Elvern awalnya bukan nama asli, dia sejujurnya tidak memiliki sesuatu seperti itu. Dia tidak bernama dan lebih nyaman begitu.
“Kenapa kau tidak makan aku?” Elvern bisu sejenak, bukan karena tidak bisa menjawab namun enggan untuk menyahut sesuatu seperti itu.
“Aku sudah tidak lagi memakan manusia,” jawabnya diplomatis.
“Tidak lagi, kah? Sayang sekali kalau begitu. Tadinya aku ingin mati dengan cara yang mudah,” kata si gadis gembala sekali lagi. Dia terlihat masih optimis meskipun kata-kata yang keluar dari mulutnya kontradiktif. Pesimis.
Pada satu waktu, entah ditahun keberapa mungkin beberapa ratus tahun yang lalu. Elvern terakhir kali memakan manusia. Dan korban yang dia makan adalah seorang gadis muda yang kehilangan harapan. Sama seperti sosok si gadis gembala dihadapannya. Tengkorak kepala itu masih tersembunyi rapat dibalik jubahnya. Dan apa yang si gadis gembala baui kemungkinan adalah datang dari masa lalu Elvern.
Elvern adalah sebuah mahluk yang nampak layaknya srigala dimata si penggembala. Meskipun dia berkata bahwa dirinya adalah siluman rubah. Yang manapun terserah, baginya itu bukan dari sebuah urusan yang perlu dia ketahui lebih mendalam. Meski begitu dalam penilaiannya Elvern bukanlah sosok yang lebih buruk dari manusia yang sempat melakukan kontak dengannya. Setidaknya Elvern tidak akan membakar dirinya hidup-hidup sembari menodongkan pedang atau pisau dapur sambil meneriakinya sebagai seorang penyihir. Tidak menuduhnya, atau pun berbuat keji pada dirinya pribadi. Apa yang dilakukan pria ini hanyalah memakan biri biri dan baginya itu mungkin bisa dijadikan sebuah pembenaran karena mereka ingin hidup tanpa kelaparan seperti dirinya.
“Halethiana..” namanya terpanggil dari bibir pria itu. Ia mengulas sebuah senyum yang teramat hampa untuk disaksikan.
“Coba katakan padaku menurut pandanganmu apakah aku lebih buruk daripada manusia lainnya sehingga harus hidup dalam kondisi terpencil begini?” kata si pengembala yang justru malah balik bertanya tatkala namanya disebut.
“Aku ini abadi,” Elvern tidak menjawab tanyanya dengan sebuah jawaban yang dia butuhkan. Melainkan menjawabnya dengan sebuah kalimat yang penuh dengan sebuah pertanda. “Aku tidak bisa menilai seseorang yang bukan dari kaumku. Dan aku bukan lagi pemakan manusia,” lanjutnya dengan perut yang sedikit bergejolak saat dia mengungkit soal prahara tersebut dimasa lalu. Namun apa yang dia lakukan berbeda dengan yang sesuatu yang sedang dia tahan. Elvern justru mendekat pada si gadis gembala dan membaui lehernya. Pria itu membisikan sesuatu. Katanya “Kalau kau lapar kau boleh makan aku. Aku ini mahluk yang abadi, dan aku tidak akan mati.”
***
“Gila!” aku benar-benar tak habis pikir dengan mimpi yang selalu membayangi jam tidurku akhir-akhir ini. bahkan intensitasnya benar-benar semakin tinggi ketika aku bertemu dengan model sialan beberapa waktu di jam kerja paruh waktuku. Aku tahu keputusanku saat itu yang mengejar dirinya hanya karena untuk mengembalikan buku yang sempat dia pinjam adalah sebuah ketololan besar. Aku menggelengkan kepalaku, sedikit mulai menyadari bahwa atmosfer disekitarku mendadak jadi begitu menyesakan. Dan lagi mimpi itu membuat dirinya merinding bukan kepalang. Lantaran kronologisnya yang lebih mirip film thriller ketimbang kehidupan nyata dari seorang gadis gembala yang namanya siapa ya? Tiba-tiba saja aku lupa.
“Haleth!” suara nyaring Idril membuat aku membenahi posisiku. Sebisa mungkin aku tidak ingin terlihat kacau didepannya meskipun keinginan itu sedikit terlambat sebab perempuan itu sudah merangsek masuk kedalam kamarku tanpa perlu mengetuk dulu. “Astaga, ada apa dengan wajahmu sayang?” tanyanya. Dia menyadari bahwa efek mata pandaku semakin membesar dan berbekas. Aku memang jarang tidur lelap akhir-akhir ini. penyebabnya sudah pasti. Tapi aku tidak pernah membagi kisah yang aku ketahui dari mimpi kepada sepupuku satu ini. kalau dia tahu aku yakin dia pasti akan menggembor-gemborkan ceritanya hingga jadi gossip diseluruh grup alumni. Dan yang terparah dia pasti akan mengadu pada bibi soal aku.
“Aku tidak bisa tidur,”
“Kau pengidap insomnia?”
“Bukan sih, tapi kurasa sekarang iya,”
“Kupikir sudah waktunya move on kau tahu?”
“s**t! Kubilang jangan ungkit soal masa lalu karena hal itu tidak ada hubungannya dengan jam tidurku!”
“Terus?”
“Sudahlah jangan mengajakku berdebat!”
“Sebenarnya aku ada acara runaway nanti. kau mau datang menyaksikan sepupumu berlagak kan?”
“Kapan?”
“Timmingnya saat kau libur minggu ini?”
“Huh? Akhir pekan nanti?”
“Ya,”
“Apa-apaan kebetulan yang tercipta ini,”
“Sekalian aku ingin memperkenalkan pacarku. Dia vocalist band terkenal yang mengisi pagelaran busana. Disana akan ada banyak pria tampan jadi ayo kesana kau harus berburu juga aku tidak tahan melihatmu selalu sendiri setelah putus dengan Aeldene,”
“Akan aku pertimbangkan.”
***
“Jadi akhir pekan depan kau akan menjadi model utama untuk acara pagelaran busana. Akan ada tiga baju pilihan yang harus kau kenakan di sesi runaway.” Jelas Tyrion sambil membuka-buka lembaran kertas di tangannya. Sebuah proposal acara yang menjadi rundownnya nanti. Juga dengan catatan kecil yang dia siapkan di saku baju kemeja nya setelah mengikuti briefing. “Oh iya tambahan untukmu, beberapa model lainnya masih baru.”
“Yo Tryion!”
Elvern dan Tyrion menoleh pada asal suara dengan mata mereka yang menyipit. Sedari tadi mereka berdua berdiri dibawah panggung untuk mendiskusikan pekerjaan sambil memperhatikan beberapa model yang sedang melakukan gladi resik. Suara penuh sumbar semangat itu tentu saja amat mereka kenal. Kalau bisa mereka ingin mengabaikannya saja. terlebih Tyrion yang nampak terganggu akan kehadiran pemuda berisik itu saat dia mendekat. Style rambut undercut dipadu dengan celana sobek-sobek dan atasan kaos oblong tanpa lengan yang memperlihatkan bagian samping tubuhnya. Image yang memang sesuai untuk anak band macam dia.
Halley David.
“Halo Halley, kenapa ada disini?” Elvern menjadi seseorang yang bertindak sebagai penengah dalam situasi tak mengenakan diantara adiknya dan pemuda ini.
“Ck,” Halley mendecak ketika tanya itu terutarakan. Sementara Tyrion buang muka. “Oy, begitu caramu menyapaku? Dengan buang muka?”
“Berisik! Aku tidak ingin bertegur sapa denganmu,” ujar Tryion.
“Masih saja belagu,” kemudian Halley berdehem sebentar dan mengubah posisinya mengahadap Elvern yang tadi menyapanya. Dia terlalu menggebu-gebu mengganggu Tryion sampai lupa bahwa disebelahnya ada seorang ace yang menjadi bintangnya acara ini. “Halo Senior, senang melihatmu. Aku disini karena aku yang akan menjadi pengisi music latarnya.” Jelas Halley dengan cara yang sedikit lebih bermartabat daripada cara bicaranya engan Tyrion.
“Kalau begitu sejak kapan kau ada disini?”
“Dua jam yang lalu, kurasa,” Tyrion mendecak meski wajahnya tidak menampakan ekspresi apapun ketika Halley sedikit asyik bercengkrama dengan Elvern.
“Oh ya, apa perlu kuberitahukan pada Senior siapa saja yang akan jadi mangsaku pada pagelaran busana kali ini?” bisik Halley pada Elvern. Pemuda dengan tato di lengannya itu mengedarkan pandangan matanya keseluruh penjuru. Sesekali mengerlingkan matanya pada beberapa model yang masih sibuk Latihan catwalk.
“Ah sial kenapa dia disini?” Elvern menoleh pada seorang model dengan rambut pirang panjang dengan tubuhnya yang semapai.
“Kenapa? Memang dia siapa?”
“Mantan pacarku dikampus. Dia memergokiku sedang berciuman dengan salah satu model dibelakang panggung. Dan tebak, dia langsung menatapku dengan cara yang menyebalkan seolah aku adalah seorang penjahat kelamin.”
“Kalau kau sembarang b******u dengan para gadis siapapun itu pasti akan menganggapmu penjahat kelamin,” sambar Tyrion yang wajahnya yang tenang. Sementara Elvern mencoba untuk tidak tertawa atas pertengkaran mereka berdua.
“Kau juga sama Elvern. Kau lupa bahwa kau juga sempat terpesona pada seorang gadis super angkuh dijalanan. Yang kau bilang enak,” seketika wajah Elvern ditekuk kala dipaksa mengingat kejadian di lampu penyebrangan beberapa waktu lalu. hari itu karena gadis yang bernama Haleth tiba-tiba saja dia merasa sangat lapar.
Haleth. Kalau bisa dia ingin bersua kembali dan kalau tidak bisa maka Elvern bersumpah akan mencarinya lagi.
"Thanks," kataku ketika Idril membawakan bekal makan siangku yang tertinggal di apartment. Yang berjasa malah memberenggut setelah mendapatkan ucapan terimakasih dariku.
"Hei Sister, bukan begitu caranya berterimakasih atas jasa oranglain," sungutnya sambil mendengus. Perempuan yang katanya baru mau debut sebagai model tersebut kembali memasang wajah yang tidak enak lantaran aku hanya menghela napas panjang. Aku tahu bahwa hari ini masih pagi, dan ketika dia masuk kedapur dia mendapati ada kotak bekalku yang tertinggal. Dia mungkin khawatir berat tentang aku yang berdompet tipis ini akan kelaparan lantaran tidak punya cukup uang untuk membeli makan siang.
"Sebagai gantinya kau perlu mendengar ceritaku. Kemarin aku tidak sengaja bertemu dengan anjing penjilat handal,"
"Hah?" apa yang terlintas dipikiranku kala itu hanyalah seekor anjing yang mengibaskan ekornya sambil menjilat tulang ataupun sampah dijalanan. Setahuku Idril bukan tipikal orang yang akan mengurusi soal hewan dan bukan pecinta anjing jalanan. Lantas untuk apa dia mengatakan soal anjing dan sebagainya.
"Kau tidak mengerti? ah... sudahlah aku kecewa berat. sebagai sepupumu aku tidak mengerti mengapa kita jarang satu frekuensi," keluhnya ketika aku tidak kunjung memberinya respon sesuai dengan keinginannya. Lalu tib-tiba raut mukanya berubah cerah seperti mentari memberinya energi besar untuk itu. "Akhirnya tiba masa kejayaanku!" teriaknya. untung saja toko yang kujaga ini kecil dan tidak terlalu banyak yang mengunjungi. Bila ramai tentu saja Idril hanya akan membuatku malu lantaran dirinya yang terlampau ekspresif tanpa mengenal tempat.
"Bisa tidak kecilkan suaramu?!"
"Hehe... sorry, untuk membuat suasana hati lebih baik tentu saja kita butuh sesuatu seperti issue terbaik untuk mengubahnya. Ngomong-ngomong parfumku habis. Aku perlu membeli yang baru. Kira-kira aroma seperti apa ya yang cocok dengan kepribadian manis, cheerful, dan kharismatik sepertiku?" ujarnya. Aku hanya memutar bola mataku bosan.
"Apa pentingnya parfum? kau pilih saja yang paling murah. Lagipula orang-orang tidak akan mencium baunya. Tidak ada hubungannya dengan karirmu kan?" Idril memonyongkan bibirnya.
"What? bagaimana bisa kau mengatakan hal yang no sense begitu? parfum itu mencerminkan kepribadian tahu,"
"Fine, bisa kita hentikan pembicaran soal ini?" meskipun aku dan dia adalah saudara. Tapi tetap saja untuk hal-hal yang berbau soal dandan atau hal-hal yang serupa aku kurang begitu memahami. Bukan berarti aku tidak suka, hanya saja aku tidak terlalu mendalami dan tidak terlalu menaruh hati soal itu. Aku lebih suka uang, that its!
"Oke, so... kau sudah memutuskan untuk datang ke Runaway pertamaku bukan? aku yakin kau sudah memutuskannya sejak awal tapi kau berpura-pura seolah dirimu sibuk" katanya lagi setelah berputar-putar pada banyak hal lalu kembali pada satu topik lain yang enggan aku bahas.
"Baiklah aku akan luangkan waktuku menghadari acaramu itu." Idril akhirnya memberiku sebuah cengiran khas miliknya. Terlihat sekali dia begitu sumringah. Sejak kecil dia memang selalu ingin pamer untuk setiap pencapaian apapun dalam hidupnya. Entah itu soal berapa banyak pria yang pernah dia kencani, Menjadi bintang kampus, dan kini mungkin dalam soal karir dia memang melesat lebih daripada aku.
"Ah! tentu saja itu tidak akan membosankan aku jamin karena ada band kenamaan juga yang akan menghibur jalannya acara namanya-" ketika hendak menyebutnya tiba-tiba mood gadis itu kembali turun. "Lupakan! tapi yang jelas acaranya akan sangat menarik. Dan siapa tahu kau terpacu untuk meniti karir gemilang saat kau berkunjung kesana kan?"
"Ya ya ya,"
"Tenang saja Sister, aku pasti akan meneraktirmu kalau aku sudah sukses nanti," dia terlihat percaya diri. Sebelum percakapan ini berlanjut pada ranah yang lebih panjang lagi. Aku rasa aku perlu mengusirnya dengan cara halus agar dia pergi. Tapi sebelum aku melakukan itu, ada dering telpon di sakunya. Cepat-cepat Idril meraihnya lalu pamit padaku sebelum mengangkat telepon itu. Sepertinya soal pekerjaan. Ya, setidaknya dia tidak akan merecoki rutinitas harianku lagi.
***
"Aku masih punya jadwal kosong bukan?" konfirmasi Elvern pada saudaranya. Pria itu mengangguk.
"Ya, sekitar sembilan puluh menit lagi. yang tiga puluh menitnya aku alokasikan untuk jam perjalanan kita sampai ke lokasi. Memangnya kau mau kemana?" tanya Tyrion yang mulai melihat gelagat sang kakak yang dirasa cukup aneh.
"Ada tempat yang ingin aku datangi," ujar Elvern yang membuat Tyrion semakin kesulitan membaca kemauan sang kakak. Dia tahu bahwa Elvern orang yang sering sekali membawa segala hal dengan cara yang santai. Dan dia sudah bekerja cukup keras dengan jeda waktu istirahat yang tidak banyak, jadi melonggarkan aktivitas sang kakak sepertinya bukanlah sebuah dosa yang akan membuatnya perlu menyesali keputusannya. Seperti hari ini dia memintanya untuk keluar lebih awal. Dan ternyata memang benar pria itu sedang ada maunya.
Ketika mereka tiba pada sebuah tempat yang strategis, dan Tyrion memarkirkan mobilnya dengan apik. Mereka keluar dan mulai menyusuri gang kecil, dengan Tyrion yang mengikuti dibelakang sang kakak. Dia hampir seperti sebuah mesin yang menscan keadaan sekitar, mengisi seluruh pandangannya dengan semua hal yang ada ditempat ini. Sampai kemudian tatapannya bertumbuk pada seorang gadis berambut pirang diikat ponytail melintas dengan telepon yang setia berada dalam genggaman. Tyrion melirik kearah sang kakak yang tidak bereaksi meskipun mereka berpapasan dengan wanita cantik. Dia terlalu tak acuh untuk sesuatu yang tidak dia sukai. Tyrion menoleh sekali lagi ke belakang dimana sosok wanita itu sudah menjauh dari jangkauan pandangannya.
namun kali ini dia menoleh padanya, raut mukanya menyiratkan banyak keheranan. Tyrion bisa menebaknya, bahwa apa yang ada dipikiran perempuan itu. "Kenapa kami ada disini?" ya sejujurnya Tyrion sendiripun tidak mengerti mengapa dia berada disini. Apa yang dia lakukan hanyalah mengikuti kakaknya. Tidak lebih dan tidak memiliki motif apapun.