Aku tidak tahu harus bereaksi senang atau sedih mendengar kenyataan itu. Sewajarnya aku lega karena ternyata Pandu tidak seperti yang kukira belakangan ini, dia bukan laki-laki lemah yang sekali kena hantam badai langsung lunglai. Tetapi kenapa aku malah ingin menangis?
Belanjaan yang kubeli kutaruh begitu saja di dapur, aku bergegas mencari kunci motor. Kalau Pandu memang ngojek, setidaknya dia pasti punya jaket seragam dan helm, kan? Pandu tidak punya motor, satu-satunya motor yang kami punya, ya motorku ini. Benar saja, di dalam jok, aku menemukan sebuah jaket warna hijau terlipat berantakan. Kakiku langsung lemas, kenapa Pandu tidak memberitahuku?
Kulipat lagi jaket itu rapi dan menyimpannya kembali di tempat semula, lalu aku menyeret tubuhku masuk ke rumah. Kuambil bucket KFC di kulkas, dia tidak membeli itu lantaran bosan makan tempe masakanku.
Satu-satunya hal yang ingin kulakukan sekarang adalah membeluk Pandu sambil minta maaf sudah berprasangka buruk padanya.
Pada deringan ke dua, telepnku dijawab oleh Pandu. "Halo?"
"Yang..." lirihku tercekat.
"Kamu kenapa?" tanyanya, barangkali lantaran mendengar suaraku bergetar.
"Kamu di mana?"
"Ada apa? kamu kenapa?" desaknya seperti terburu-buru.
"Pulang."
"Iya, kenapa? aku belum bisa pulang sekarang."
"Pulang, Yang..." hanya itu yang kupikirkan dan ingin katakan.
Dia terdiam sebentar, mungkin bingung dengan tingkahku. "Ya udah, tunggu, tapi aku nggak bisa jalan pulang sekarang. Sejam lagi aku udah di rumah. Aku tutup, ya?" Pandu memutuskan sambungan telepon setelah beberapa saat tidak ada sahutan dariku.
***
"Nin!"
Pukul satu lebih Pandu baru sampai di rumah, aku mendengar pintu terbuka lalu tertutup keras dan suara derap langkah terburunya. Aku bisa melihat sorot kelegaan di matanya ketika melihatku berdiri kaku di dekat meja makan. Dia memandangi aku cukup lama, sebelum pandangannya teralih pada apa yang kuhidangkan di atas meja. Iya, aku menghangatkan lagi sisa ayam itu.
Pandu melangkah pelan menghampiriku. "Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"
Aku hanya menggeleng, sejurus kemudian melemparkan tubuhku memeluknya. Wajahku kubenamkan di dadanya, aku memastikan bibirku terus terkatup karena aku tidak mau dia melihatku menangis. Elusan tangan Pandu kurasaran konsisten dari puncak kepala hingga punggung.
"Kamu udah tahu, ya?" bisiknya. "Maaf, kamu mesti dengar itu dari orang lain. Aku cuma belum siap aja buat cerita."
"Kamu kira aku akan malu, ya?"
"Enggak," jawabnya masih terus mengelusku. "Aku tahu kamu nggak akan malu. Aku yang malu sama diri aku sendiri karena nggak bisa melakukan lebih baik dari ini."
Air mata yang kutahan-tahan pada akhirnya keluar, aku mengendurkan pelukan hanya agar bisa menatapnya langsung. "Jangan bilang begitu. Aku sangat senang dengan kamu nggak nyerah."
Bibir Pandu menyunggingkan senyum, tapi siapa pun pasti bisa melihat ada setitik kesedihan di matanya. "Kamu beneran nggak malu suami kamu ngojek?"
Aku menggelengkan kepala tanpa berpikir.
"Aku ngantre nunggu makanan, panas-panasan di jalan, nyasar nyari alamat, digonggongin anjing. Gimana kalau ada teman kamu yang tahu?"
"Aku nggak peduli."
Pandu menarikku lagi ke dalam pelukannya. "Aku sebenarnya ingin bilang kamu jangan terlalu banyak pikiran, tapi kenyataannya memang belum banyak yangbisa aku janjikan. Sekarang kamu cukup percaya aja sama aku, kita pasti bisa ngelewatin ini bareng-bareng." Pandu mengecup kepalaku lama, "udah ah, pegel berdiri terus," candanya mengurai pelukan kami dan menambahkan kecupan singkat di bibirku.
"Kamu pasti saking sebelnya sama aku sampai nggak ngiler sama KFC, ya?" Pandu meledekku sambil menarik kursi meja makan. "Padahal kalau nggak kena apes dulu, nggak tahu kapan kita makan KFC lagi. Kamu, kan, sekarang kikir banget."
Aku tertawa memukul pundaknya. "Ekonomis, tahu!"
Pandu mengisi piringnya dengan banyak nasi, KFC geprek dan tumisan sayur ala kadarnya dia makan dengan lahap. Tiba-tiba dia menoleh padaku, menangkap basah aku sedang memandangi wajahnya. "Kamu cuma bakal cuma ngelihatin aku makan aja?"
"Beberapa hari nggak ngelihatin kamu makan, aku kangen banget."
Pandu tersenyum geli, lantas menggeser kursinya merapat padaku. Dia membawa piringnya di depan meja antara kami. "Kalau kayak gini, kamu bisa ngelihatin aku sambil makan. A..."
Aku geleng-geleng kepala. Ya, sejak awal hatiku tidak jatuh di laki-laki yang salah.
Aku pun membuka mulut lebar, menerima suapan Pandu.
***
Kupikir aku salah mengenali Pandu, ternyata aku lah yang tanpa sadar berubah karena tak siap dengan tekanan kehidupan yang begitu mendadak ini.
Selagi kuusap-usap kepala Pandu yang direbahkan di atas pahaku, Pandu bercerita apa saja yang dia sembunyikan dariku karena rasa tidak percaya dirinya. Seteleh mendengar semua ceritanya, aku tidak bisa berhenti menyalahkan diri. Aku bersamanya setiap hari selama 24 jam, bisa-bisanya aku tidak sadar saat dia memersiapkan pendaftaran yang memakan waktu berhari-hari.
Awalnya Pandu ingin jadi mitra grab car saja, agar mobil di rumah terpakai. Atas saran Pak Adi, Pandu lebih disarankan Grab bike saja karena orderan lebih banyak datangnya dari layangan pesan makanan atau barang. Akhirnya Pandu mendaftar keduanya, dan ternyata memang lebih banyak orderan masuk dari layanan pesan makanan.
Sayang sekali, baru semingguan narik, dia sudah kena apes.
"Kamu nggak sedih habis tekor sebanyak itu?"
"Ya sedih, tapi mau gimana lagi?" desahnya. "Yang aku pikirin saat itu cuma, oh untung KFC-nya yang original, bukan crispy. Jadi kamu bisa makan."
"Karena aku sukanya yang original?"
"Iya." Aku tersenyum sedih, masih sempat-sempatnya dia memikirkan aku di saat seharusnya dia panik uangnya lenyap. "Eh, ternyata nggak kamu sentuh sama sekali."
"Aku kira kamu sengaja beli karena bosan makan tempe. Kan boros banget namanya, Yang."
Pandu meluruskan pandangannya ke mataku. "Kalau aku bilang aku kena tipu, yang ada kamu sedih."
Kupukul d**a Pandu tanpa tenaga. "Tetap aja salahnya di kamu, nggak mau bilang terus terang dari awal. Aku hampir aja benci sama kamu tahu nggak?!"
Pandu meraih tanganku yang masih di dadanya, kemudian mendekatkan punggung tanganku ke bibirnya. "Maaf bikin kamu kecewa."
Pandu bangkit dari rebahannya, lalu meraih dompet. Dia mengeluarkan sejumlah uang pecahan campuran dan diberikan padaku. "Tadinya mau aku langsung setor tunai di ATM, tapi uangnya receh," katanya sambil tertawa hambar.
"Ini hasil kamu seminggu ngojek?" tanyaku tak ingin terlihat sedih. Untuk kali pertama sepanjang kami saling kenal, Pandu memberikan aku uang tunai yang kondisinya lecek-lecek.
Pandangan Pandu menunduk, tidak membalas tatapanku. "Iya, udah kepotong sama apes semalam. Jadinya tinggal itu. Bantu simpan, ya, buat kebutuhan kita."
Air mata yag kutahan-tahan tumpah juga pada akhirnya. Aku masih berusaha menahannya dengan langsung mengusapnya sebelum mengalir sampai ke pipi. Setiap bulan bahkan sebelum kami menikah, Pandu mentransfer uang nominal sampai jutaan ke rekeningku. Tetapi rasa-rasanya aku tidak pernah sebersyukur ini.
"Kamu jangan nangis, dong," Pandu terkekeh hambar sembari menarik kepalaku ke dadanya. Makin menjadi-jadi lah tangisanku.
"Aku bahagia, Yang. Aku kira aku bakal berjuang sendirian."
Kini gantian Pandu yang mengelus-elus rambutku. Pipiku yang menempel di dadanya merasakan dengan jelas detak jantung Pandu. Dia berusaha menenangkan aku, meski sebenarnya dia sendiri sedang emosional.
Cukup lama kami berpelukan, sampai aku mengangkat kepalaku setelah berhasil menguasai diri. Aku tersenyum pada Pandu. "Janji sama aku, mulai sekarang kita akan lewati ini bareng-bareng."
Dan Pandu pun memberiku anggukan kecil.