10. Gubuk Tua Dekat Alas Cinde

1570 Words
Menapaki perjalanan panjang ditemani seberkas cahaya mentari membuat Arsakha yakin bahwa dirinya dapat melewati ujian ini demi bertemu dengan keluarga kandungnya. Setelah keluar dari desa Kuncen yang berada di ujung perbatasan alas Nggaranggati, Arsakha kembali dihadapkan pada sebuah hutan yang lebat. Hutan itu merupakan perbatasan dengan desa-desa setelah desa Kuncen menuju pegunungan Batur. Setelah Arsakha berjalan cukup jauh, dia beristirahat di dekat sungai. Lantaran dirinya merasa sangat haus. Sehingga Arsakha menyegarkan tubuhnya dan mengambil air bersih yang mengalir di sungai itu sebagai bekal untuknya hingga menemukan kembali sebuah desa. Saat ini Arsakha tengah istirahat di alas Cinde. Hening dan sejuk, suasana itu cukup menggambarkan situasi alas Cinde. Suara kicauan berbagai macam burung yang memang habitatnya berada di sana membuat hati Arsakha merasakan kesejukan hingga ia tersenyum lega. Bahkan baru pertama kali ini dirinya keluar dari tempat persembunyiannya di Alas Nggaranggati. Nyi Rontek sangat menjaga Arsakha dari orang-orang yang berniat jahat kepadanya. Karena beliau yakin, Arsakha bukan anak sembarangan. Nyi Rontek merasa bahwa Arsakha adalah kunci dari sebuah fakta dan kebenaran yang suatu hari akan terungkap berkat kedatangannya kembali kepada tempat asalnya. Sehingga Nyi Rontek melarang Arsakha untuk pergi ke tempat yang lebih jauh, sebelum usia dan pemikirannya matang. Nyi Rontek harus memastikan kalau Arsakha mampu menjaga dirinya sendiri selama perjalanan mencari jati dirinya. Di usia yang menginjak dua puluh tahun inilah, momen yang tepat bagi Arsakha mengetahui semua fakta. Sehingga Nyi Rontek memintanya untuk mengadakan sebuah pengembaraan mencari jati dirinya dan mengungkap masa lalunya. Arsakha menghirup napas yang panjang. Dia kembali bersiap untuk melanjutkan perjalanan mencari desa terdekat, agar dirinya bisa menginap di desa tersebut saat matahari mulai terbenam. Ketika dirinya baru saja melangkahkan kaki, dia merasa bahwa ada sesuatu yang sedang mengintai dan membuntutinya. Namun, Arsakha tidak menyimpan sedikit pun rasa takut, selama dia selalu berada di jalan yang benar. ‘Aku harus merahasiakan identitasku sebagai putra dari Nyi Rontek. Aku akan memperkenalkan diriku kepada orang-orang yang akan aku temui di depan sana sebagai pendekar Chandra Kumara. Mungkin dengan begitu mereka tidak akan ada yang mencurigaiku sebagai bayi yang pernah dibuang di Segara Lintang. Jujur, aku begitu penasaran tentang masa laluku dan siapa keluargaku. Baiklah ... aku akan memulai kembali perjalanan ini hingga matahari terbenam.’ Arsakha kembali melanjutkan langkah kakinya setelah melirik ke arah belakang, karena dia mengetahui ada sesuatu yang sedang mengawasi dirinya selepas dia berkunjung ke sungai yang ada di Alas Cinde. Arsakha melenggang dengan barang bawaannya, termasuk membawa sebuah kotak yang menjadi kunci untuk mengungkapkan siapa jati diri yang sebenarnya. Tidak ada kendala yang berarti ketika dia melintasi wilayah alas Cinde. Hanya saja Arsakha merasakan bahwa sesuatu yang mengawasinya itu masih terus mengikutinya hingga dirinya sampai di sebuah gapura perbatasan desa perta yang akan ia singgahi yang berbatasan dengan alas Cinde. *** Ketika Arsakha sampai di perbatasan desa itu. Dia membaca sebuah ukiran yang tertera di gapura perbatasan desa. “Desa Krokot.” Arsakha membaca dengan lancar. Tulisan itu dibuat menggunakan huruf Jawa kuno yang dapat Arsakha baca dengan baik, Nyi Rontek mengajarkannya membaca, menulis, dan berhitung sebagai sebuah wawasan agar Arsakha tidak mudah terkena tipu daya manusia-manusia licik ketika dalam pengembaraan. Rupa-rupanya Nyi Rontek sudah mempersiapkan segalanya secara matang untuk Arsakha. Karena wangsit yang Nyi Rontek terima ketika dia bersemadi selalu melihat sebuah cahaya di balik aura Arsakha. Begitu pula dengan nama Candra Kumara yang digunakan Arsakha untuk menyamar menjadi seorang pendekar pengembara yang asal-usulnya dirahasiakan. Candra Kumara berarti Putra Rembulan. Seperti nama yang menggambarkan bagaimana pertama kali Nyi Rontek menemukan Arsakha untuk yang pertama kalinya. Nyi Rontek menemukan Arsakha ketika malam bulan purnama di tepi Segara Lintang. Sehingga beliau telah menyiapkan sebuah nama yang dirancang khusus untuk penyamaran Arsaka suatu hari nanti, ketika dia akan memulai pengembaraannya. Sehingga sebelum Arsakha mulai pengembaraan, Nyi Rontek memberikan nama itu kepadanya. Beliau pun mewanti-wanti Arsakha untuk tidak mengatakan bahwa dirinya berasal dari wilayah alas Nggaranggati. Karena Rontek memiliki firasat bahwa ada sesuatu hal yang terjadi sebelum akhirnya Arsakha berada di Segara Lintang. Begitu pula dengan keris pusaka dan gelang berukir burung garuda yang mengepakkan sayapnya, ditemukan di dalam selimut bayi milik Arsakha saat malam purnama itu. Semua teka-teki harus Arsakha ungkap agar dirinya benar-benar mengetahui sebuah fakta. Sejatinya Arsakha memang keturunan darah biru. Putra dari Puspa Kencana yang saat ini berada di kerajaan Arundapati. Seorang selir yang sangat dicintai oleh rajanya yang bernama Ganendra Wilantika. Namun sesuatu yang belum terungkap adalah siapa ayah dari Arsakha yang sebenarnya? Mengapa Raja Ganendra begitu menggebu-gebu untuk membunuh Arsakha karena Ganendra mengetahui bahwa dia bukanlah keturunannya. Dengan perjalanan pengembaraan inilah Arsakha akan mengungkapkan satu persatu sebuah fakta. *** Matahari mulai di ujung senja. Ketika cahayanya mulai berganti petang diikuti awan kelabu yang semakin semu. Arsakha hampir sampai di desa Krokot. Seperti yang tertera dalam ukiran pada gapura perbatasan desa. Tampaknya langit tidak dapat lagi membendung gerimis yang mendesak terus untuk menyirami bumi Pertiwi. Arsakha menengadahkan kepalanya untuk melihat cuaca dan situasi yang sepertinya akan terjadi sebentar lagi. “Langit sudah sangat mendung, rintik gerimis pun mulai turun. Bahkan situasi saat ini tampak semakin gelap. Aku harus segera berlari dan menemukan tempat untuk berteduh! Semoga saja sebentar lagi aku akan menemukan rumah penduduk dan akan meminta izin untuk berteduh di sana.” Arsakha berlari untuk mencari tempat berteduh karena gerimis yang turun semakin deras. Saat itu pun waktu sudah sangat petang. Hal itu membuat Arsakha mencari tempat berteduh untuk dirinya. Tampak dari kejauhan sebuah rumah yang sangat sederhana di bawah pohon yang rindang. Rumah itu adalah rumah paling ujung yang terdekat dengan alas Cinde. Arsakha kembali berlari untuk berteduh di depan teras rumah itu. Saat ini Arsakha sudah berteduh dari hujan deras yang mengguyur wilayah desa Krokot. Di depan sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu. Alasnya pun menggunakan tanah, jendela rumah itu pun terbuat dari kayu yang dibentuk seperti jeruji. Sehingga suasana di dalam rumah terlihat dari depan, karena pemilik rumah belum menutup jendelanya menggunakan bilik bambu. ‘Rumah ini terlihat sepi? Sebenarnya aku ingin meminta izin kepada pemiliknya, suasana di dalam pun terlihat sangat gelap seperti tidak berpenghuni. Aku berteduh di luar saja hingga hujan reda,' batin Arsakha yang merasa gundah karena belum meminta izin untuk berteduh kepada pemilik rumah. Namun, tiba-tiba pintu rumah itu berderit. Arsakha terperanjat untuk menoleh ke arah pintu itu. Seorang wanita tua keluar dari sana dengan membawa penerangan berupa obor yang dia buat sendiri. “Maaf, Nek! Saya ikut berteduh di sini karena hujan begitu deras.” Arsakha menundukkan kepala dan bahunya sebagai rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Dia pun meminta maaf kepada wanita tua itu karena selamat dia berada di sana belum meminta izin kepada pemilik rumah. “Tidak apa-apa, Cu! Masuklah! lebih baik kau berteduh di dalam saja! Karena hujan yang sangat deras disertai angin tetap saja akan membuatmu basah kuyup jika berlama-lama di situ! Tidak usah takut! Rumahku memang kecil tapi di dalam cukup hangat dari pada kau tetap berdiri di luar situ, Cu!” Nenek tua itu bersikap sangat ramah. “Oh ... terima kasih, Nek! Maaf jika saya merepotkan.” Arsakha kembali meminta maaf karena dirinya takut kalau akan merepotkan sang nenek. “Tidak usah sungkan! Masuklah! Kemarilah, Cu!” nenek tua itu kembali mengajak Arsakha untuk masuk ke dalam rumahnya. “Baik, Nek!” Arsakha ikut berjalan memasuki rumah nenek tua itu. Di sana dia duduk di sebuah bangku panjang dan terdapat sebuah meja yang terbuat dari kayu yang sudah mulai lapuk. Di gubuk tua milik sang nenek, hanya terdapat satu dipan yang digunakan oleh nenek itu untuk beristirahat merebahkan tubuhnya. Di belakangnya tampak sebuah Pawon yang masih terlihat mengepul hingga asapnya masuk ke dalam gubuk sang nenek. Obor kembali dinyalakan karena obor yang nenek tua itu bawa, akan Beliau simpan di dekat Pawon. (Pawon adalah perapian tradisional yang menggunakan kayu bakar). Nenek tua berjalan dengan membawakan air minum untuk Arsakha yang beliau simpan di dalam kendil beserta gelas yang terbuat dari tanah liat. “Minumlah, Cu! Nenek hanya memiliki air teh.” “Terima, Nek! Bersyukur sekali saya bertemu orang baik seperti Nenek.” Arsakha menuangkan air teh di dalam kendil ke dalam gelas yang terbuat dari tanah liat itu. Kemudian ia meminumnya dengan rakus. Karena dia benar-benar merasa sangat haus dan kedinginan. Kebetulan air teh yang berada di dalam kendil itu masih terasa hangat. Arsakha merasa sangat lega setelah tubuhnya kembali menghangat. “Teh yang ada di dalam kendil itu, Nenek sendiri yang memetiknya di hutan, lalu nenek meraciknya di atas Pawon, hingga mengering dan bisa digunakan untuk waktu yang cukup lama.” nenek tua itu bercerita kalau dia masih sanggup memetik teh di hutan dan meramunya menjadi teh kering yang siap diseduh dengan air panas. “Salut dengan nenek yang masih kuat mencari dan memetik daun teh sendiri.” Arshaka tersenyum ke rah sang nenek. “Memang sehari-hari, Nenek bekerja mencari kayu bakar di Alas Cinde. Setelah itu Nenek jual ke tetangga ataupun ke pedagang-pedagang yang ada di pasar. Bukan hanya menjual kayu bakar, biasanya Nenek juga menjual teh buatan sendiri. Karena Nenek tidak bisa menggantungkan diri Nenek dari belas kasihan orang lain, karena sudah lama Nenek hidup sendiri sebatang kara. Lalu .. kau ini siapa? Tampaknya kau tidak berasal dari desa Krokot? Nenek sepertinya baru melihat orang sepertimu.” Nenek tua itu mempertanyakan asal-usul Arsakha mengapa tiba-tiba berada di depan rumahnya. *** Bagaimana Arsakha menjelaskan hal itu kepada nenek tua yang sudah menolongnya? Lalu bagaimana Arsakha bertahan hidup? Dan permasalahan apa yang akan segera menghampiri Arsakha di desa Krokot? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD