04 | Tidak Tahu Harus Bagaimana

2799 Words
"... jangan lupa untuk selalu selalu patuhi tiga M dan dirumah saja--" Aku mematikan layar televisi di depanku, makin hari pemberitaan di media makin memuakkan. Mereka memberi himbauan-himbauan sama hingga bosan sekali mendengarnya. Hampir setengah tahun berlalu sejak kampanye 3M dan di rumah saja digalakkan, namun angka-angka pasien terinveksi Covid dilaporkan terus bertambah. Membuat aku yang semula takut hingga rela bayar dengan harga tidak masuk akal untuk hand sanitizer dan masker, sekarang jadi masa bodoh. Aku menghampiri suara dentingan piring dan sendok dari arah dapur yang menyatu dengan ruang makan. Pandu makan dengan kunyahan lambat karena lauk di piringnya adalah lauk sama yang kami makan kemarin. Bedanya, kemarin tempe itu kutumis dengan sayur, hari ini aku hanya menggorengnya dengan tambahan sambal. Pelan-pelan aku menarik kursi di sampingnya dan bertanya, "sekarang kita mesti gimana?" Kutatap wajahnya dari samping, kulitnya sekarang lebih gelap dari tiga bulan lalu padahal dia lebih banyak di rumah. Kunyahan Pandu terhenti, lalu lanjut mengunyah dua kali sebelum menelan makanan dalam mulutnya. "Kita pikirin nanti." "Aku lagi hamil, Ndu," lirihku sedih. "Enggak ada nanti, kandunganku nggak bisa nunggu nanti." Pandu meletakkan sendoknya, tidak jadi menyuapkan nasi ke mulutnya. Kepalanya berputar menoleh padaku dan menatapku tajam. "Nanti, Nin. Kamu nggak lihat aku lagi makan?" Aku sedikit menundukkan pandangan, merasa bersalah terlalu mendesaknya. Dia baru saja pulang, dia hanya mencuci tangan dan kaki lalu langsung makan. Pandu yang kukenal, jauh sebelum ada pandemi, akan langsung mandi dan ganti baju setelah seharian beraktivitas di luar. Pandu tersedak, aku berinisiatif mengambilkan dia minum karena di samping piringnya tidak ada gelas. Dia langsung meminumnya beberapa teguk sekaligus. "Kamu dari mana aja tadi?" tanyaku, katakana aku tidak sabar menunggu sampai dia benar-benar selesai makan. "Ke mana lagi memangnya." "Aku tanya, Ndu. Mana aku tahu kamu pergi ke mana kalau kamu sekarang nggak pernah ngabarin aku lagi ada di mana." "Cari uang," sahutnya. "Itu kamu mau, kan?" lanjutnya sambil berdiri membawa piring dan gelas ke bak cuci. Tunggu, apa maksudnya tadi. Kenapa seolah-olah aku yang mendesaknya cari uang. Bukankah itu tanggung jawab dia sebagai kepala keluarga? Aku menyusulnya merapat ke kitchen set, dia memang punya kebiasaan sehabis makan akan langsung mencuci peralatan makannya sendiri. "Kamu kok ngomongnya kayak gitu?" Pandu berdecak sembari membanting spons cuci berlumur busa sabun. "Kenapa banyak sekali yang kamu tuntut dari aku sih, Nin. Aku tahu tanggung jawabku, aku juga tahu kamu lagi hamil anak aku, terus aku mesti gimana?" ungkapnya kentara sekali sangat kesal. "Keadaannya memang lagi susah. Semua orang nganggur, semua butuh kerja, kamu kira aku nggak usaha?" "Itulah makanya jangan mengandalkan lowongan kerja, Ndu. Mana ada perusahaan cari karyawan baru, yang ada malah pada ngurangin." "Aku tahu." "Kalau gitu kemana kemarin nolak diajak kerja sama Dekta?" "Serius, Nin? Kamu nyuruh jadi penagih hutang?" Aku mendesah lelah, "itu bukan hutang--" "Keliling pasar nyatat cicilan orang, apa namanya kalau bukan penagih hutang?" "Daripada di rumah nggak menghasilkan," balasku. "Kita nggak tahu pandemi ini kapan selesainya, Pandu. Dari yang kita kira cuma dua minggu, sebulan, terus sekarang udah mau bulan juli dan masih gini-gini aja. Kita bisa-bisa mati meskipun nggak kena Corona." " Aku nggak sebodoh itu, ya, sampai kamu mesti ngajarin begituan." "Aku ngingetin!" Aku mengusap air mata yang jatuh bersamaan dengan bentakanku, aku tidak peduli meski saat ini mata Pandu berkilat padam. Aku pasti baru saja melukai harga dirinya. Perlahan aku mendongak lagi, menatapnya dengan sorot memelas. "Yang, tabungan kita cuma cukup untuk dua kali cicilan. Seenggaknya bulan depan kita udah harus dapat pendapatan kalau nggak mau dapat masalah dari bank." "Yang ngotot cuma mau resepsi di pinggir pantai siapa?! Kalau aja Ibu kamu nggak nuntut ini itu, kita nggak perlu hutang cuma buat resepsi nikah!" Deg! sesaat aku tertegun, belum sepenuhnya yakin dengan apa yang barusan kudengar. Benarkah Pandu mengatakan itu? padaku? mataku kembali bekaca-kaca. Pandu mengerang tertahan sambil menjambak rambut di kepala belakang. Dia menatapku lagi, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ragu, sebelum kemudian dia mencuci tangan dan pergi lagi ke luar rumah. Dadaku sesak bukan main, hal-hal mengerikan yang sekalipun tidak pernah terlintas dipikiranku tiba-tiba saja terjadi. Siapa sangka gaji 8 digit Pandu selama dua tahun terakhir seketika jadi 0 di bulan April, sebulan setelah dia dirumahkan dari tempatnya bekerja. Begitu pun juga denganku yang bahkan sudah tidak berpenghasilan sebulan sebelumnya. Siapa sangka libur di hari sabtu atau minggu tidak lagi jadi kemewahan untuk kami, Siapa sangka jalan Legian akan sunyi, siapa sangka virus yang kata pemerintah tidak bisa hidup di negara tropis sekarang malah jadi pandemic gobal. Siapa sangka pernikahan yang sudah kami rencanakan selama tiga tahun menjadi keputusan yang paling kami sesali. Suara motorku yang dipakai Pandu terdengar meninggalkan rumah, aku melepaskan sesak di d**a dengan menangis tersedu-sedu. Situasi ini membuatku frustrasi, aku yakin Pandu pun begitu. Aku tahu dia sudah berusaha keras sebulan belakangan,dia sudah menyebarkan surat lamaran kerja namun hanya dua yang memanggilnya untuk wawancara, setelah itu tidak ada lanjutan kabar berita meski pengalaman kerja Pandu sebelumnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Pandu menjabat sebagai manajer toko salah satu factory outlet ternama khas Bali yang ada di gedung tiga lantai. Outlet itu terpaksa tutup bersamaan dengan ditutupnya pintu masuk pariwisata. Di hari normal, outlet itu jadi langganan bus-bus rombongan dari berbagai daerah untuk belanja oleh-oleh. Tempat itu tidak pernah sepi dari tulis dari buka hingga menjelang tutup. Seperti halnya gemerlap Bali yang tidak pernah padam meski pagi hampir menjelang. Beda denganku yang meniti karir dari bawah, begitu lulus kuliah Pandu langsung mendapat posisi di kantor pusat outlet tersebut. Dia terus mendapat promosi hingga kemudian dipercaya memegang satu cabang. Tidak heran jika dia sangat pemilih pekerjaan, padahal dia sedang tidak ada di posisi memilih, melainkan pekerjaan lah yang memilih mau dikerjakan oleh siapa. Tak mau berpangku tangan, aku melakukan apa yang kubisa. Tiga hari sekali aku akan membuka pre-order donat buatanku. Awalnya banyak yang beli, hanya teman-teman dekatku tentunya, itupun tidak ada yang sampai order dua kali. Antara mereka hanya sekadar ingin mendukung usahaku atau memang rasa donat mini buatanku tidak enak. Aku perlahan mulai putus asa, pre-order kemarin hanya satu orang saja yang beli. Dengan enteng Pandu bilang, mana ada orang yang mikirin cemilan, kalau mereka punya uang mending dibelikan nasi. Hah, dikira aku juga sebodoh itu apa? dalam hal satu ini, aku merasa jauh lebih baik dari dia. Meski tidak seberapa, usahaku nyata terlihat hasilnya. Aku mengelus perutku yang masih rata, usianya memang baru 6 minggu. Sejak tahu aku hamil, hal pertama yang kupikirkan adalah biaya kontrol dan asupan makanan yang kumakan, setahuku itu tidak murah. Alih-alih merayakan kehamilanku dengan makan malam romantis, di malam itu aku dan Pandu tidur saling memunggungi dengan pikiran masing-masing. Padahal kehamilan ini adalah momen yang aku tunggu-tunggu, semestinya aku bersyukur karena Allah tidak membiarkan aku menunggu jawaban doaku terlalu lama. Dulu aku sering membayangan Pandu pasti akan sangat memanjakan aku dan aku akan sering mengerjai dia dengan alasan ngidam. Merasakan dramanya morning sickness seperti kata orang-orang, serta serunya hunting perlengkapan bayi sembari tidak sabar menunggu 9 bulan terlewati. Kenyataannya, aku melewati fase awal kehamilanku dengan perasaan cemas akan hari esok. *** Sejak Pandu meninggalkan rumah siang tadi, aku belum beranjak dari kamar. Kehamilan ini membuat badanku cepat lelah dan sedikit-sedikit mengantuk. Aku hanya sempat bangun sebentar untuk sholat, kemudian lanjut rebahan lagi, toh tidak banyak yang bisa aku lakukan. Saat sedang menjelajah beranda i********:, aku melihat postingan Ayu, dia memamerkan foto dirinya memegang buket bunga dan papan simbolis hadiah bonus 7 juta dari bisnis MLM-nya. Aku memandangi fotonya cukup lama, iri sekali rasanya. Apa saja yang aku lakukan dulu? Bisa-bisanya aku menganggap bekerja 8 jam itu melelahkan, sedangkan aku punya sisa 16 jam setiap hari. Jika istirahat ideal hanya perlu setidaknya 8 jam, artinya setiap hari aku punya 8 jam terbuang sia-sia. Apakah ini yang dipikirkan oleh mereka yang tetap merencanakan pekerjaan sampingan meski punya pekerjaan utama? sebagai bekal bahwa tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi esok hari. Perutku bunyi keroncongan. Jika dulu aku lapar dan sedang malas ke dapur, aku tinggal buka aplikasi pesan makanan, tinggal klik dan tunggu makanan diantar. Kalau sekarang, besaran ongkos kirim saja rasanya kemahalan. Selama belum ada pemasukan, aku tidak mau membuang uang untuk hal yang tidak perlu. Masih ada beberapa butir telur di kulkas, aku bisa menggorengnya satu untuk makan malam hari ini. Aku sedang mengocok campuran telur, sedikit garam, dan irisan sisa daun bawang ketika suara motor Pandu terdengar. Aku sengaja meneruskan pekerjaanku, tanpa merasa perlu menyambutnya di depan pintu. Untuk apa? aku sedang belum ingin bicara apa-apa dengannya. "Nggak usah masak, makan ini aja." Sontak aku memutar tubuh dari depan kompor yang belum kunyalakan, bahuku langsung lemas saat melihat bucket berlogo KFC dia letakkan di atas meja makan. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirku karena terlalu tidak habis pikir dengan ide pandu membeli makanan yang bisa ditukar dengan beras 10 kilo. Tentu saja, dia pasti bosan makan tempe dua hari berturut-turut. "Mau aku bikinin sambal geprek sekalian?" kataku menyindir tepat saat dia akan beranjak. Pandu tidak bergeming, dia menjawab sambil lalu ke arah kamar. "Makan aja." Hatiku teriris, aku menyebut nama Tuhanku dalam hati berkali-kali sambil terus berusaha menebak apa sebenarnya yang ada di pikiran Pandu. Tabungan kami berkurang setiap hari, selama belum ada pemasukan, maka satu-satunya solusi paling masuk akal adalah berhemat. Menahan duu gaya hidup lama, disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang. Jika Pandu mengaku tidak sebodoh itu, seharusnya dia memikirkan hal sama sepertiku. Tidak peduli bagaimana menggodanya ayam goreng itu meski masih terbungkus wadah dan berlapis plastik, aku membiarkannya tidak tersentuh dan tetap menggoreng telur untuk kumakan dengan nasi hangat. Peduli setan dengan rasa enak. Enak hanya bertahan sececap di lidah, besok pagi aku masih akan lapar lagi. Makanan ini jauh lebih nikmat dan tepat dimakan. Setelah mandi, Pandu tidak keluar lagi dari kamar. Pasti dia sedang asyik menyalakan AC, bergelung dalam selimut sambil main game online. Kami sudah banyak bertengkar sepanjang hari ini, bukan ide bagus menutup hari dengan pertengkaran lain. Sehingga aku menunggu kantukku datang di depan televisi, aku baru akan ke kamar saat sudah benar-benar mengantuk sehingga tidak punya hasrat untuk bertengkar. *** Sewaktu terbangun subuh tadi, aku sempat tidak mengenali tempatku berbaring. Pasalnya seingatku aku semalam rebahan di sofa, aku sama sekali tidak ingat mematikan televisi dan pindah ke kamar. Aku menolehkan kepala ke sebelah, kalau bukan dia, siapa lagi yang memindahkanku. Aku bergegas bangun untuk menunaikan kewajibanku mengingat sisa waktu yang tidak banyak. Jangan harap ada adegan sholat berjamaah, beberapa waktu lalu aku pun sama seperti pandu, pura-pura tidak dengar tiap mendengar suara adzan. Barangkali aku adalah contoh hamba yang kurang ajar. Di saat nikmat lupa dengan pencipta, di saat susah baru sadar kalau aku tidak punya siapa-siapa. Di saat seperti ini, kalau masih ingin waras, siapa lagi yang bisa kujadikan pegangan kalau bukan Tuhan? Hm, 24 jamku yang panjang akan kumulai dengan tidur lagi, sebab tidak ada mesin absen yang harus kuiisi sebelum jam tertentu. Diam-diam aku memerhatikan wajah lelap Pandu dari semburat sinar yang masuk melalui serat kain gorden jendela. Aku baru sadar, selain warna kulitnya menggelap, wajah Pandu tampak beberapa tahun lebih tua dari sebelumnya. Kantung di bawah matanya menghitam, kebanyakan memelototi layar ponsel demi game online. Ada lapisan kering di bibirnya yang dulu selalu membuatku iri karena selalu lembab dan pink tanpa lipbalm seperti yang kupakai setiap kali bibirku kering, kalau sudah asyik dengan game-nya dia memang suka lupa segalanya, termasuk minum. Aku mengiris sedih, benarkah aku jatuh hati pada laki-laki seperti ini? laki-laki yang dihantam badai sekali, tidak punya kemauan cukup untuk bangkit berdiri? Sekarang terserah. Jika Pandu tidak bisa kuandalkan, aku akan mengandalkan diriku sendiri. Dia masih tidur saat aku mencari-cari kunci motor yang ternyata tertinggal di kantung celananya semalam. Kebiasaan tidak membuatku heran. Kubiarkan dia tetap tidur, jika dia memang pedui padaku, dia akan meneleponku ketika sadar aku tidak ada di rumah. Aku sudah janjian sama Ayu mau ke rumahnya, berdalih bosan di rumah terus, padahal aku ingin minta bantuannya. "Oh, dulu diajakin katanya nggak bakat jualan. Yakin, nih?" Aku tersenyum kecut, sudah kuduga dia akan mengembalikan ucapanku sewaktu tawarannya kutolak waktu itu. "Pengen coba, daripada nggak ada kerjaan. Bisa, kan?" "Bisa banget, lah, orang tinggal postang-posting aja. Daripada kuota habis buat main i********: aja, kan?" "Hehe, iya, makanya." "Eh, ngomong-ngomong suami kamu kerja di mana? tokonya masih tutup aku lihat." Aku meringis kecil, pertanyaan semacam ini sekarang jadi pertanyaan berat dijawab. "Ya, masih gitu-gitu aja. Tokonya masih nggak tahu kapan buka lagi." "Jadi masih nganggur?" Aku tersenyum lagi dan mengangguk pelan. Ayu kemudian mendesah, mimik mukanya tiba-tiba mengiba. "Yang sabar ya, Nin, pasti ada rejeki buat dedek bayi, kok." Aku tahu aku tidak punya cukup harga diri untuk dibanggaan, tapi entah kenapa aku masih merasa sedikit tersinggung menerima belas kasihan Ayu. Aku menekan gengsiku kuat-kuat, aku tidak boleh mudah terbawa perasaan jika masih butuh bantuan orang lain. "Jadi gimana? aku mesti ngapain?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Ayu pun mulai menjelaskan produk apa yang akan aku jual, bagaimana sistemnya, apa saja keuntungannya, dan lain sebagainya. Usai mengurus segala proses pendaftaran dan dijelaskan sampai paham apa saja tugasku, aku pun pulang. Aku mengecek sekali lagi ponselku, sudah jam 11 siang, semestinya Pandu sudah bangun tidur. Notifikasi w******p-ku ramai oleh grup obrolan para member MLM yang resmi kuikuti, aku tidak menemukan satu pun pesan dari Pandu di semua aplikasi pesan yang kumiliki. Tampaknya aku berharap terlalu banyak pada Pandu. Baginya ada atau tidak aku di rumah pasti tidak penting, malah lebih baik karena dia tidak perlu mendengar kecerewetanku. Aku tidak kaget saat menemukan carport depan rumah kosong. Mewah sekali memang gaya hidup pengangguran satu itu, nongrong tidak jelas saja pakai mobil segala. Aku berniat langsung masak setelah ini, tadi pagi aku hanya sanggup makan dua lembar roti tawar yang kumakan dengan teh manis hangat. Saat aku membuka kulkas, aku baru ingat kalau bahan-bahan makanan sudah habis. Tinggal beberapa butir telur, sayur bayam dan wortel yang mulai layu, dan dua biji sosis ayam. Tidak ada yang bisa kumasak karena bawang-bawagan juga sudah habis. Oh, aku hampir melewatkannya. Ada bucket KFC juga, saat kubuka, isinya tinggal setengah. Cih, Pandu bisa makan semuanya, tidak perlu merasa harus menyisakan untukku karena aku tidak akan memakannya. Untungnya aku tidak harus belanja jauh-jauh karena tetangga jarak dua rumah dari rumahku membuka warung serba ada. Daging-dagingan, sayur-sayuran, buah-buahan, dan kebutuan dasar rumah tangga lainnya ada tersedia. Warung sedang sepi saat aku di sana, aku membeli beberapa bahan sekalian yang cukup untuk dimasak tiga hari. Satu hal yang kusyukuri, ternyata masak tidak sulit dipelajari. Selalu menenangkan mencoba resep-resep baru, walaupun memang rasanya tidak bisa disandingkan makanan beli. Perhatianku dari jejeran sayur teralih oleh suara motor berhenti di depan warung. Pak Adi, suami Bu Sukma, tampaknya baru pulang narik ojek online. Pekerjaan ini juga baru digeluti Pak Adi sejak pandemi, sebelumnya dia supir di sebuah agen travel. "Eh, Nindy. Belanja, Nin?" sapanya. "Iya, Pak. Mau masak nggak ada sayur. Ini istirahat makan siang gitu ceritanya, Pak?" Pak Adi terkekeh, pertanyaanku disahuti oleh istrinya. "Belum jam istirahat ini, Nin. Bapaknya Putra memang narik sesuka-suka dia." "Kalau udah ada pegangan usaha kayak begini sih, santai. Iya, nggak, Pak?" "Nah, bener itu, Nin. Ngojek sih, biar kelihatan sibuk aja." Ada gitu orang ngojek biar sibuk, sedangkan suamiku membiarkan dirinya tidak punya kesibukan berarti. "Coba dulu saya pas muda kerja keras kayak Pandu, ada nggak ada Corona santai. Orang tabungan udah banyak." Ucapan Pak Adi membuatku menahan senyum. "Banyak dari mana, Pak? uangnya udah habis buat bikin rumah sama biaya nikahan kemarin. Sekarang sama aja kayak yang lain, seret." "Seseret-seretnya Pandu, cuma dia yang bisa santai kena cancel orderan 300 ribu. Kalau yang lain pasti udah ngamuk nggak karuan." Sontak aku menoleh ke arah Pak Adi. "Maksudnya, Pak?" perasaanku tiba-tiba tidak nyaman. "Semalam bukannya dia pulang bawa KFC sekeranjang?" "Ha?" Aku semakin tidak mengerti. Apa kaitan KFC, 3OO ribu, dan kata cancel. Melihatku kebingungan, Pak Adi dan Bu Sukma saling lempar pandang. "Pandu nggak bilang kalau tadi malam dia kena apes cancelan order KFC 300 ribuan? customernya pesan dua ember ayam, satunya dia suruh anak-anak di pangkalan makan. Satunya dibawa pulang, katanya kamu suka banget ayam itu." "Tunggu, Pak. Cancel order gimana ini maksudnya?" "Lho, kamu nggak tahu kalau Pandu ngojek, Nin?" "Ha?" "Waduh," Pak Adi menggaruk rambut serba salah. Bu Sukma menimpali, "Nin, Pandu beneran nggak bilang kalau dia ngojek?" Aku menggeleng lemah, fakta itu benar-benar tidak terduga. Seorang Pandu Arnata narik ojek? bukankah dia hari-hari nongkrong di kos temannya? "Mungkin belum bilang," Bu Sumka berkata menenangkan. "Waktu itu dia nanya papanya Putra gimana daftar jadi mitra, dia pengen nyoba sambil nunggu kerjaan baru gitu katanya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD