11. Siluman Tapir Merah

2223 Words
Arsakha terdiam ketika nenek tua mempertanyakan asal-usulnya. Tidak mungkin Arsakha mengatakan kalau dirinya berasal dari alas Nggaranggati, lantaran Nyk Rontek melarangnya untuk mengatakan kepada orang lain mengenai daerah asal tempat tinggalnya selama ini. “Ah ... Saya hanya seorang pengembara, jadi langkah kaki saya mengikuti ke mana arah angin berembus ... sudah banyak tempat yang saya singgahi, kebetulan malam ini hujan begitu sangat deras, jadi saya putuskan untuk berteduh dan menginap satu malam di desa Krokot. saya akan kembali melanjutkan perjalanan esok hari. Kalau diizinkan, bolehkah saya ikut berteduh di teras rumah Nenek.” Arsakha memang berniat untuk melanjutkan perjalanan esok hari. Karena perjalanan malam hari dirasa berbahaya. Takutnya Arsakha dihadang binatang buas di hutan. “Jangan di luar, Cu! Tidurlah saja di sini! Di kursi yang kamu duduki! Di luar dingin dan belakangan ini di desa Krokot memang sedang ramai siluman yang berkeliaran! Pokoknya selepas waktu petang semua orang sudah pada masuk ke dalam rumah, hanya tinggal beberapa penduduk yang berkeliling desa untuk melihat situasi keamanan di desa Krokot. Lebih baik kamu tidur di dalam saja!” Nenek tua itu tidak tega melihat Arsakha yang akan bermalam di teras rumahnya. “Kalau begitu saya benar-benar berterima kasih kepada Nenek dan tidak usah sungkan kalau Nenek ingin meminta tolong kepada saya.” Sudut bibir Arsakha menampakkan lengkungan senyum yang menyejukkan hati nenek tua. *** Malam yang kian larut membuat perasaan Arsakha semakin sunyi karena memendam kerinduan kepada sosok yang sama sekali tidak bisa ia lupakan kebaikannya. Nyi Rontek adalah wanita yang sudah memberikan seluruh jiwa raganya demi merawat dan membesarkan Arsakha. Walau Nyi Rontek bukan ibu kandungnya, tetapi tidak berkurang sedikit pun rasa sayangnya kepada Arsakha. Arsakha pun merasakan kehampaan karena dia sama sekali tidak mengetahui bagaimana wajah kedua orang tuanya. Bahkan namanya saja Ardakha juga benar-benar tidak mengetahuinya. Dia berharap pengembaraan ini akan mengantarkannya bertemu dengan sosok yang selama ini Arsakha cari. Keluarga dan kedua orang tua kandungnya. Arsakha berjalan memeriksa keadaan nenek tua yang sudah tidur pulas di atas dipan yang terbuat dari bambu yang mulai lapuk. Ia menyelimuti nenek tua menggunakan kain yang ada di sana untuj menghangatkan tubuh sang nenek. Dia tidak mau kalau nenek tua itu kedinginan saat tertidur pulas. Arsakha kembali berjalan dan merebahkan tubuhnya di atas bangku yang terbuat dari kayu yang berada di dekat jendela. Karena memang bangku itu satu-satunya yang ada di sana. Arsakha tidak merasa sedih ataupun meratapi nasibnya. Karena memang selama ini dia sudah terbiasa hidup di gua dan alas Nggaranggati. Tatapan mata Arsakha nanar melihat anyaman bambu yang menjadi dinding rumah itu. Pikirannya terus berjalan membayangkan dan berangan-angan bagaimana rupa kedua orang tuanya. Namun ada satu hal yang selalu mengganjal di dalam hati Arsakha setelah ia mengetahui sebuah fakta tentang sebuah kebenaran yang tidak bisa diingkari. ‘Ternyata kehidupanku tidak semulus seperti yang aku pikirkan. Keluarga yang selama ini telah merawatku dengan baik yang aku pikir adalah Ibu kandungku dan juga Paman, serta Bibiku. Ternyata mereka semua tidak memiliki hubungan darah denganku. Namun, apa yang mereka berikan kepadaku tidak akan pernah sanggup untuk aku membalas Budi kepada mereka. Pernah terlintas dalam benakku untuk mempertanyakan siapa Ayahku kepada Ibu. Untung saja aku menahan pertanyaan itu hingga akhirnya aku mengetahui bahwa jati diriku yang sebenarnya justru harus aku ungkap sendiri. Apakah kedua orang tuaku masih hidup? Atau ... Kedua orang tuaku memang tidak menginginkanku? Atau ... Aku memang sengaja dibuang oleh mereka? Apa pun kenyataannya aku akan terima. Setelah aku menemukan siapa jati diriku, aku akan memutuskan untuk masa depanku dan tentunya kembali ke Alas Nggaranggati untuk memberitahu Ibu, Paman, Bibi, karena mereka adalah orang-orang yang selalu menjaga dan menyayangiku,' batin Arsakha begitu sulit untuk membayangkan bagaimana dan siapa kedua orang tuanya. *** Tidak terasa mata Arskha terpejam, karena rasa lelah yang memburunya seharian ini. Namun telinganya masih tetap waspada. Sehingga saat dia mendengar suara Kentung bambu yang dipukul sebagai pertanda ada bahaya. Arsakha terperanjat dari tidurnya. Ia berusaha untuk mengintip dari celah bilik bambu yang berlubang, apa yang terjadi di luar sana. Beberapa penduduk yang tengah berjaga-jaga di desa, terlihat berlarian mengejar sesuatu ke arah hutan. Suara gaduh itu juga terdengar membangunkan nenek tua. Arsakhaa mendengar sangat jelas bagaimana beberapa penduduk desa itu membicarakan sesuatu hal tentang siluman tapir merah. Namun Arsakha belum mengetahui makhluk seperti apa dan kerugian apa yang dialami oleh penduduk desa. “Cu?” “Eh ... Nenek?” raut wajah Arsakha tersentak kaget karena tiba-tiba nenek tua menepuk bahunya di saat Arsakha sedang serius mengintip dan mendengarkan pembicaraan mereka luar sana. “Kamu kaget, Cu?” nenek tua terkekeh. “I—iya, Nek.” Arsakha menggaruk kepalanya walau tidak terasa gatal karena dia merasa malu terhadap sang nenek. “Seperti yang Nenek bilang, belakangan ini di desa Krokot benar-benar sedang terjadi sesuatu yang meresahkan.” nenek tua menceritakan hal itu kepada Arsakha. Kemudian pemuda itu berusaha menuntun nenek tua untuk duduk di bangku yang ada di dekat jendela. “Jadi apa yang sebenarnya terjadi di sini Nek?” Arsakha masih menatap nenek tua dengan saksama, ia merasa sangat penasaran dengan cerita nenek tua itu. “Di desa ini sedang beredar rumor tentang siluman tapir merah. Dia merugikan beberapa penduduk karena sudah berani mencuri kepeng atau emas milik penduduk. Mungkin, tadi saat beberapa penduduk ronda, siluman tapir merah menampakkan dirinya atau bisa jadi sedang kepergok menggasak uang di rumah penduduk. Akhirnya dikejar-kejar oleh mereka yang sedang berjaga.” Nenek tua itu kembali menghela napas. Lantaran kampungnya terusik belakangan ini. “Untung saja nenek tidak memiliki harta kekayaan seperti itu, siluman tapir merah tidak mungkin menyatroni rumah Nenek yang gubuk seperti ini.” nenek tua terlihat sangat menikmati keadaan yang begitu apa adanya walau terlihat sederhana tapi nenek tua merasa bahagia. “Apa begitu parah? Ada beberapa siluman atau hanya satu, Nek?” Arsakha benar-benar penasaran dengan sosok siluman tapir merah. Walau dirinya sudah biasa berpapasan dengan siluman yang berkeliaran di alas Nggaranggati. “Nenek tidak tahu, Cu! Nenek juga takut! Takut diseruduk!” nenek tua itu kembali terkekeh. “Ya ... lebih baik nenek hati-hati saja! Walau mereka tidak mengincar harta nenek, takutnya nenek terkena imbas saat mereka sedang dikejar warga.” Arsakha takut kalau nenek tua itu terkena imbas dari siluman tapir merah yang sedang dikejar-kejar oleh warga. “Iya, Cu, Ya sudah kamu istirahat saja! sebentar lagi mungkin pagi mulai menyingsing.” Nenek tua kembali merebahkan tubuhnya di atas dipan itu. Sedangkan Arsakha sama sekali tidak bisa memejamkan matanya kembali. Dia duduk sembari membuka kotak yang berisi keris pusaka dan gelang yang berukir burung garuda yang sedang mengepakkan sayapnya. ‘Keris pusaka beserta gelang yang berukir burung garuda ini terlihat sangat indah. Entah apa arti dari semua ini. Sesuatu hal yang jelas aku harus segera menemukan keberadaan orang tua kandungku. Semoga akan segera menemukan petunjuk agar aku bisa memantapkan hati untuk terus melanjutkan pengembaraan ini,' Arsakha berharap perjalanannya menemui sebuah titik terang akan jati dirinya yang selama ini begitu misterius. *** Ketika pagi menjelang Arsakha sudah membantu membukakan bilik bambu yang menutupi jendela gubuk milik nenek tua. Ia pun segera membantu sang nenek untuk merebus air hangat di atas perapian. Arsakha merasa ada yang aneh dengan nenek tua yang sampai detik ini masih terbaring di atas dipan. Namun Arsakha tidak berani untuk membangunkannya. Hanya membantu pekerjaan yang biasanya dikerjakan Arsakha di pagi hari. Ketika Arsakha menunggu rebusan air itu mendidih, ia duduk di depan perapian sembari menghangatkan tubuhnya. Tak lama berselang terdengar suara rintihan dari dalam gubuk milik nenek tua. Arsakha yang memiliki pendengaran yang begitu tajam, terperanjat dari posisi duduknya dan langsung melompat ke dalam rumah nenek tua. Arsakha mendapati nenek tua sedang merintih kesakitan sembari memegangi lututnya, “Nek? Kenapa?” Arsakha terkejut ketika melihat nenek tua itu meringis kesakitan. “Lutut nenek, Cu! Sudah mulai kaku dan rasanya sangat ngilu. Hal seperti ini biasa terjadi kalau suhu udara terasa sangat dingin seperti pagi hari ini.” Nenek tua terus memegangi lututnya sembari meringis kesakitan. Udara pagi ini memang begitu dingin dan berkabut, karena semalaman hujan begitu deras. “Biar saya kompres dengan air hangat ya?” dengan cekatan Arsakha melangkah ke arah dapur dan mengambil air hangat untuk dikompreskan pada kaki nenek tua. “Ini kain bersih, bisa bantu Nenek untuk mengompres kaki Nenek?” Nenek tua itu mengeluarkan selembar kain bersih dari tumpukan kain yang ada di sudut dipan. “Baik Nek, maaf ya, Nek ... kalau sakit.” Dengan telaten Arsakha membantu nenek tua mengompres lututnya yang terasa sangat kaku saat dingin melanda. “Terima kasih.” Nenek tua kembali tersenyum pada Arsakha yang terlihat begitu telaten merawat sang nenek walaupun baru dia kenal. Arsakha melihat roman wajah nenek itu murung. Dia kembali menanyakan penyebab murungnya sang nenek tua. “Nenek, kenapa?” dengan lembut Arsakha memperlakukan nenek tua seperti dia memperlakukan Nyi Rontek yang sangat berjasa dalam hidupnya. “Hari ini seharusnya Nenek pergi untuk mencari kayu bakar di hutan, tapi lutut nenek tidak memungkinkan untuk bekerja. Padahal Nenek sudah janji sama salah satu pedagang yang ada di pasar, Nenek sudah menerima sebagian uangnya. Tapi mau bagaimana lagi ... kondisi Nenek benar-benar tidak memungkinkan. Nenek juga tidak mungkin untuk mengembalikan separuh uang yang sudah diberikan oleh saudagar itu. Nenek benar-benar bingung.” Wajah nenek berbalut sendu. Dia merasa bingung karena saat itu kondisinya tidak memungkinkan nenek tua untuk pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Nenek tua itu juga sudah menggunakan sebagian uang yang diberikan oleh saudagar di pasar itu. “Nek, Kalau boleh ... biar saya saja yang pergi mencari kayu bakar di hutan.” Arsakha tidak tega melihat nenek tua merutuki nasibnya. Beliau itu sudah sangat baik memberikan tumpangan tenpat berteduh kepada Arsakha. “Apa itu tidak merepotkanmu? bukankah kamu harus melanjutkan pengembaraanmu, Cu?” nenek tua juga merasa tidak enak hati kalau sampai pengembaraan Arsakha terhambat. “Saya hanyalah seorang pengembara yang mengikuti ke mna angin berembus, walau memiliki satu tujuan, bukan berarti terputus untuk memberikan kebaikan. Biarlah saya yang menggantikan Nenek untuk mendapatkan kayu bakar itu. Setelah itu saya akan mengantarkan kayu bakarnya kepada saudagar yang dimaksud oleh Nenek.” Arsakha mengulas senyuman hangat dan menenangkan. “Terima kasih banyak, Cu! Maaf kalau nenek harus merepotkanmu.” nenek tua membalas senyuman yang begitu menyejukkan di hati nenek tua. “Kalau begitu saya bersiap untuk pergi mencari kayu bakar. Nenek membutuhkan sesuatu untuk saya ambilkan atau saya siapkan?” Arsakha tidak pernah setengah-setengah dalam membantu orang lain. “Tolomg ... ambilkan Nenek satu gelas minum saja!” nenek tua tidak ingin merepotkan banyak hal kepada Arsakha. “Baik, Nek!” saka dengan segera mengambil kan satu kelas minum untuk nenek tua. “Berangkatlah, Cu! Hati-hati! Karena tidak ada yang pernah kita tahu bagaimana bahayanya berada di hutan sana.” nenek tua memberikan nasihat kepada Arsakha agar dia menjaga dirinya baik-baik. “Baik, Nek! Saya akan segera kembali.” Arsakha segera pergi menuju hutan untuk mencari kayu bakar. *** Perjalanan Arsakha ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar di rasa baik-baik saja. Hingga dirinya mengumpulkan tiga gulung kayu bakar yang siap dia bawa pulang. Hari sudah semakin siang saat Arsakha sampai di rumah nenek tua. Dia mempertanyakan kepada sang nenek tua kepada siapa dirinya harus mengantar tiga gulung kayu bakar itu. “Antarkan saja kepada seorang pedagang di pasar yang bernama juragan Surya. Bilang saja Nenek Darsih yang menyuruhmu. Jika juragan Surya memberikan sisa upah, terima saja.” Nenek tua bisa bernapas lega karena Arsakha berhasil menolongnya untuk memberikan kayu bakar kepada juragan Surya seperti janjinya. “Baik, Nek! Akan saya cari juragan suryya di pasar. Nenek mau menitip sesuatu?” Arsakha merasa kalau nenek tua membutuhkan sesuatu untuk kesembuhan lututnya. “Tidak perlu, Cu! Kau beli saja makan siang untukmu!” “Untuk saya? Apa Nenek sudah makan?” Arsakha merasa bingung karena dia tidak melihat ada makanan di meja. “Tidak perlu! biarlah kamu beli makan untukmu saja. Terima kasih, Cu!” nenek tua tersenyum ramah. “Baik, Nek! saya mengantarkan kayu bakar ini dulu kepada juragan Surya.” Arsakha tidak berkomentar banyak. Namun dia berniat untuk membelikan makan untuk nenek tua. Lebih baik Arsakha yang tidak makan hari ini dari pada melihat nenek tua itu kelaparan. *** Arshaka melenggangkan kakinya dengan membawa tiga gulung kayu bakar ke pasar desa Krokot. Dia berusaha untuk mencari seseorang yang bernama juragan Surya. Sang pemilik sebuah kios yang ada di pasar yang memang memesan tiga gulung kayu bakar kepada nenek Darsih. Setelah berjalan cukup lama dan bertanya kepada orang-orang yang ada di pasar, akhirnya Arsakha sampai di depan sebuah kios milik juragan Surya. Dia juga mengatakan kepada juragan Surya bahwa dia adalah utusan Nenek Darsih yang diperintahkan untuk mengantarkan tiga gulung kayu bakar. Juragan Surya berterima kasih dan dia memberikan sisa upah yang menjadi hak nenek Darsih. Namun, sesuatu hal yang tidak mengenakkan terjadi menimpa Arsakha. Ketika dia berjalan di antara hiruk-pikuknya pasar di desa Krokot, banyak warga yang menatap ke arah Arsakha, karena dia sosok warga baru yang terlihat di sana. Parahnya lagi banyak penduduk yang sedang menceritakan tentang sepak terjang siluman tapir merah. ‘Kenapa mereka menatapku seperti itu?’ Arsakha mencurigai sesuatu hingga Dia berbicara dalam hatinya. Arsakha yang tengah berjalan di antara kerumunan penduduk desa, seakan menjadi di sorotan untuk mereka. Hingga seseorang datang menghampirinya. Dia salah satu preman pasar yang biasanya menjaga keamanan. Kali ini dia benar-benar mencegat langkah arshaka. *** Apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh preman pasar itu kepada Arsakha? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD