12. Harapan yang Semakin Semu

1409 Words
Langkah kaki Arsakha terhenti ketika preman pasar itu menghadangnya. Arsakha menatap dengan nanar preman pasar yang terlihat menyipitkan matanya ketika membalas tatapan Arsakha dengan begitu lekat. “Maaf, permisi ... Kisanak! Saya hendak lewat untuk kembali pulang ke rumah.” Arsakha berbicara dengan ramah dan meminta izin kepada kepala preman itu untuk tidak menghalangi jalannya. “Apa kau bilang? Hendak pulang? Siapa kau sebenarnya? Untuk apa kau ada di kampung kami?” pria berbadan besar, kekar, dengan rambut yang begitu gimbal seakan tidak memiliki keramahan kepada Arsakha. “Aku hanyalah seorang pengembara yang memang sedang singgah di desa Krokot. Maaf, Kisanak! Aku harus segera membeli makanan untuk Nenek Darsih. Harus segera kembali karena Aku memang bermalam di sana.” Dengan nada yang tegas Arsakha menyampaikan bahwa dirinya harus kembali ke rumah Nenek Darsih untuk melihat keadaannya sembari membawakan makan siang. “Tidak perlu banyak alasan! Katakan apa tujuanmu datang ke desa kami?” preman itu kembali mengintimidasi Arsakha agar mengakui apa yang sebenarnya Arsakha lakukan di desa itu. Namun yang dikatakan preman itu seakan menuduh Arsakha sebagai penjahat. Perdebatan mereka berdua memancing penduduk desa berkerumun dan melihat perdebatan mereka di tengah hiruk-pikuk pasar desa Krokot. “Apa maksud kisanak? Aku hanya singgah untuk satu malam di desa ini. Apa itu sebuah kesalahan? Aku juga tidak merepotkan Kisanak!” Arsakha merasa sangat kesal karena preman itu membuang waktunya untuk segera pulang melihat keadaan Nenek Darsih. “Kau ini hanya membual saja!” Wajah pria berbadan kekar itu seakan menyeringai sembari memicingkan mata ketika Arsakha menceritakan Nenek Darsih di hadapannya. “Apa kau bilang? Aku membual? Ikutlah saja denganku! Aku tidak membual seperti dugaanmu! Aku benar-benar bermalam di rumah Nenek Darsih.” Arsakha mulai terpancing emosi karena ucapan preman pasar itu membuatnya meninggikan nada bicara. “Hei! penduduk desa! kalian semua, apa kalian pernah mendengar warga desa Krokot yang bernama Nenek Darsih? Bukankah tidak pernah ada?” preman itu berbicara dengan nada yang sangat keras untuk memberikan pertanyaan kepada warga yang sedang berkerumun melihat perdebatan mereka. “Ya benar tidak ada warga desa Krokot yang bernama Nenek Darsih!” suara riuh dari penduduk yang melihat Perdebatan antara Arsakha dengan preman itu membuat Arsakha bergeming dan menyimpan tanda tanya yang besar. ‘Tidak mungkin aku sepikun itu! Apa yang aku ceritakan dan apa yang terjadi semalam bukanlah khayalan! Aku benar-benar tinggal dan bermalam di rumah Nenek Darsih. Atau ...?’ Arsakha berbicara dalam hatinya sembari berpikir adanya konspirasi yang membuatnya seolah-olah akan mendapatkan fitnah. “Kenapa kau terdiam? Di desa kami tidak pernah ada warga yang bernama Nenek Darsih! Beraninya kau berbohong kepada kami? Kau adalah orang asing di desa kami! Hak kami untuk mempertanyakan asal-usulmu dan kepentinganmu di desa ini. Apa yang kau kerjakan di desa kami?” Preman itu terus mendesak Arsakha untuk mengakui sesuatu hal yang bisa jadi menimbulkan sebuah fitnah. “Tunggu dulu, Kisanak! Pagi tadi aku pergi ke hutan untuk mencarikan tiga gulung kayu bakar yang seharusnya dilakukan oleh Nenek Darsih karena terikat hutang kepada juragan Surya. Baru saja aku memberikan tiga gulung kayu bakar itu kepada Juragan Surya dan Beliau memberikan sejumlah uang kepadaku! Lihatlah, Kisanak! Uang ini pemberian dari juragan Surya sebagai pembayaran atas tiga gulung kayu bakar yang dia beli! Seharusnya tiga gulung kayu bakar itu menjadi tanggung jawab Nenek Darsih kepada juragan Surya. Tetapi karena aku merasa iba dengan sakit lutut yang diderita Nenek Darsih, membuat aku nekat pergi ke hutan dan menggantikan peranannya untuk menyampaikan kewajibannya kepada juragan Surya. Kalau Kisanak tidak percaya, mari kita temui juragan Surya!” Arsakha merasa pada posisi yang benar sehingga dia tidak takut walaupun satu desa mengepungnya. “Baiklah! Kalau kau terbukti berbohong, maka aku tidak segan-segan untuk menyeretmu ke pendopo desa agar kau diadili di sana!” ancam preman itu kepada Arsakha dengan nada yang begitu menggebu-gebu. “Ayo ke sana! tidak usah banyak berbicara! Kita temui juragan Surya!” Arsakha terus mengatakan hal itu dan mengajak beberapa warga serta preman pasar yang mencegatnya untuk menemui juragan Surya yang kiosnya tidak jauh dari lokasi pencegatan Arsakha. Akhirnya mereka berjalan ke arah kios juragan Surya. Sesampainya di sana sang kepala preman mempertanyakan kebenaran yang dikatakan oleh Arsakha. “Sampurasun!” “Rampes.” “Maaf, Juragan! Apakah juragan mengenal pemuda ini?” preman pasar itu mencoba mempertanyakan secara baik-baik kepada juragan Surya. Sebelum menjawab pertanyaan kepala preman, tatapan Juragan Surya beralih kepada Arsakha. Saat itu juga Arsakha merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. “Aku tidak mengenal pemuda itu!” jawaban juragan Surya membuat Arsakha tercengang. “Apa?” Arsakha benar-benar tidak menyangka ada sesuatu konspirasi yang tengah menyeretnya. “Apakah benar pemuda ini yang menjual tiga gulung kayu bakar kepada juragan Surya? Pemuda suruhan Nenek Darsih?” Kepala preman itu kembali mempertanyakan kebenarannya kepada juragan Surya. “Aku tidak pernah mengenal siapa Nenek Darsih. Dia datang kemari sendiri karena menjual kayu bakar kepada salah satu anak buahjlku,” ucap juragan Surya membuat Arsakha terbelalak tidak percaya. “Kau berkata bohong, Juragan! Jelas-jelas Aku mengatakan kepada Juragan kalau Aku mengantarkan tiga gulung kayu bakar yang diperintahkan oleh Nenek Darsih. Karena saat ini Nenek Darsih sedang sakit lutut sehingga aku sangat tidak tega melihat kondisi Nenek Darsih, aku berinisiatif untuk membantunya mencarikan tiga gulung kayu bakar dan aku berikan kepada juragan Surya. Tapi kenapa juragan Surya mengatakan bahwa Juragan tidak mengenalku?” Arsakha merasa sangat kecewa dan juga memiliki firasat buruk yang akan menimpa dirinya. “Aku tidak mengenalmu anak muda! Kau hanya seorang pencari kayu bakar yang menjual kayu bakarnya kepadaku. Anak buahku yang menerimanya dan kau sudah mendapatkan bayaranmu! Aku mengatakan yang sebenarnya, kan?” juragan Surya mulai berkelit. “tetapi, Kisanak! ketika aku datang ke sini dan aku memberitahukan kepada Kisanak bahwa tiga gulung kayu bakar ini adalah sisa pesananmu yang kau pesan kepada Nenek Darsih, karena Nenek Darsih telah menerima separuh upah dari Juragan. Sedangkan saat ini Nenek Darsih tidak bisa pergi mencari kayu bakar dan kebetulan aku sedang menginap di rumahnya semalam. Aku hanya berniat membantunya! tidak ada hal lain selain itu!” “Aku curiga kalau kau adalah salah satu komplotan siluman Tapir Merah!” Kepala preman tersebut langsung menyimpulkan dan menggiring opini penduduk bahwa Arsakha adalah komplotan siluman Tapir Merah yang belakangan ini sedang menyatroni desa Krokot. “Apa? Bahkan aku sendiri tidak pernah mengenal dan mengetahui bagaimana rupa siluman tapir merah itu. Kenapa kalian menganggapku sebagai siluman itu? Apa buktinya?” Arsakha bersiap waspada terhadap sekitarnya. “Ya! karena semua penjahat tidak ada yang mau mengakui dirinya jahat! Seperti kau, Kisanak! Kau berpura-pura berbuat baik dan menjual kayu bakar agar bisa masuk ke dalam wilayah kami? Lalu saat kau memasuki wilayah kami, dengan cerdik kau melihat situasi untuk persiapan aksimu malam nanti? Sebelumnya tidak ada orang asing di desa kami, dan ketika kau muncul, waktunya sangat bertepatan dengan kejadian teror siluman Tapir Merah yang sangat meresahkan penduduk karena mencuri emas dan juga kepeng! Kau mengaku atau akan kami seret ke pendopo desa?” ucap preman itu mengancam Arsakha. “Aku tidak akan mau diseret oleh siapa pun! karena aku tidak bersalah sedikit pun! Dan aku bisa membuktikan kepada kalian di mana di mana aku singgah semalam. Aku berada di rumah Nenek Darsih! Satu hal lagi yang perlu kalian ketahui, aku bukanlah siluman Tapir Merah tetapi Chandra Kumara!” Arsakha kembali menegaskan kepada semua orang yang ada di sana bahwa dirinya bukanlah siluman tapir merah yang sedang merajalela menyatroni desa Krokot. “Tidak usah banyak bicara!! Serang dia! kita bawa ke pendopo desa!” Perintah kepala preman kepada anak buahnya. “Hiiaattt!” kepala preman tersebut langsung menyerang Arsakha dengan pukulan dan tendangan. Arsakha yang sudah bersiap dan waspada terhadap situasinya, memasang kuda-kuda dan berusaha untuk menghindar dari serangan kepala preman. Arshaka tidak mau dirinya terlibat dalam sebuah pertikaian dengan sesuatu yang tidak diketahui sama sekali kebenarannya. Namun batin Arsakha begitu resah, lantaran dirinya meninggalkan keris pusaka dan gelang berukir burung garuda itu di dalam gembolan yang dia tinggalkan di gubuk tua milik nenek Darsih. ‘Celaka! Aku meninggalkan barang bawaan! Sedangkan di sini aku sedang difitnah juga diserang oleh banyak orang. Apa yang harus aku lakukan?’ batin Arsakha begitu cemas, karena benda yang dapat mengungkap siapa jati diri yang sebenarnya hanyalah keris pusaka dan gelang berukir burung garuda yang ia tinggalkan di dalam gembolan yang tinggalkan di gubuk Tua itu. *** Bagaimana kisah selanjutnya? Apakah Arsakha mampu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya? Bagaimana nasib dari pusaka dan gelang berukir burung garuda yang tertinggal di gubuk tua itu? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD