Baper

2483 Words
Deya’s POV Masa honeymoon kami di hotel, atau lebih tepat dibilang liburan karena sama sekali tak ada honeymoon diantara kami sudah berakhir. Tiba saatnya kami kembali ke rumah. Rumah milik Erlan. Dia baru saja menempati rumah ini sekitar enam bulan yang lalu. Mudah bagi keluarga Erlan untuk membelikan rumah model apa saja untuk putra putrinya. Erlan bilang sih dia membeli sendiri dari hasil tabungannya. Selain mengajar, dia juga punya showroom mobil. Sejenak aku berpikir, mungkin orang memandangku seberuntung Cinderella yang dipersunting pangeran kerajaan. Mereka tak tahu dalam pernikahan kami yang masih sangat baru ini sudah terasa durinya. Sama sekali jauh dari gambaran pernikahan yang indah dan romantis. Yang aku syukuri ayah Erlan itu tipikal orang yang sangat bijak. Dia bersahabat baik dengan ayah dan ibuku dan ternyata perjodohan kami sudah mereka rencanakan sejak kami kecil, mungkin waktu itu aku masih kecil, sedang Erlan sudah ABG. Ibu Erlan sendiri wataknya begitu unik, susah ditebak. Terkadang dia bersikap ramah, terkadang jutek dan cuek. Mungkin untuk ukuran rumah anak pengusaha terkenal yang juga pemilik showroom, rumah ini terlalu kecil, tapi di mataku rumah ini cukup besar, halamannya juga luas. Aku membayangkan butuh waktu cukup lama untuk membersihkannya. Rumah ini terlihat begitu rapi dan bersih. Aku yakin Erlan mempekerjakan beberapa asisten untuk membersihkannya. Mana sanggup dia mengerjakan sendiri. Saat aku iseng menanyakannya, Erlan mamanggil asisten untuk membersihkan rumah tiga kali seminggu, selanjutnya dia akan membersihkan sendiri. Dia juga memasak sendiri. Melihat karakternya yang neat and clean freak, aku tak heran jika dia memiliki hobi memasak dan bersih-bersih rumah. Kuakui design rumah ini begitu keren. Selera Erlan memang berkelas. Ruang tamu yang bernuansa simple dan so classy, ruang tengah yang luas dan nyaman. Dapur dan ruang makan tanpa sekat yang didominasi warna putih serta taman di sebelah yang dipenuhi bunga berwarna-warni plus kolam renang yang cukup luas. Ini seperti rumah impian. Minimalis tapi elegan. Aku membereskan barang-barangku di lemari. Ada ruang khusus yang masih satu ruangan dengan kamar tidur dan hanya digunakan untuk meletakkan lemari baju, sepatu dan tas. Pakaianku tak begitu banyak. Meski aku berjualan baju, aku bukan tipikal orang yang gemar mengoleksi pakaian. Dan sekarang jumlah pakaianku bertambah, dibelikan oleh Erlan dan mertua. Kata Erlan, aku harus terbiasa dengan dress formal untuk menghadiri acara-acara resmi. Mataku tertumbuk pada tiga lingerie, kado pernikahan dari Vira, Gaby dan Eza. Lihatlah, cowok seperti Eza pun turut memberiku kado spetakuler dan aku sama sekali tak menyangka dia akan memberi kado “semenakjubkan” ini. Aku yakin mereka berkonspirasi membeli lingerie-lingerie ini untukku. Warna dan modelnya beda semua. Aku curiga mereka membeli bersama-sama di tempat yang sama. Aku memasukkan kembali lingerie-lingerie itu ke dalam kotak kado. “Kenapa disimpan lagi? Barangkali nanti kamu butuh untuk memakainya?” Kulirik Erlan mematung di hadapanku. Aku tersenyum, lebih tepatnya senyum sinis. “Tolong katakan alasan yang tepat kenapa aku membutuhkannya?” Kutatap dia begitu menelisik. Aku perhatikan wajahnya sedikit memerah. “Ya mungkin saja suatu saat cuaca panas dan kamu kegerahan, jadi kamu membutuhkan pakaian terbuka agar nggak gerah.” Dia melirikku sejenak lalu membuang muka. “Kenapa harus takut gerah? Kan ada AC.” Balasku masih menatapnya begitu lekat. Erlan terdiam sesaat. Mungkin dia sibuk memikirkan jawabannya. Aku menyeringai, “kamu pingin lihat aku pakai lingerie? Bilang saja kalau kamu pingin.” Erlan membelalakan matanya dan terkekeh, “siapa yang ingin melihat kamu pakai lingerie? Badanmu serba datar, kurang berisi, dadanya kecil, sepertinya kamu banyak makan dan jarang olahraga. Herannya makanan itu nggak berpengaruh untuk membuat badanmu lebih berisi.” Aku terhenyak. Kata-katanya begitu frontal. Itu sama saja dia mengejek bentuk tubuhku. “Memangnya tubuh kamu sendiri udah perfect?” “Banyak yang bilang tubuhku ideal dan proporsional. Aku ini rajin ngegym. Aku yakin kamu juga mengakuinya.” Aku tersenyum sinis sekali lagi, “nggak usah narsis. Aku sama sekali tak tertarik dengan tubuhmu dan semua tentangmu. Kamu orang paling aneh yang pernah kukenal.” “Kamu juga sangat aneh. Fobia tempat sempit dan tertutup, berantakan dan manja.” Matanya membulat. Dia menegaskan kata-katanya. Seenaknya saja dia mengataiku manja. Kupalingkan wajahku dan kulanjutkan aktivitasku untuk membereskan pakaianku. Selesai beberes rasanya begitu haus. Aku ingin meminum sesuatu yang menyegarkan. Kuputuskan untuk membuat jus apel. Erlan memesan makanan di resto langganannya. Dia memesan beef steak untuk makan malam kami. Tanpa sepengetahuannya aku memesan burger. Rasanya aku ingin makan junk food. Jika Erlan tahu, dia tak akan memberikan izin. Dia nggak hanya gila kebersihan dan kerapihan, tapi juga makanan sehat. Dia tak mau makan junk food apalagi makanan kaki lima yang dia pandang kurang sehat dan kurang bersih. Kumatikan blender dan kutuang jus apel ke dalam kedua gelas. Kuletakkan blender itu di meja. Erlan yang tengah duduk di ruang makan melirikku. “Jus apelnya udah jadi.” Aku balas menatapnya dan kupaksakan bibirku untuk tersenyum. “Blendernya nggak langsung kamu cuci?” Tanyanya tegas. Kulirik blender itu. Rasanya tak apa jika aku menunda menyucinya nanti. “Ntar aja nyucinya. Kita kan belum makan malam. Setelah makan malam, baru aku cuci, sekalian nyuci piring dan gelasnya.” Aku jawab dengan santainya. “Kenapa harus ditunda? Apa yang bisa dikerjakan sekarang, kerjakan saja. Jangan membiasakan menunda-nunda pekerjaan.” Erlan menatapku dengan tatapan yang begitu tajam, seperti mau menerkam. “Kenapa nggak sekalian nanti aja? Biar nggak bolak-balik kena air?”.Aku balik bertanya. “Memangnya kenapa kalau kena air? Toh sama saja kan, ditunda sekalipun kamu bakal kena air juga. Aku nggak suka lihat blender itu terlihat kotor karena ampas buah.” Erlan terus nyerocos dengan bawelnya. Lagi-lagi dia begitu berlebihan. Rasanya ingin kusumpal mulutnya dengan granat agar dia berhenti bicara. Lebih bagus lagi diledakkan sekalian. Sumpah aku jadi greget sendiri menghadapi sikapnya yang terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu yang kotor dan berantakan. Erlan beranjak dan berjalan mendekat. Matanya awas mengamati meja dan tatapannya begitu menyelidik di setiap sudut. “Astaga.. kotor banget. Kulit apelnya kenapa belum dibuang di tempat sampah? Mana ada air di atas meja yang belum kamu lap. Benar-benar berantakan.” Wajah Erlan menunjukkan ekspresi penuh kekesalan. Kulirik kulit apel yang lupa kubuang dan aku juga belum mengelap meja yang tersiram sedikit air. “Iya aku bereskan. Nggak usah sewot gitu.” Segera kubuang kulit-kulit apel itu ke tempat sampah. Selanjutnya aku mengambil lap dan kulap meja itu dengan tangkas. “Kamu ini ceroboh banget. Itu serbet buat mengelap piring, bukan mengelap meja.” Lagi-lagi Erlan memprotes pekerjaanku. Rasa-rasanya semua yang aku kerjakan selalu mendapat komplain, tidak ada yang memuaskan di matanya. “Astagfirullah. Aku nggak tahu kalau serbet ini untuk mengelap piring. Lagipula di lemari ada banyak serbet, aku rasa tak apa serbet ini dipakai untuk mengelap meja.” Selaku. Hal seperti ini saja dibikin ribet. “Serbet untuk mengelap meja dan piring itu beda Dey. Piring itu untuk makan, karena itu serbetnya dipisah dengan serbet yang digunakan untuk mengelap barang lain, selain alat makan. Masa hal kayak gini aja kamu mesti diajarin.” Lagi-lagi aku cuma beristighfar dalam hati. “Kamu pasti ngira aku akan memakai serbet ini untuk mengelap piring setelah digunakan untuk mengelap meja kan? Aku juga tahu soal kebersihan meski aku nggak serapi dan sebersih kamu. Maksud aku karena serbet ini udah terlanjur dipakai buat meja, jadi ya seterusnya dipakai untuk ngelap meja terus.” Intonasi suaraku sedikit meninggi. “Lain kali jangan grasa-grusu. Bisa kan bertindak lebih teratur dan rapi? Aku tiap bikin jus nggak pernah airnya sampai tumpah dan berantakan seperti ini.” Mata Erlan kembali membulat. Kita-kira hal apa lagi yang dia temukan. “Ini lagi ada noda jus menempel di serbet. Ya ampun Deya. Kalau nggak segera dicuci, nodanya bisa susah dihilangkan.” Erlan bertolak pinggang dan menggeleng. Aku semakin jengah mendengarnya. “Okay aku akan cuci saat ini juga.” Kutatap Erlan dengan tatapan yang begitu menghujam. Aku begitu muak menghadapi sikapnya yang berlebihan. Serbet itu aku rendam di ruang laundry, selanjutnya aku balik lagi ke dapur untuk menyuci blender. Rasa-rasanya sikap Erlan semakin menjengkelkan dari hari ke hari. Selesai mengerjakan pekerjaanku, aku tatap dia sekali lagi. “Aku muak dengan sikapmu yang berlebihan. Kamu benar-benar gila akan kebersihan dan kerapian.” Erlan menyeringai, “kamu pikir aku juga nggak muak? Kamu menyebutku gila bersih dan rapi. Sekarang aku tanya, kamu juga gila ruang sempit dan tertutup kan? Apa itu nggak berlebihan? Ampe nggak berani masuk lift sendirian. Kamu juga orang yang berantakan. I don’t like a messy person.” “And I don’t like a neat freak person!” Aku balas kata-katanya dengan tatapan penuh kebencian. Ting tong... Suara bel pintu menghentikan adu argumen kami. Sepertinya pesanan kami datang. Erlan berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Sesaat kemudian dia melangkah kembali ke ruang makan dan mengeluarkan dua box. “Aku pesan beef steak untuk dinner kita.” Aku kurang tertarik sebenarnya. Tapi aku sudah lapar, sementara burger pesananku belum datang. Ting tong Suara bel kembali mengalun. Aku bergegas membukakan pintu. Kali ini aku yakin burger pesananku yang datang. Benar saja burgerku sudah datang. Rasanya menyenangkan bisa makan makanan kesukaan di saat moodku sedang kacau gara-gara cowok gila bersih itu. Erlan bengong menatapku yang dengan cueknya memakan burger di depannya. “Ya ampun Deya, aku udah pesan beef steak dan kamu belum memakannya, kamu udah pesan makanan lain? Junk food pula, nggak bersih dan nggak sehat.” Aku cuek saja dan malah mengulas senyum, “sesekali nggak masalah kan? Toh aku jarang-jarang makan burger. Aku lagi pingin makan burger. Apalagi moodku saat ini sedang tak bagus, memakan makanan kesukaan itu efeknya bisa menaikkan mood.” “Banyak cara menaikkan mood dengan cara yang lebih baik, bukannya makan makanan tak sehat, berlemak, berkalori tinggi dan useless seperti burger.” Aku tatap dia begitu kesal, “memang ada banyak cara, tapi tak serta merta langsung berhasil menaikkan mood kan? Dan yang aku pengin banget ini itu cuma burger. Sesekali bersikaplah yang santai dan jangan terlalu idealis Lan. Tak masalah sesekali makan tak sehat asal jangan keterusan. Tak apa sesekali berantakan, jangan selalu menerapkan standar berlebih, itu hanya akan membuat kita stres.” “Berarti bisa donk, sesekali selingkuh asal nggak pakai hati dan keterusan? Sesekali minum alkohol asal nggak banyak-banyak?” Tukasnya sambil menaikkan sebelah sudut bibirnya. Aku melongo, “konteksnya beda Lan. Nggak bisa disamain. Nggak bisa dijadikan analog.” “Kalau gitu jangan lagi nyuruh aku untuk sesekali makan tak sehat atau menjadi orang yang berantakan. Karena aku nggak akan tertarik.” Tandasnya. Aku terkekeh, “pantes saja kekasihmu meninggalkanmu. Dia tak tahan akan sikapmu yang begitu freak pada kebersihan, kerapian dan makanan sehat.” Erlan bangun dari duduknya. Sekarang dia berdiri dan menatapku dengan ekspresi yang lebih garang. “Jangan bawa-bawa Gisela dalam masalah ini. Dia sama sekali tak keberatan dengan sikapku. Dia juga seorang yang begitu rapi dan bersih. Dia nggak berantakan ataupun banyak makan. Dia suka makan makanan sehat. Dia nggak menyebalkan.” Dan lihatlah, sekarang dia memuji-muji mantan kekasihnya yang sudah meninggalkannya dan setiap kata yang meluncur dari bibirnya seakan ditujukan untuk membandingkanku dengannya. Aku ikut berdiri dan menatapnya tak kalah tajam. “Sesempurna apapun dia, pada akhirnya dia meninggalkanmu kan? Kenapa kamu nggak pernah ngrasa kalau kamu itu sangat menyebalkan.” Kutatap dia lekat-lekat. Erlan memperpendek jaraknya denganku. “Dan kamu juga nggak ngrasa kalau kamu itu memuakkan.” Erlan memelototiku. Kami saling beradu pandang. Matanya begitu tajam. Mungkin diantara semua bagian wajahnya, hanya matanya yang paling aku suka. Saat menatapnya terkadang seperti melihat oase yang menyejukkan, namun di sisi lain seperti api dalam sekam yang membuat hatiku panas, selalu saja ingin marah-marah padanya. Seandainya sikapnya cukup bersahabat mungkin aku bisa belajar untuk benar-benar menjadi istrinya seutuhnya. Bagaimana bisa aku belajar menjadi seorang istri jika dia tipikal menyebalkan seperti ini, tak tahu caranya menyenangkan orang lain. Dia selalu saja membuat temperamenku naik melesat sampai menembus langit ke tujuh. Erlan berbalik dan berjalan menuju tangga. Langkahnya berderap menaiki tangga dan aku masih mematung memandangi sisa burger serta dua box beef steak yang belum ia makan sedikitpun. Dia belum mengisi perutnya sejak tadi siang. Dia pasti lapar. Kuturunkan egoku dan aku menaiki tangga, menyusulnya ke kamar. Erlan tak ada di ranjang. Pasti dia ada di balkon. Saat aku menilik balkon, benar saja, Erlan tengah berdiri di sana. Matanya menerawang lepas ke depan, entah apa yang sedang ia lihat. “Erlan...” Dia menolehku lalu kembali memalingkan wajahnya. “Kamu belum makan kan? Ayolah makan dulu beef steaknya, nanti keburu dingin.” Erlan diam saja. Aku sudah merendahkan diri sendiri dengan menyusulnya, eh dia malah nyuekin. “Aku temani makan. Aku makannya kan banyak, jadi perutku masih muat untuk beef steak. Tapi nanti aku makan beef steaknya pakai nasi.” Erlan melirikku sekali lagi. “Erlan.. kenapa kamu menikahiku?” Erlan memicingkan matanya, “aku rasa kamu sudah tahu alasannya.” “Ya kita memang sama-sama patah hati dan berharap pernikahan ini bisa menyembuhkan hati kita. Mungkin kamu berharap aku menjelma menjadi gadis yang suka kerapian dan kebersihan seperti Gisela, yang makannya teratur dan gemar makan makanan sehat, nggak suka junk food, nggak berantakan, nggak numpahin air, nggak salah mengambil serbet, nggak menjatuhkan nasi saat sedang makan, dan nggak berantakan. Akupun begitu. Aku pernah berkhayal akan menikah dengan seseorang yang sama-sama suka jajan makanan kaki lima, sama sepertiku. Kami makan nasi goreng di abang gerobak bersama, jajan siomay, sama-sama makannya banyak, nggak protes saat aku memberantakan ruangan dan menumpahkan air. Tapi nyatanya, semua nggak sesuai harapan. Pernikahan ini seperti bukan pernikahan. Kita seperti dua orang asing yang tinggal bersama.” Suaraku makin melemah. Rasanya air mata ini tak bisa kubendung dan ingin meluap saat ini juga. Namun aku berusaha untuk membendungnya sekuat tenaga. Aku tak ingin menjadi cengeng di depan Erlan. Selalu ada rasa sedih menyesakkan kala kusadari bahwa aku mungkin telah salah melangkah sampai di sini. Mungkin aku menikahi orang yang salah dan apakah aku akan menghabiskan umurku bersama orang yang salah? “Kita memang begitu berbeda Erlan. Aku mungkin memang gadis yang masih sama dengan gadis SMP delapan tahun yang lalu, yang manja, takut berada di tempat sempit dan tertutup, yang baru sekali menginap di hotel mewah dan tidak bisa membedakan mana handuk badan mana handuk yang buat keset...Yang nggak biasa makan makanan resto mewah..yang...” Cup... Aku terperanjat saat Erlan mengecup bibirku. Dia kembali melakukannya di balkon, bukan balkon hotel tapi balkon rumah. Jari-jarinya mengusap pipiku, menelusurinya, membuatku semakin gugup. Dia kembali mendaratkan kecupan di bibirku. Kali ini dia memagut bibirku lembut hingga mataku terpejam dan aku refleks membalas ciumannya. Rasanya hangat dan seakan aku larut terbawa suasana yang begitu romantis. Dadaku bergetar hebat menerima ciumannya yang semakin dalam. Apa Erlan sudah mulai menyukaiku? Erlan melepaskan ciumannya dan menatapku tajam, “jangan terlalu banyak bicara. Jalani saja semuanya.” Dia tersenyum tipis dan berjalan meninggalkanku. Kudengar derap langkahnya menuruni tangga. Aku masih mematung di sini, terpaku. Kuraba bibirku. Debaran ini masih saja menguasaiku dan entah kapan detak jantung ini akan kembali normal...Bagaimana aku tidak baper, jika tiap malam Erlan memberiku kecupan, bahkan juga ciuman...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD