangat parno. Aku jadi seolah-olah menganggap semua orang positif Covid, sampai-sampai ada temanku yang mengatai aku berlebihan.
Hei, apa dia tidak diajari selogan lebih baik mencegah daripada mengobati?
***
Aku mengisi hari pertamaku menjadi pengangguran dengan ke supermarket, kebetulan Pandu libur hari ini sehingga dia bisa mengantarku. Biasanya aku belanja kebutuhan rumah sebulan sekali, kalau urusan bahan makanan,aku mengandalkan tetangga yang kebetulan membuka warung.
Mesin mobil sudah menyala, kami sudah duduk di kursi masing-masing ketika aku baru sadar ada yang tertinggal. "Tunggu bentar, Yang."
Aku tidak memedulikan decakan kesal Pandu dan tetap masuk lagi ke dalam rumah, mengambil botol kecil hand sanitizer yang tertinggal di meja kamar. Barang ini jadi barang paling penting di situasi sekarang.
"Ya elah, di supermarketnya nanti juga disediakan," decak Pandu.
"Ih, beda tahu, Yang. Yang disediakan buat umum gitu banyakan campuran airnya."
"Sok tahu."
"Kan kamu yang bilang, hayo..." Aku tertawa meledek Pandu, kemudian mengatakan persis apa yang pernah dia bilang padaku sewaktu dia mengeluh repotnya mencari hand sanitizer untuk outletnya. "Perusahaan pastinya nggak mau rugi lah, Yang. Hand sanitizer kan mahal, belum lagi suka ada customer iseng refil botol mereka di sana."
"Ya itu kan, di tempat aku, Yang. Belum tentu tempat lain juga begitu," kilahnya percuma karena aku terlanjur percaya semua hand sanitizer umum memang lebih banyak campuran airnya.
Jalanan tidak seramai hari-hari normal, membuat jarak tempuh jauh lebih cepat, yang mana ini malah terasa asing.
Sedangkan yang ramai adalah supermarket. Aku sempat mengajak Pandu ke supermarket lain karena kesulitan mendapat spot parkir mobil, tapi Pandu bilang di tempat lain sama saja. Semua orang sedang ingin menyetok makanan di kulkas agar betah di rumah saja. Pemberitaan yang liar dan simpang siur membuat orang-orang panik belanja dadakan.
Seperti biasa, akan ada petugas security di dekat pintu masuk untuk mengecek suhu tubuh dan memastikan kami memakai hand sanitizer sebelum masuk.
"Eh, tunggu, Yang," aku mencegah tepat ketika Pandu hendak menarik sebuah troli. Aku mengambil sebembar tisu basah antibakteri untuk membersihkan gagang dan bagian troli yang mungkin akan terpegang oleh kami.
Petugas security yang melihatku mengelap troly pun berkata, "setiap habis digunakan, trolynya selalu disemprot disinfektan kok, Bu. Mudah-mudahan aman."
Aku menyunggingkan senyum meski bibirku tertutup masker, "nggak apa-apa, Pak. Biar saya nyaman aja."
Pandu memutar bola mata malas. "Yang, perasaan orang lain nggak ada yang seheboh kamu."
"Nggak apa-apa, emang begini, kok anjurannya," kilahku. "Nih, yuk." Aku biarkan pandu mendorong troly memasuki area supermarket.
Aku tidak melepaskan gandenganku dari Pandu agar bisa membimbing langkahnya, memastikan batas aman kami dengan pengunjung yang lain.
Bagian pertama yang kami tuju adalah bagian barang-barang sanitasi. Pandu terheran melihat aku memasukkan dua bungkus besar detergen cair, sabun cuci piring, cairan pembersih lantai, hingga sabun mandi.
"Bukannya di rumah masih ada?"
"Yang di rumah kan sabun biasa, cuma wangi doang. Sekarang mesti ganti sama yang ada antibakterinya."
"Astaga, nggak segitunya juga kali, Nin."
Aku mengibaskan tangan, tidak mau menerima protes Pandu. Masalah kesehatan itu memang harus cerewet dan berlebihan, kita tidak boleh bermain-main dengan nyawa. Kita bukan kucing yang punya sembilan cadangan nyawa.
Kami tidak berlama-lama, setelah semua barang di catatan masuk ke dalam troli, kami bergegas membayar dan langsung pulang.
***
Dua minggu mengikuti anjuran pemerintah untuk di rumah saja membuat aku berani mengklaim diri sebagai chef dadakan. Aku mengikuti banyak sekali akun masak-memasak, channel tutorial masak, dan sebagainya. Ternyata memasak tidak sesulit itu, selama ada bahan, peralatan, dan resep untuk ditiru.
Demi menjamin kebersihan makanan Pandu, setiap hari aku membekalinya makanan agar dia tidak beli di luar. Aku selalu mengingatkan dia untuk minum air putih dan mencuci tangan pakai sabun jika sudah lima kali pakai hand sanitizer, serta mengganti masker tiap 4 jam sekali. Pandu yang dari awalnya kesal dengan kecerewetanku, sekarang jadi pasrah karena setiap berdebat dia pasti akan kalah.
Dia semestinya bersyukur istrinya sangat perhatian.
Kalau sudah ada anak nanti, sepertinya menyenangkan juga jadi full time ibu rumah tangga. Kukira kalau aku tidak bekerja, aku akan bingung tidak punya kegiatan. Ternyata aku salah. Pasti akan lebih seru jika ditambah dengan kerepotan mengurus anak.
Aku tidak mengabaikan helaan napas panjang yang seolah sengaja Pandu embuskan keras-keras agar aku dengar dan menyadari betapa bosannya dia.
"Yang, ini udah lebih dari 3 menit."
"Belum, ini masih encer. Mesti dikocok terus."
"Diseduh biasa aja bisa kan, tinggal tambahin s**u sama es baru. Beres. Nanti juga diaduk jadi satu."
Aku tidak mengabaikan Pandu lagi, terus saja mengocok camburan kopi, gula, dan air panas sampai berbusa. Di sosmed semua orang sedang ramai-ramainya pamer Dalgona Coffee buatan mereka, aku juga tidak mau kalah dong. Sayangnya suamiku ini terlalu tidak sabaran, tidak mau membiarkan aku bahagia dengan kesenangan kecilku mencoba resep-resep baru.
Melihatku mengukur takaran air, dia menghela napas. Melihatku mengocok sudah lewat dari tiga menit seperti yang ada di resep, dia menyuruhku berhenti lantaran pusing mendengar denting sendok dengan mangkok. Alih-alih berinisiatif membantuku dengan tenaganya.
"Coba pakai mixer, Yang. Ini di Youtube dia pakai mixer, nih."
Giliranku mendecakkan kejengkelan yang kutahan-tahan, aku meletakkan sendok hingga bunyi berdenting keras. Aku memutar badan, berkacak pinggang di depannya. "Nggak ada yang nyuruh kamu nunggu ya, Yang. Kalau mau minum es kopi, bikin sendiri. Kalau malas bikin, sabar," semburku lalu lanjut mengocok lagi dengan tenaga maksimal sebagai pelampiasan kesal.
Di belakangku Pandu terkekeh, sejurus kemudian kurasakan dia memelukku dari belakang. "Aku cuma nggak mau kamu capek."
Aku mencibir, "halah, alasan. Kalau nggak mau aku capek, bantuin dong harusnya."
"Aku nggak mau ngerepotin diri sendiri cuma buat es kopi."
"Ini bukan es kopi biasa. Payah banget kamu."
Akhirnya jadi juga. Aku menyikut perut Pandu agar melepaskan pelukannya agar aku bisa mengambil gelas. Gelas iku kuisi dengan s**u dan es batu, kemudian kutuang beberapa sendok busa dalgona di atasnya.
"Udah? gini doang?"
Punggung tangan Pandu kugeplak saat dia hendak mengangkat satu gelas dari atas meja, "biar afdol, foto dulu."
Aku beberapa kali mengambil foto, mencari angel terbaik. Setelah mendapat gambar yang kumau dan mempostingnya, aku membiarkan Pandu mengaduk kopi bagiannya.
"Ini bisa nyampur nggak, sih?" Dia mengangkat gelas bening itu sejajar dengan wajah sambil mengaduk-aduknya. "Ya ampun, udah bikinnya repot, minumnya masih bikin pegel juga."
Benar kata dia, busa kopinya sudah tercampur dengan s**u meski sudah mengaduk dengan gaya memutar searah jarum jam, gaya tumbuh atas ke bawah sampai bawah ke atas. Pandu langsung meminumnya padahal belum sepenuhnya tercampur. Beberapa kali teguk, isi gelasnya tinggal bulatan es batu, dan sisa busa yang belum teraduk.
"Hah... bikin sama ngaduknya sejam, habisnya cuma beberapa detik. Apa-apaan ini? nggak sebanding banget, buang-buang tenaga aja," gerutunya lagi.
Aku memutar bola mata, padahal yang buat dan pegal adalah aku. Kalau ada yang kecewa, orang itu seharusnya aku. Setelah lumayan tercampur, kuminum kopiku sedikit. Mencecap rasa di lidah. Pahit kopi dan manis gulanya pas. "Enak, kok."
"Enggak, sama aja kayak es kopi s**u biasa."
"Punya kamu belum kecampur, Yang, buru-buru diminum sih."
"Oh ya? Mana icip punya kamu." Langsung saja kudekatkan gelasku ke bibirnya. Pandu sudah minum seteguk, saat aku hendak menarik gelasku lagi, dia malah menahan tanganku dan menghabiskan isi gelasku.
"Yang!"
Tanpa merasa berdosa Pandu menyengir kuda. "Hehe iya, enak juga ternyata."
"Ck," aku menghentakkan kaki kelas. "Tahu ah, males sama kamu."
"Dih, ngambek."
Aku mendorong dia saat ingin memelukku lagi. Sudah tahu kopi itu kubikin capek-capek sampai-sampai dia yang cuma lihat aja ikutan capek, setelah bilang tidak enak dan tidak sepadan, bisa-bisanya dia menghabiskan milikku.
"Yah, ngambek beneran? Yang?" Panggilannya makin membuatku kesal karena dia sambil tertawa-tawa. Aku pun masuk ke kamar.
Bukannya mereda, kekesalanku makin besar tampaknya. Puluhan menit berlalu, Pandu tidak juga menyusulku untuk minta maaf. Apa mentang-mentang aku sudah jadi istrinya, makanya dia tidak peduli aku marah? Sewaktu masih pacaran saja, dia rela menungguku di depan kost selama berjam-jam karena aku tidak mau mengangkat teleponnya.
Mauku sih, Pandu mendatangi aku. Tapi karena tidak ada tanda-tanda di akan minta masuk akal, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak buat perhitungan. Penasaran sebenarnya apa yang dia lakukan di luar, akhirnya aku keluar. Mulutku menganga ketika menemukan Pandu di dapur yang kini lebih cocok disebut kapal pecah.
"Kamu apain dapur aku!" jeritku tertahan, benar-benar tidak habis pikir.
Pandu menoleh, memamerkan deretan gigi putihnya. "Kok kamu udah keluar, sih? aku maunya bikin surpise ke kamar."
"Kamu ngapain, sih, Ndu?"
Pandu melarangku mendekat, dia menarik aku agar duduk di kursi meja makan. "Sabar, tunggu sebentar. Yang kali ini pasti jadi."
Aku melirik kekacauan di balik punggungnya. "Kamu bikin Dalgona Coffee?"
Pandu mengangguk ringan. "Percobaan yang ke tiga," jawabnya percaya diri. "Yang pertama gagal karena ternyata harus pakai air panas, yang kedua gagal karena susah ngaduknya kalau pakai mangkok kotak."
Aku menahan senyum geli. "Nggak ada yang minta kamu bikin,"
"Enggaknya kamu tuh iya-nya aku, Sayang," bisik Pandu sengaja mendekatkan bibirnya ke telingaku lalu mampir mengecup pipiku.
Senyum tidak bisa kutahan saat dia berbalik lagi ke kitchen set. Tiba-tiba, sial, dari senyum miringnya aku tahu dia memergokiku tersenyum.
Tak lama kemudian, dia menghampiri aku lagi dengan segelas Dalgona Coffee yang sepintas cukup oke. "Dibuat dengan penuh cinta oleh Pandu Arnata untuk istriku tercinta Nindya Sangdewi. Nih, semoga nggak ngambek lagi habis ini."
"Nggak diadukin sekalian?"
Pandu tepok jidat. "Oh, iya, lupa. Sebentar," dia berbalik lagi untuk mengambil sendok dan mengaduk minuman itu di depanku. "Udah."
Pandu menatapku penuh harap saat aku mulai meminum kopi buatannya. Beberapa detik cairan itu sampai di lidah, aku mengernyit. "Pahit banget, Yang. Kamu nggak kasih gula?"
"Masa sih? Aku kasih, kok. Eh, apa kelewat, ya?"
"Nih, cobain sendiri."
"Ya udah, gini aja biar manis." elas ditanganku diambil oleh Pandu, bersamaan dengan tangan kanannya menarik tengkukku. Pandu mencium bibirku.
Seperti ada sesuatu yang membakar pipiku. Aku mengatup bibir dalam, malu menunjukkan terang-terangan betapa tersipunya aku.
"Masih butuh gula?"
Perlahan, kepalaku menggeleng, sejurus kemudian senyum Pandu melebar dan tubuhku melayang di atas gendongannya.
Siapa yang akan butuh gula jika Pandu lebih manis dari apapun.