Riset sang Rubah

2442 Words
Aku membiarkan orang itu berdiri didepan kasir cukup lama. Tanpa sapa, tanpa sesuatu yang bisa disebut sebagai attitude yang semestinya aku gunakan sebagai seorang pegawai toko yang baik. Dia tidak melakukan apa-apa dan sejujurnya itu membuatku jengah. Tapi meski begitu aku lebih memilih untuk mengabaikannya dan lebih memilih menyibukan diri ketimbang menyapa. Ada beberapa laporan yang menunggu untuk diserahkan. Oleh sebab itu aku memilih untuk mengerjakannya ketimbang melayani pria tidak jelas seperti dirinya. Mungkin dia mulai merasa diabaikan sepenuhnya, pria itu berdehem. Memecah kesunyian yang tercipta diantara kami. Aku menolehkan kepala, sekilas hanya untuk melihat benda yang akan dia gunakan sebagai alasan untuk mengunjungi toko buku ini. Tapi nihil, tidak ada apapun dimeja kasir yang bisa aku hitung dalam pemasukan toko. Maka dengan kenyataan itu aku kembali mengacuhkan dia. Pria yang mengaku sebagai model papan atas berdiri membetahkan diri hanya untuk menatapku dari tempatnya berstagnasi. Dari gelagatnya sekarang aku menduga dia sedang memutar otak. Paling tidak mungkin agar dirinya tidak terlihat aneh didepanku sekarang meskipun upayanya sia-sia karena aku sudah memblacklist pria itu dari ranah pribadiku. Adiknya Tyrion menunggu diluar toko, membiarkan dirinya menuntaskan urusan yang masih mengganjal. Lalu sialnya tiba-tiba dia membaui udara disekitarku lalu mendesah pelan. Sungguh, tingkah polahnya kali ini mirip sekali dengan pria m***m di jalanan. Dia pikir ini tempat yang senonoh untuk melakukan sesuatu semaunya. "Bisakah anda pergi saja bila anda tidak berkepentingan di toko ini?" Ujarku sarkas memuat dia sedikit tersentak. "Apa?" tuturnya tak percaya sambil memasang wajah bodoh. Tingkah pemuda itu sekali lagi membuatku harus memicingkan mata karena terpaksa. "Apa yang ingin anda beli Tuan Elvren yang terhormat?" aku sengaja menggunkan kosa kata satir macam ini. "Ngomong-ngomong kau bisa menghilangkan tuan dalam penyebutan namaku," Aku tak merespon. Kubiarkan dia berimajinasi sedang melakukan konversasi denganku. "Aku belum memutuskan untuk membeli apa," katanya lagi dengan berbasa-basi. "Kalau begitu, anda bisa berkeliling daripada berdiam diri didepan saya sepanjang hari. Alih-alih mendapatkan apa yang anda cari anda hanya membuat costumer lain tidak nyaman," terangku. "Mungkin ide bagus kalau kau merekomendasikan sesuatu yang ada di meja kasir," Aku mengernyitkan dahiku. Lalu mengedarkan pandangan mataku kebeberapa koleksi buku yang letaknya sengaja disimpan didekat meja p********n. Lalu aku mendengar pria itu terkikik sendiri dengan wajah yang aneh. Tidak ada yang istimewa disekitar mejaku, namun melihat gelagatnya yang seperti itu aku bisa menyimpulkan apa yang ingin dia beli. "Anda ingin membeli beberapa majalan porno?" Tanyaku membuat pria itu tersedak, matanya membulat tidak percaya sedang aku menanggapi pria itu dengan sangat santai. "Ma-" Elvern melotot, wajahnya sangat atraktif hingga sangat menyenangkan untuk digoda. "Mana mungkin aku membeli sesuatu seperti itu?" "Kenapa perlu malu? bukannya wajar ya bagi kalian. Terutama untuk orang seperti anda," aku menatap pria itu seolah tidak melakukan sesuatu. "Pertanyaan macam apa yang baru saja kau utarakan padaku? apa pula seseorang sepertiku. memangnya aku terlihat seperti apa?" "Hanya sebuah pertanyaan biasa yang diajukan oleh seorang pramuniaga toko buku kecil di tempat terpencil," jawabku. "Buku yang berjejer apik disekitarku kebanyakan diisi oleh deretan buku dewasa yang ratingnya hampir masuk dalam ranah porno. Apa yang salah dengan pertanyaanku?" "Tapi aku kemari tidak mencari yang seperti itu." "Lantas bila bukan hal itu apa yang sedang anda cari ditempat ini Tuan? bukankah sudah jelas bahwa toko kami hanya menjual buku saja?" kataku lagi. kali ini nada suaraku naik lebih tinggi daripada yang seharusnya. "Haleth turunkan suaramu!" tiba-tiba saja bosku keluar dari sarangnya. Dia menegurku didepan pembeli yang kurang ajarnya bukan kepalang macam dia. Maka sebagai gantinya aku hanya dapat mendesis dan menatap Elvern dengan tatap penuh kekesalan. "Selamat datang ada yang bisa dibantu!" ujarku mengabaikan pria dihadapanku lalu fokusku mulai kualihkan pada seorang pembeli yang baru saja memasuki toko. "Ah! sebenarnya aku kemari bukan untuk berbelanja," ujarnya tiba-tiba membuat atensiku sekali lagi terarah pada dirinya. "Aku mau mengajakmu sarapan bersama. Kau tahu kemarin aku merasa tidak enak karena membuatmu jauh-jauh mengantarkan buku majalah yang aku beli dari tokomu," berbelit-belit sekali. "Tidak terimakasih, aku punya makananku sendiri." Elvern menghela napasnya lagi. Sepertinya dia mulai kesulitan mencari ide untuk membuatku paling tidak merasa bersalah dan ikut bersamanya. "Ada lagi yang ingin disampaikan?" kataku ketika aku merasa bahwa dia belum juga mau menyerah dan meninggalkanku sendirian. "Aku tidak akan pergi sebelum kau mau menuruti ajakanku," aku menatap pria ini dengan tatap tajam. Aku merasa sudah cukup muak dengan segala prahara yang aku hadapi akhir-akhir ini. "Apa menurut anda saya tipikal perempuan yang akan tergoda hanya dengan satu kali ajakan makan bersama? apa menurut anda saya tipikal orang yang akan menurut dengan sukarela? pertimbangkan hak saya untuk menolak ajakan anda. Karena saya cukup sibuk hari ini, jadi tolong pengertiannya," tegasku. Mendengar jawabanku pria itu terlihat terpekur dan berpikir kembali. Sesekali dia melirik kearah arloji ditangan kirinya. Sepertinya di sedang dikejar waktu. Tapi bila memang seperti itu bukankah lebih bijak dia pergi saja dan menuntaskan prioritasnya daripada menggangguku dengan hal-hal seperti ini? Terdengar bunyi lonceng yang berdering di pintu masuk, Lusi tiba untuk bagian jaganya meski sejujurnya dia datang terlalu pagi untuk bekerja. Gadis itu tiba-tiba saja terpukau tatkala matanya memandang kearah Elvern. Dia melongo. “Bukannya kau masuk siang nanti?” tanyaku membuat konsentrasinya memandangi Elvern buyar sekejap. Gadis itu membungkuk sopan lalu mendekat kearah meja kasir dan mendekatiku. “Siapa dia?” bisiknya didepan Elvern yang memandangi kami. Melihat rasa ingin tahu yang menggebu dari Lusi aku bisa menyatakan bahwa gadis ini cukup tertarik paa Elvern. Ya memang untuk ukuran gadis remaja Elvern adalah jenis manifestasi tak nyata yang tidak bisa mudah ditemukan dimanapun. “Pembeli,” ujarku singkat tak tertarik. Tapi tiba-tiba Elvern mendadak mengalihkan pandanganya dariku dan memandang penuh kearah Lusi yang kontan tersipu malu. Terlebih saat pria itu mendekat padanya. “Anu Nona… aku ingin sarapan bersama dengan seniormu, tapi dia terus menolakku. Aku khawatir dia tidak bisa melakukannya karena dia sedang bekerja. Bolehkan kalau kau menggantikannya sebentar dan membujuk dirinya?” rayuan Elvern cukup ampuh pada Lusi. Sehingga pada detik berikutnya bagai orang yang terhipnotis gadis itu mendekatiku dan memaksaku untuk pergi. Aku tidak begitu yakin apa yang mereka bicarakan karena Elvern yang mengajak gadis itu untuk bicara empat mata. sebuah konspirasi terjadi didepan mataku. Lusi yang memang sedikit menyusahkan membuatku menyerah lalu kemudian meninggalkan toko dengan ogah-ogahan ditemani oleh pria super berkilau ini disisiku. Aku memandangi dirinya. “Kalau aku mengiyakanmu kali ini kau akan pergi, benar?” “Ya,” pria itu menganggukan kepala dengan patuh. “Aku tidak tahu alasanmu bersikeras untuk mengajakku makan bersama. Tapi asal kau tahu aku menyetujui ajakanmu untuk mengusirmu. Kau paham itukan? Jadi kedepannya aku tidak ingin diganggu oleh mu lagi!” “Kalau begitu kau mau makan dimana? Restaurant mewah bintang lima? Caffe? Kedai? Katakan saja padaku aku akan membawamu kesana,” ujarnya. Aku memutar bola mataku. Satu lagi yang tidak kusukai adalah tipikal pria yang berlebihan dan terlalu banyak menghayal. Merasa paling kaya, ataupun paling yang lainnya didepan oranglain. Sejujurnya aku muak untuk berada didekatnya lebih lama. Apalagi setelah insiden kejadian yang menimpaku bersamanya gara-gara majalah sialan! “Aku yang tentukan tempatnya. Kau ikuti saja dan jangan banyak bicara.” Ujarku singkat. Aku berjalan kaki didepannya, dengan dia yang berusaha untuk mengekoriku dan menyamakan langkahnya denganku. Tentu saja upayanya aku buat sia sia. Aku tidak ingin berjalan beriringan bersamanya. Wajahnya melongo ketika aku memasuki sebuah supermarket terdekat, lalu mengambil mie instan cup dan juga onigiri sebagai pelengkap tak lupa aku juga mengambil dua botol air mineral lalu membawanya ke meja kasir. Pria itu tidak bereaksi selain menatap makanan yang aku susun dimeja p********n. “Nona Fokus!” ujarku menjentikan jari pada sang kasir yang berlebihan menanggapi keterpesonaannya pada Elvern. “Kau bayar ini,” perintahku pada Elvern yang langsung sadar fungsi dirinya secara alami ditempat ini. Setelahnya aku menggiring Elvern untuk duduk pada satu set meja yang tersedia di supermarket lalu mengambil air panas melalui mesin pembuat kopi. Dengan hati-hati aku menuang air mendidih dan memasak mie milikku sendiri. Sementara Elvern hanya diam dan memperhatikanku dengan seksama apa yang sedang aku lakukan. “Kau tidak makan?” Elvern melongo mendengar pertanyaanku. “Kau tidak membuatkannya untukku?” “Kau pikir aku pelayanmu?” “Bagaimana bisa kau memperlakukan seorang model papan atas dengan cara seperti ini. maksudku ada banyak tempat makan yang tersebar diseluruh pelosok negeri ini dan aku bisa membawamu kesana. Dari sekian banyaknya pilihan bagus yang aku tawarkan kenapa kita harus makan mie instan didepan supermarket seperti ini?” keluhnya. “Mana ada kencan yang seperti ini?” imbuhnya lagi. “Aku tidak pernah setuju untuk menganggap ini sebagai kencan sejak awal.” Jawabku sambil menyeruput mie milikku. “Aku tidak mengerti kenapa kau sengotot ini, tapi bila hanya untuk ucapan terimakasih ini sudah lebih dari cukup buatku,” Elvern memandangi aku lagi dengan cara pandangnya yang aneh. Lalu tiba-tiba dia menggunakan sumpit miliknya dan mengambil mie instan yang ada dicup ku dan menyeruputnya pula. ketika itulah mie yang aku tarik dan mie yang dia makan terhubung. Menyadari sesuatu yang tidak semestinya, aku menggigitnya hingga moment yang mungkin bila terjadi di dalam n****+ maupun adegan film tersebut gagal untuk disebut sebagai romantis. “Terimakasih atas makanannya, setelah ini tolong tepati janjimu sendiri,” ujarku berdiri lalu mengambil onigiri yang belum tersentuh dan botol air mineralnya pula sambil mengambil langkah panjang meninggalkannya. “E-eh tunggu dulu kita belum—” Sayang sekali aku tidak membiarkan dia bertingkah lebih dari ini. Tidak kudengar apa yang ingin dia sampaikan sebab bagiku akan lebih bagus bila aku tidak terlibat dengannya lagi. *** “Urusanmu sudah selesai?” baru saja akan mengejar sosok adiknya sudah berdiri disisinya. Dia melirik kearah onigiri dan mie instan yang masih utuh belum terseduh dengan tatap yang penuh kecurigaan. Namun Tyrion tidak berkata apapun. namun yang berbeda Tyrion membawa seorang gadis disisinya. Dan keberadaan gadis disekitar Tyrion adalah hal yang tidak biasa. “Siapa dia?” tanya Elvern balik bertanya. Tatap matanya sekilas kearah gadis yang dibawa Tyrion namun tidak lebih dari sedetik pria itu sudah mengalihkan pandangan matanya lagi. “Ah, halo… namaku Idril,” sapanya riang, mengacuhkan sikap tak ingin tahu yang terang-terangan Elvern perlihatkan pada gadis itu. “Kenapa dia bersamamu?” ujar Elvern lagi. Dia tidak menyahuti perkataan Idril. Fokusnya justru teralih pada Tyrion yang menurutnya cukup mengherankan. Pasti ada alasan mengapa dia membawa perempuan asing disisinya. “Kita sebetulnya tadi berpapasan dengan dia saat kau mengunjungi toko buku. Karena kupikir aku mengenalnya jadi aku mendekati dia sekalian. Lalu kutawarkan dia untuk berangkat bersama.” Jelas Tyrion. Tatapnya terlihat cukup serius kali ini. sudah pasti bahwa apa yang dikatakan adiknya adalah sebuah kebenaran mutlak. “Kalau kau lupa padanya akan aku ingatkan padamu. Dia adalah model yang juga bekerja dalam project yang sama dengan kita. Kau ingat apa yang dibilang Halley kemarin kan?” Mendengar nama Halley diikutkan dalam pembicaraan, barulah Elvern menyadari satu hal. Elvern ingat bahwa Halley pernah menyebutkan mengenai seorang model yang salah satunya adalah mantannya dan perempuan itu memandanginya dengan tatapan seolah dia penjahat kelamin. Tyrion cukup menarik membawa seseorang seperti ini didekatnya. Maka tanpa perlu berpikir Elvern menganggukan kepalanya. “Ah, aku ingat. Jadi namamu Idril ya? Sama seperti yang managerku katakan kau mau berangkat bersama kami?” “Eh? Jadi ini sungguhan? Benarkah? Apa tidak apa-apa? Tidak merepotkan anda berdua kan?” tanyanya seperti menegaskan sebuah keraguan meski matanya menunjukan binar takjub. Elvern menganggukan kepalanya pelan. Dia melirik kearah arlojinya  lagi. Waktu luangnya sudah habis. Sudah saatnya dia kembali disibukan aktivitas dan beranjak pergi. Ia melirik sekilas kearah toko buku. Mencari sosok Haleth disana. Tapi sayangnya dia tidak menemukan gadis itu. sekali lagi dia harus memikirkan kembali cara terbaik mendekatinya sebab alasan yang dia miliki telah dipatahkan gadis itu. “Aku sangat bahagia, tidak kusangka aku akan bertemu dengan Tuan Elvern ditempat seperti ini. ini keajaiban,” puji Idril yang terlihat teramat memujanya. Respon seperti ini biasa. Dan Elvern tidak terlalu memikirkannya. “Tidak perlu pakai Tuan. Elvern saja,” “Baiklah, Elvern…” ujar Idril. Lalu detik berikutnya dia seperti sedang merapal mantra karena menyebut namanya berulang-ulang dan tertawa cekikikan sepanjang jalan. Dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya sedikitpun atas pertemuan tidak sengaja yang terjadi antara dirinya dengan senior yang teramat dia puja. Terlebih bila dia menjalin relasi yang dekat dengan Elvern sudah pasti karirnya akan ikut terbantu. Kalau bisa bahkan sampai titik melejit. “Aku tidak mengira akan bertemu denganmu disini,” ujar Elvern. Hanya basa basi saja sebetulnya tidak ada maksud lain. “Ah.. itu karena aku memang tinggal disekitar sini, kebetulan aku juga tadi ada sedikit urusan di toko buku. Jadinya aku keluar rumah pagi-pagi,” Mendengar toko buku diikut sertakan diam diam Elvern jadi tertarik untuk menggali lebih dalam. “Oh jadi orang sini ya,” “Begitulah,” “Kau sering mampir ketoko buku. Hobby mu membaca?” tanya Elvern tiba-tiba. Dia tahu mungkin agak sedikit aneh tapi dia merasa tidak bisa menghentikan rasa ingin tahunya yang mendalam. “Tidak terlalu, tapi kau sering mampir kesana karena aku punya sepupu,” “Ah.. tapi jika sering kurasa kau ada kemungkinan mengenal salah satu dari pramuniaga disana kan ya?” untuk pertanyaan ini Idril tidak langsung menjawab. Dia mengerutkan keningnya sedikit menimbang-nimbang untuk menjawab atau melewati pertanyaan ini secara natural. Tapi sedikit  banyak Idril jadi penasaran. Hanya ada dua pramuniaga ditoko buku itu. yakni sepupunya Haleth dan si bocah SMA yang baru mau kuliah Lusi. “Maksudmu yang mana?” pancing Idril. “Yang dewasa,” ujar Elvern. “Ah… Haleth?” konfirmasi Idril. “Kau mengenalnya?” “Tentu saja dia adalah sepupuku dan kami tinggal ber…sama,” suara Idril mengecil diakhir kalimat. Idril sangat menghormati ideologi sepupunya yang tidak mau disangkut pautkan dalam dunia yang dia jalani. Tapi mendengar orang sekelas Elvern menanyakan soal dirinya. Idril jadi tidak sadar malah mengungkapkan informasi yang seharusnya dia jaga sampai mati. Dia tahu bahwa sifat mulut embernya ini membuat dirinya sendiri terkadang frustasi lantaran tidak pandai menjaga rahasia sendiri. “Sungguhan?” mata Elvern yang melebar mengindikasikan ketertarikan. Idril tidak buta untuk memahami bahwa pria dihadapannya ini memiliki sebuah kecenderungan secara pribadi pada sepupunya. “Iya. Tapi kenapa bertanya soal Haleth?” pria itu tidak menjawab. Sebagai gantinya dia hanya memberikan Idril sebuah senyuman yang penuh dengan tanda tanya. Ia melirik kearah Tyrion yang menatapnya curiga tapi dia tidak bereaksi apa-apa. “Tidak apa-apa,” Setelah mereka tiba ditempat mobil mereka terparkir, Tyrion membukakan pintu untuk Idril masuk lebih dulu. Tapi sebelum kakaknya melakukan hal yang sama Tyrion lebih dulu menghentikannya. Ada sesuatu yang mengganggu. Dia menepuk bahu Elvern untuk selanjutnya dia berbisik di telinga kakaknya. “Sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan?” Elvern mendorong adiknya untuk menjauh lalu memberinya sebuah senyum saja. ambigu. Lalu didetik yang sama pria itu menyeringai lebar.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD